Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2024

RAMADAN SEBAGAI BULAN PENINGKATKAN KUALITAS DIRI

 

RAMADAN SEBAGAI BULAN PENINGKATKAN KUALITAS DIRI

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh kebaikan. Di dalam bulan Ramadan, Allah SWT mengkaruniakan ampunan dan keberkahan. Ibadah dan amalan kebaikan yang dikerjakan di dalam bulan Ramadan akan dibalas oleh Allah SWT dengan pahala kebaikan yang berlipat ganda. Di dalam bulan Ramadan, Allah SWT juga akan mengampuni dosa-dosa orang yang mau mengerjakan puasa Ramadan dengan ikhlas. Demikianlah keyakinan yang diimani oleh umat Islam terkait kemuliaan bulan Ramadan. Oleh karena itu, banyak orang Islam yang mempersiapkan diri dengan berbagai program kegiatan dan aktivitas yang berorientasi spiritual dalam rangka menjemput ampunan dan keberkahan dari-Nya.

Pada tahun ini, penulis tidak memprogramkan aktivitas khusus untuk mengisi bulan Ramadan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, selama bulan Ramadan penulis melakukan amalan ibadah yang bersifat kontinyu, bukan amalan ibadah yang menggebu-gebu yang dikhususkan dilakukan hanya saat bulan Ramadan saja. Hal itu penulis lakukan didasarkan atas hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Allah SWT menyukai amalan yang walaupun sedikit tetapi dilakukan secara istikamah (terus-menerus, kontinyu). Allah SWT tidak menyukai amalan yang banyak tetapi dilakukan hanya sekali. Sebagai contoh amalan kebaikan seperti membaca Al-Qur’an lima ayat setiap hari selama 30 hari itu jauh lebih baik dibandingkan dengan membaca Al-Qur’an 150 ayat tetapi hanya dilakukan satu kali.

Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh misteri. Di bulan Ramadan, Allah SWT memang mendorong umat Islam untuk berlomba-lomba melakukan ibadah dan amal kebaikan dengan menjanjikan balasan pahala kebaikan yang berlipat ganda dan ampunan dosa-dosa serta dijauhkan dari siksa api neraka. Tetapi di balik iming-iming balasan pahala kebaikan yang berlipat ganda dan ampunan dosa-dosa tersebut, Allah SWT justru tidak memberikan penjelasan tentang ibadah dan amalan kebaikan yang bagaimana yang layak mendapatkan balasan pahala kebaikan dari Allah SWT. Allah SWT hanya meberikan rambu-rambu bahwa puasa Ramadan yang dilakukan karena ikhlas lillahi ta’ala akan mendapatkan balasan pahala berlipat ganda. Ditambah dengan Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa tidak semua puasa Ramadan yang dilakukan orang-orang Islam itu dijamin diterima Allah SAW. Rasulullah SAW menyatakan bahwa banyak orang yang menjalankan puasa Ramadan tetapi tidak mendapatkan apa-apa (maksudnya tidak mendapatkan pahala dari Allah SAW) selain rasa lapar dan haus. Hal itu  menunjukkan bahwa amalan bulan Ramadan ini penuh misteri. Oleh karena itu, beragam pendapat dan penafsiran muncul di kalangan umat Islam tentang bagaimana memaknai kemuliaan bulan Ramadan.

Pada kesempatan bulan Ramadan tahun 1445 H ini, penulis mencoba memaknai bulan Ramadan sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas amalan ibadah untuk anak-anak. Pemaknaan penulis ini berangkat dari kondisi kesehatan yang sedang penulis alami. Beberapa hari sebelum masuk bulan Ramadan, penulis harus menjalani tindakan operasi penyakit batu ginjal yang sudah satu tahun ini penulis derita. Sebelumnya penulis sudah beberapa kali menjalani tindakan operasi dan beberapa kali tindakan penghancuran batu ginjal dengan metode ESWL, tetapi ternyata hasilnya belum sepenuhnya berhasil. Hingga akhirnya pada bulan Januari 2024 penyakit batu ginjal penulis kembali kambuh dengan penulis merasakan rasa nyeri di pinggang belakang sebelah kanan. Setelah menjalani tes CT-Scan, dokter merekomendasikan agar penulis kembali menjalani tindakan operasi. Maka awal bulan Maret 2024 kembali penulis menjalani tindakan operasi pengambilan batu ginjal.

Setelah menjalani tindakan operasi batu ginjal, ternyata kondisi kesehatan penulis ngedrop sehingga penulis harus dirawat beberapa hari di RS pasca tindakan operasi. Pada hari keempat pasca tindakan operasi, kondisi kesehatan penulis sudah agak membaik dan lebih stabil sehingga akhirnya dokter membolehkan penulis untuk pulang dan menjalani pengobatan rawat jalan. Ternyata sejak pulang dari rumah sakit, kondisi kesehatan penulis tidak juga segera pulih kembali, tetapi sampai satu minggu lebih kondisi kesehatan penulis belum pulih juga. Hal itu berdampak pada pelaksanaan ibadah selama puasa Ramadan. Minggu pertama bulan Ramadan, penulis belum mampu menjalankan ibadah puasa Ramadan karena kondisi kesehatan penulis yang masih sakit dan juga harus rutin meminum obat dari dokter. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk tidak melaksanakan puasa Ramadan sampai kondisi kesehatan penulis kembali pulih dan mampu untuk berpuasa.

Setelah satu minggu lebih penulis menjalani masa pemulihan kesehatan, Alhamdulillah kondisi kesehatan penulis mengalami peningkatan menjadi lebih baik dan penulis merasa sudah mampu untuk berpuasa Ramadan. Maka ketika memasuki minggu kedua bulan Ramadan, akhirnya penulis bisa ikut melaksanakan puasa Ramadan. Walaupun sudah mampu melaksanakan ibadah puasa Ramadan, kondisi kesehatan penulis belum pulih seratus persen. Hal itu berdampak pada pelaksanaan ibadah lain seperti sholat fardhu dan sholat Tarawih. Untuk sementara waktu, penulis menjalankan ibadah sholat fardhu dengan posisi duduk karena badan penulis belum mampu berdiri lama karena tenaga belum pulih betul dan kepala masih terasa pusing.

Mempertimbangkan kondisi kesehatan penulis yang belum pulih seratus persen tersebut, maka penulis memutuskan melaksanakan ibadah sholat Tarawih di rumah dengan berjamaah bersama keluarga. Karena kondisi badan belum nyaman untuk sholat dengan berdiri, maka penulis melaksanakan ibadah sholat dengan duduk. Dengan situasi yang seperti itu, penulis merasa kurang afdhol  jika imam memimpin sholat dengan duduk sementara makmumnya berdiri. Oleh karena itu, penulis meminta anak pertama untuk menjadi imam sholat Tarawih menggantikan papinya yang belum pulih kesehatannya. Awalnya si kakak (panggilan kami untuk anak pertama) tidak mau karena merasa tidak mampu. Tetapi kami (penulis dan istri) terus memotivasi dan meyakinkan dia bahwa kakak pasti bisa. Akhirnya si kakak bersedia menggantikan papinya menjadi imam sholat Tarawih.

Ramadan tahun ini akhirnya kami menjalankan ibadah sholat Tarawih berjamaah di rumah dengan kakak yang menjadi imamnya, sedangkan penulis, istri, dan putri kecil kami menjadi makmumnya. Penulis dan istri memutuskan agar si kakak berlatih menjadi imam sholat Tarawih agar dia bisa dan terbiasa mengimami sholat Tarawih, sehingga jika sewaktu-waktu ditunjuk untuk menjadi imam sholat Tarawih tidak kaget dan menolak. Jadi Ramadan tahun ini kami jadikan ajang latihan bagi si kakak untuk berani tampil menjadi imam sholat Tarawih, walaupun  masih di lingkup keluarga. Tetapi dengan berani berlatih mengimami sholat Tarawih di lingkungan keluarga, kami berharap suatu saat dia juga akan berani menjadi imam sholat Tarawih ataupun sholat Fardhu jika ditunjuk atau diminta di lingkungan masyarakat.

Di bulan Ramadan tahun ini pula putri kecil kami yang masih duduk di sekolah TK B  mulai berlatih menjalani puasa Ramadan. Awalnya adek (panggilan kami untuk putri kecil kami) ikut berpuasa Ramadan, tapi puasa setengah hari, yaitu saat azan Dhuhur berbuka dan melanjutkan puasa hingga berbuka lagi waktu azan Maghrib. Tetapi yang mengagetkan kami adalah ketika memasuki minggu kedua bulan Ramadan, tiba-tiba adek bilang kalau besok mau puasa sehari penuh. Awalnya kami tidak yakin dengan perkataanya, tetapi ternyata adek benar-benar berpuasa sehari penuh. Walaupun adek belum rutin puasa penuh setiap hari, terkadang puasa penuh dan terkadang puasa setengah hari, tetapi bagi kami, dia telah melatih diri untuk ikut berpuasa Ramadan. Kami sangat bersyukur karena putri kecil kami sekarang sudah mau berpuasa Ramadan dengan keinginannya sendiri.

Demikianlah proses peningkatan kualitas pengamalan ibadah anak-anak kami di bulan Ramadan tahun ini. Bulan Ramadan tahun ini mereka pergunakan sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas diri dalam hal pengamalan ibadah bulan Ramadan. Bulan Ramadan memang seharusnya dimaknai sebagai bulan untuk meningkatkan kualitas diri, baik kualitas dalam pemahaman ilmu, pengamalan ilmu, maupun peningkatan kualitas spiritualitas diri. Melalui pemaknaan Ramadan sebagai bulan peningkatan kualitas diri, maka selama bulan Ramadan diharapkan akan diisi dengan aktivitas-aktivitas yang berorientasi kepada peningkatan kualitas diri sehingga ada harapan selepas bulan Ramadan akan mengalami peningkatan kualitas ilmu, kualitas ibadah, maupun kualitas hidup. Bulan Ramadan seyogyanya tidak hanya dimaknai sekadar bulan berburu pahala karena janji Allah SWT yang akan melipatgandakan amal ibadah dan kebaikan yang dilakukan selama bulan Ramadan, tetapi sebaiknya lebih dimaknai sebagai  bulan peningkatan kualitas diri menuju standar kualitas tinggi sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT, yakni mencapai standar kualitas muttaqin. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Gumpang Baru, 31 Maret 2024

Sabtu, 16 Maret 2024

MEMAKNAI TRADISI BULAN RAMADAN: Refleksi Pengalaman Masa Kecil

 


MEMAKNAI TRADISI BULAN RAMADAN:
Refleksi Pengalaman Masa Kecil

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

 

A. Pendahuluan

 

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa [04]: 9).

Penggalan firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 di atas menjadi sumber inspirasi bagi para orang tua untuk tidak mengabaikan kondisi anak keturunannya. Para orang tua harus mampu menyiapkan anak keturunannya untuk memiliki kompetensi dan keterampilan yang mendukung kehidupan agar kelak anak keturunan mereka mampu hidup dengan normal dan menjalani roda kehidupan dengan baik dan tanpa kendala apapun. Tafsir Al-Muyassar dari Kementerian Agama Saudi Arabia (Anonim, n.d.) menafsirkan ayat tersebut dengan redaksional sebagai berikut. “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggal dan meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang masih kecil-kecil atau lemah, yang mereka takutkan mengalami kezhaliman atau tak terurus, maka hendaknya mereka selalu merasa diawasi oleh Allah dalam memperlakukan orang yang berada di bawah tanggungannya dari anak-anak yatim dan anak-anak lainnya, yaitu dengan cara menjaga harta benda mereka, mendidik mereka dengan baik, dan menyingkirkan segala gangguan dari mereka dan hendaklah berkata kepada mereka dengan ucapan yang sejalan dengan semangat keadilan dan yang baik-baik”.

Salah satu cara menyiapkan keturunan yang tangguh dan berkualitas tinggi adalah memberikan anak pengalaman-pengalaman menjalankan amalan agama yang terejawantahkan dalam wujud tradisi dan budaya kearifan lokal. Pengalaman melakukan amalan-amalan kebaikan di waktu kecil akan menjadi bekal menjadi orang baik ketika mereka dewasa kelak. Mengajarkan anak mengamalkan amalan-amalan kebaikan di masa kecil merupakan bagian dari pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang memang seyogyanya dimulai ketika anak masih kecil.


B.  Urgensi Pendidikan Akhlak (Karakter) untuk Anak Kecil

Pendidikan akhlak sebaiknya diberikan kepada anak sejak kecil, karena usia yang masih dini, anak akan mudah dibimbing dan diajarkan perbuatan-perbuatan yang baik, sehingga ketika sudah dewasa, perbuatan baik tersebut akan melekat dan menjadi kebiasaan anak tersebut. Memberikan pendidikan kepada anak sejak dini, sudah dicontohkan oleh Luqman al-Hakim yang kisahnya diabadikan dalam surah Luqman, memberikan nasihat-nasihat kepada anaknya, seperti: melarang mempersekutukan Allah, harus berbakti kepada kedua orang tua, perintah mendirikan sholat, berbuat kebaikan, menjauhi kemungkaran, tidak boleh berbuat sombong dan sabar dalam menghadapi persoalan (Pradana, 2023).

Masa kecil memang masa-masa yang menyenangkan. Dunia anak kecil merupakan dunia yang isinya hanyalah bersenang-senang, bergembira, dan bermain. Anak kecil belum memahami berbagai permasalahan kehidupan. Anak kecil tahunya dunianya adalah dunia yang penuh kesenangan dan kegembiraan. Mereka tidak memiliki pikiran negatif terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Apapun yang mereka lakukan adalah untuk bersenang-senang dan bergembira.

            Dalam hal proses belajar, anak-anak juga tidak memahami apa itu belajar. Yang mereka tahu adalah mereka mengeksplorasi potensi diri dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Anak-anak hanyalah makhluk Tuhan yang menjalankan fitrah kehidupannya melalui tahap-tahap perkembangannya. Mereka menjalani proses kehidupan dan berproses menjadi lebih kompeten hanya berdasarkan garis hidup (blueprint) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Proses belajar anak-anak adalah mengikuti karakteristik dunia mereka, yaitu dunia yang penuh permainan dan kegembiraan. Oleh karena itu, belajarnya anak-anak adalah melalui bermain. Permainan dan apapun yang dilakukan anak-anak pada hakikatnya adalah proses mereka belajar mengenali potensi diri dan menempa dirinya untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kompeten dalam menjalani kehidupan nantinya.

Apa yang dilakukan di masa kecil akan menjadi kenangan indah ketika dewasa. Semua yang dilihat, dilakukan, dan dipelajari di masa kecil akan menjadi investasi berharga ketika dewasa. Masa kecil bagaikan sebuah memory hardisk yang menyimpan semua data masa kecil yang dapat diputar ulang ketika dewasa. Masa kecil adalah masa-masa yang tepat untuk menyimpan sebanyak-banyaknya memori indah dan memori proses belajar yang nantinya ketika dewasa dapat di panggil kembali untuk dimanfaatkan.

Mengajarkan akhlak atau karakter-karakter yang baik kepada anak kecil dengan mengenalkan, melatihkan, dan membiasakan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang mengandung nilai pendidikan karakter baik merupakan investasi sangat berharga bagi kehidupan mereka nanti ketika dewasa. Semua sikap dan perilaku kebaikan yang sudah terbiasa mereka lakukan hingga mendarah daging dan menyatu dalam diri menjadi jati diri mereka akan menuntut dan mengarahkan jiwa mereka menjadi orang-orang yang berjiwa dan berakhlak baik.


C.  Memaknai Tradisi-Tradisi di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan menyimpan banyak kenangan di waktu kecil. Banyak tradisi bulan Ramadan yang penulis alami sewaktu kecil. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan merupakan wujud akulturasi dari pemaknaan kemuliaan bulan Ramadan yang dikemas dalam bingkai kearifan budaya lokal. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan- bulan yang penuh kemuliaan- diciptakan oleh orang-orang tua arif bijaksana di zaman dahulu untuk menghormati dan memuliakan datangnya bulan Ramadan maupun mengisi keagungan bulan Ramadan yang penuh maghfirah dengan amalan-amalan yang baik.

Tradisi-tradisi menjelang dan selama bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil memberikan bekas ingatan yang mendalam. Setiap kali mengingat kembali pengalaman menjalani tradisi bulan Ramadan di waktu kecil, penulis merasakan kebahagiaan dan muncul rasa syukur karena pernah menjalani pengalaman-pengalaman indah dan menyenangkan tersebut. Dulu sewaktu kecil penulis tidak memikirkan mengapa masyarakat melakukan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut dan apa manfaatnya. Tetapi setelah penulis dewasa dan pemahaman ilmu agama penulis semakin mendalam, penulis dapat menangkap pesan-pesan kebaikan yang tersirat dalam kegiatan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut.

Memang setelah dewasa, penulis tidak lagi melaksanakan semua tradisi bulan Ramadan yang dulu pernah penulis lakukan di masa kecil. Tetapi sebagian dari tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut tetap penulis lakukan hingga sekarang. Beberapa tradisi bulan Ramadan yang penulis tidak lakukan lagi tersebut bukan karena tradisi tersebut salah atau bertentangan dengan ajaran agama Islam yang penulis pahami. Tetapi penulis lebih memilih mengambil hikmah yang terkandung dari tradisi bulan Ramadan tersebut dan mengerjakannnya dalam wujud amalan yang berbeda tetapi bertujuan sama. Penulis tidak ingin terjebak dalam aktivitas kulitnya tetapi penulis ingin mengambil inti sari dari tujuan dan manfaat dari tradisi bulan Ramadan tersebut.

Orang-orang zaman sekarang akan memunculkan tradisi dan budaya baru yang lebih relevan dengan pola dan kondisi kehidupan zaman sekarang. Tradisi dan budaya baru yang tercipta di masyarakat zaman sekarang merupakan perwujudan dari upaya orang-orang zaman sekarang dalam mengaktualisikan pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Jadi penulis bersikap moderat terhadap keberadaan tradisi dan budaya warisan orang-orang zaman dahulu, yakni tidak menolak dan tidak menerima seratus persen, tetapi lebih bersikap selektif dan mengutamakan tujuan hakikat dari diadakannya tradisi dan budaya tersebut. Tradisi dan budaya yang masih relevan dengan perikehidupan zaman sekarang perlu tetap dilestarikan, tetapi tradisi dan budaya yang sudah tidak relevan dengan kehidupan sekarang dan bahkan mungkin bisa menimbulkan kemadharatan, maka perlu ditingalkan dengan diganti dengan tradisi dan budaya baru yang lebih baik dan bermanfaat.


D.   Tradisi-Tradisi Bulan Ramadan di Masa Kecil

            Pengalaman-pengalaman di masa kecil sangat bermanfaat ketika dewasa. Pengalaman berpuasa Ramadan di masa kecil ternyata menyimpan banyak hikmah yang patut direnungkan. Hikmah-hikmah pengalaman menjalankan puasa Ramadan di masa kecil dapat dimanfaatkan untuk bahan refleksi diri kita ketika menjalani proses kehidupan ini. Beberapa pengalaman menarik di masa kecil penulis yang penulis ingat ketika datang bulan Ramadan adalah sebagai berikut.

1.  Padusan

Mengutip dari buku Manunggaling Islam Jawa karya Rojikin, dijelaskan bahwa Padusan adalah bersuci dari hadas kecil maupun besar. Secara umum, makna dari Padusan adalah sebuah tradisi sebagai titik awal untuk memulai amalan-amalan di bulan suci Ramadhan. Lebih lanjut disampaikan melalui laman resmi Visit Jawa Tengah, bahwa Padusan merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan (Milagsita, 2024).

Penulis waktu kecil melakukan tradisi Padusan ini dengan mandi bersama teman-teman di sungai dekat Waduk Cengklik. Waktu itu mandi bersama teman-teman masa kecil begitu menyenangkan. Terlebih airnya jernih karena berasal langsung dari Waduk Cengklik sehingga terasa sangat segar dan suasana penuh kegembiraan. Ada juga sebagian masyarakat yang melakukan padusan ke beberapa tempat pemandian umum seperti umbul Tlatar dan umbul Pengging.

Saat ini, penulis sudah tidak melakukan tradisi Padusan tersebut. Menurut pemikiran penulis, tradisi Padusan merupakan simbol penyucian diri (jasmani dan rohani) orang-orang zaman dulu untuk menyambut datangnya bulan yang mulia yaitu bulan Ramadan. Mereka mewujudkan aktivitas penyucian diri dengan mandi bersama yang disebut Padusan. Jadi hakikat dari tradisi Padusan adalah penyiapan jiwa yang suci (menyucikan jiwa) untuk menyambut bulan Ramadan. Penulis berpendapat bahwa kegiatan penyucian jiwa dalam tradisi Padusan tersebut dapat diganti dan diwujudkan dengan membersihkan niat di hati dan pikiran untuk menyambut datangnya bulan Ramadan.

Puasa Ramadan adalah ibadah yang sangat berkaitan dengan sisi rohani, maka menyiapkan rohani yang bersih dan suci dengan membersihkan niat melaksanakan puasa Ramadan adalah lebih urgen dan relevan untuk zaman sekarang. Tradisi mandi bersama di tempat pemandian umum walaupun bertujuan baik untuk menyambut datangnya bulan Ramadan, tetapi juga bisa menimbulkan kemadharatan karena terbuka aurat yang bisa dilihat orang banyak dan hal ini bisa menimbulkan efek negatif. Mungkin kegiatan mandi bersama di tempat umum pada zaman dulu tidak menimbulkan masalah, tetapi di zaman sekarang dimana terjadi degradasi moral dan pergeseran tentang pandangan batasan nilai kesopanan dalam berpakaian, maka tradisi mandi bersama (Padusan) menurut pendapat penulis sudah tidak relevan lagi.

2. Sadranan atau Nyadran.

Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah tradisi nyadran.  Masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menjalankan tradisi nyadran untuk menyambut bulan Ramadan. Istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata “sraddha” yang artinya  keyakinan.  Tradisi ini merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang atau yang dikenal dengan animisme.  Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa melalui wali songo, tradisi yang ada tidak dihilangkan namun justru menjadi alat untuk menyebarkan Islam.  Seiring masuknya Islam, tradisi sraddha mengalami perubahan.  Sebelum Islam, sraddha dilakukan untuk memperoleh berkah. Pada perkembangannya, tradisi ini menjadi  wujud rasa syukur atas anugerah Allah SWT kepada  warga.  Setelah pengaruh Islam digunakan kata nyadran.  Jadi nyadran adalah hasil dari akulturasi budaya Jawa dan Islam (Anggraini, 2023).

Di kampung penulis dulu, sadranan atau nyadran dilakukan dengan cara membersihakan makam orang tua dan leluhur dan dilanjutkan acara pengajian (pemberian tausiah) dan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat atau kyai. Setelah rangkain acara sadranan selesai, kemudian  diakhiri dengan pembagian makanan atau makan bersama. Makanan yang biasa disajikan adalah nasi penak (nasi dan lauk pauk yang dibungkus daun pisang). Nasi penak tersebut dikumpulkan dari sedekah warga kampong sendiri. Makan nasi penak bersama-sama warga kampong merupakan pengalaman yang indah dan menyenangkan karena disitu terlihat rasa kebersamaan dan kerukunan masyarakat. Juga bagi penulis pribadi, bisa makan nasi penak merupakan kemewahan tersendiri karena nasi penak biasanya berisi lauk pauk yang enak-enak.

Sekarang penulis sudah tidak pernah ikut acara sadranan di kampung karena penulis sudah pindah rumah. Juga karena kedua orang tua penulis juga sudah pindah rumah ke kampung lain sehingga penulis sudah terputus hubungan silaturahmi dengan warga kampung masa kecil penulis yang sudah puluhan tahun penulis tinggalkan. Sedangkan di daerah tempat tinggal penulis sendiri yang berada di kawasan perumahan tidak ada tradisi sadranan setiap menjelang datang bulan Ramadan. Kegiatan sadranan biasanya penulis gantikan dengan acara nyekar atau ziarah ke makam kedua orang tua penulis untuk mendoakan beliau berdua. Hal itu dikarenakan penulis berpendapat bahwa inti dari kegiatan sadranan sebenarnya adalah mendoakan orang tua dan leluhur yang telah meninggal. Jadi walaupun tidak ada kegiatan sadranan di wilayah perumahan, penulis tetap bisa melakukan kegiatan sadranan dalam bentuk lain yaitu melakukan  kegiatan nyekar atau ziarah kubur bersama keluarga ke makam kedua orang tua.

3.  Membersihkan masjid/mushalla dan mencuci karpet/tikar masjid/mushalla

Menjelang datangnya bulan Ramadan, dulu waktu di kampung biasanya pengurus remaja masjid mengadakan kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla dengan menyapu dan mengepel lantai masjid/mushalla. Di samping itu juga mencuci karpet atau tikar masjid/mushalla ke sungai dekat Waduk Cengklik. Kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla merupakan pengalaman masa kecil yang sangat menyenangkan. Anak-anak menyambut kedatangan bulan Ramadan dengan penuh gembira.

Tradisi memberishkan masjid/mushalla sampai sekarang masih dilakukan di banyak masjid/mushalla. Karena mendatangkan manfaat bagi kebersamaan, kerukunan dan kepedulian umat, maka penulis berpendapat tradisi bersih-bersih masjid ini masih perlu dilestarikan.

4.  Tadarus Al-Qur’an

Kegiatan Tadarus Al-Qur’an merupakan kegiatan rutin yang dulu penulis lakukan setiap bulan Ramadan. Dulu sering dipercaya bapak Kyai untuk mendampingi anak-anak kecil membaca Al-Qur’an (Tadarus Al-Qur’an) setiap bakda shalat Tarawih di mushalla. Hadiah dari melaksanakan dawuh kyai tersebut adalah mendapat hadiah sarung dari Kyai. Waktu itu penulis merasa senang dan bahagia sekali mendapat hadiah sarung baru dari Kyai. Penulis merasa mendapatkan keberkahan tersendiri ketika mendapat hadiah sarung baru tersebut. Mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi anak-anak kecil mengaji (Tadarus Al-Qur’an) saja sudah merasa sangat beruntung, apalagi ditambah mendapatkan hadiah sarung baru dari Kyai. Pengalaman tersebut sangat membekas dalam memori ingatan penulis saat ini. Sepertinya ingin mengulang kembali pengalaman-pengalaman masa kecil yang sangat indah tersebut.

Tardisi Tadarus Al-Qur’an ini penulis lanjutkan sampai sekarang. Tetapi penulis tidak mengkhususkan Tadarus Al-Qur’an (membaca Al-Qur’an) hanya saat bulan Ramadan saja, melainkan membaca Al-Qur’an setiap hari. Penulis membiasakan seluruh anggota keluarga untuk membaca Al-Qur’an secara rutin setiap bakda Shalat Maghrib. Menurut penulis, mengkhususkan membaca Al-Qur’an dan bahkan mengkhatamkan membaca Al-Qur’an 30 Juz hanya di bulan Ramadana adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah rutin membaca Al-Qur’an setiap hari. Hal ini sesuai hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Allah SWT suka amalan yang sedikit yang istikamah (terus-menerus dilakukan) dibandingkan amalan besar tapi kemudian berhenti. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim).

Penting bagi seorang muslim untuk untuk melakukan sebuah amalan kebaikan secara istiqomah atau kontiyu. Kualitas amalan seseorang tidak hanya dilihat dari sebuah kecil atau besarnya amalan, akan tetapi dilihat dari kesinambungannya. Karena amal baik akan melahirkan amal baik berikutnya. Amalan yang besar namun berhenti di tengah jalan tak lebih baik dari amalan kecil namun berlangsung terus-menerus. Amalan yang sedikit tetapi istiqamah akan mencegah seseorang beramal pada titik jenuh. Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun rutin, maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada (Yudi, 2022).

5.  Pengajian anak-anak

Dulu di kampung penulis, di setiap bulan Ramadan ada tradisi kegiatan pengajian anak-anak yang dikoordinasi oleh pengurus remaja masjid yang dilaksanakan setiap bakda shalat Ashar hingga masuk waktu buka puasa. Waktu penulis penulis masih kecil, penulis rutin mengikuti acara pengajian anak-anak tersebut dan hal yang menyenangkan yang ditunggu-tunggu adalah mendapat makana takjil buka puasa bersama. Walaupun menu takjil buka puasa hanya minum the manis dan makanan snack ringan, tetapi saat itu pengalaman yang begitu menyenangkan.

            Ketika penulis sudah remaja dan menjadi pengurus remaja masjid, gantian penulis terlibat dalam memberikan materi pengajian ke anak-anak. Materi pengajian anak-anak meliputi materi pesholatan (bacaan sholat), doa-doa, dan surat-surat pendek. Waktu itu penulis merasa senang sekali dan bersemangat bisa mengajari anak-anak kecil belajar materi pesholatan, doa-doa, dan hafalan surat-surat pendek. Sebuah pengalaman masa kecil yang begitu indah dan membahagiakan.

6.   Shalat Tarawih

Sholat Tarawih merupakan ibadah yang rutin dilakukan saat bulan Ramadan. Saat penulis masih kecil, penulis melaksanakan ibadah sholat Tarawih di musholla dekat rumah yang diimami langsung oleh bapak Kyai. Ketika masih kecil, penulis didampingi ayah dalam melaksanakan sholat Tarawih. Di mushlla kampong penulis, sholat Tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rekaat, yaitu 20 rekaat sholat Tarawih dan 3 rekaat sholat Witir. Setelah penulis menginjak remaja, penulis ikut sholat Tarawih sendiri. Sejak kecil penulis berusaha bisa mengikuti shalat Tarawih sebanyak 23 rekaat tanpa bolong-bolong.

7.  Khataman Al-Qur’an

Setiap bakda shalat Tarawih dilanjutkan kegiatan Tadarus Al-Qur’an. Ketika kegiatan membaca Al-Qur’an (Tadarus Al-Qur’an) sudah khatam sampai juz 30, maka diadakan acara Khataman Al-Qur’an. Pada keegiatan Khataman Al-Qur’an tersebut diisi cara semakan bacaan hafalan Al-Qur’an Juz 30 yang dibacakan oleh salah satu santri binaan Kyai dan disemak oleh beberapa orang dewasa. Kemudian dilanjutkan acara pemberian tausiyah atau pemberian nasihat agama. Dulu penulis pernah ditunjuk Kyai untuk memberikan tausiyah agama kepada jamaah sholat Tarawih. Itu adalah pengalaman yang sangat berharga bagi penulis pribadi karena diberikan kepercayaan dan kehormatan oleh bapak Kyai untuk menyampaikan materi pengajian kepada para jamaah di musholla. Kegiatan Khataman Al-Qur’an di akhiri dengan pembacaan doa bersama yang langsung dipimpin oleh Kyai dan ditutup dengan makan nasi penak bersama-sama.

Demikianlah beberapa tradisi bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil hidup di kampong. Di antara beberapa tradisi Ramadan tersebut, masih ada yang penulis lakukan hingga sekarang dan ada juga yang sudah tidak penulis lakukan lagi. Beberapa tradisi yang sudah tidak penulis lakukan lagi bukan karena menganggap salah atau menolak tradisi warisan leluhur tetapi penulis lebih mempertimbangkan pada aspek relevansinya dengan kondisi kehidupan zaman sekarang.

Terkait beberapa amalan tradisi Ramadan yang penulis tinggalkan atau tidak penulis lakukan lagi disebabkan beberapa faktor antara lain perubahan pemahaman penulis terhadap tujuan dari tradisi Ramadan tersebut maupun tingkat relevansinya saat ini. Penulis bukan tipe orang yang anti budaya atau tradisi lokal, tetapi penulis memiliki pemikiran bahwa budaya dan tradisi masyarakat merupakan wujud upaya orang zaman dahulu dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran kebaikan agama. Seiring terjadinya pergeseran dan peningkatan pemahaman ilmu agama orang-orang zaman sekarang, maka wajar jika terjadi re-evaluasi terhadap relevansi tradisi dan budaya di masyarakat.


E. Penutup: Re-evaluasi dan Re-formating Tradisi Ramadan

Demikian cuplikan kecil sebagian pengalaman masa kecil penulis dalam menjalani beberapa tradisi bulan Ramadan dan bagaimana pandangan penulis saat ini terhadap tradisi peninggalan orang zaman dulu. Penulis berpandangan bahwa tidak semua tradisi dan budaya peninggalan orang zaman dulu itu salah atau tidak relevan dengan kehidupan sekarang. Tetap ada beberapa tradisi dan budaya masyarakat yang masih relevan dan perlu dilestarikan dengan disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Sikap yang bijaksana terhadap tradisi dan budaya masa lalu adalah bukan menolak melainkan melakukan re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya masyarakat tersebut disesuaikan dengan konteks dan kondisi zaman sekarang.

Langkah utama dalam proses re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya zaman dulu adalah menemukan inti sari dari pesan-pesam tersirat dalam tradisi dan budaya tersebut dan membuatkan format bari atau tradisi dan budaya baru yang mengandung intisari pesan tersirat terbut. Dapat dianalogikan dengan ungkapan “memindakan ruh tradisi dan budaya zaman dulu ke dalam tubuh tradisi dan budaya zaman sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

 

Gumpang Baru, 17 Maret 2024

 


Referensi

Anggraini, F. (2023, March 30). Mengenal Nyadran, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan. Retrieved March 17, 2024, from Kementerian Keuangan Republik Indonesia website: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/16021/Mengenal-Nyadran-Tradisi-Menyambut-Bulan-Ramadan.html

Anonim. (n.d.). Surat An-Nisa Ayat 9 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir. Retrieved March 17, 2024, from TafsirWeb website: https://tafsirweb.com/1541-surat-an-nisa-ayat-9.html

Milagsita, A. (2024, March 9). Apa Itu Padusan? Tradisi Masyarakat Jawa Menyucikan Diri Jelang Ramadhan. Retrieved March 17, 2024, from Detikjateng website: https://www.detik.com/jateng/budaya/d-7233413/apa-itu-padusan-tradisi-masyarakat-jawa-menyucikan-diri-jelang-ramadhan

Pradana, E. F. (2023, Agustus). Pentingnya Pendidikan Akhlak pada Anak Sejak Dini. Retrieved March 17, 2024, from https://fsyariah.uinkhas.ac.id/berita/detail/pentingnya-pendidikan-akhlak-pada-anak-sejak-dini

Yudi. (2022, May 30). Pentingnya Amalan Secara Istiqomah. Retrieved March 17, 2024, from Pondok Pesantren Daarut Tauhiid website: https://www.daaruttauhiid.org/pentingnya-amalan-secara-istiqomah/

 

Kamis, 29 Februari 2024

MENGAJARKAN ANAK PUASA RAMADAN


 MENGAJARKAN ANAK PUASA RAMADAN

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 Islam adalah agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam atau lingkungan. Ketiga jenis relasi (hubungan) tersebut menjadi karakteristik dari dimensi ibadah dalam agama Islam. Salah satu jenis ibadah yang berdimensi ketiga relasi tersebut adalah puasa Ramadan. Puasa Ramadan selain berorientasi kepada ketuhanan (transenden), juga berkaitan dengan interaksi sosial dan interaksi dengan alam. Puasa Ramadan mengajarkan umat Islam untuk bagaimana menjadi sosok manusia yang berkepribadian muttaqin (manusia bertakwa).

Bulan Ramadan adalah bulan yang istimewa. Keistimewaannya bukan hanya karena  bulan diturunkannya kitab suci Al-Qur’an hingga terdapatnya malam Lailatul Qadar. Tetapi, di bulan Ramadan juga terdapat ibadah yang diwajibkan untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Islam, yaitu berpuasa. Karena keistimewaan inilah maka bulan Ramadan diyakini sebagai bulan yang penuh kemuliaan. Setiap datang bulan Ramadan, umat Islam di berbagai belahan dunia menyambutnya dengan gembira dan penuh harapan, yaitu harapan mendapatkan kebaikan  bulan Ramadan berupa ampunan dari Allah SWT dan dijauhkan dari siksa api neraka (Saputro, 2023).

Ibadah puasa Ramadan bersifat wajib (fardhu ‘ain)  bagi setiap muslim dan muslimat yang sudah baligh. Oleh karena itu, setiap anak Islam sejak kecil harus diajarkan untuk mengerjakan puasa Ramadan. Dasar kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadan adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183)


Puasa Ramadan memang kewajiban bagi setiap orang Islam. Menjalankan ibadah puasa Ramadan adalah sebuah keharusan bagi setiap orang Islam yang sudah baligh tanpa terkecuali. Walaupun ada beberapa orang yang diperbolehkan secara syariat untuk tidak berpuasa karena kondisi tertentu, tetapi pada hakikatnya keringanan tersebut tidak menghilangkan kewajibannya untuk berpuasa karena ia tetap harus mengganti puasa yang ditinggalkannya di waktu lain dan dengan cara lain. Jika kita berpuasa hanya sekadar untuk menjalankan kewajiban, maka nilai puasa kita hanya sebatas penggugur kewajiban. Puasa yang seperti itu tidak akan memiliki nilai plus. Puasa dengan niat sekadar menjalankan kewajiban tidak akan berdampak apa-apa, hanya sekadar telah terpenuhi kewajibannya. Berbeda halnya dengan jika kita berpuasa selain untuk menjalankan kewajiban juga untuk memperoleh hikmah di balik rasa lapar yang kita rasakan ketika berpuasa (Saputro, 2023).

Puasa Ramadan harus diajarkan kepada anak-anak sejak kecil agar mereka terbiasa menjalankan puasa wajib di bulan Ramadan. Melatihkan anak-anak kecil untuk mau berpuasa tidaklah mudah karena puasa itu berat bagi anak-anak. Puasa itu menahan untuk tidak makan dan minum seharian yang pastinya menimbulkan perut lapar dan haus serta badan lemas kehilangan energi. Anak-anak yang biasanya makan setiap saat pasti akan merasa keberatan jika harus merasakan rasa lapar. Oleh karena itu, ibadah puasa harus dilatihkan ke anak-anak sejak masih kecil agar mereka menjadi terbiasa menahan rasa lapar dan haus ketika berpuasa.

Dunia anak-anak adalah dunia kegembiraan dan menyenangkan. Anak-anak itu tahunya hidup itu isinya bermain, bernyanyi, bersenang-senang, dan bergembira. Oleh karena itu, untuk mengajarkan, mengenalkan, dan melatihkan agar anak-anak mau berpuasa Ramadan, maka orang tua harus mampu menyampaikan ke anak-anak bahwa puasa Ramadan itu menyenangkan. Apa yang disukai anak-anak? Jawabannya adalah hadiah dan makanan enak. Dua hal inilah yang dapat dipergunakan oleh orang tua sebagai pendekatan alternatif untuk membujuk dan mengajak anak-anak agar mau berlatih berpuasa Ramadan. Orang tua bisa menyampaikan ke anak-anak bahwa jika mereka mampu berpuasa tidak  makan dan minum sejak sahur hingga Dhuhur (tahap awal belajar berpuasa) akan diberikan hadiah dan ketika Maghrib akan berbuka dengan makanan yang enak-enak.

Apakah membujuk anak-anak berpuasa Ramadann dengan strategi memberikan iming-iming hadiah dan makanan enak bisa diperbolehkan? Jawaban penulis adalah boleh karena dunia anak-anak memang dunia yang menyenangkan. Maka mengajarkan ibadah pun juga harus disampaikan dengan cara yang menyenangkan. Tetapi yang perlu dipahami bahwa strategi pemberian iming-iming hadiah dan makanan enak ini hanyalah pendekatan awal saja untuk menyesuaikan dengan karakteristik anak-anak, bukan strategi mutlak.

Jika anak-anak sudah remaja, maka strateginya bisa diubah dengan pendekatan mengajak anak berpikir. Jadi strategi pemberian iming-iming hadiah dan makanan enak bukan berarti mengajarkan anak-anak berjiwa materalistik dan tidak ikhlas. Mengajarkan keikhlasan dalam beribadah ke anak-anak itu harus tetap dilakukan setiap orang tua. Tetapi keikhlasan itu akan dapat terwujud ketika amalan sudah menjadi kebiasaan (habit). Atas dasar berpikir demikianlah, strategi pemberian iming-iming hadiah dan makanan enak ke anak-anak adalah bagian dari strategi untuk melatih anak-anak terbiasa mengerjakan ibadah puasa Ramadan.

Puasa walaupun mengakibatkan rasa lapar dan kehausan akan mampu membuahkan kesabaran bagi yang melakukannya, dengan syarat puasanya ikhlas lillahi ta’ala semata-mata mengharapkan rida Allah SWT Puasa yang dilakukan bukan dengan ikhlas dan bukan untuk mengharapkan rida Allah SWT pasti tidak akan membuahkan kesabaran. Puasa itu untuk Allah SWT, maka Allah lah yang akan memberikan balasannya kepada orang yang berpuasa. Apa balasan yang akan diterima oleh para hamba ahli puasa adalah rahasia Allah SWT Tetapi dengan ber-husnudhan, Allah SWT pasti akan memberikan hikmah-hikmah kebaikan untuk kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat kelak. Orang yang mampu menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan ikhlas akan mendapat keistimewaan tersendiri dari Allah SWT (Saputro, 2023).

Pada bulan Ramadan, diyakini setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahala kebaikannya. Setiap ibadah puasa di bulan Ramadan bernilai 10 pahala dan di bulan Ramadan setiap pahala dilipatgandakan oleh Allah SWT menjadi tak terbatas. Bulan Ramadan adalah bulan pelipatgandaan pahala. Setiap ibadah, pahalanya tak terbatas. Di bulan Ramadan, dilipatgandakan oleh Allah menjadi tak terbatas. Pahala puasa dinilai langsung oleh Allah SWT (Nurdiarsih, 2022).

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengajarkan puasa Ramadan kepada anak-anak yang masih kecil harus menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik dunia anak-anak, yaitu metode yang menyenangkan dan menarik. Karena dunia anak-anak adalah dunia yang penuh dengan keceriaan dan kegembiraan, maka metode dakwah yang cocok untuk mengajarkan anak-anak agar mau menjalankan Ibadah puasa Ramadan adalah dengan pemberian iming-iming hadiah (reward) dan makanan yang enak-anak saat berbuka puasa. Nanti ketika anak-anak sudah menginjak dewasa, metode dakwahnya diubah ke arah penggunaan rasional dan pemikiran karena orang dewasa sudah mampu berpikir terkait apa manfaat kebaikan dari ibadah puasa Ramadan.

Mengajarkan ibadah-ibadah wajib seperti ibadah puasa Ramadan kepada anak-anak merupakan kewajiban setiap orang tua yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap orang tua harus tegas dalam mengajarkan mana ajaran agama yang wajib dan mana yang sunnah. Tetapi ketegasan dalam mendakwahkan ajaran agama Islam kepada anak-anak harus dilakukan dengan penuh kelembutan dan suasana yang menyenangkan. Hal itu karena dunai anak-anak adalah dunia yang penuh kesenangan. Menjadi tugas setiap orang tua untuk mampu mendisain metode dakwah yang menyenangkan untuk mengajarkan ajaran agama Islam kepada anak-anaknya. Semoga kita para orang tua dimudahkan dan dimampukan untuk mengajak anak-anak kita mengenali fitrah kehidupannya sehingga mereka dapat mengenali Tuhannya dan menjalankan perintah-perintah-Nya. Amin. []

           

Gumpang Baru, 29 Februari 2024

 

Sumber Bacaan:

Nurdiarsih, F. (2022, April 10). Tiga Keistimewaan Bulan Ramadhan, Berlimpah Pahala hingga Ampunan. liputan6.com. https://www.liputan6.com/islami/read/4934476/tiga-keistimewaan-bulan-ramadhan-berlimpah-pahala-hingga-ampunan

Saputro, A. N. C. (2023). Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa: Mencari Mutiara Hikmah Dibalik Kemuliaan Bulan Ramadan. KBM Indonesia.

Kamis, 01 Februari 2024

LUPA SHOLAT SUNNAH

 


LUPA SHOLAT SUNNAH

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Di dalam keluarga kami, sholat menjadi aktivitas yang menjadi pondasi kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, sejak kecil anak-anak sudah kami ajarkan untuk mengerjakan sholat. Pola pendidikan agama yang kami terapkan adalah melalui pemberian contoh nyata dalam tindakan (keteladanan). 


Kami mengajarkan sholat ke anak-anak dengan diawali dengan mengajak anak-anak terlibat dalam aktivitas sholat, yaitu membiasakan mereka melihat orang tuanya sholat. Dengan secara rutin setiap hari melihat orang tuanya mengerjakan sholat, maka sifat alami anak-anak yang senang mengimitasi apa yang dilihatnya akan membuat mereka juga akan melakukannya. 


Anak pertama kami dulu sudah mau rutin mengerjakan sholat fardhu sebelum masuk sekolah TK. Hal itu karena sejak kecil kami mengenalkan ke dia kebiasaan orang tuanya mengerjakan sholat fardhu. Sebelum kami mengajarkan sholat ke dia, terlebih dahulu kami mengenalkan sholat ke dia dengan cara selalu mengusahakan dia melihat orang tuanya sholat. 


Metode yang sama juga kami terapkan untuk putri kecil kami. Dia juga mau rutin ikut sholat fardhu sebelum masuk sekolah TK. Setelah sekolah TK dan mendapat pelajaran tentang sholat di sekolah, putri kecil kami semakin semangat dalam mengerjakan sholat fardhu. Alhamdulillah dia bisa mengerjakan sholat fardhu lima waktu setiap harinya. 


Selain mengajarkan sholat fardhu kepada putra putri kami, kami juga mengajarkan anak-anak kami untuk mengerjakan sholat sunnah rawatib. Untuk mengajarkan sholat sunahunnah rawatib ke anak-anak, kami juga menggunakan metode keteladanan melalui pemberian contoh tindakan nyata dan pembiasaan. 


Sholat sunnah yang rutin kami ajarkan dan biasakan untuk dikerjakan anak-anak adalah sholat sunnah bakda Maghrib, sholat sunnah bakda Isya', sholat witir, dan sholat sunnah bakda Dhuhur. Di manapun kami berada, setelah selesai mengerjakan sholat fardhu, kami dan anak-anak berusaha untuk mengakhiri aktivitas ibadah dengan mengerjakan sholat sunnah. Kebiasaan mengerjakan sholat sunnah secara rutin dan konsisten tersebut menjadikan aktivitas ibadah sholat fardhu terasa kurang ketika belum diikuti dengan sholat sunnah. 


Ada satu kejadian lucu yang dilakukan oleh putri kecil kami beberapa hari yang lalu tapi menyentuh hati kami. Sepulang dari bepergian, saya dan si kecil mengerjakan sholat dhuhur. Selesai sholat, seperti biasanya kami membaca dzikir dan berdoa, baru kemudian mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur. Saya kurang memperhatikan si kecil di belakang, tapi saya hanya agak heran kok tumben dia sudah melepas mukenanya ketika saya mau berdiri untuk mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur. Saya berpikiran mungkin dia sudah mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur ketika saya sedang berdzikir.


Ketika saya baru saja selesai mengerjakan sholat sunah bakda Dhuhur, tiba-tiba si kecil masuk kembali ke ruang mushola dan berkata, "Papi, adek lupa belum sholat dua rakaat lagi". Saya jawab, "Oh ya, kalau begitu adek pakai mukenanya lagi dan sholat dua rakaat ya". Si kecil menjawab, "Iya, tapi papi jangan pergi dulu ya". Akhirnya saya tetap berada di ruang mushola menunggu si kecil selesai mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur sebanyak dua rakaat. 


Melihat perilaku si kecil tersebut, saya sangat bahagia dan bersyukur sekali karena putri kecil kami telah terbiasa mengerjakan shalat fardhu dan sholat sunah. Dia mengerjakan ibadah sholat dengan senang dan tidak merasa berat melakukannya. Dua teringat belum mengerjakan sholat sunah bakda Dhuhur menunjukkan bahwa aktivitas ibadah sholat telah menjiwai dirinya. Semoga si kecil hatinya selalu tertambat untuk mengerjakan ibadah sholat dan bisa istikamah selamanya. Amin. []


Ruang Tunggu RS UNS, 29 Januari 2024

Rabu, 31 Januari 2024

KEADILAN TUHAN DAN SEMANGAT BEKERJA

 


KEADILAN TUHAN DAN SEMANGAT BEKERJA

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro


Beberapa waktu yang lalu ketika kami sekeluarga sedang akan pergi, di perjalanan kami melihat seorang ibu mengendarai sepeda dengan membawa bronjong yang berisi barang-barang rongsokan. Ibu tersebut berhenti tepat di depan kami sehingga kami bisa melihat dengan jelas isi bronjong yang dibawanya. 


Ada isi bronjong yang mengagetkan kami, tapi bukan barang rongsokan. Isi bronjong yang menarik perhatian kami adalah seorang anak kecil yang tertidur di dalam bronjong yang kami yakin itu adalah anaknya. Jadi ibu tersebut memboncengkan dua anaknya, satu anak duduk di depan dan satu anak lagi tertidur di belakang dalam bronjong. 


Melihat penampilan ibu tersebut yang kotor dan kucel, siapapun pasti bisa menduga bahwa ibu tersebut adalah orang susah dan miskin. Tapi yang membuat kami tertegun untuk beberapa saat adalah melihat semangat beliau menjemput rezekinya walau harus dengan mencari barang-barang bekas di tong-tong sampah. 


Saya pribadi menaruh kagum dan bangga dengan semangat ibu tersebut dalam bekerja, walaupun harus sampai membawa anak-anaknya yang masih kecil untuk ikut mencari barang-barang rongsokan. Beliau tidak begitu saja menyerah dengan beratnya beban kehidupan. Beliau menggunakan segala kemampuannya untuk mencari dan menjemput rezeki dari Tuhannya dengan bekerja. 


Melihat kejadian ibu pencari barang-barang rongsokan tersebut, kami jadi berpikir tentang keadilan di dunia ini. Sepintas kehidupan di dunia sepertinya tidak adil karena ada orang-orang yang terlahir di keluarga kaya dan hidup serba mewah dan berkecukupan. Mereka sejak kecil merasakan kehidupan yang mewah dan serba ada. Mereka tidak pernah merasakan hidup susah. Mereka sangat beruntung dilahirkan di keluarga yang kaya raya, walaupun mereka tidak pernah meminta ataupun ditawari akan dilahirkan di keluarga yang kaya raya dan hidup serba berkecukupan.  


Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang terlahir di keluarga yang miskin dan hidup serba susah dan kekurangan. Mereka yang terlahir di keluarga miskin tidak pernah meminta untuk dilahirkan dalam kondisi miskin ataupun  dimintai kesediaannya  untuk akan dilahirkan di keluarga miskin. Mereka tidak memiliki pilihan untuk menolak dan meminta dimana mereka akan dilahirkan. 


Karena orang yang dilahirkan di keluarga yang kaya raya maupun yang dilahirkan di keluarga yang miskin, keduanya sama-sama tidak pernah meminta ataupun diberi pilihan untuk dilahirkan dimana, maka saya berpandangan bahwa setiap orang istimewa dalam pandangan Allah SWT. Orang-orang yang terlahir miskin ataupun kaya, mereka sama-sama memiliki keistimewaan sendiri-sendiri dalam pandangan Allah SWT. Mereka semua juga sama-sama akan mempertanggungjawabkan kehidupan mereka di dunia saat yaumul akhir nanti. 


Orang-orang yang terlahir di keluarga tidak mampu atau hidupnya miskin akan memiliki keistimewaan tersendiri di hadapan Allah SWT dan Allah SWT akan memperlakukan mereka secara khusus. Demikian pula dengan orang-orang yang terlahir di keluarga kaya atau hidupnya kaya juga akan memiliki keistimewaan tersendiri di hadapan Allah SWT dan mereka juga akan diperlakukan oleh Allah SWT secara khusus pula. 


Allah SWT tidak menganggap orang yang terlahir di keluarga miskin derajatnya lebih rendah dibandingkan orang yang terlahir di keluarga yang kaya raya. Mereka semuanya sama derajatnya di hadapan Allah SWT. Inilah bentuk keadilan langit yang tidak membeda-bedakan makhluk karena faktor di luar kendalinya, seperti misalnya terlahir dalam keadaan kaya atau miskin. Faktor yang membedakan mereka di hadapan Allah SWT hanyalah hati dan amal perbuatan mereka. Jika hati dan amal perbuatannya baik, maka mereka akan mendapatkan derajat kemuliaan di hadapan Allah SWT. 


Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka saya berusaha menghargai setiap orang dan tidak mengganggap rendah orang-orang yang hidupnya kekurangan. Saya menghormati siapapun yang memiliki kehormatan dalam bersikap dan berperilaku. Selama orang itu baik dan bisa mengormati orang lain, maka saya juga akan menghormatinya. Sebaliknya jika orang tersebut bersikap tidak baik dan tidak bisa menghormati orang lain, maka saya juga tidak akan menghormatinya. 


Menurut pendapat saya, penghormatan itu hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang memiliki kehormatan. Orang yang memiliki kehormatan dicirikan dari sikap dan perilakunya yang mau menghormati orang lain. Orang yang di dalam dirinya tidak memiliki kehormatan tidak akan mungkin mampu menghormati orang lain. Jadi, saya pikir buat apa kita menghormati orang yang tidak memiliki kehormatan. []

 


Gumpang Baru, 30 Januari 2024

Postingan Populer