BELAJAR MENEMPATKAN DIRI
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Saya teringat kejadian agak lucu zaman
kuliah sarjana dulu. Waktu itu saya baru saja sampai di kampus. Setelah
memarkir sepeda kayuh (sepeda ontel), saya langsung menuju masjid. Waktu kuliah
S1 dulu saya memang ke kampus naik sepeda ontel dari rumah sampai ke kampus dan
sebaliknya. Biasanya sesampainya di kampus, saya tidak langsung menuju kampus
tetapi mampir dulu ke masjid yang letaknya tidak jauh dari gedung Prodi Pendidikan
Kimia. Di masjid saya biasanya mengerjakan sholat Dhuha terlebih dahulu, baru
setelah itu pergi ke prodi. Kebiasaan itu saya lakukan ketika masih ada waktu
sebelum jadwal kuliah dimulai.
Saat itu, setelah selesai mengerjakan
sholat Dhuha, saya duduk-duduk santai di teras masjid sambil menunggu waktu
kuliah. Saat duduk-duduk santai tersebut, tiba-tiba datanglah seorang mahasiswa
senior dari prodi lain yang duduk di samping saya dan menyapa. Setelah saling
menyapa dan mengenalkan diri, mulailah sang mahasiswa senior tersebut berbicara
banyak tentang ilmu agama. Saya sudah lupa dulu awalnya bagaimana kok dia bisa tiba-tiba
menceramahi saya tentang ilmu agama Islam. Panjang lebar dia menjelaskan ilmu agama
Islam ke saya, Sayapun hanya duduk mendengarkan semua yang ia katakan. Saya
tidak memotong pembicaraan dia karena saya menghormatinya. Saya tidak ingin
menghentikan semangatnya ketika ia menjelaskan ilmu agama ke saya.
Saya berpikiran positif sang mahasiswa
senior tersebut mungkin mengira saya sekolahnya di sekolah umum. Asumsi
tersebut wajar saja terjadi karena di kampus umum kebanyakan mahasiswanya
berasal dari sekolah umum (SMA dan SMK). Teman-teman kuliah S1 saya dulu mayoritas
berasal dari SMA. Sangat sedikit mahasiswa yang dulunya sekolah di Madrasah
Aliyah ataupun Pondok Pesantren. Jadi mungkin saja sang kakak mahasiswa tersebut
berpikiran bahwa saya sekolahnya SMA sehingga dianggap ilmu agamanya masih sedikit.
Makanya ketika ia mau menjelaskan ilmu agama Islam ke saya, dia tidak bertanya
terlebih dahulu ke saya dulunya sekolah di mana. Mungkin dia sudah berasumsi
terlebih dahulu bahwa saya pasti dari SMA.
Saya sebenarnya sudah tahu dan paham
dengan semua ilmu agama yang ia jelaskan. Semua yang ia jelaskan sudah saya
pelajari saat dulu belajar di madrasah. Saya mengenyam pendidikan agama Islam
sejak kecil, mulai dari TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan
Madrasah Aliyah. Selain itu saya juga ikut belajar mengaji Al-Qur’an di
musholla setiap bakda sholat Maghrib. Di rumah saya banyak buku-buku agama
Islam yang saya baca karena ayah dulu pernah menjadi guru agama Islam di SD dan
kakak tertua juga kuliah di perguruan tinggi agama Islam. Jadi praktis
pengetahuan agama Islam saya sudah lebih dari cukup.
Cukup lama kakak mahasiswa senior
tersebut berbicara dan panjang lebar menjelaskan ilmu agama ke saya. Selama ia
menjelaskan, saya hanya diam saja dan sesekali tersenyum sebagai bentuk
merespon pembicaraannya. Sebagai orang yang mengenal adab, saya menghormati dia
dan memberikan waktu dia berbicara sepuasnya karena saya tahu dia sedang di
fase sedang semangat-semangatnya berdakwah. Saya tidak ingin mematahkan
semangatnya dia yang ingin berdakwah ke mahasiswa-mahasiswa yunior.
Setelah merasa cukup menjelaskan ilmu
agama Islam ke saya dan saya banyak diamnya, dia akhirnya menghentikan
pembicaraannya. Kemudian dia bertanya ke saya, “Dulu dek Agung sekolah di SMA
mana?” Sayapun dengan suara cukup jelas dan tanpa ragu-ragu menjawab pertanyaan
beliau, “Saya dulu sekolah di MAN 1 Surakarta mas”. Mendengar jawaban saya
tersebut, tiba-tiba beliau sesaat terdiam, dan beberapa saat kemudian beliau
pamit mau ke kampus. Saya agak heran, mengapa sikap beliau cepat sekali berubah
setelah mengetahui saya dari sekolah madrasah aliyah. Saya melihat bagaimana
perubahan yang sangat drastis pada sikapnya, yang tadinya semangat sekali
berbagi ilmu agama kok tiba-tiba diam dan segera pamit meninggalkan saya.
Menurut sahabat pembaca, kira-kira mengapa
kakak mahasiswa senior tersebut tiba-tiba berubah sikapnya dan cepat-cepat
pamit pergi meninggalkan saya setelah mengetahui kalau saya lulusan madrasah aliyah?
Apakah ada yang membuatnya kaget dengan jawaban saya? Mengapa seolah-olah dia tiba-tiba
tidak bersemangat lagi berbagi ilmu agama ke saya, padahal saya sama sekali
tidak pernah membantah penjelasannya? Selama beliau berdakwah, saya memposisikan
diri menjadi pendengar yang baik dengan serius mendengarkan apa yang beliau
sampaikan dan sesekali meresponnya dengan memberikan senyuman.
Hikmah pelajaran apa yang dapat kita
ambil dari kisah kejadian yang saya alami tersebut? Kalau menurut pemikiran
saya, kita harus mengetahui kondisi lingkungan tempat kita akan berbicara.
Sebelum berbicara, kita harus memiliki informasi awal tentang siapa dan bagaimana
kondisi audiens yang akan kita ceramahi. Untuk menjadi seorang pembicara yang
baik, kita harus dapat menempatkan diri sesuai posisi yang tepat. Jangan sampai
kita karena hanya merasa paling tahu dan paling pandai, lantas berpikiran bahwa
orang lain bodoh semua. Terkadang orang itu diam bukan karena bodoh atau tidak
tahu, tetapi justru karena kedalaman ilmu dan ketawadhu’-annya, ia ingin menghormati
kita. Maka marilah kita belajar menjadi sosok pribadi yang berilmu tinggi
tetapi tetap rendah hati (tawadhu’). Menjadi orang yang berilmu tinggi tidak
harus menjadi sombong dan kehilangan adab. []
Gumpang Baru, 02 November 2024