Powered By Blogger

Sabtu, 02 November 2024

BELAJAR MENEMPATKAN DIRI

 


BELAJAR MENEMPATKAN DIRI

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Saya teringat kejadian agak lucu zaman kuliah sarjana dulu. Waktu itu saya baru saja sampai di kampus. Setelah memarkir sepeda kayuh (sepeda ontel), saya langsung menuju masjid. Waktu kuliah S1 dulu saya memang ke kampus naik sepeda ontel dari rumah sampai ke kampus dan sebaliknya. Biasanya sesampainya di kampus, saya tidak langsung menuju kampus tetapi mampir dulu ke masjid yang letaknya tidak jauh dari gedung Prodi Pendidikan Kimia. Di masjid saya biasanya mengerjakan sholat Dhuha terlebih dahulu, baru setelah itu pergi ke prodi. Kebiasaan itu saya lakukan ketika masih ada waktu sebelum jadwal kuliah dimulai.

 

Saat itu, setelah selesai mengerjakan sholat Dhuha, saya duduk-duduk santai di teras masjid sambil menunggu waktu kuliah. Saat duduk-duduk santai tersebut, tiba-tiba datanglah seorang mahasiswa senior dari prodi lain yang duduk di samping saya dan menyapa. Setelah saling menyapa dan mengenalkan diri, mulailah sang mahasiswa senior tersebut berbicara banyak tentang ilmu agama. Saya sudah lupa dulu awalnya bagaimana kok dia bisa tiba-tiba menceramahi saya tentang ilmu agama Islam. Panjang lebar dia menjelaskan ilmu agama Islam ke saya, Sayapun hanya duduk mendengarkan semua yang ia katakan. Saya tidak memotong pembicaraan dia karena saya menghormatinya. Saya tidak ingin menghentikan semangatnya ketika ia menjelaskan ilmu agama ke saya.

 

Saya berpikiran positif sang mahasiswa senior tersebut mungkin mengira saya sekolahnya di sekolah umum. Asumsi tersebut wajar saja terjadi karena di kampus umum kebanyakan mahasiswanya berasal dari sekolah umum (SMA dan SMK). Teman-teman kuliah S1 saya dulu mayoritas berasal dari SMA. Sangat sedikit mahasiswa yang dulunya sekolah di Madrasah Aliyah ataupun Pondok Pesantren. Jadi mungkin saja sang kakak mahasiswa tersebut berpikiran bahwa saya sekolahnya SMA sehingga dianggap ilmu agamanya masih sedikit. Makanya ketika ia mau menjelaskan ilmu agama Islam ke saya, dia tidak bertanya terlebih dahulu ke saya dulunya sekolah di mana. Mungkin dia sudah berasumsi terlebih dahulu bahwa saya pasti dari SMA.

 

Saya sebenarnya sudah tahu dan paham dengan semua ilmu agama yang ia jelaskan. Semua yang ia jelaskan sudah saya pelajari saat dulu belajar di madrasah. Saya mengenyam pendidikan agama Islam sejak kecil, mulai dari TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Selain itu saya juga ikut belajar mengaji Al-Qur’an di musholla setiap bakda sholat Maghrib. Di rumah saya banyak buku-buku agama Islam yang saya baca karena ayah dulu pernah menjadi guru agama Islam di SD dan kakak tertua juga kuliah di perguruan tinggi agama Islam. Jadi praktis pengetahuan agama Islam saya sudah lebih dari cukup.

 

Cukup lama kakak mahasiswa senior tersebut berbicara dan panjang lebar menjelaskan ilmu agama ke saya. Selama ia menjelaskan, saya hanya diam saja dan sesekali tersenyum sebagai bentuk merespon pembicaraannya. Sebagai orang yang mengenal adab, saya menghormati dia dan memberikan waktu dia berbicara sepuasnya karena saya tahu dia sedang di fase sedang semangat-semangatnya berdakwah. Saya tidak ingin mematahkan semangatnya dia yang ingin berdakwah ke mahasiswa-mahasiswa yunior.

 

Setelah merasa cukup menjelaskan ilmu agama Islam ke saya dan saya banyak diamnya, dia akhirnya menghentikan pembicaraannya. Kemudian dia bertanya ke saya, “Dulu dek Agung sekolah di SMA mana?” Sayapun dengan suara cukup jelas dan tanpa ragu-ragu menjawab pertanyaan beliau, “Saya dulu sekolah di MAN 1 Surakarta mas”. Mendengar jawaban saya tersebut, tiba-tiba beliau sesaat terdiam, dan beberapa saat kemudian beliau pamit mau ke kampus. Saya agak heran, mengapa sikap beliau cepat sekali berubah setelah mengetahui saya dari sekolah madrasah aliyah. Saya melihat bagaimana perubahan yang sangat drastis pada sikapnya, yang tadinya semangat sekali berbagi ilmu agama kok tiba-tiba diam dan segera pamit meninggalkan saya.

 

Menurut sahabat pembaca, kira-kira mengapa kakak mahasiswa senior tersebut tiba-tiba berubah sikapnya dan cepat-cepat pamit pergi meninggalkan saya setelah mengetahui kalau saya lulusan madrasah aliyah? Apakah ada yang membuatnya kaget dengan jawaban saya? Mengapa seolah-olah dia tiba-tiba tidak bersemangat lagi berbagi ilmu agama ke saya, padahal saya sama sekali tidak pernah membantah penjelasannya? Selama beliau berdakwah, saya memposisikan diri menjadi pendengar yang baik dengan serius mendengarkan apa yang beliau sampaikan dan sesekali meresponnya dengan memberikan senyuman.

 

Hikmah pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah kejadian yang saya alami tersebut? Kalau menurut pemikiran saya, kita harus mengetahui kondisi lingkungan tempat kita akan berbicara. Sebelum berbicara, kita harus memiliki informasi awal tentang siapa dan bagaimana kondisi audiens yang akan kita ceramahi. Untuk menjadi seorang pembicara yang baik, kita harus dapat menempatkan diri sesuai posisi yang tepat. Jangan sampai kita karena hanya merasa paling tahu dan paling pandai, lantas berpikiran bahwa orang lain bodoh semua. Terkadang orang itu diam bukan karena bodoh atau tidak tahu, tetapi justru karena kedalaman ilmu dan ketawadhu’-annya, ia ingin menghormati kita. Maka marilah kita belajar menjadi sosok pribadi yang berilmu tinggi tetapi tetap rendah hati (tawadhu’). Menjadi orang yang berilmu tinggi tidak harus menjadi sombong dan kehilangan adab. []

 

Gumpang Baru, 02 November 2024

 

 

Postingan Populer