Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 November 2025

MENGUATKAN KEMBALI SIMPUL-SIMPUL PERSATUAN BANGSA INDONESIA

Catatan Inspirasi (113)



MENGUATKAN KEMBALI SIMPUL-SIMPUL PERSATUAN BANGSA INDONESIA: Renungan Terhadap Hikmah Q.S. Al-Hujurat [49]: 13

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.





Indonesia adalah negara yang besar dengan ribuan pulau dan beraneka ragam suku bangsa. Indonesia didirikan di atas keanekaragaman suku, bahasa, budaya dan agama. Ada enam agama yang secara resmi diakui negara yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Walaupun begitu, di samping keenam agama tersebut, juga masih ada agama dan kepercayaan lain yang dianut rakyat Indonesia sejak dulu yang merupakan agama atau kepercayaan asli penduduk Indonesia (Nusantara). Keenam agama resmi tersebut semuanya bukan merupakan agama asli penduduk Indonesia, melainkan agama yang datang dari negara lain dan masuk ke Indonesia. Saat ini, agama dengan jumlah penganut mayoritas di Indonesia adalah agama Islam. Berdasarkan data Globalreligiusfuture, penduduk Indonesia yang beragama Islam pada 2010 mencapai 209,12 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi.

Melihat banyaknya suku bangsa dan budaya daerah yang membentuk bangsa Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang unik dan istimewa. Mungkin di dunia ini tidak banyak negara yang menyerupai karakteristik seperti bangsa Indonesia. Oleh karena itu, terkadang peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara lain ketika terjadi di Indonesia ternyata menghasilkan dampak yang berbeda. Dampak yang diprediksi juga akan terjadi di Indonesia sebagaimana terjadi di negara-negara lain ternyata sering meleset. Sepertinya misalnya pilpres 2014 diprediksi oleh beberapa pengamat politik akan menyebabkan Negara chaos, tetapi ternyata pilpres tetap berlangsung aman dan proses pergantian pimpinan juga berjalan lancar walau sampai terjadi dugaan kecurangan oleh salah satu paslon dan proses penetapan hasil pilpres sampai di sidang Makamah Konstitusi.

Keanekaragaman suku, bahasa, budaya dan agama sebenarnya merupakan aset bangsa Indonesia yang sangat berharga. Tidak semua bangsa memiliki aset berharga seperti bangsa Indonesia. Keanekaragaman tersebut jika dikelola dengan baik akan mampu menjadi modal penting untuk pembangunan. Keanekaragaman tersebut jika dikelola dengan baik akan dapat menjadi alat pemersatu bangsa. Keanekaragaman tersebut jika dimanfaatkan dengan baik akan dapat menjadi alat untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana bangsa Indonesia (baca : rakyat Indonesia) memandang makna keanekaragaman dan keberagaman tersebut? Apakah keanekaragaman dan keberagaman bangsa dipandang sebagai karunia Allah yang istimewa dan penuh manfaat atau malah dipandang sebagai sesuatu yang merugikan bangsa dan negara?

Marilah kita lihat bagaimana pandangan Allah Swt mengenai keanekaragaman dan keberagaman manusia sebagaimana termaktum dalam Al-Qur’an. Dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 13 Allah Swt berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Mishbah Jilid 12, penggalan pertama ayat di atas “sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan” adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalam terakhir ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa”. Oleh karena itu, beliau menyarankan agar kita semua berusaha untuk meningkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah Swt.

Masih dalam kitab yang sama, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kata ta’aarafuu terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik. Dengan demikian, ia berarti “saling mengenal”. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu, ayat di atas menekankan perlunya ‘saling mengenal”. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. “Saling mengenal” yang digarisbawahi oleh ayat di atas adalah “pancing”nya bukan “ikan”nya. Yang ditekankan adalah caranya bukan manfaatnya.

Berdasarkan penjelasan pakar tafsir terhadap ayat di atas, tampak jelas bahwa tujuan Allah Swt menciptakan umat manusia beranekaragam suku dan bangsa adalah agar saling mengenal sehingga dapat saling memberi manfaat satu dengan yang lain. Keberagaman suku, budaya, bahasa dan agama (atau keyakinan) hendaknya tidak menjadikan penyebab terjadinya perpecahan dan permusuhan. Justru Allah Swt yang mengengaja menciptakan umat manusia dalam wujud yang berbeda-beda suku, warna kulit, bahasa dan ras/bangsa. Dengan diciptakan berbeda-beda dan beragam, diharapkan manusia mau saling kenal-mengenal satu dengan yang lain dan saling memberi manfaat melalui interaksi yang mutualisme.

Merujuk penafsiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab di atas, Allah Swt lebih menekankan tentang bagaimana cara saling mengenal dan memberi manfaat, bukan manfaat dari saling mengenal. Artinya melalui ayat di atas, Allah Swt menghendaki umat manusia yang ditakdirkan beranekaragam agar berupaya untuk saling mengenal. Untuk dapat saling mengenal antara umat manusia yang berbeda-beda, diperlukan saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Hanya pola interaksi yang saling menghormati dan menghargai saja yang akan dapat menghasilkan saling mengenal. Sedangkan pola interaksi yang diwarnai rasa saling curiga dan permusuhan hanya akan menghasilkan perpecahan dan peperangan, dan pola interaksi seperti ini jelas bertentangan dengan yang dikehendaki Allah Swt.

Firman Allah Swt di atas jika dipikirkan dan direnungkan, maka akan terlihat dengan jelas bahwa agama Islam sangat memperhatikan pola interaksi yang mutualisme dan persatuan antar manusia. Islam merupakan agama yang mencintai persatuan dan perdamaian. Allah Swt melalui firman-Nya tersebut di atas mengajarkan umat Islam dan umat manusia umumnya untuk saling mengenal satu sama yang lain walau berbeda suku, berbeda bahasa, berbeda tradisi, berbeda bangsa, berbeda warna kulit, berbeda ras, berbeda keyakinan maupun berbeda agama. Perbedaan yang terjadi pada umat manusia ternyata memang sudah ditakdirkan oleh Allah Swt, Tuhan yang Mahamenciptakan. Tugas umat manusia selaku makhluk-Nya hanyalah menjalani hidup sesuai yang dikehendaki oleh-Nya dan saling berinteraksi dengan penuh kerukunan dan kedamaian.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, perenungan terhadap ayat di atas sangatlah relevan. Indonesia yang beranekaragam suku bangsa, bahasa, budaya dan agama dapat dijadikan sebagai model bagaimana tujuan ayat tersebut di atas diimplementasikan. Umat Islam dan rakyat Indonesia pada umumnya mendapatkan kesempatan berharga untuk mempraktikkan tujuan ayat tersebut di atas diturunkan, yakni mencari pola interaksi yang menghasilkan persatuan (hasil dari saling kenal-mengenal) dan perdamaian. Pola interaksi yang ditekankan oleh Allah Swt melalui firman-Nya di atas ternyata telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia melalui penetapan dasar negara yaitu Pancasila yang terdiri atas lima sila, dimana setiap sila-silanya telah mengakomodasi pola interaksi antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dan pola interaksi antar manusia dalam menghargai nilai-nilai kemanusiaan, meletakkan pondasi persatuan, bentuk permufakatan dan bagaimana mewujudkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan kata lain, PANCASILA merupakan salah satu contoh model interaksi yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan manusia diciptakan Allah Swt dalam wujud yang beranekaragam suku, budaya, warna kulit, bahasa dan agama.

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa cara untuk mewujudkan tujuan penciptaan umat manusia yang beranekaragam sebagaimana tercantum dalam firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 13 adalah dengan menjalankan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Indonesia adalah negara yang memiliki karakteristik sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 13. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam khususnya dan sebagai rakyat Indonesia pada umumnya seharusnya bangga karena kita ditakdirkan Allah Swt lahir dan hidup di negara yang mirip dengan gambaran masyarakat yang diberikan Allah Swt melalui firman-Nya. Maka sudah sepantasnyalah tugas kita bersama untuk menjaga amanat Allah Swt tersebut dengan berusaha mengimplementasikan pola interaksi dan kehidupan yang penuh kerukunan, perdamaian dan saling menghargai satu dengan yang lain. Persatuan dan kerukunan serta perdamaian bangsa Indonesia tidak akan tercapai jika tidak dilandasi semangat saling menghormati, menghargai dan sikap toleransi antar rakyat Indonesia. Perbedaan yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia seyogyanya menjadikan dasar untuk menciptakan negara yang baldatun wa rabbun ghafur. Marilah kita rajut benang-benang persatuan dan kita eratkan simpul-simpul persatuan bangsa Indonesia melalui sikap saling menghormati, menghargai perbedaan dan sikap toleransi antar umat beragama dan suku bangsa. Semoga Allah Swt selalu melindungi bangsa Indonesia dari upaya-upaya segelintir orang maupun kelompok sparatis yang ingin merusak persatuan dan kedamaian bangsa Indonesia. Amin. []


Referensi :
M. Quraish Shihab. (2002). Tafsir Al-Mishbah Jilid 12. Ciputat : Penerbit Lentera Hati.

Sabtu, 08 November 2025

HIJRAH DAN PENGORBANAN

Catatan Inspirasi (111)


HIJRAH DAN PENGORBANAN

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.




Setiap memasuki bulan Muharram, selalu dikaitkan dengan kata hijrah dan hijriyah. Mengapa? Ya, karena bulan Muharram adalah bulan pertama di sistem kalender Hijriyah. Tanggal 1 Muharram diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai tahun baru Islam atau tahun baru Hijriyah. Peringatan tahun baru Hijriyah sangat berkaitan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. Pada masa khalifah Umar bin Khaththab r.a ditetapkan sistem kalender Islam yang didasarkan pada peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw meninggalkan kota Mekkah menuju ke kota Yatsrib (Madinah). Sistem kalender Islam tersebut dikenal dengan sistem kalender Hijriyah yang didasarkan pada perputaran bulan. Hal ini berbeda dengan sistem kalender Masehi yang didasarkan pada perputaran matahari.

Kata hijrah sendiri bukanlah kata yang asing bagi umat muslim karena berkaitan dengan sejarah dakwah Rasulullah Saw. Bahkan di dalam Al Quran juga ditemukan kata hijrah tersebut. Dalam Al-Quran ada ayat yang menyinggung tentang hijrah. Misalnya dalam surat Al Baqarah [2]: 218.
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS. Al Baqarah [2]: 218).
Hijrah juga disinggung di surat dan ayat lain:
"Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia" (QS. Al Anfaal [8]: 74).

Kedua ayat ini sama-sama mengkaitkan kata hijrah dengan jihad. Jika kata jihad kita maknai berjuang di jalan Allah, maka kata hijrah sangat berkaitan dengan pengorbanan karena sebuah perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan. Oleh karena itu, pada artikel ini akan dibahas tentang makna hijrah dan pengorbanan.

FENOMENA TREN HIJRAH DI MASYARAKAT
Beberapa tahun terakhir ini, media sosial diramaikan dengan berita-berita tentang hijrahnya para artis dan selebritis. Fenomena hijrah yang dimaksud ini adalah berusaha untuk mempelajari Islam lebih dalam, sekaligus mengubah gaya hidup menjadi lebih kental dengan nuansa Islam. Kalau selebritis wanita tadinya tidak memakai hijab setelah menyatakan “hijrah” berubah menjadi mengenakan pakaian hijab. Sedangkan selebritis pria yang tadinya penampilannya seperti umumnya selebritis dan orang biasa, yaitu berpakaian pada umumnya berubah penampilan memakai baju gamis dan memelihara (memanjangkan) jenggot. Tetapi muncul juga fenomena lain di kalangan selebritis yaitu selebiritis yang tadinya berhijrah kemudian kembali ke gaya kehidupannya yang semula. Ada selebritis wanita yang tadinya tidak berhijab, kemudian berhijab, dan akhirnya kembali tidak berhijab. Di kalangan selebritis pria juga muncul fenomena serupa. Mengapa ada selebritis yang terkesan hanya main-main dalam berhijrah?

Jawaban dari pertanyaan di atas adalah karena kemungkinan para selebritis tersebut kurang memahami bahwa berhijrah itu memerlukan perjuangan. Berubah menjadi baik itu perlu perjuangan. Menjalani kehidupan sesuai aturan syariat agama demi meninggalkan kehidupan yang tidak sesuai syariat itu perlu perjuangan. Mungkin inilah yang kurang disadari oleh mereka sehingga ketika mereka telah memproklamirkan diri berhijrah ternyata mereka tidak siap dengan konsekuensinya. Mungkin mereka beranggapan bahwa setelah hijrah kehidupan mereka pasti dijamin Allah Swt akan lebih baik karena mereka telah menjadi orang baik. Mungkin mereka tidak memahami bahwa hijrah hanyalah langkah awal untuk menjadi baik, dimana Allah Swt kemudian akan menguji konsistensi mereka dalam berhijrah. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.
"2). Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? 3). Dan Sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta". (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 2-3).

MAKNA HIJRAH
Hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti “meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat”. Dalam konteks sejarah perkembangan Islam, hijrah diketahui sebagai kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabat beliau dari kota Makkah menuju ke kota Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syariat Islam. Jadi tujuan utama Rasulullah Saw dan para sahabatnya berhijrah adalah untuk mempertahankan akidah Islam dan melangsungkan dakwah syariat Islam. Hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw. bukan sekedar pindah tempat tinggal, tetapi hijrah beliau memiliki tujuan yang mulia dan untuk tujuan jangka panjang demi keberlangsungan tercapainya tujuan dakwah Islamiyah yang diperjuangkan. Hijrah juga bukan karena keinginan pribadi Rasulullah Saw tetapi murni karena perintah Allah Swt.

Berangkat dari pemaknaan atas hijrah Rasulullah Saw di atas, maka hijrah dapat bermakna sebagai perjuangan dan pengorbanan. Hijrah berarti meninggalkan kehidupan yang tidak baik menuju kehidupan yang lebih baik sesuai tunturan syariat agama Islam. Hijrah berarti meninggalkan gaya hidup yang jauh dari tuntunan agama menuju gaya hidup yang sesuai tuntunan agama Islam. Hijrah berarti meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik menuju perbuatan-perbuatan yang baik dan diridhai Allah Swt. Perubahan menuju kondisi yang lebih baik itu semuanya memerlukan perjuangan dan yang pasti pengorbanan. Tidak ada perubahan menjadi lebih baik tanpa diiringi dengan sebuah pengorbanan. Mari kita simak kutipan kisah hijrahnya Rasulullah Saw sebagaimana diceritakan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Quran” (2001: 347).

MACAM-MACAM HIJRAH
Hijrah dapat dimaknai secara berbeda-beda oleh setiap orang, dimana tergantung konteks yang dipergunakan. Namun begitu, secara garis besar, hijrah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hijrah makaniyah (berpindah dari satu tempat ke tempat lain) dan hijrah maknawiyah (mengubah diri dari yang buruk menjadi lebih baik demi mengharap keridhaan Allah Swt.). Contoh hijrah makaniyah adalah peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah serta hijrahnya Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.
"Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 26).
"Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah Aku dari orang-orang yang zalim itu". (QS. Al Qashash [28]: 21).

Hijrah maknawiyah dibedakan menjadi empat, yaitu hijrah i'tiqadiyah (hijrah keyakinan), terjadi pada seorang Muslim ketika mencoba meningkatkan keimanannya agar terhindar dari kemusyrikan. Kedua, hijrah fikriyah (hijrah pemikiran), yaitu ketika seseorang memutuskan kembali mengkaji pemikiran Islam yang berdasar pada sabda Rasulullah Saw. dan firman Allah Swt. demi menghindari pemikiran yang sesat. Ketiga, hijrah syu'uriyyah adalah berubahnya seseorang yang dapat dilihat dari penampilannya, seperti gaya berbusana dan kebiasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Hijrah ini biasa dilakukan untuk menghindari budaya yang jauh dari nilai Islam, seperti cara berpakaian, hiasan wajah, rumah, dan lainnya. Terakhir adalah hijrah sulukiyyah (hijrah tingkah laku atau kepribadian). Hijrah ini digambarkan dengan tekad untuk mengubah kebiasaan dan tingkah laku buruk menjadi lebih baik [2].

BELAJAR MAKNA HIJRAH: CONTOH PENGORBANAN DARI RASULULLAH SAW.
Ketika Rasulullah Saw menyampaikan kepada Abu Bakar r.a. bahwa Allah Swt. memerintahkannya untuk berhijrah, dan mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama, Abu Bakar menangis kegirangan. Dan, seketika itu juga ia membeli dua ekor unta dan menyerahkannya kepada Rasulullah Saw. untuk memilih yang dikehendakinya. Terjadilah dialog berikut:
Rasulullah Saw.: “Aku tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku.”
Abu Bakar r.a. : “Unta ini kuserahkan untukmu.”
Rasulullah Saw.: “Baiklah, tapi aku membayar harganya.”
Setelah Abu Bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah, namun Rasulullah Saw tetap menolak, Abu Bakar pada akhirnya setuju untuk menjualnya. Mengapa Nabi Saw. bersikeras untuk membelinya? Bukankah Abu Bakar sahabat beliau? Dan, bukankah sebelum ini-bahkan sesudahnya- Nabi Saw selalu menerima hadiah dan pemberian Abu Bakar? Di sini terdapat suatu pelajaran yang sangat berharga.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya tersebut menuliskan tentang hikmah dari kisah hijrahnya Rasulullah Saw. Beliau menuliskankan bahwa dalam dialog antara Rasulullah Saw. dengan Abu Bakar r.a. tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. ingin mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya yang dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga beliau. Dengan membayar harga unta itu, Nabi Saw. mengajarkan kepada Abu Bakar r.a. dan kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah Swt, janganlah mengabaikan sedikit kemampuan pun, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah Swt. Berfirman, “Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali” (Q.S. [96]:

Berdasarkan kisah hijrah Rasulullah Saw sebagaimana diceritakan oleh Prof. Dr. M.Quraish Shihab di atas, dapat disimpulkan bahwa hijrah itu memerlukan pengorbanan. Orang yang menyatakan diri telah berhijrah harus siap berkorban agar tetap konsisten dalam kondisi kebaikan. Hijrah harus dilakukan secara totalitas dan niatnya murni karena mengharap ridha Allah Swt. Hijrah tidak boleh dilakukan hanya karena sekedar ikut-ikutan tren, karena biar dikatakan gaul, karena biar tampak syar’i, atau karena terpaksa. Semoga kita semua mampu berhijrah sesuai yang dicontohkan oleh sang suri tauladan Rasulullah Saw. Amin. []

Minggu, 02 November 2025

ANAK SEBAGAI AMANAH, BUKAN INVESTASI

Catatan Inspirasi (107)


ANAK SEBAGAI AMANAH, BUKAN INVESTASI

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.



PENDAHULUAN
Setiap orang pasti menginginkan memiliki keturunan, anak yang akan melanjutkan garis keturunannya, anak yang akan membesarkan nama keluarganya. Kehadiran seorang anak akan mampu menjadikan kehidupan keluarga menjadi lebih hidup dan dipenuhi aura kebahagiaan. Kehadiran anak yang telah lama dinanti-nantikan pasti akan mampu mengubah suasana kehidupan dalam keluarga menjadi penuh keceriaan dan canda tawa kebahagiaan.
Anak memang menjadi salah satu perhiasan dunia. Keberadaan anak dalam sebuah keluarga akan mampu mengubah suasana keluarga yang tadinya sepi membosankan menjadi ramai penuh kebahagiaan. Melalui tingkah lakunya yang lucu menggemaskan, siapapun yang melihatnya pasti merasakan hati yang bahagia. Inilah misteri kebahagian melalui kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga.
Bagaimana sikap dan cara orang tua memperlakukan anak-anaknya sangat dipengaruhi oleh bagaimana pandangan mereka terhadap anak. Keberadaan anak bagi orang tua apakah sebagai subjek ataukah objek akan sangat mempengaruhi bagaimana perlakuan mereka kepada anak-anaknya. Masa depan anak akan sangat dipengaruhi oleh pandangan kedua orang tuanya.


PANDANGAN ORANG TUA TERHADAP KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA
Keberadaan anak bagi orang tua memiliki arti khusus. Secara umum, terdapat dua pandangan orang tua tentang bagaimana memposisikan anak. Pandangan pertama menganggap bahwa anak adalah amanah dari Allah Swt. Pandangan pertama ini menempatkan anak sebagai subjek, yaitu anak sebagai pelaku kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan pandangan kedua beranggapan bahwa anak adalah investasi jangka panjang bagi orang tuanya. Pandangan kedua ini menempatkan anak sebagai objek, yaitu anak sebagai alat bagi orang tua untuk memperoleh keuntungan, baik keuntungan finansial ataupun keuntungan pahala kebaikan. Dampak dari kedua pandangan tersebut berpengaruh kepada bagaimana pola asuh yang dijalankan orang tua dalam memelihara anak-anaknya.
Pandangan Pertama: Anak sebagai Amanah dari Allah Swt.
Bagi orang tua yang menganggap anak adalah amanah dari Allah Swt., maka mereka akan menjaga dan memelihara anak-anaknya dengan penuh perhatian dan limpahan cinta kasih sayang. Mereka menyadari bahwa setiap anak yang terlahir ke dunia ini sudah dibekali dengan potensi diri yang merupakan karunia dari Tuhan yang menciptakan. Menyadari hal itu, mereka akan berusaha memberikan lingkungan pendidikan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pendidikan di sekolah agar anak-anak mereka mampu tumbuh dan mengembangkan diri dengan segala potensi yang dimilikinya secara maksimal. Mereka berharap anak-anak mereka kelak akan mampu menjadi orang-orang yang tangguh dan mampu menjalani kehidupan dengan baik.
Pandangan Kedua: Anak sebagai Investasi Masa depan Orang Tua
Sementara itu, bagi orang tua yang menganggap anak adalah tabungan atau investasi di masa depan, mereka akan mendidik anak-anaknya sesuai keinginan mereka. Terkadang mereka kurang peduli dengan bakat minat dan keinginan anak. Mereka sering membatasi anak-anak mereka hanya diperbolehkan untuk belajar ilmu tertentu saja yang mereka anggap akan bermanfaat untuk kehidupan masa depan anak versi orang tuanya. Sedangkan untuk ilmu-ilmu lain yang menurut pandangan orang tuanya dirasa kurang bermanfaat, maka mereka melarang anak-anaknya untuk mempelajarinya.


PANDANGAN PENULIS TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA
Bagaimana pandangan penulis tentang anak, apakah cenderung sependapat dengan pandangan pertama bahwa anak adalah amanah Tuhan ataukah pandangan kedua bahwa anak adalah investasi masa depan? Dengan mempertimbangkan banyak hal, yaitu terkait tujuan penciptaan manusia, keistimewaan manusia, dampak kelahiran anak bagi kedua orang tuanya, dan potensi kemampuan yang dimiliki setiap anak, maka penulis berpendapat bahwa anak merupakan amanah Allah Swt yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Anak sebagai amanah Tuhan harus dijaga dengan baik melalui disediakannya lingkungan kehidupan untuk mereka tumbuh dan berkembang secara natural sesuai fitrah kehidupan yang telah ditakdirkan Allah Swt. pada mereka.
Dalam konteks pendapat penulis ini, orang tua berkedudukan sebagai hamba Tuhan yang terpilih dan mendapatkan kesempatan istimewa untuk mengemban amanah yang mulia tersebut. Maka orang tua seyogyanya tidak memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya karena anak-anak telah memiliki garis suratan takdir sendiri untuk kehidupannya. Yang diperlukan oleh setiap anak adalah lingkungan yang kondusif dan mendukung diri mereka untuk bertumbuh dan berkembang secara alami untuk mengenali semua potensi dirinya yang telah dititipkan oleh Allah Swt.


IMPLEMENTASI PANDANGAN ANAK ADALAH AMANAH ALLAH SWT.
Pandangan penulis tersebut di atas tidak terlepas dari bagaimana pola asuh dan proses pendidikan keluarga yang dijalankan orang tua penulis. Orang tua penulis bersikap sangat demokratis dalam menentukan jalan hidup yang dipilih anak-anaknya. Mereka tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya, terutama dalam hal jurusan pendidikan yang akan diambil anak-anaknya. Kami (anak-anak mereka) diberikan kebebasan penuh untuk memilih jurusan yang akan kami ambil ketika mau melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Setiap anak diberikan kebebasan akan melanjutkan pendidikan tinggi ke mana dan akan mengambil jurusan apa. Tetapi ada satu hal yang tidak boleh ditentang oleh anak-anaknya, yaitu semua anak-anaknya harus sekolah di sekolah berbasis keagamaan untuk sekolah tingkat dasar sampai sekolah tingkat menengah atas. Bagi orang tua penulis, pengetahuan agama sangat penting dan tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena itu, semuanya anak-anaknya disekolahkan di sekolah berbasis keagamaan seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasaha Aliyah.
Sebagai gambaran bagaimana demokrasinya pola asuh orang tua penulis, kakak tertua penulis memilih melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi agama Islam dengan mengambil jurusan ilmu dakwah. Penulis sendiri lebih tertarik mengambil jurusan pendidikan kimia sebagai pilihan saat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Sedangkan adik bungsu penulis lebih memilih jurusan teknik kimia sebagai pilihan studi sarjananya.
Walaupun pendidikan kami bertiga berbeda-beda jurusan, tetapi ternyata ketika berkarier, kami bertiga sama-sama memilih berprofesi yang sama yaittu menjadi pendidik. Penulis dan kakak penulis berprofesi sebagai dosen sedangkan adik penulis berprofesi sebagai guru di sekolah menengah. Walaupun awalnya kami berbeda-beda jurusan dalam menempuh pendidikan tinggi, tetapi ternyata profesi ayah kami yang dulu pernah menjadi guru SD telah menginspirasi kami semua untuk menekuni profesi sebagai pendidik. Tidak ada paksaan bagi kami untuk memilih menekuni profesi sebagai pendidik. Ini merupakan pilihan kami sendiri. Orang tua kami pun juga tidak pernah meminta kami untuk menjadi pendidik. Tetapi panggilan jiwalah yang menuntun kami pada akhirnya memilih menekuni profesi menjadi pendidik.
Demikianlah pola asuh dan proses pendidikan keluarga yang dijalankan orang tua penulis. Mereka tidak memilihkan kami jurusan pendidikan yang tepat untuk setiap anak-anaknya. Anak-anaknya sendiri yang memilih jurusan yang diminatinya. Mereka hanya berusaha menciptakan suasana lingkungan keluarga yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-anaknya. Walaupun di tengah keterbatasan finansial dan kekurangan dana untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, mereka berusaha mengenalkan anak-anak mereka dengan dunia pendidikan melalui penyediaan buku-buku bacaan di rumah. Sejak kecil penulis memang senang membaca. Semua buku-buku yang ada di rak buku di rumah penulis baca. Penulis bahkan memimpikan suatu saat akan memiliki perpustakaan pribadi yang berisi banyak koleksi buku. Lebih berani lagi, penulis bermimpi suatu saat nanti bisa menjadi seorang penulis buku.
Alhamdulillah mimpi-mimpi penulis di masa kecil dulu akhirnya sekarang bisa terealisasi. Sekarang penulis memiliki perpustakaan pribadi yang berisi banyak koleksi judul buku berbagai tema. Penulis juga sekarang telah mampu menulis buku sebanyak 125 judul buku, baik buku karya solo maupun buku-buku book chapter atau buku kolaborasi. Penulis tidak pernah menyangka jika mimpi-mimpi masa kecil dulu sekarang menjadi kenyataan. Semua apa yang penulis capai saat ini merupakan buah dari inspirasi orang tua penulis yang mengajarkan tentang pentingnya setiap orang mengenali dan memberdayakan potensi dirinya semaksimal mungkin.
Semua capaian prestasi yang berhasil penulis raih sekarang ini merupakan hasil dari petikan buah paradigma berpikir orang tua penulis bahwa anak adalah amanah Tuhan yang wajib dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya dan ditumbuhkembangkan segala potensi diri dan kompetensi diri yang dimiliki anak. Setiap orang tua harusnya bersyukur karena menjadi hamba Tuhan yang dipilih untuk menjaga dan memelihara amanah anak yang dititipkan-Nya. Maka sudah seharusnya jika orang tua menyediakan lingkungan pergaulan yang bernilai edukatif dan kondusif, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan di luar keluarga (misalnya memilihkan sekolah yang tepat) sehingga memungkinkan anak mampu mengeksplorasi, mengenali, dan mengembangkan potensi dirinya semaksimal mungkin dengan bimbingan dan arahan dari orang tua dan orang-orang di sekelilingnya (pendidik).


PENUTUP: ANAK SEBAGAI SUBJEK KEHIDUPAN
Setiap anak ketika dipilih Allah Swt untuk terlahir ke dunia ini telah dibekali dengan potensi diri yang tersimpan dalam diri anak dan bersifat laten. Potensi diri anak tersebut akan bangun dan berkembang manakala anak tersebut menemukan atau berada di lingkungan yang tepat dan mendukung terbangunnya potensi diri anak tersebut. Ketika berada di dalam lingkungan yang cocok dengan karakter potensi dirinya, anak secara alami akan memunculkan segala potensi dirinya yang bersifat laten dan masih tersimpan di dalam dirinya. Anak akan secara alami mengembangkan kompetensi dirinya semaksimal mungkin. Pertumbuhan dan perkembangan potensi, bakat minat, passion, dan kompetensi anak berlangsung secara natural tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Hanya lingkungan yang tepatlah yang memungkinkan terbangunnya dan bangkitnya potensi diri anak secara alami.
Dapat diibaratkan seperti sebuah biji kacang ketika berada di daerah yang basah atau lembab secara alami akan tumbuh tunasnya dan tumbuh semakin besar menjadi sebuah pohon kacang yang dapat berbuah lebat. Demikianlah analogi potensi diri pada anak-anak. Ketika berada di lingkungan yang cocok dan sesuai dengan karakter potensi dirinya, maka secara serta merta tanpa menunggu datangnya aba-aba, anak akan segera memunculkan potensi dirinya yang selama ini tersimpan dalam dirinya dan berkembang melesat jauh menjadi kompetensi dan kemampuan yang luar biasa.
Demikianlah misteri kehidupan yang telah didesain oleh Allah Swt. Hanya hamba-hamba-Nya yang memahami hakikat kehidupanlah sajalah yang akan mampu menangkap maksud dari kehendak Allah Swt tersebut. Sekali lagi perlu kita pahami bahwa anak adalah amanah dan titipan dari Allah Swt yang di dalam diri anak telah dibekali potensi diri yang menunggu lingkungan yang tepat untuk bangun dan bangkit menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Maka tugas orang tua sebagai hamba yang menerima kehormatan untuk melahirkan dan memelihara anak titipan Allah Swt tersebut untuk menyediakan lingkungan yang mendukung anak menjalankan tugas perkembangannya secara alami sehingga kelak mereka mampu tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai blueprint yang ditetapkan Allah Swt. []

Sabtu, 01 November 2025

SANTRI, LITERASI, DAN TRADISI MENULIS

 

SANTRI, LITERASI, DAN TRADISI MENULIS

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.

 

 

Santri dan Pondok Pesantren

Setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Peringatan Hari Santri Nasional (HSN) menjadi momentum penting untuk mengingatkan bangsa Indonesia tentang peran penting dan jasa-jasa para santri dalam ikut berjuang untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Banyak tokoh-tokoh nasional pendiri bangsa Indonesia yang memiliki latar belakang seorang santri. Oleh karena itu, keberadaan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan santri dan pondok pesantren.

            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'santri' setidaknya mengandung dua makna. Arti pertama, santri adalah orang yang mendalami agama Islam, dan pemaknaan kedua santri adalah orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Istilah santri selama ini digunakan untuk menyebut orang-orang yang sedang atau pernah memperdalam ajaran agama Islam di pondok pesantren (Nasir, 2024).

Santri dapat dimaknai secara makna sempit maupun makna luas. Dalam makna sempit, santri merujuk kepada orang-orang yang menuntut ilmu agama dan tinggal di pesantren. Namun, apabila dimaknai lebih luas, santri tidak selalu merujuk kepada mereka yang tinggal di lingkungan pesantren. Siapa saja yang menjalankan ilmu agama Islam maka dapat juga disebut sebagai santri. Pada intinya, santri yang belajar di lingkungan pesantren maupun tidak tetap dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama lebih dan taat menjalankannya (Kasim, 2023).

Santri identik dengan pondok pesantren. Santri adalah julukan yang diberikan kepada seseorang yang belajar agama Islam di pondok pesantren. Santri diidentikan dengan ciri-ciri bersarung dan memakai kopiah bagi santri laki-laki dan berjilbab bagi santri perempuan atau santriwati. Jadi santri adalah orang yang tinggal atau mondok di pondok pesantren untuk khusus mempelajari ilmu-ilmu agama Islam.

Pondok pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu pondok pesantren salafi dan pondok pesantren modern. Apa perbedaan dari kedua jenis pondok pesantren tersebut? Pondok pesantren salafi atau sering disebut pondok pesantren tradisional adalah jenis pondok pesantren yang penyelenggaraan proses belajar mengajarnya dilakukan secara tradisional. Kurikulum pendidikan di pondok pesantren salafi hanya khusus mengkaji ilmu agama Islam. Adapun pondok pesantren modern telah menerapkan metode-metode pembelajaran modern dalam proses pembelajaran dan kurikulum pendidikannya juga telah memasukkan mata pelajaran umum selain tetap mempelajari ilmu-ilmu agama Islam. Di pondok pesantren modern, para santri dibekali dengan ilmu agama Islam dan juga ilmu pengetahuan umum seperti sains, teknik, humaniora.

Tradisi Menulis di Pondok Pesantren

Sistem pendidikan di pondok pesantren telah memfasilitasi aktivitas menulis bagi para santrinya. Para santri yang belajar ilmu agama Islam di pondok pesantren setiap hari dilatih untuk belajar menulis. Aktivitas literasi terkait menulis terimplementasi dalam aktivitas belajar saat santri mengkaji kitab.

Saat mengkaji sebuah kitab, ustadz membacakan arti terjemahan setiap kata dalam kitab dan menjelaskan maknanya. Para santri mendengarkan penjelasan gurunya sambil menuliskan arti setiap kata di kitabnya. Ketika belajar mengkaji kitab-kitab agama Islam, santri juga membawa kitabnya. Jadi dalam proses pembelajarannya terjadi aktivitas aktif, tidak pasif. Santri tidak hanya mendengarkan penjelasn gurunya saja, tetapi mereka juga dituntut aktif untuk menuliskan penjelasan gurunya di kitab sendiri. Kemampuan mendengarkan dan menulis sekaligus ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Perlu konsentrasi yang tinggi dan kecepatan yang tinggi dalam menuliskan penjelasan guru di kitab santri.

Aktivitas mengkaji kitab-kitab agama Islam di pondok pesantren (biasanya disebut kitab kuning) merupakan aktivitas yang berkaitan dengan literasi. Santri dituntut mampu membaca, memahami, dan menulis kitab. Aktivitas membaca dan menulis secara aktif tersebut mendorong para santri menjadi terbiasa untuk menulis. Dampaknya adalah banyak para santri yang akhirnya menjadi penulis-penulis yang hebat. Banyak para pemikir dan penulis buku-buku yang ternyata berlatar belakang santri pondok pesantren.

Tradisi literasi di sistem pendidikan pondok pesantren yang telah berlangsung bertahun-tahun sejak berdirinya pondok pesantren di Indonesia telah melahirkan tokoh-tokoh penting pendiri bangsa Indonesia. Para tokoh-tokoh nasional yang berlatar belakang pendidikan pondok pesantren tersebut menampakan kemampuan yang tinggi berkaitan dengan dunia literasi. Para tokoh-tokoh pendiri bangsa Indonesia tersebut umumnya adalah sosok-sosok pembaca ulung dan penulis buku yang produktif. Gagasan-gagasan pemikiran tentang model penyelenggaraan negara Indonesia dapat mudah ditemukan dalam buku-buku karya para pahlawan bangsa Indonesia.

Beberapa tokoh pahlawan nasional yang berlatar belakang santri  adalah:

a.         KH Hasyim Asy'ari: Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang mengeluarkan Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan. 

b.         KH Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah yang berperan penting dalam pendidikan dan gerakan Islam modern. 

c.          Pangeran Diponegoro: Memiliki latar belakang santri yang erat dengan ulama dan pernah belajar di pondok pesantren. 

d.         KH Wahid Hasyim: Putra KH Hasyim Asy'ari, seorang anggota BPUPKI dan PPKI, serta pelopor masuknya ilmu pengetahuan ke dunia pesantren. 

e.          KH Zainal Arifin: Tokoh Hizbullah yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri. 

f.          KH Zainal Mustafa: Penggagas pemberontakan di Singaparna dan Wakil Rais Syuriyah NU. 

g.          KH Noer Ali: Dikenal sebagai simbol keberanian dan perjuangan di Bekasi. 

h.         Agus Salim: Seorang diplomat dan politikus yang juga dikenal sebagai seorang santri yang cerdas. 

i.           Buya Hamka: Seorang ulama dan sastrawan terkemuka dengan pendidikan agama yang mendalam.  (Yulianti, 2025)

 

Peranan Santri di Era Digital

            Perubahan zaman menjadi era digital seperti sekarang ini telah berdampak pada adanya tuntutan dunia pondok pesantren untuk menyesuaikan muatan pendidikannya. Pondok pesantren di era digital ini harus mau mengubah metode dan orientasi system pendidikannya. Para santri selain diajarkan dengan ilmu-ilmu agama Islam melalui mengkaji kitab-kitab agama Islam klasik hasil karya ulama-ulama terdahulu, juga harus dibekali dengan kemampuan dan keterampilan abad 21. Kemampuan dan keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, kreatif, analitis, kolaboratif, dan berkomunikasi harus diajarkan kepada para santri.

            Tantangan ke depan untuk para santri di pondok pesantren adalah bagaimana mereka nantinya dituntut untuk mampu mengimplementasikan pengetahuan ilmu agamanya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Para santri diharapkan mampu membumikan ilmu agama sebagai solusi permasalahan di masyarakat dengan pendekatan yang humanis dan logis. Menjadi tugas bagi para santri untuk mendekatkan masyarakat dengan nilai-nilai religius.

Di zaman ketika kemuliaan nilai-nilai spiritualisme sudah mulai pudar dan ditinggalkan orang-orang era modern ini, maka para santri alumni pondok pesantren diharapkan mampu memberikan kontribusi positifnya dalam menyadarkan masyarakat kepada pentingnya nilai-nilai spiritual dalam mendukung berlangsung kehidupan. Manusia adalah makhluk sempurna yang mengandung komponen jasmani dan rohani. Maka di samping perlu pemenuhan kebutuhan fisik jasmani, manusia juga membutuhkan dipenuhinya kebutuhan psikis rohani, seperti ketenangan, ketenteraman, kedamaian, dll. Melalui strategi dan pendekatan yang tepat yang tidak ada kecenderungan memaksa dan menggurui, maka masyarakat kemungkinan besar bisa tersadarkan kembali untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual.

Di era digital seperti sekarang ini, menuntut para santri juga menyesuaikan dalam memdesain metode dan strategi dakwahnya. Santri era digital juga harus mengambil peran aktif dalam menyediakan konten-konten dakwah yang dapat diterima dan diakses oleh semua kalangan netizen. Konten-konten dakwah yang mengedepankan humanisme dan toleransi dalam beragama perlu diperbanyak. Hal ini agar misi dakwah yang santun, adem, damai, dan menentramkan dapat terlaksana. Para santri diharapkan  mampu menghasilkan karya-karya tulis seputar dakwah Islam yang damai dan menyejukkan yang dapat diakses secara bebas oleh semua orang di berbagai penjuru dunia. []

Referensi:

Kasim, Y. U. (2023, Oktober). Apa Arti Kata Santri? Ternyata Punya Makna yang Luas. https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6995453/apa-arti-kata-santri-ternyata-punya-makna-yang-luas

Nasir, M. F. (2024, Oktober). Memaknai Kata Santri. NU Online. https://jatim.nu.or.id/opini/memaknai-kata-santri-8bBoD

Yulianti, T. E. (2025, Oktober). 10 Santri yang Jadi Pahlawan dan Tokoh Nasional, Dari Pesantren untuk Indonesia. detikjabar. https://www.detik.com/jabar/jabar-gaskeun/d-8171486/10-santri-yang-jadi-pahlawan-dan-tokoh-nasional-dari-pesantren-untuk-indonesia

Postingan Populer