Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Maret 2025

MENCEGAH DIRI DARI BERBUAT ZALIM




MENCEGAH DIRI DARI  BERBUAT ZALIM 

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro 


Dalam menjalani kehidupan ini, saya berusaha untuk tidak merugikan orang lain dan tidak merendahkan ataupun menghina orang lain. Kepada siapapun saya berusaha untuk menghormatinya. Saya berusaha untuk jangan sampai menzalimi orang lain. Apalagi menzalimi orang lemah, na'udzu billahi min dzalik. 


Berkaitan dengan akibat dari menzalimi orang lain, ada cerita dari almarhum ayah saya. Dulu beberapa hari sebelum wafat, ayah saya pernah berwasiat kepada saya yaitu jangan pernah menyakiti (menzalimi) orang lemah karena doa orang yang terzalimi itu sangat mustajab (mudah dikabulkan Allah SWT). Beliau berwasiat seperti itu karena berdasarkan pengalaman pribadinya. Beliau tidak ingin anaknya mengalami seperti yang beliau lihat. 


Ayah saya pernah bercerita. Ketika muda beliau kerap kali mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan berupa penghinaan, direndahkan, diperlakukan tidak adil, dll. dari orang-orang di sekitarnya. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di sekitarnya yang sangat zalim tersebut, maka beliau mendoakan keburukan pada salah seorang yang telah menzaliminya. Dan di kemudian waktu, ternyata beliau melihat nasib buruk menimpa orang zalim yang didoakan tersebut. 


Orang yang menzalimi ayah saya tersebut mengalami kejadian buruk seperti yang dibaca saat beliau berdoa. Dari kejadian tersebut, ayah saya menyadari betapa dahsyatnya doa orang yang terzalimi. Orang ketika terzalimi harus hati-hati dalam berdoa karena doanya mudah dikabulkan Allah SWT. Beliau berkata, "Andaikan dulu bapak bisa sedikit lebih bersabar lagi (menahan sakitnya penghinaan) untuk tidak mendoakan keburukan, mungkin nasib buruk tidak akan menimpa orang tersebut". 


Sahabat pembaca. Saya meyakini bahwa mayoritas orang pasti menginginkan kehidupan yang damai, tenteram dan bahagia. Mereka sebisa mungkin menghindarkan diri dari melakukan perbuatan-perbuatan yang akan dapat mendatangkan  kemudharatan di kemudian hari. Mereka akan berupaya melakukan banyak amal kebaikan agar di masa depannya dapat mengunduh hasil tabungan amal kebaikannya. 


Maka aneh sekali jika ada orang yang menyengaja diri melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan orang lain. Sangat aneh jika ada orang yang menyengaja diri melakukan tindakan menghina, merendahkan, dan menjelek-jelekkan orang lain. Istilah sekarang melakukan perundungan. Mungkin orang yang melakukan tindakan perundungan tersebut menganggap perbuatannya biasa-biasa saja, tetapi tidak demikian bagi orang yang terkena dampak akibat dari perbuatannya. Boleh jadi akibat perbuatannya tersebut, orang lain bisa menjadi sangat dirugikan. Kalau sampai terjadi hal yang demikian, maka orang tersebut disebut telah berbuat zalim ke orang lain. 


Orang yang terzalimi bisa jadi masih bisa bersabar dengan perlakuan orang lain tersebut. Tetapi bisa jadi orang yang menjadi korban kezaliman tersebut tidak mampu menahan kesabarannya lagi sehingga akhirnya memilih mengadu kepada Allah SWT dan menuntut keadilan kepada-Nya. 


Hal itu sebagaimana yang pernah dialami almarhum ayah saya dulu. Akibatnya Allah SWT memberikan Keadilan-Nya dengan mengabulkan doa ayah saya. Apa yang selanjutnya yang terjadi pada orang yang telah berbuat zalim kepadanya? Dengan izin Allah SWT, dia akhirnya mengalami nasib buruk sebagaimana isi doa ayah saya. Mengerikan sekali bukan?Tidakkah kita takut akan akibat perbuatan zalim kita kepada orang lain? 


Marilah kita segera melakukan introspeksi diri  atau muhasabah, apakah kita pernah melakukan perbuatan zalim ke orang lain, baik sengaja maupun tidak sengaja? Jika merasa pernah melakukan, segeralah bertaubat memohon ampun kepada Allah SWT dan meminta maaf kepada orang yang pernah kita zalimi. Jangan menunda-nunda waktu sebelum terlambat. Semoga kita semua dijaga Allah SWT dari melakukan perbuatan-perbuatan yang berpotensi menzalimi orang lain. Amin. []


Gumpang Baru, 20 Maret 2025

Senin, 09 Desember 2024

MENGUNGKAP SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KIMIA : Berawal dari Pencarian Batu Filsuf, Jamu Mujarab Kehidupan, hingga Teori Atom Mekanika Kuantum.

 Seri Filsafat Kimia (4)


MENGUNGKAP SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KIMIA : 

Berawal dari Pencarian  Batu Filsuf, Jamu Mujarab Kehidupan, hingga Teori Atom Mekanika Kuantum.

Oleh: 

Agung Nugroho Catur Saputro 


Pada zaman dulu, ada beberapa filsuf Yunani yang mencoba berpendapat tentang unsur penyusun materi. Miletus (624-527 SM) menyatakan bahwa "air" adalah unsur utama penyusun materi. Kemudian Anaximenes (585-524 SM) berpendapat bahwa "udara" adalah unsur penyusun materi. Sedangkan Ephesus (544-484 SM) menyatakan bahwa "api" itu unsur penyusun materi. Kemudian ada filsuf yang  bernama Agrigentum (492-432 SM) yang memiliki  pandangan bahwa materi di alam ini tersusun atas empat unsur, yaitu unsur api, unsur tanah, unsur air, dan unsur udara.


Di kalangan para filsuf Yunani, ada anggapan bahwa keempat unsur alam tersebut saling berhubungan dan pada batas tertentu hubungan antar empat unsur tersebut dipandang sejajar dengan hubungan antara badan, jiwa, akal budi, dan cinta kasih.


Bahkan fakta-fakta ilmu kimia dinyatakan dengan istilah-istilah seperti itu dan dipergunakan juga oleh para penyair dan ahli moral. Sebagai contoh seperti filsuf Agrigentum yang menganggap interaksi antar unsur membentuk materi diibaratkan seperti hubungan antara "love" dan "hate". Keseragaman antara pengertian kebendaan dan kerohanian sangat mendalam dan bertahan lama. Inilah dasar intelektual yang memungkinkan timbulnya "Alkemia".


Alkemia adalah suatu usaha yang dimulai pada tahun 200 SM di kota Alexandria untuk memadukan tafsiran teoritis dengan pengalaman praktis dalam suatu sistem teknis yang tunggal. Gagasan teoritis diperoleh dari bangsa Yunani, khususnya aliran "atomisme filosofis". 


Beberapa filsuf Yunani yang termasuk aliran atomisme filosofis adalah Leukipos dan Demokritos. Leukipos (500 SM) yang merupakan pencetus " Teori Atom" yang pertama kali  mengajukan teori bahwa seluruh materi terbentuk dari atom-atom yang tidak terbagi lagi dan bergerak terus serta dipisahkan oleh kekosongan. Atom ada di ruang kosong sehingga atom dapat bergerak. Semua atom menurut Leukipos adalah sama, yang berbeda hanya dalam hal ukuran, bentuk, letak dan massa. 


Dalam perkembangannya, para ahli Alkemia juga menambahkan pandangan Aristoteles tentang "Prinsip Perkembangan". Menurut prinsip ini, semua benda secara alamiah berubah dan berkembang ke arah bentuk "kedewasaannya". Maka materi lebih dipandang sebagai zat organis daripada zat yang bersifat statis. Berdasarkan gagasan ini dan didukung hasil pengamatan terhadap perubahan materi, maka para ahli Alkemia menyimpulkan bahwa perkembangan juga terjadi di materi. 


Pandangan bahwa materi mampu berkembang juga didukung oleh beberapa pendapat filsuf seperti Miletus (624-527 SM) dan Anaximander (610-546 SM) yang menyatakan bahwa setiap materi memiliki "jiwa" sehingga mampu bergerak dan berkembang.


Berangkat dari pemahaman tersebut, para ahli Alkemia berusaha memperoleh pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat mengulangi perkembangan alamiah dari materi-materi di alam ini di dalam bengkel atau laboratorium. 


Alat-alat yang dipergunakan para ahli Alkemia direncanakan  untuk  menciptakan syarat-syarat yang mempercepat "perkembangan" alamiah dari logam. Peralatan yang dipergunakan antara lain tungku pelebur, tabung reaksi, "makanan" yang dicampurkan dengan logam dasar supaya berubah menjadi logam mulia seperti perak dan emas. Selain upaya mengubah logam biasa menjadi logam mulia, para ahli Alkemia juga berusaha mencari "batu filsuf" yang diyakini dapat mengubah semua benda menjadi emas.


Seorang ahli kimia dari Arab yang bernama Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang hidup pada masa khalifah Harun al-Rasyid dari dinasti Abbasiyah di Baghdad, tidak mempercayai pemikiran "batu filsuf" yang dapat mengubah semua barang-barang tambang (logam) menjadi emas. Tetapi walau begitu, ia tetap mencoba mengadakan serangkaian penelitian dan pengujian tentang pemikiran tersebut. 


Gagasan dari filsuf Yunani seperti Miletus dan Anaximander yang menganggap bahwa materi memiliki "jiwa" juga diadopsi oleh para ahli alkemia dalam kerangka pemikiran mereka. Maka tujuan lain dari praktik alkemia adalah memisahkan jiwa (nyawa) dari materi (badan) atau mengubah badan barang-barang logam menjadi "tak berbadan". Para alkemia menyamakan gas atau uap sebagai kodrat material tak berbadan. 


Penemuan proses-proses untuk memisahkan zat asam dari senyawa oksidanya mendorong para alkemis untuk percaya bahwa mereka telah menemukan suatu cara untuk memisahkan maupun mempersenyawakan kembali (dalam bentuk yang telah dibersihkan) badan (materi) dan nyawa (jiwa) benda-benda ciptaan. 


Perkembangan teori kimia tidak langsung berasal dari alkemia, tetapi dari iatro-kimia, yaitu ilmu kimia medis dari para dokter (iatros, Yunani) abad XV. Para dokter beranggapan bahwa fungsi seorang ahli kimia bukanlah mengubah logam dasar menjadi emas, melainkan memperoleh obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit manusia.


Orang yang pertama kali mengemukakan gagasan tersebut adalah Paracelsus, seorang dokter bangsa Swiss. Ia mengemukakan bahwa pada dasarnya tubuh manusia merupakan suatu sistem kimia dan karena itu membutuhkan pengobatan kimiawi untuk penyembuhannya. 


Obat-obatan yang diberikan itu merupakan hasil coba-coba belaka dan kerapkali menuntut persiapan bahan-bahan yang berbahaya seperti garam-garam antimon, arsen dan air raksa. Seperti para ahli alkemia, para ahli iatro-kimia pun cenderung pada ilmu gaib dan percaya akan pengaruh bintang-bintang.Mereka para ahli iatro-kimia memang tidak mencari "Batu Filsuf", melainkan "Jamu Mujarab Kehidupan" yang memberikan kesehatan dan usia panjang.


Sekalipun berbahaya, iatro-kimia yang berlangsung dua abad lamanya telah berhasil memajukan jumlah pengetahuan yang berdasarkan percobaan-percobaan dan menyebabkan diterbitkannya "Pharmacopia", yaitu suatu ensiklopedia keterangan mengenai obat-obatan dan penggunaannya.


Keberadaan unsur-unsur penyusun materi telah dipercayai oleh para ahli kimia, tetapi sampai abada XVIII mereka masih kesulitan dalam menghubungkan hasil-hasil eksperimen laboratorium dengan teori. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul 'Teori Phlogiston" untuk menjelaskan fenomena pembakaran logam.


Menurut teori Phlogiston, Phlogiston adalah "zat" yang timbul bila logam dibakar. Bila logam dipanaskan pada suhu tinggi, maka phlogiston dikeluarkan dan hanya tersisa senyawa oksida logam. 


Teori Phlogiston dipercaya oleh para ahli kimia hingga Lavoisier berdasarkan data-data eksperimennya merumuskan "Hukum Kekekalan Massa". Menurut Lavoisier, dalam proses-proses kimia yang alamiah maupun yang buatan, tidak ada sesuatu yang hilang, tidak ada sesuatu yang bertambah. Sejak ditemukannya "Hukum Kekekalan Massa" oleh Lavoisier tersebut, teori Phlogiston ditinggalkan para ahli kimia. 


Pada tahun 1802, seorang guru kimia sekolah di Inggris yang bernama John Dalton (1766-1844) menghidupkan kembali teori atom dan menggabungkannya dengan gagasan Lavoisier mengenai afinitas kuantitatif antar unsur-unsur. Ia mengemukakan  teori  atomnya yang berbeda dengan teori atom filsuf Yunani. 


Teori atom Dalton mampu memberikan penjelasan yang sangat memuaskan tentang hukum Kekekalan Massa dari Lavoisier dan Hukum Perbandingan Tetap dari Proust. Oleh karena itu, teori atom Dalton dianggap sebagai "teori atom modern" yang pertama kali. 


Sejak kemunculan teori atom Dalton, beberapa waktu kemudian para ahli kimia berlomba-lomba mengungkap hakikat atom penyusun materi. Setelah John Dalton, muncul J.J. Thomson dengan teori atom "Plum-Pudding" nya, Rutherford dengan penemuan inti atomnya, Niels Bohr dengan konsep "orbit" elektron, dan akhirnya teori atom mekanika kuantum.


Demikian sekilas sejarah perkembangan ilmu Kimia, mulai dari pemikiran filosofis hingga eksperimen pengujian di laboratorium dan teori berbasis persamaan matematika. []


Sumber Bacaan : 

Keith Wilkes, 1982, Agama dan Ilmu Pengetahuan, Terjemahan, Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.

Sabtu, 30 November 2024

URGENSI MEMILIKI PENGETAHUAN DASAR AGAMA

 


URGENSI MEMILIKI PENGETAHUAN DASAR AGAMA

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Beberapa waktu yang lalu saat sholat Jumat di masjid, saya menjumpai sebuah pemandangan yang cukup menyedihkan. Sebuah pemandangan tentang ironisnya kualitas generasi muslim sekarang. Kejadian tersebut menunjukkan fenomena generasi muslim sekarang sangat minim pengetahuan agamanya.

Saat memasuki masjid, saya melihat beberapa remaja berseragam sekolah SMA yang sedang ngobrol dan bermain-main. Padahal saat itu khatib sudah menyampaikan khutbah Jum'at. Mereka bukannya duduk tenang dan mendengarkan isi khutbah Jum'at tetapi malah asyik mengobrol dan bermain-main.
Saya masuk masjid langsung mengerjakan sholat sunnah tahiyatul masjid dan kemudian duduk mendengarkan isi khutbah Jum'at hingga selesai. Saya melakukan hal itu karena sejak kecil sudah mendapat pelajaran agama bahwa khutbah Jum'at merupakan bagian tak terpisahkan dari sholat Jum'at. Khotbah Jum'at adalah termasuk rukun sholat Jum'at. Disebut mengerjakan sholat Jum'at adalah jika ikut mendengarkan khutbah Jum'at dan mengerjakan sholat Jum'at sebanyak dua rakaat.

Melihat perilaku beberapa remaja tersebut saya jadi berpikir, apakah mereka tidak mengetahui pengetahuan dasar agama terkait rukun sholat Jum'at? Apakah seusia mereka belum pernah mendapatkan pelajaran agama tentang rukun sholat Jum'at? Saya sangat heran bagaimana remaja sebesar mereka tidak mengetahui ilmu-ilmu agama yang dasar tersebut. Sementara saya dulu waktu kecil sudah mengetahui pengetahuan dasar rukun sholat Jum'at, makanya sejak kecil setiap kali mengikuti sholat Jum'at saya selalu duduk diam mendengarkan khotbah Jum'at dari Khatib.

Waktu kecil saya tidak punya pikiran saat mengikuti sholat Jum'at akan bermain-main dan ngobrol dengan teman-teman ketika Khotib menyampaikan khutbah Jum'at. Kejadian yang saya lihat pada para remaja tersebut adalah sebuah pemandangan yang sungguh aneh dan tidak pernah terbayangkan dalam pikiran saya waktu kecil. Pemandangan yang sangat menyedihkan karena melihat generasi Islam sekarang tidak mengetahui pengetahuan-pengetahuan dasar dalam ajaran agama Islam.

Jika pengetahuan dasar tentang rukun sholat Jum'at saja tidak mengetahui, apakah mungkin kita berharap mereka mampu memahami dan mengimplementasikan pesan-pesan kebaikan dari ajaran agama Islam? Apa yang bisa diharapkan untuk memajukan peradaban umat Islam dari generasi seperti mereka? Saya jadi berpikir, bagaimana nasib umat Islam yang di masa mendatang jika generasi remajanya memiliki kualitas pengetahuan agamanya seperti itu? Sungguh-sungguh sangat ironis dan menyedihkan sekali.

Saya sungguh tidak percaya jika ada generasi umat Islam yang tidak mengetahui rukun-rukun sholat Jum'at. Selama khatib menyampaikan khutbah Jum'atnya, para remaja sekolah tersebut asyik mengobrol dengan cukup keras. Untung karena suara speaker masjid cukup keras sehingga suara obrolan mereka tidak terlalu terdengar karena suara khutbah Khatib lebih keras terdengar.

Ketika Iqamah disuarakan muadzin pertanda sholat Jum'at mau segera didirikan, semua jamaah berdiri merapikan shaf sholat. Lantas bagaimana para remaja tersebut? Ternyata mereka baru mau mengambil air wudhu ketika Iqamah dibacakan. Berarti selama khutbah Jum'at mereka di dalam masjid belum berwudhu dan hanya asyik ngobrol. Melihat kejadian tersebut, saya jadi semakin bingung dengan kondisi mereka. Generasi muslim macam apakah mereka kok sampai sama sekali tidak mengetahui rukun sholat Jum'at?

Kejadian seperti itu ternyata tidak hanya dilakukan oleh generasi remaja. Ketika sholat Jum'at di masjid kampus, saya juga beberapa kali melihat orang-orang dewasa yang ketika khutbah sedang disampaikan oleh Khatib, mereka malah asyik membuka-buka aplikasi di handphone. Melihat kejadian tersebut, saya juga jadi berpikir, apakah mungkin masih banyak orang-orang Islam baik remaja maupun dewasa yang memang tidak mengetahui bahwa khutbah Jum'at itu berbeda dengan acara pengajian biasa? Mungkinkah mereka belum mengetahui pengetahuan dasar tentang rukun-rukun sholat Jum'at?

Berdasarkan pengamatan fakta di lapangan tentang implementasi pengamalan ajaran agama Islam oleh umat Islam seperti itu, maka menjadi PR bersama bagi seluruh umat Islam, terutama para pendakwah dan lembaga keagamaan untuk lebih intensif lagi membelajarkan ajaran-ajaran dasar agama Islam kepada anak-anak. Anak-anak harus dikenalkan dengan pengetahuan-pengetahuan dasar agama Islam agar kelak ketika mereka dewasa mampu memahami, memaknai, dan mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama Islam. []


Gumpang Baru, 07 November 2024

Kamis, 28 November 2024

MURUAH GURU DAN KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

 


MURUAH GURU DAN KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Masih dalam suasana memperingati Hari Guru Nasional tahun 2024, marilah kita bermuhasabah seputar muruah guru (pendidik). Berbagai persoalan seputar muruah guru masih menjadi keprihatinan kita semua. Profesi guru yang seharusnya memiliki muruah tinggi dan kedudukan mulia telah ternodai oleh tindak perilaku segelintir orang (oknum pendidik) yang tidak bertanggung jawab dan melanggar etika moral.

Profesi guru adalah profesi yang terhormat dan mulia. Guru adalah orang yang mendidik anak-anak sehingga mereka menjadi anak-anak yang berpengetahuan, terampil, dan bermoral tinggi. Guru bertugas mendampingi siswa agar mengenali potensi dirinya dan mampu mengembangkan diri menjadi generasi yang tangguh. Guru juga bertugas membimbing siswa agar mengenal aturan etika, moral, dan karakter yang baik sehingga mereka nanti akan menjadi generasi bangsa yang bermoral dan beretika tinggi.

Melihat berapa berat dan mulianya tugas guru, maka sudah sewajarnya jika profesi guru memiliki atau mempunyai muruah yang tinggi. Karena tugasnya sangat mulia, maka sudah seharusnya jika profesi guru diisi oleh orang-orang yang memiliki jiwa mendidik, sikap ketauladanan, memahami ilmu pedagogik, dan profesional.

Beberapa waktu ini profesi guru terus mendapatkan sorotan dari masyarakat. Beberapa peristiwa yang terjadi di seputar dunia pendidikan dan profesi keguruan mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Mulai dari peristiwa fenomena lemahnya kedudukan guru dalam hukum sehingga terjadinya beberapa kasus guru diperkarakan ke jalur hukum oleh orang tua siswa.

Kemudian munculnya kasus-kasus terjadinya tindak kekerasan di lingkungan sekolah, baik dilakukan guru ke siswa maupun dilakukan siswa ke guru. Belum lagi terjadinya kasus tindak asusila yang dilakukan oleh oknum-oknum guru yang tidak bermoral kepada siswi-siswinya.

Selain masalah-masalah tersebut di atas, masih ada masalah lain yang terjadi sejak dulu yaitu masalah tingkat kesejahteraan guru yang masih rendah. Di bandingkan dengan profesi-profesi lain, penghargaan dan penghasilan guru relatif lebih rendah. Padahal profesi guru memegang peranan penting dalam penyelenggaraan proses pendidikan.

Tanpa peranan penting guru, maka bagaimana nasib generasi penerus bangsa ini. Tetapi sayangnya, sejak dulu profesi guru masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Masih banyak para orang tua yang kurang senang jika anak-anaknya bercita-cita ingin menjadi guru karena profesi guru dianggap kurang prestisius dan kurang menjanjikan kesejahteraan. Siswa-siswi yang unggul dan berprestasi tinggi juga kebanyakan tidak ingin melanjutkan pendidikan tinggi ke kampus LPTK yang nantinya setelah lulus menjadi guru.

Mungkin dikarenakan orang-orang yang kuliah di kampus LPTK dan menjadi guru pada awalnya bukanlah siswa-siswi terbaik, maka kualitas guru-guru yang dihasilkan di Indonesia masih jauh dari harapan. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia mungkin juga dikarenakan faktor banyaknya guru-guru yang mengajar di sekolah bukan sarjana pendidikan lulusan kampus LPTK dimana cita-cita awal mereka tidak menjadi guru tetapi karena situasi yang memaksanya menjadi guru. Dikarenakan bukan sarjana pendidikan, maka mereka tidak/kurang memahami ilmu pedagogik.

Sudah waktunya dibangkitkan kembali muruah (kehormatan, martabat, nama baik) guru yang sempat mengalami penurunan dan keterpurukan selama ini. Martabat dan kemuliaan guru harus dikembalikan. Muruah guru sangat berkaitan dengan peningkatan kualitas pendidikan. Jika kualitas pendidikan di Indonesia meningkat dan bisa bersaing dengan negara-negara maju lain, maka muruah guru pasti juga akan terangkat.

Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di banding negara-negara lain, yang tidak hanya disebabkan oleh faktor gurunya saja. Faktor perubahan kurikulum yang terjadi setiap kali ganti menteri pendidikan juga ikut mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia stagnan. Perubahan atau pergantian kurikulum yang terlalu cepat dan sering dilakukan pemerintah juga ikut andil dalam menjadi faktor penyebab kualitas pendidikan di Indonesia lambat majunya.

Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia bisa diawali dengan meningkatkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan guru. Jika kesejahteraan guru telah terpenuhi maka guru bisa tenang dan fokus mendidik siswa dengan segala kemampuannya. Langkah berikutnya adalah menggeser mindset guru dari fixed mindset menjadi growth mindset agar guru-guru mampu menjadi coach bagi para siswa dalam proses mengembangkan kemampuan diri.

Sekolah seharusnya menjadi tempat yang kondusif bagi siswa untuk mengenali potensi diri dan mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Guru seharusnya menjadi pendamping yang baik bagi siswa untuk menjalani proses belajarnya. Jangan sampai terjadi sekolah justru mematikan potensi siswa dan memadamkan motivasinya.

Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kurikulum yang sedang berjalan agar mendapatkan model implementasi kurikulum yang terbaik. Jika akan merekonstruksi kurikulum harus melalui proses kajian mendalam dengan melibatkan para ahli dan segenap praktisi pendidikan, serta mempertimbangkan kondisi fakta di lapangan yang dilakukan melalui tahapan-tahapan yang jelas, sistematis dan terstruktur. Jangan sampai terjadi pergantian kurikulum dalam waktu yang sangat singkat tanpa melalui proses kajian dan riset yang mendalam.

Semoga di era pemerintahan baru sekarang ini dimana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengahnya berasal dari kalangan akademisi dan seorang ahli pendidikan serta memiliki pengalaman praktis yang cukup lama di dunia pendidikan, kualitas pendidikan di Indonesia akan berangsur-angsur meningkat dan bisa bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Amin. []


Gumpang Baru, 27 November 2024

Senin, 25 November 2024

MENGKONTEKSTUALKAN PESAN AL-QUR'AN

 


MENGKONTEKSTUALKAN PESAN AL-QUR'AN 

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro 



Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah Swt. melalui wahyu kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw. Al-Qur'an menjadi pedoman hidup bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan agar sesuai keinginan Allah Swt. Al-Qur'an diturunkan bukan hanya untuk kepentingan umat Islam saja, melainkan juga untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia di dunia hingga akhir zaman. 


Sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, maka kebenaran isi Al-Qur'an pasti dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Al-Qur'an akan berlaku sepanjang masa hingga akhir dunia menunjukkan bahwa pesan-pesan yang terkandung dalam isi Al-Qur'an pasti selalu up to date dan mengikuti perkembangan zaman. 


Al-Qur'an memang bukan literatur atau referensi ilmiah yang dapat langsung menjadi rujukan penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan penemuan dan kebenaran ilmiah. Walaupun begitu, Al-Qur'an banyak menyinggung tentang peristiwa-peristiwa alam yang menjadi topik kajian ilmu sains. 


Oleh karena itu, upaya memahami isi kandungan Al-Qur'an yang berkaitan dengan peristiwa alam yang menjadi domain kajian/riset ilmu sains harus terus dilakukan dengan melibatkan para ahli sains.  Upaya ini perlu dilakukan dalam rangka untuk menunjukkan bahwa isi kandungan Al-Qur'an terus relevan dengan perkembangan zaman. 


Al-Qur'an tidak pernah out of date (ketinggalan zaman) melainkan selalu up to date (mengikuti perkembangan zaman terkini) karena isi Al-Qur'an dapat dipahami oleh setiap zaman peradaban manusia. Walaupun Al-Qur'an telah diturunkan sejak 15 abad yang lalu, tetapi pesan-pesan kehidupannya masih tetap relevan sampai kapanpun.


Untuk mewujudkan hal tersebut, maka perlu upaya bagaimana mengkontekstualkan pesan-pesan Al-Qur'an sesuai perkembangan zaman. Al-Qur'an tidak akan pernah ketinggalan zaman selama kita mampu memaknai pesan-pesannya sesuai konteks zaman kekinian. Jangan sampai terjadi Al-Qur'an dikatakan ketinggalan zaman hanya karena ketidakmampuan kita dalam memahami dan menerjemahkan pesan-pesannya sesuai konteks terkini. 


Sebagai contoh kata "zarrah" pernah diterjemahkan sebagai benda seukuran biji sawi, kemudian ada juga yang menerjemahkan benda seukuran butiran debu, lalu setelah ditemukan konsep atom maka kata "zarrah" dimaknai sebagai seukuran atom. Perubahan dan perkembangan makna arti kata "zarrah" tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur'an dapat diterima kapanpun dan dapat dipahami sesuai perkembangan ilmu pengetahuan yang dikuasai manusia. 


Kata "zarrah" yang merujuk kepada ukuran yang sangat kecil menurut pandangan penulis menunjukkan adanya pesan tersirat bahwa "ukuran" memiliki arti yang sangat penting. Ayat yang mengandung kata "zarrah" seolah mendorong umat Islam agar berusaha mengungkap rahasia di balik "ukuran materi". Ada apa dengan ukuran kecil? Mengapa "ukuran kecil" seakan-akan penting di hadapan-Nya sampai Allah Swt. menggunakan kata "zarrah" yang merujuk kepada ukuran benda yang sangat kecil? 


Penting untuk dipahami bahwa kata "zarrah" yang merujuk kepada "sesuatu yang berukuran sangat kecil sekali' pernah diterjemahkan menjadi bermacam-macam benda, seperti biji sawi, butiran debu, dan atom. Penerjemahan kata "zarrah" menjadi kata yang berbeda-beda tersebut dikarenakan disesuaikan dengan pengetahuan manusia pada zamannya, yang artinya penerjemahan kata "zarrah" disesuaikan dengan konteks zaman. 


Karena objek yang disepadankan dengan kata "zarrah" bisa berbeda-beda sesuai konteks pemahaman umat Islam di suatu zaman, maka dapat ditarik benang merah bahwa tujuan dicantumkannya kata "zarrah" kemungkinan karena Allah Swt. ingin mengajak atau mendorong umat Islam agar mau meneliti lebih mendalam lagi tentang pengaruh faktor "ukuran"  terhadap sifat materi (benda). 


Di zaman modern ini, setelah ditemukannya konsep nano material dimana material berukuran nanometer ternyata menampakan sifat -sifat fisik maupun kimia yang berbeda sekali dengan ukuran makroskopisnya (ukuran material yang kita lihat sehari-hari) akibat pengaruh ukurannya yang sangat kecil. Fenomena ini dikenal dengan istilah "quantum dot size effect". 


Setelah dilakukannya riset-riset tentang material ukuran kuantum tersebut, akhirnya diketahui bahwa ternyata ukuran kuantum memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap sifat maupun kinerja dari suatu material. Dan ternyata material berukuran nanometer menunjukkan fenomena quantum dot size effect tersebut. Oleh karena itu, saat ini riset-riset ilmiah yang mengkaji teknik-teknik sintesis nano material (nano technology) terus dilakukan para ahli sains. 


Berkaitan dengan kata "zarrah" yang muncul di Al-Qur'an lima belas abad yang lalu, apakah ada keterkaitannya dengan penemuan teknologi sintesis nano material? Apakah penemuan ilmiah di bidang sintesis nano material dan aplikasinya di berbagai bidang kehidupan tersebut merupakan jawaban atas misteri atau rahasia di balik "ukuran" yang dimaksud dalam Al-Qur'an melalui kata "zarrah"? Wallahu a'lam. []


Gumpang Baru, 25 November 2024


NB. Artikel ini merupakan pandangan, pendapat, dan gagasan pemikiran penulis pribadi.

Rabu, 02 Oktober 2024

DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT: Perjalanan Panjang Menapaki Tangga -Tangga Keilmuan

 


DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT:
Perjalanan Panjang Menapaki Tangga -Tangga Keilmuan

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Dahulu setelah berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana (sarjana pendidikan kimia), saya merasa telah memiliki pemahaman yang cukup tentang ilmu kimia dan pendidikan kimia. Minimal bekal ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan tingkat S1 sudah lebih dari cukup untuk mengajar kimia di SMA.

Seiring berjalannya waktu dengan semakin bertambahnya pengalaman mengajar, mulai muncul perasaan merasa ilmu yang dimiliki masih kurang banyak, masih terlalu banyak hal-hal yang belum diketahui. Apalagi setelah diterima menjadi pengajar di Perguruan Tinggi, saya merasa bekal ilmu kimia yang saya miliki terasa sangat kurang. Pemahaman dan pengalaman yang saya peroleh selama pendidikan S1 terasa belum cukup untuk mengajar di Perguruan Tinggi. Ternyata benar sekali aturan yang dibuat pemerintah bahwa syarat mengajar S1 adalah minimal S2. Kalau seorang dosen berpendidikan S1 mengajar mahasiswa S1 maka bisa dianalogikan seperti jeruk makan jeruk.

Berangkat dari kondisi tersebut di atas, saya merasa harus segera melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat magister/master (S2).
Ketika awal-awal mengikuti pendidikan pascasarjana tingkat magister/master, saya merasa pemahaman ilmu kimia saya masih sangat rendah.

Karena perasaan merasa baru memiliki ilmu yang sedikit, terkadang muncul rasa minder (tidak percaya diri) ketika berinteraksi dengan mahasiswa lain, baik mahasiswa S1 maupun S2. Selama menempuh pendidikan S2, saya lumayan harus belajar giat dan bekerja keras untuk mengimbangi mahasiswa lain.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S2 dengan susah payah, saya merasakan bahwa pengetahuan ilmu kimia saya jauh meningkat dibandingkan waktu S1. Saya benar-benar telah meng-update dan meng-upgrade penguasaan ilmu kimia. Setelah menyelesaikan pendidikan master di bidang ilmu kimia, saya merasa sudah cukup penguasaan saya di bidang kimia. Bekal ilmu yang saya peroleh selama digembleng di kawah candradimuka berupa proses pendidikan S2, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk bekal saya mengajar dan mengembangkan diri (penelitian).

Pasca menyelesaikan pendidikan S2 di bidang kimia, saya memang merasa penguasaan ilmu kimia sudah jauh meningkat dibandingkan waktu baru S1. Saya sangat bersyukur karena selama menempuh pendidikan S2 bisa berjumpa dengan dosen-dosen yang hebat dan meneguk tetesan ilmu pengetahuan dari beliau-beliau. Walau harus bekerja (belajar) dengan susah payah untuk menyelesaikan studi, akhirnya juga bisa menyelesaikannya.

Setelah lulus pendidikan S2, barulah saya merasa bersyukur dulu bisa bertemu dengan dosen-dosen yang "sulit" dalam hal tuntutan kualitas. Justru melalui perjumpaan dengan dosen-dosen yang mempunyai standar kualitas yang tinggi (sehingga dianggap "sulit" oleh sebagian mahasiswa) telah menggembleng diri saya untuk meng-upgrade kemampuan dan penguasaan ilmu kimia. Di sinilah rasa syukur itu terasa begitu istimewa.

Bekal ilmu kimia dari pendidikan S2 memang telah membuat penguasaan ilmu kimia saya meningkat dan pemahaman pengetahuan kimia saya menjadi lebih terstruktur dan sistematis, tetapi tidak demikian yang terjadi dengan ilmu pedagogi (pendidikan) saya. Saya merasa ilmu pedagogi yang saya miliki masih sangat kurang sekali. Walaupun sudah pernah mengikuti diklat Pekerti dan pelatihan-pelatihan lain terkait pembelajaran dan juga didukung hasil membaca literatur-literatur pendidikan, saya tetap merasa ilmu pedagogi saya masih rendah dan pemahaman ilmu pedagogi saya belum terstruktur dan sistematis. Saya merasa pemahaman pengetahuan pedagogi saya masih parsial-parsial, belum saling terkait membentuk kerangka pengetahuan yang utuh. Saya merasa pengetahuan pedagogi saya belum bermakna (meminjam istilah teori belajar bermakna Ausuble).

Atas dasar alur pemikiran tersebut di atas, maka saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S3 di bidang pendidikan kimia. Setelah mengenyam pendidikan tingkat doktoral selama kurang lebih satu bulan ini, saya sudah merasa bersyukur karena bisa berjumpa dan berinteraksi dengan dosen-dosen yang hebat-hebat. Dari mereka (dosen) saya merasakan mendapatkan siraman ilmu baru, pengetahuan baru, pemahaman baru, cara pandang baru, pengalaman baru di bidang kimia dan pedagogi kimia. Saya mencoba menikmati proses belajar ini, bertemu dengan orang-orang baru dan belajar pengalaman baru.

Semakin tinggi saya menapaki tangga-tangga ilmu, maka semakin membuka cakrawala dan cara pandang saya terhadap dunia ini dengan segala kekompleksannya. Setiap dosen memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing yang berbeda dengan dosen lain. Benar apa yang dikatakan peribahasa "di atas langit masih ada langit". Semakin tinggi kita menapaki tangga-tangga ilmu, maka kita akan selalu menjumpai tangga ilmu lain yang lebih tinggi lagi.

Islam sangat menganjurkan pemeluknya agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan sepanjang masih bisa bernafas. Orang barat menyatakan dengan slogannya "Long life education" (pendidikan sepanjang hayat). Sedangkan baginda Rasulullah Saw menyatakan dengan redaksional yang berbeda sebagaimana sabdanya "Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat" (HR. Muslim).

Semakin tinggi ilmu dan pengetahuan kita, maka semakin tampak "kebodohan" dan "ketidaktahuan" kita. Semakin berbobot ilmu kita, maka terasa semakin kosong diri kita. Hanya orang-orang yang berbekal "ngelmu" yang cukup yang mampu menghadapi godaan sifat sombong dan angkuh yang muncul mengiringi proses pemilikan ilmu. Hanya orang-orang yang arif dan bijaksana lah yang tetap memiliki "kerendahan hati" dan tidak merasa paling pandai walau memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berpendidikan tinggi.

Demikian catatan saya hari ini, semoga bermanfaat. Salam literasi. []

Selasa, 01 Oktober 2024

AGAMA DAN KESALEHAN SOSIAL


Foto: Bersama teman-teman waktu MTs mengunjungi guru yang sedang sakit. 

AGAMA DAN KESALEHAN SOSIAL

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Pendahuluan

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa, dan 87,34%-nya adalah beragama Islam (http://sp2010.bps.go.id). Jadi umat Islam merupakan umat mayoritas terbesar dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Artinya dari perbandingan jumlah pemeluk agama di Indonesia, maka mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam.

Sementara itu, data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyatakan bahwa potensi penerimaan zakat di Indonesia tahun 2015 mencapai 286 triliun rupiah. Suatu angka nominal yang sangat besar. Tetapi sayangnya, realisasi penerimaan zakat di Indonesia baru 3,7 triliun rupiah atau hanya sekitar 1,3 % dari potensinya ( http://nasional.kompas.com). Data ini cukup mencengangkan karena data ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat muslim di Indonesia untuk membayar zakat masih rendah.

Berdasarkan data jumlah umat Islam dan persentase penerimaan zakat yang masih sangat kecil sekali tersebut, timbul pertanyaan di dalam pikiran penulis. Mengapa zakat yang dibayarkan oleh umat Islam masih sangat sedikit dibandingkan seharusnya? Apakah kesadaran umat Islam di Indonesia untuk berzakat memang masih sangat rendah? Faktor apa yang menjadi penyebab terjadi fenomena tersebut? Bagaimana Islam memandang tentang zakat ini? Apakah rendahnya kesadaran umat Islam di Indonesia berkaitan dengan pemahaman ajaran agamanya?

Beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan mencoba menganalisis hubungan antara ibadah sholat dengan kepedulian sosial atau dengan meminjam istilah dari Dr.Hj. Helmiati, M.Ag dengan istilah “kesalehan sosial”. Selamat membaca...

Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial

Di masyarakat masih sering kita jumpai sebagian umat Islam yang saleh secara individu (kesalehan individu) tetapi belum saleh secara sosial (kesalehan sosial). Mereka sangat rajin melaksanakan ibadah-ibadah ritual seperti sholat, puasa, haji, berzikir, dll, tetapi mereka kurang peduli dengan masyarakat sekitarnya.

Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas.

Adapun “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya (Helmiati, 2015).

Islam dan Kesalehan Sosial

Kata “Islam” sendiri dari sisi bahasa berasal dari kata yang sama dengan “salam” (kedamaian), yaitu siin, lam, mim. Selain kedamaian, salam juga berarti keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan (Marzuq, 2015). Berdasarkan arti asal kata ini, maka Islam dapat berarti agama yang damai, agama yang membawa keselamatan, agama yang memperhatikan kesehatan, dan agama yang sangat peduli dengan kesejahteraan. Atas dasar ini, seharusnya umat Islam kehidupan seharusnya penuh dengan kedamaian, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan. Seharusnya umat Islam tidak ada yang ketakutan, sakit, maupun hidup kekurangan (miskin). Tetapi faktanya bagaimana?

Dalam ajaran Islam, ada hadits Rasulullah Saw yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’’ (HR. Ath-Thabarani). Hadist ini menunjukan bahwa Rasullullah Saw menganjurkan umat islam selalau berbuat baik terhadap orang lain dan makhluk yang lain. Hal ini menjadi indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya. Setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang yang berbuat. Seperti kita memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya. Allah Swt berfirman: “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7).

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa yang disebut orang [paling] baik itu adalah orang yang memberi manfaat kepada orang lain. Jadi sudah ketemu benang merahnya bahwa indikator seseorang dikategorikan sebagai “orang baik” adalah seberapa banyak ia memberi manfaat kepada orang lain. Tidak peduli seberapa rajin ia beribadah, seberapa tinggi pendidikannya, seberapa banyak hartanya, seberapa tinggi jabatannya, tetapi kalau tidak bermanfaat bagi orang lain, maka orang tersebut di mata Allah Swt dinilai bukan orang baik. Apakah kita ingin terlihat “baik” di mata Allah Swt? Jika ya, maka berlomba-lombalah memberi manfaat bagi orang lain.

Sudahkah Ibadah [sholat] Kita Bermanfaat bagi Orang Lain?

Tahukah kita, ternyata ibadah sholat juga itu berorientasi ke manfaat ke orang lain. Apa buktinya kalau ibadah sholat kita harus memberi manfaat ke orang lain? Sebagaimana penjelasan di atas, Islam berasal dari kata salam yang salah satu artinya artinya adalah keselamatan. Artinya umat Islam seharusnya menebarkan keselamatan dan kedamaian untuk orang lain di lingkungan masyarakat sebagai bukti bahwa Islam bersifat rahmatan lil’alamin.
Perhatikan firman Allah Swt berikut : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al- ‘Ankabut: 45).

Firman Allah Swt di atas menyatakan bahwa sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang rajin sholat seharusnya terhindar dari melakukan perbuatan keji dan mungkar yang merugikan orang lain. Di akhir sholat kita mengucapkan salam (salam berarti keselamatan dan kedamaian) sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Aktivitas ini bisa kita artikan sebagai simbol perintah bahwa setelah sholat kita harus menebar salam (keselamatan dan kedamaian) ke lingkungan sekitar.

Menebar “salam” dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Pertama menebar “salam” secara pasif. Umat Islam setelah sholat tidak perlu melakukan perbuatan apapun yang bersifat keji dan munkar, cukup diam saja mencegah diri dari godaan melakukan perbuatan keji dan munkar. Artinya kalau setiap umat Islam selesai sholat merasa diingatkan untuk tidak melakukan perbuatan keji dan munkar, maka lingkungan sekitarnya akan terasa aman dan damai. Nah di sini-lah implementasi pasif dari simbol mengucapkan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri yang bermakna menyebarkan keselamatan dan kedamaian ke lingkungan sekitar kita.

Dengan mengimplementasikan pesan moral dari simbol mengucapkan salam dalam gerakan sholat inilah, maka firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ankabut : 45 terbukti kebenarannya. Tetapi perlu dipahami bahwa firman Allah Swt dalam QS. Al-‘Ankabut : 45 tersebut merupakan perintah aktivitas minimal (paling rendah) karena dalam ayat tersebut tidak disebutkan umat Islam harus melakukan perbuatan apapun, hanya diperintah untuk mencegah atau menghindarkan diri dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Jadi hanya pasif dan diam saja tanpa melakukan apapun.

Coba perhatikan dengan pikiran jernih dan hati yang tenang, di ayat tersebut Allah Swt hanya menyuruh kita (umat Islam) untuk diam, dalam arti mencegah diri dari melakukan tindakan keji dan munkar, tidak disuruh berkorban apapun. Maka ayat tersebut merupakan kewajiban paling ringan yang diperintahkan Allah Swt. Tetapi faktanya bagaimana?

Cara kedua menebarkan “salam” secara aktif. Cara kedua ini tingkatannya lebih tinggi dari yang pertama (QS. Al-‘Ankabut :45) karena harus ada tindakan. Kita semua mengetahui bahwa di antara umat Islam dan umat agama lain masih ada orang-orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan. Kehidupan mereka masih jauh dari kata “layak”. Kalau kita bisa makan sehari tiga kali dengan menu sesuai selera kita, maka mereka jangankan sehari makan tiga kali, mungkin saja untuk makan sehari satu kali saja ada yang tidak mampu karena memang tidak ada makanan yang dimakan.

Dengan kondisi yang demikian tersebut, apakah kehidupan mereka dipenuhi kedamaian? Apakah kehidupan mereka diliputi keselamatan? TIDAK !!! Mereka setiap hari hidup dengan kondisi serba kurang, perut lapar, tempat tinggal yang tidak pantas disebut “rumah”, kondisi tubuh yang rentan dari serangan penyakit karena makananya tidak bergizi dan lingkungan yang tidak sehat, dll. Coba kita bayangkan, bagaimana seandainya kita mengalami atau menjalani kehidupan seperti mereka, apakah kita mampu? Apakah kita akan bahagai? Apakah kita merasa hidup penuh kedamaian?

Nah, untuk memberikan jaminan keselamatan dan kedamaian kepada orang-orang jauh dari sejahera tersebut, kita tidak cukup hanya dengan menggunakan dasar firman Allah Swt dalam QS. Al-‘Ankabut : 45 karena pasti tidak ada manfaatnya. Kita tdak bisa memberikan keselamatan dan kedamaian kepada mereka hanya dengan kita tidak melakukan perbuatan keji dan munkar. Sekali lagi “KITA TIDAK BOLEH DIAM” saja! Kita harus melakukan sesuatu, kita harus action, melakukan tindakan nyata untuk mengamalkan ajaran “salam” dalam sholat kita. Pada kondisi yang seperti inilah, kita menggunakan Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’ (HR. Ath-Thabarani).

Kita tidak cukup hanya dengan mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, tetapi kita harus bertransformasi menjad orang baik, yaitu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Di sinilah perintah kita untuk mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah menjadi relevan.

Simpulan

Jadi menurut pendapat penulis, perintah mendirikan sholat dan menunaikan zakat itu adalah sangat berkaitan. Makanya ada firman Allah Swt yang berbunyi, “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS: Al Baqarah: 43).

Dalam ayat ini Allah Swt memerintahkan umat Islam mendirikan sholat kemudian diikuti perintah menunaikan zakat. Apa maksud Allah Swt dengan perintah sholat diikuti perintah zakat? Menurut hemat penulis, di sinilah rahasia perintah sholat yang belum banyak diketahui. Ternyata sholat tidak hanya “kesalehan ritual/individu” tetapi berkaitan sangat erat dengan “kesalehan sosial”. Dan inilah tujuan hakiki perintah sholat dengan adanya gerakan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.

Jadi tujuan gerakan mengucapkan “salam” ke kanan dan ke kiri dalam sholat akan terwujud jika kita benar-benar mengetahui tujuan hakiki dari sholat tersebut. Jadi sholat adalah ibadah yang berorientasi ke manfaat ke orang lain, atau kalau disesuaikan dengan judul artikel ini maka dapat dikatakan bahwa sholat merupakan ibadah yang berorientasi kepada kesalehan sosial. Bagaiamana dengan sholat kita,apakah sudah sesuai kehendak Allah Swt? Apakah sholat kita sudah berdampak positif ke kepedulian sosial? Wallahu a’lam.
Demikian, semoga bermanfaat. []


REFERENSI:
Helmiati, 2015, Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial, Tersedia online di https://uin-suska.ac.id/.../meyakini-shalat-sebagai-obat.../
Marzuq,J.R., 2015, Inilah Islam, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Badan Pusat Statistik, 2010, Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, tersedia online di http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
Badan Amil Zakat Nasional, 2016, Baznas: Pembayaran Zakat di Indonesia Hanya 1,3 Persen dari Potensi,tersedia online di http://nasional.kompas.com/.../baznas.pembayaran.zakat.di...

Postingan Populer