Sumber Gambar: https://piuii17.blogspot.com/2018/08/islamisasi-dan-integrasi-ilmu-kajian.html
MENGAPA AGAMA DAN SAINS PERLU DIINTEGRASIKAN?
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Agama dan sains adalah dua topik
pembicaraan yang masih hangat untuk didiskusikan. Mengapa dua istilah ini
menarik untuk dibahas? Karena sampai saat ini masih ada saja orang yang
mempertanyakan bagaimana hubungan antara agama dan sains? Apakah agama dan
sains itu selaras atau bertentangan? Bagaimana mensikapi keadaan ketika
dijumpai ada ayat-ayat dalam kitab suci yang tampak bertentangan dengan teori sains
yang telah diterima kebenarannya? Mana yang lebih dipercaya kebenarannya,
antara kebenaran agama atau kebenaran sains? Pertanyaan-pertanyaan seperti
inilah yang membuat topik hubungan agama dan sains tidak habis-habisnya untuk
terus dikaji dan didiskusikan.
Sebenarnya kalau semua orang memahami
dan menyadari bahwa agama dan sains itu memiliki karakteristik yang berbeda dan
unik, maka tidak akan ada yang akan mempermasalahkan hubungan antara agama dan
sains. Dasar penentuan kebenaran antara agama dan sains sudah jelas berbeda.
Kebenaran agama didasarkan atas kandungan isi kitab suci yang merupakan
firman-firman Tuhan, sedangkan kebenaran sains didasarkan atas pengamatan
empiris dan pengujian mengikuti metode yang sistematis. Agama membahas masalah
keimanan, ibadah, akhlak, pekerti, dan nilai-nilai spiritual. Sedangkan sains
membahas masalah sifat-sifat dan gejala yang terjadi pada materi fisik di alam
semesta. Jadi kedua bidang tersebut memiliki kapling kajian yang berbeda dan
metode pemerolehan yang berbeda pula, sehingga keduanya memang tidak perlu
dipertentangkan.
Apakah agama dan sains saling
bertentangan ataukah saling selaras? Jika dipandang dari dasar asalnya
kebenaran, maka seharusnya agama dan sains tidak bertentangan. Agama dan sains
harusnya saling melengkapi sehingga pemahaman dan penghayatan kita terhadap
kehidupan menjadi komprehensif. Agama dan sains bagi manusia merupakan
kebutuhan asasi. Artinya, keduanya merupakan kebutuhan pokok bagi hidup dan sistem
kehidupan manusia. Agama bagi manusia sebagai pedoman, petunjuk, kepercayaan,
dan keyakinan bagi pemeluknya untuk hidup sesuai dengan fitrah manusia yang
dibawa sejak lahir (Muhaimin et al., 2001 : 282). Eksistensi sains bagi agama
berfungsi sebagai pengukuh dan penguat agama bagi pemeluknya, karena dengan
sains mampu mengungkap rahasia-rahasia alam semesta dan seisinya, sehingga akan
menambah khidmat dan khusyuk dalam beribadah dan bermuamalah. Sains bermanfaat
untuk mendapatkan kedamaian hidup secara individual dan secara kolektif bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kemanfaatan sains luar biasa dan akan menjadikan
manusia dekat dengan Tuhan, hidup lebih nikmat, bahagia, dan sejahtera
(Maksudin, 2013: 2).
Terkait hubungan antara agama dan sains,
Maksudin (2013) menganalogikan hubungan agama dan sains ibarat dua sisi mata
uang yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Di
samping itu, bila dikaji menurut fitrah manusia, agama dan sains keduanya pada
hakikatnya sama-sama berasal dari Tuhan. Hal ini sebagaimana ditekankan oleh
Ibnu Rusyid bahwa “Kebenaran (wahyu) tidak bisa bertentangan dengan hikmah
(filsafat, metode rasional dengan pembuktian); sebaliknya, keduanya mesti
saling sepakat dan saling mendukung” (Guessoum, 2020: 128). Lebih lanjut, Maksudin (2013) menyatakan
bahwa agama sebagai dasar-dasar petunjuk Tuhan untuk dipatuhi dan diamalkan
dalam hidup dan sistem kehidupan manusia, sedangkan sains diperolehnya melalui
abilitas dan kapasitas atau potensi manusia yang dibawanya sejak lahir (h.3).
Agama tidak menjadikan pemeluknya menjauhi sains dan demikian juga sains bagi
saintis tidak meninggalkan agama, akan tetapi agamawan dan ilmuwan saintis
saling memperkuat, memperkukuh, dan saling mengisi kekurangan dan kelemahan
sehingga yang ada saling fastabiqul
khairat (berlomba dalam kebaikan) (h.4). Tegasnya, kata Maksudin
melanjutkan, agama dan sains dimiliki bagi setiap manusia secara utuh,
terintegrasi, menyatu padu, sehingga benar-benar menjadi manusia yang memiliki
kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kecerdasan keberagamaannya,
atau disebut menjadi manusia saleh individual sekaligus saleh sosial (h.5).
Berkaitan dengan tujuan membentuk
manusia yang saleh individual dan saleh sosial, maka wacana pengintegrasian
agama dan sains menjadi semakin urgen untuk dilakukan . Sudah banyak ahli dan pemikir yang mencoba
merumuskan bagaimana formula untuk mengintegrasikan agama dan sains. Upaya
mengintegrasikan agama dengan sains ini ada yang menyebutnya dengan istilah
islamisasi ilmu, sains yang islami, maupun sains berbasis wahyu.
Penulis sendiri memiliki pandangan bahwa
agama dan sains harus diintegrasikan, tetapi bukan integrasi kontennya karena
keduanya jelas berbeda bahan kajian dan metode pembuktian kebenarannya. Melainkan
penulis lebih cenderung memaknai paradigma integrasi sains dan agama yang
ditujukan untuk kepentingan pendidikan karakter. Dengan memaknai dan mengambil
hikmah kebaikan di balik proses-proses sains, maka dengan keyakinan bahwa hukum-hukum
alam yang menjadi bahan kajian ilmu sains adalah juga berasal dari Allah SWT
sebagaimana kitab suci Al-Qur’an, maka pastilah di balik berlakunya hukum-hukum
alam dalam kajian ilmu sains juga mengandung pelajaran tentang nilai, moral,
akhlak, dan karakter baik. Wallahu a’lam. []
Referensi
:
Guessoum, N. (2020). Memahami sains modern: Bimbingan untuk kaum
muda muslim. Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa.
Maksudin. (2013). Paradigma agama dan sains nondikotomik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muhaimin, et al., (2001). Paradigma
pendidikan Islam. Bandung: Rosdakarya.
____________________________
*) Agung Nugroho Catur Saputro adalah staff pengajar kimia di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Peraih juara 1 Nasional bidang Kimia pada lomba penulisan buku pelajaran MIPA di Kementerian Agama RI, dan Penulis buku non fiksi tersertifikasi BNSP yang telah menulis 120+ judul buku, baik buku tunggal maupun buku kolaborasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar