Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 April 2024

KARTINI DAN EMANSIPASI WANITA

 


KARTINI DAN EMANSIPASI WANITA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama selaku makhluk Tuhan. Setiap bayi yang dilahirkan ke dunia ini membawa misi yang sama, yaitu menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di bumi. Tugas setiap manusia adalah mengelola bumi dan segala isinya untuk kebaikan umat manusia. Setiap orang memiliki kelebihan dan keunikan masing-masing. Manusia tidak bisa dibanding-bandingkan hanya menggunakan satu indikator saja karena manusia merupakan makhluk Tuhan yang istimewa dan kompleks. Bahkan para ahli kesulitan untuk merumuskan satu definisi tentang pengertian hakikat manusia yang mengakomodir semua komponen dalam diri manusia. Alexis Carell (1873-1944), dokter ahli Bedah Perancis, seorang peletak dasar humaniora, menjelaskan tentang kesulitan yang dihadapi dalam menyelidiki hakikat manusia (Karman, 2018). Para ahli hanya mampu membuat definisi tentang manusia dengan memotret sebagian saja dari komponen penyusun diri manusia.  

            Manusia diciptakan Allah SWT dalam dua jenis gender, yaitu laki-laki dan perempuan atau pria dan wanita. Laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Karena kondisi tersebutlah, fitrahnya laki-laki dan perempuan saling berpasangan untuk melengkapi satu dengan yang lainnya. Dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing tersebut, laki-laki dan perempuan memiliki kodrat kehidupan sendiri-sendiri. Kodrat kehidupan ini berkaitan dengan peran bawaan dari Allah SWT yang mana tidak dapat digantikan oleh jenis gender lain. Sebagai misal kodrat perempuan adalah mengandung, melahirkan dan menyusui bayi. Peran perempuan ini tidak bisa digantikan oleh laki-laki karena laki-laki tidak bisa mengandung, melahirkan dan menyusui. Oleh karena itu, mengandung, melahirkan dan menyusui merupakan kodrat perempuan.

            Berbicara tentang kodrat perempuan (kodrat wanita), biasanya dikaitkan dengan terminologi emansipasi wanita. Emansipasi wanita umumnya dimaknai sebagai kesetaraan gender, yaitu persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Sebagai misal, laki-laki mempunyai hak kebebasan untuk menuntut ilmu (bersekolah), maka wanita seharusnya juga memiliki hak kebebasan untuk bersekolah setinggi-setingginya sebagaimana laki-laki. Laki-laki bisa bekerja di luar rumah, maka wanita juga bisa bekerja di luar rumah.

Kesetaraan gender merupakan sebuah gagasan yang sangat penting bagi hak asasi manusia dan masyarakat yang damai dan telah dibuktikan oleh berbagai penelitian dimana hal tersebut sangat penting untuk memberikan perkembangan di segala aspek. Secara sederhana, kesetaraan gender adalah keadaan di mana akses terhadap hak atau peluang tidak dipengaruhi oleh gender. Kesetaraan gender tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan memiliki atau membutuhkan sumber daya yang sama persis, tetapi hak, tanggung jawab, dan peluang perempuan, laki-laki, transgender, dan orang yang beragam gender tidak akan bergantung pada gender yang ditetapkan saat mereka lahir (Admin Swiss Cham, 2022). Konsep kesetaraan gender sekilas mudah dipahami dan diterima oleh akal sehat sehingga seharusnya mudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Banyak di masyarakat para wanita mendapatkan perlakuan yang tidak adil yaitu berupa pembatasan ruang gerak mereka untuk mengekspresikan diri dan beraktivitas.

Fenomena terjadinya perlakuan yang tidak adil terhadap wanita tersebut hampir terjadi di seluruh belahan dunia manapun sebelum konsep emansipasi wanita dan persamaan hak asasi manusia diterima oleh negara-negara di dunia. Banyak para wanita yang perannya terpinggirkan oleh aturan adat budaya dan aturan agama (kepercayaan). Ada agama atau aliran kepercayaan tertentu yang memandang wanita memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Doktrin-doktrin ajaran agama dan/atau kepercayaan maupun tradisi budaya di masyarakat begitu kuat membelenggu kebebeasan para wanita untuk mengembangkan potensi diri dan mengekspresikannya dalam aktivitas sehari-hari.

Kondisi yang demikian tersebut juga dialami oleh R.A. Kartini, nama seorang wanita Indonesia yang namanya sering disebut dalam nyanyian lagu nasional dan diperingati setiap tanggal 21 April yaitu peringatan Hari Kartini. R.A. Kartini adalah salah satu wanita Indonesia yang memperoleh gelar ‘Pahlawan Nasional” berdasarkan Keppres No.108 Tahun 1964 yang ditetapkan pada 2 Mei 1964 dan menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini (Anonim, n.d.). R.A. Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan hari kelahirannya setiap tahun diperingati sebagai Hari Kartini dikarenakan gagasan-gagasan pemikirannya tentang kesetaraan gender atau emansipasi wanita telah menginspirasi para wanita Indonesia. Kartini adalah simbol emansipasi wanita di Indonesia. Perjuangan dan pemikiran gagasan emansipasi wanita oleh Kartini telah membukakan pandangan bangsa Indonesia tentang pentingnya memperlakukan dan mendudukan wanita setara dengan laki-laki.

Kartini menyuarakan pentingnya kesetaraan gender untuk masyarakat bangsanya. Kartini sampai menyuarakan pentingnya kesetaraan gender karena di masyarakat kedudukan wanita masih ditempatkan di bawah kedudukan laki-laki. Peran wanita dalam kehidupan bermasyarakat dibatasi, demikian pula dalam kehidupan di rumah atau keluarga. Wanita dianggap tidak layak dihormati sebagaimana penghormatan kepada laki-laki. Di masyarakat Jawa, wanita dianggap “konco wingking” yang artinya teman di belakang yang hanya mengurusi urusan di belakang seperti masak, bersih-bersih rumah, dan teman tidur di kasur. Sedangkan yang menyangkut urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas, lebih banyak diserahkan ke laki-laki karena laki-laki dianggap lebih mampu dibandingkan wanita. Wanita dianggap makhluk yang tugasnya hanya melayani laki-laki.

Kartini adalah wanita yang berani menyuarakan apa yang dianggapnya kurang tepat terkait tradisi dan keyakinan masyarakatnya terhadap kedudukan wanita. Kartini berpandangan bahwa wanita juga punya hak yang sama seperti laki-laki dalam mengenyam pendidikan. Karena di masyarakatnya, para wanita sangat terbatas untuk mengakses pendidikan (baca: sekolah), maka ia berencana mendirikan sekolah agar para wanita dapat sekolah. Tujuan yang mulia ini ternyata mendapat dukungan dari orang tuanya dan saudaranya. Bahkan saudara laki-lakinya yang berkesempatan sekolah ke Belanda sering mengirimkan buku-buku bacaan dan majalah kepada Kartini. Dengan membaca buku-buku yang diberikan kakak laki-lakinya tersebut, Kartini semakin terbuka pikirannya dan semakin menyadari bahwa ada yang kurang dengan pandangan masyarakatnya terkait kedudukan dan status wanita.

Kartini banyak menyampaikan gagasan-gagasan pemikirannya melalui surat-surat yang dikirimkan kepada temannya di Belanda. Kumpulan surat-surat Kartini yang berisi keluhan kondisi para wanita di negerinya dan pandangan-pandangannya tentang bagaimana seharusnya wanita diperlakukan, di kemudian hari diterbitkan menjadi buku yang berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku habis gelap terbitlah terang merupakan dokumen berharga tentang kisah seorang wanita pribumi yang walaupun berada di rumah pingitan dan dibatasi ruang geraknya dalam beraktivitas dan berinteraksi dengan dunia luar, dia tetapi berusaha mengenal dunia melalui aktivitas membaca buku-buku. Pandangan gagasan pemikirannya tentang kondisi wanita di masayarakatnya yang sangat memperihatinkan beliau sampaikan ke sahabatnya di Belanda melalui surat-suratnya. Melalui bantuan sahabat di negeri Belanda tersebulah, akhirnya dunia mengenal sosok Kartini. Pemikiran dan pandangannya yang luar biasa dan visioner telah menjadikan sosok Kartini sebagai idola dan contoh model wanita yang merdeka. Gagasan-gagasannya tentang emansipasi wanita telah menggerakan para wanita di negerinya dan negara lain untuk memperjuangkan kesetaraan gender bahwa wanita dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam mengaktualisasikan diri.

Kartini beragama Islam dan ia adalah seorang santriwati dari seorang ulama besar. Selain menyoroti kondisi para wanita di masyarakatnya, konon Kartini juga mengkritik tentang metode pembelajaran dalam dakwah Islam. Dia mempertanyakan mengapa dia tidak diperbolehkan mengetahui terjemahan dan penafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca. Menurut pendapatnya, jika ayat-ayat Al-Qur’an hanya dibaca saja tanpa disertai terjemahnya dan tafsirnya, maka bacaan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut tidak bermanfaat. Membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an tanpa memahami maksudnya adalah tidak bermanfaat. Al-Qur’an harus dapat dipahami sehingga dapat menjadi pedoman hidup umat manusia, tidak hanya sekadar bacaan rutin setiap hari saja.

Beberapa informasi tersebut di atas menjadi bukti bahwa Kartini sangat peduli dengan kondisi masyarakat dan agamanya (maksudnya pengamalan ajaran agama). Kartini tiddak hanya mengeluhkan kondisi masyarakat wanita yang mendapatkan perlakuan tidak adil dan terpinggirkan dalam mengakses pendidikan dan peran-peran strategis di masyarakat. Tidak hanya masalah kondisi wannita di masyarakat, Kartini juga mempertanyakan mengapa umat Islam dilarang membaca terjemahan dan tafsir dari ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran-pemikiran Kartini sangat visioner jika dinilai pada masa itu karena tidak banyak wanita pribumi yang memiliki pandangan maju dan visioner seperti dia. Oleh karena itu, pantaslah kalau beliau dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional dan tanggal kelahirannya setiap tahun diperingati sebagai Hari Kartini.

 

 

Daftar Bacaan

Admin Swiss Cham. (2022, July 26). Apa yang Dimaksud Dengan Kesetaraan Gender? Penjelasan Lengkap dan 3 Contohnya - B20 Indonesia Sustainability 4.0. https://indonesiasustainability.com/apa-yang-dimaksud-dengan-kesetaraan-gender/, https://indonesiasustainability.com/apa-yang-dimaksud-dengan-kesetaraan-gender/

Anonim. (n.d.). Profil R A Kartini—VIVA. Retrieved April 17, 2023, from http://www.viva.co.id/siapa/read/401-r.a.-kartini

Karman, K. (2018). Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya.

 

Gumpang Baru, 30 April 2024

Sabtu, 06 April 2024

BIOGRAFI PENULIS: AGUNG NUGROHO CATUR SAPUTRO

 


BIOGRAFI PENULIS 

AGUNG NUGROHO CATUR SAPUTRO, S.Pd., M.Sc. 

(ICT, C.MMF, C.AIF, C.GMC, C.CEP, C.MIP, C.SRP, C.MP) 



Penulis adalah dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menempuh Pendidikan S1 (S.Pd) bidang Pendidikan Kimia di Universitas Sebelas Maret dan Pendidikan S2 (M.Sc.) bidang Kimia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan doktoral di Program Studi S3 Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). 

Selain sebagai dosen, penulis juga aktif sebagai Blogger di https://sharing-literasi.blogspot.com, seorang Pegiat literasi dan Penulis buku yang telah menerbitkan 100+ judul buku (baik buku solo maupun buku kolaborasi) dan memiliki 42 sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Kemenkumham RI. Penulis merupakan seorang Konsultan penerbitan buku pelajaran Kimia dan IPA dan seorang Reviewer jurnal ilmiah nasional terakreditasi SINTA 3.

Beberapa prestasi dan penghargaan yang pernah diraih penulis adalah Peraih Juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran kimia MA/SMA di Kementerian Agama RI (2007), Peraih Sahabat Pena Kita (SPK) Award ”Anggota Teraktif” Peringkat 1 (2021), Peraih Penghargaan Rektor UNS sebagai ”Inovasi dan P2M Award LPPM UNS” Peringkat 2 (2022), Peraih Indonesia Top 3% Scientists bidang Chemical Sciences ”AD Scientific Index” (2023), Peraih World’s Top 20% Scientists bidang Natural Sciences ”AD Scientific Index” (2024), Peraih Penghargaan Rektor UNS sebagai ”Inovasi dan P2M Award LPPM UNS” Peringkat 3 (2023), Peraih Sahabat Pena Kita (SPK) Award ”Top Three Most Views of The Month” Peringkat 1 (2023).

Sertifikasi kompetensi yang dimiliki penulis adalah sebagai penulis buku non fiksi tersertifikasi BNSP (2020) dan Trainer tersertifikasi tingkat nasional dan internasional: Indomindmap Certified Trainer-ICT,  Indomindmap Certified Growth Mindset Coach, Indomindmap Certified Multipe Intelligences Practitioner, Indomindmap Certified Character Education Practitioner, ThinkBuzan Certified Applied Innovation Facilitator (UK), ThinkBuzan Certified Speed Reading Practitioner (UK), ThinkBuzan Certified Memory Practitioner (UK), ThinkBuzan Certified iMind Map Leader (UK), dan ThinkBuzan Certified Mind Map Facilitator (UK). 

Penulis dapat dihubungi melalui email: anc_saputro@yahoo.co.id. Tulisan-tulisan penulis dapat dibaca di akun Facebook: Agung Nugroho Catur Saputro, website: https://sahabatpenakita.id dan blog: https://sharing-literasi.blogspot.com. []

Sabtu, 16 Maret 2024

MEMAKNAI TRADISI BULAN RAMADAN: Refleksi Pengalaman Masa Kecil

 


MEMAKNAI TRADISI BULAN RAMADAN:
Refleksi Pengalaman Masa Kecil

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

 

A. Pendahuluan

 

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa [04]: 9).

Penggalan firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 di atas menjadi sumber inspirasi bagi para orang tua untuk tidak mengabaikan kondisi anak keturunannya. Para orang tua harus mampu menyiapkan anak keturunannya untuk memiliki kompetensi dan keterampilan yang mendukung kehidupan agar kelak anak keturunan mereka mampu hidup dengan normal dan menjalani roda kehidupan dengan baik dan tanpa kendala apapun. Tafsir Al-Muyassar dari Kementerian Agama Saudi Arabia (Anonim, n.d.) menafsirkan ayat tersebut dengan redaksional sebagai berikut. “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggal dan meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang masih kecil-kecil atau lemah, yang mereka takutkan mengalami kezhaliman atau tak terurus, maka hendaknya mereka selalu merasa diawasi oleh Allah dalam memperlakukan orang yang berada di bawah tanggungannya dari anak-anak yatim dan anak-anak lainnya, yaitu dengan cara menjaga harta benda mereka, mendidik mereka dengan baik, dan menyingkirkan segala gangguan dari mereka dan hendaklah berkata kepada mereka dengan ucapan yang sejalan dengan semangat keadilan dan yang baik-baik”.

Salah satu cara menyiapkan keturunan yang tangguh dan berkualitas tinggi adalah memberikan anak pengalaman-pengalaman menjalankan amalan agama yang terejawantahkan dalam wujud tradisi dan budaya kearifan lokal. Pengalaman melakukan amalan-amalan kebaikan di waktu kecil akan menjadi bekal menjadi orang baik ketika mereka dewasa kelak. Mengajarkan anak mengamalkan amalan-amalan kebaikan di masa kecil merupakan bagian dari pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang memang seyogyanya dimulai ketika anak masih kecil.


B.  Urgensi Pendidikan Akhlak (Karakter) untuk Anak Kecil

Pendidikan akhlak sebaiknya diberikan kepada anak sejak kecil, karena usia yang masih dini, anak akan mudah dibimbing dan diajarkan perbuatan-perbuatan yang baik, sehingga ketika sudah dewasa, perbuatan baik tersebut akan melekat dan menjadi kebiasaan anak tersebut. Memberikan pendidikan kepada anak sejak dini, sudah dicontohkan oleh Luqman al-Hakim yang kisahnya diabadikan dalam surah Luqman, memberikan nasihat-nasihat kepada anaknya, seperti: melarang mempersekutukan Allah, harus berbakti kepada kedua orang tua, perintah mendirikan sholat, berbuat kebaikan, menjauhi kemungkaran, tidak boleh berbuat sombong dan sabar dalam menghadapi persoalan (Pradana, 2023).

Masa kecil memang masa-masa yang menyenangkan. Dunia anak kecil merupakan dunia yang isinya hanyalah bersenang-senang, bergembira, dan bermain. Anak kecil belum memahami berbagai permasalahan kehidupan. Anak kecil tahunya dunianya adalah dunia yang penuh kesenangan dan kegembiraan. Mereka tidak memiliki pikiran negatif terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Apapun yang mereka lakukan adalah untuk bersenang-senang dan bergembira.

            Dalam hal proses belajar, anak-anak juga tidak memahami apa itu belajar. Yang mereka tahu adalah mereka mengeksplorasi potensi diri dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Anak-anak hanyalah makhluk Tuhan yang menjalankan fitrah kehidupannya melalui tahap-tahap perkembangannya. Mereka menjalani proses kehidupan dan berproses menjadi lebih kompeten hanya berdasarkan garis hidup (blueprint) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Proses belajar anak-anak adalah mengikuti karakteristik dunia mereka, yaitu dunia yang penuh permainan dan kegembiraan. Oleh karena itu, belajarnya anak-anak adalah melalui bermain. Permainan dan apapun yang dilakukan anak-anak pada hakikatnya adalah proses mereka belajar mengenali potensi diri dan menempa dirinya untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kompeten dalam menjalani kehidupan nantinya.

Apa yang dilakukan di masa kecil akan menjadi kenangan indah ketika dewasa. Semua yang dilihat, dilakukan, dan dipelajari di masa kecil akan menjadi investasi berharga ketika dewasa. Masa kecil bagaikan sebuah memory hardisk yang menyimpan semua data masa kecil yang dapat diputar ulang ketika dewasa. Masa kecil adalah masa-masa yang tepat untuk menyimpan sebanyak-banyaknya memori indah dan memori proses belajar yang nantinya ketika dewasa dapat di panggil kembali untuk dimanfaatkan.

Mengajarkan akhlak atau karakter-karakter yang baik kepada anak kecil dengan mengenalkan, melatihkan, dan membiasakan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang mengandung nilai pendidikan karakter baik merupakan investasi sangat berharga bagi kehidupan mereka nanti ketika dewasa. Semua sikap dan perilaku kebaikan yang sudah terbiasa mereka lakukan hingga mendarah daging dan menyatu dalam diri menjadi jati diri mereka akan menuntut dan mengarahkan jiwa mereka menjadi orang-orang yang berjiwa dan berakhlak baik.


C.  Memaknai Tradisi-Tradisi di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan menyimpan banyak kenangan di waktu kecil. Banyak tradisi bulan Ramadan yang penulis alami sewaktu kecil. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan merupakan wujud akulturasi dari pemaknaan kemuliaan bulan Ramadan yang dikemas dalam bingkai kearifan budaya lokal. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan- bulan yang penuh kemuliaan- diciptakan oleh orang-orang tua arif bijaksana di zaman dahulu untuk menghormati dan memuliakan datangnya bulan Ramadan maupun mengisi keagungan bulan Ramadan yang penuh maghfirah dengan amalan-amalan yang baik.

Tradisi-tradisi menjelang dan selama bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil memberikan bekas ingatan yang mendalam. Setiap kali mengingat kembali pengalaman menjalani tradisi bulan Ramadan di waktu kecil, penulis merasakan kebahagiaan dan muncul rasa syukur karena pernah menjalani pengalaman-pengalaman indah dan menyenangkan tersebut. Dulu sewaktu kecil penulis tidak memikirkan mengapa masyarakat melakukan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut dan apa manfaatnya. Tetapi setelah penulis dewasa dan pemahaman ilmu agama penulis semakin mendalam, penulis dapat menangkap pesan-pesan kebaikan yang tersirat dalam kegiatan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut.

Memang setelah dewasa, penulis tidak lagi melaksanakan semua tradisi bulan Ramadan yang dulu pernah penulis lakukan di masa kecil. Tetapi sebagian dari tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut tetap penulis lakukan hingga sekarang. Beberapa tradisi bulan Ramadan yang penulis tidak lakukan lagi tersebut bukan karena tradisi tersebut salah atau bertentangan dengan ajaran agama Islam yang penulis pahami. Tetapi penulis lebih memilih mengambil hikmah yang terkandung dari tradisi bulan Ramadan tersebut dan mengerjakannnya dalam wujud amalan yang berbeda tetapi bertujuan sama. Penulis tidak ingin terjebak dalam aktivitas kulitnya tetapi penulis ingin mengambil inti sari dari tujuan dan manfaat dari tradisi bulan Ramadan tersebut.

Orang-orang zaman sekarang akan memunculkan tradisi dan budaya baru yang lebih relevan dengan pola dan kondisi kehidupan zaman sekarang. Tradisi dan budaya baru yang tercipta di masyarakat zaman sekarang merupakan perwujudan dari upaya orang-orang zaman sekarang dalam mengaktualisikan pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Jadi penulis bersikap moderat terhadap keberadaan tradisi dan budaya warisan orang-orang zaman dahulu, yakni tidak menolak dan tidak menerima seratus persen, tetapi lebih bersikap selektif dan mengutamakan tujuan hakikat dari diadakannya tradisi dan budaya tersebut. Tradisi dan budaya yang masih relevan dengan perikehidupan zaman sekarang perlu tetap dilestarikan, tetapi tradisi dan budaya yang sudah tidak relevan dengan kehidupan sekarang dan bahkan mungkin bisa menimbulkan kemadharatan, maka perlu ditingalkan dengan diganti dengan tradisi dan budaya baru yang lebih baik dan bermanfaat.


D.   Tradisi-Tradisi Bulan Ramadan di Masa Kecil

            Pengalaman-pengalaman di masa kecil sangat bermanfaat ketika dewasa. Pengalaman berpuasa Ramadan di masa kecil ternyata menyimpan banyak hikmah yang patut direnungkan. Hikmah-hikmah pengalaman menjalankan puasa Ramadan di masa kecil dapat dimanfaatkan untuk bahan refleksi diri kita ketika menjalani proses kehidupan ini. Beberapa pengalaman menarik di masa kecil penulis yang penulis ingat ketika datang bulan Ramadan adalah sebagai berikut.

1.  Padusan

Mengutip dari buku Manunggaling Islam Jawa karya Rojikin, dijelaskan bahwa Padusan adalah bersuci dari hadas kecil maupun besar. Secara umum, makna dari Padusan adalah sebuah tradisi sebagai titik awal untuk memulai amalan-amalan di bulan suci Ramadhan. Lebih lanjut disampaikan melalui laman resmi Visit Jawa Tengah, bahwa Padusan merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan (Milagsita, 2024).

Penulis waktu kecil melakukan tradisi Padusan ini dengan mandi bersama teman-teman di sungai dekat Waduk Cengklik. Waktu itu mandi bersama teman-teman masa kecil begitu menyenangkan. Terlebih airnya jernih karena berasal langsung dari Waduk Cengklik sehingga terasa sangat segar dan suasana penuh kegembiraan. Ada juga sebagian masyarakat yang melakukan padusan ke beberapa tempat pemandian umum seperti umbul Tlatar dan umbul Pengging.

Saat ini, penulis sudah tidak melakukan tradisi Padusan tersebut. Menurut pemikiran penulis, tradisi Padusan merupakan simbol penyucian diri (jasmani dan rohani) orang-orang zaman dulu untuk menyambut datangnya bulan yang mulia yaitu bulan Ramadan. Mereka mewujudkan aktivitas penyucian diri dengan mandi bersama yang disebut Padusan. Jadi hakikat dari tradisi Padusan adalah penyiapan jiwa yang suci (menyucikan jiwa) untuk menyambut bulan Ramadan. Penulis berpendapat bahwa kegiatan penyucian jiwa dalam tradisi Padusan tersebut dapat diganti dan diwujudkan dengan membersihkan niat di hati dan pikiran untuk menyambut datangnya bulan Ramadan.

Puasa Ramadan adalah ibadah yang sangat berkaitan dengan sisi rohani, maka menyiapkan rohani yang bersih dan suci dengan membersihkan niat melaksanakan puasa Ramadan adalah lebih urgen dan relevan untuk zaman sekarang. Tradisi mandi bersama di tempat pemandian umum walaupun bertujuan baik untuk menyambut datangnya bulan Ramadan, tetapi juga bisa menimbulkan kemadharatan karena terbuka aurat yang bisa dilihat orang banyak dan hal ini bisa menimbulkan efek negatif. Mungkin kegiatan mandi bersama di tempat umum pada zaman dulu tidak menimbulkan masalah, tetapi di zaman sekarang dimana terjadi degradasi moral dan pergeseran tentang pandangan batasan nilai kesopanan dalam berpakaian, maka tradisi mandi bersama (Padusan) menurut pendapat penulis sudah tidak relevan lagi.

2. Sadranan atau Nyadran.

Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah tradisi nyadran.  Masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menjalankan tradisi nyadran untuk menyambut bulan Ramadan. Istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata “sraddha” yang artinya  keyakinan.  Tradisi ini merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang atau yang dikenal dengan animisme.  Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa melalui wali songo, tradisi yang ada tidak dihilangkan namun justru menjadi alat untuk menyebarkan Islam.  Seiring masuknya Islam, tradisi sraddha mengalami perubahan.  Sebelum Islam, sraddha dilakukan untuk memperoleh berkah. Pada perkembangannya, tradisi ini menjadi  wujud rasa syukur atas anugerah Allah SWT kepada  warga.  Setelah pengaruh Islam digunakan kata nyadran.  Jadi nyadran adalah hasil dari akulturasi budaya Jawa dan Islam (Anggraini, 2023).

Di kampung penulis dulu, sadranan atau nyadran dilakukan dengan cara membersihakan makam orang tua dan leluhur dan dilanjutkan acara pengajian (pemberian tausiah) dan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat atau kyai. Setelah rangkain acara sadranan selesai, kemudian  diakhiri dengan pembagian makanan atau makan bersama. Makanan yang biasa disajikan adalah nasi penak (nasi dan lauk pauk yang dibungkus daun pisang). Nasi penak tersebut dikumpulkan dari sedekah warga kampong sendiri. Makan nasi penak bersama-sama warga kampong merupakan pengalaman yang indah dan menyenangkan karena disitu terlihat rasa kebersamaan dan kerukunan masyarakat. Juga bagi penulis pribadi, bisa makan nasi penak merupakan kemewahan tersendiri karena nasi penak biasanya berisi lauk pauk yang enak-enak.

Sekarang penulis sudah tidak pernah ikut acara sadranan di kampung karena penulis sudah pindah rumah. Juga karena kedua orang tua penulis juga sudah pindah rumah ke kampung lain sehingga penulis sudah terputus hubungan silaturahmi dengan warga kampung masa kecil penulis yang sudah puluhan tahun penulis tinggalkan. Sedangkan di daerah tempat tinggal penulis sendiri yang berada di kawasan perumahan tidak ada tradisi sadranan setiap menjelang datang bulan Ramadan. Kegiatan sadranan biasanya penulis gantikan dengan acara nyekar atau ziarah ke makam kedua orang tua penulis untuk mendoakan beliau berdua. Hal itu dikarenakan penulis berpendapat bahwa inti dari kegiatan sadranan sebenarnya adalah mendoakan orang tua dan leluhur yang telah meninggal. Jadi walaupun tidak ada kegiatan sadranan di wilayah perumahan, penulis tetap bisa melakukan kegiatan sadranan dalam bentuk lain yaitu melakukan  kegiatan nyekar atau ziarah kubur bersama keluarga ke makam kedua orang tua.

3.  Membersihkan masjid/mushalla dan mencuci karpet/tikar masjid/mushalla

Menjelang datangnya bulan Ramadan, dulu waktu di kampung biasanya pengurus remaja masjid mengadakan kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla dengan menyapu dan mengepel lantai masjid/mushalla. Di samping itu juga mencuci karpet atau tikar masjid/mushalla ke sungai dekat Waduk Cengklik. Kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla merupakan pengalaman masa kecil yang sangat menyenangkan. Anak-anak menyambut kedatangan bulan Ramadan dengan penuh gembira.

Tradisi memberishkan masjid/mushalla sampai sekarang masih dilakukan di banyak masjid/mushalla. Karena mendatangkan manfaat bagi kebersamaan, kerukunan dan kepedulian umat, maka penulis berpendapat tradisi bersih-bersih masjid ini masih perlu dilestarikan.

4.  Tadarus Al-Qur’an

Kegiatan Tadarus Al-Qur’an merupakan kegiatan rutin yang dulu penulis lakukan setiap bulan Ramadan. Dulu sering dipercaya bapak Kyai untuk mendampingi anak-anak kecil membaca Al-Qur’an (Tadarus Al-Qur’an) setiap bakda shalat Tarawih di mushalla. Hadiah dari melaksanakan dawuh kyai tersebut adalah mendapat hadiah sarung dari Kyai. Waktu itu penulis merasa senang dan bahagia sekali mendapat hadiah sarung baru dari Kyai. Penulis merasa mendapatkan keberkahan tersendiri ketika mendapat hadiah sarung baru tersebut. Mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi anak-anak kecil mengaji (Tadarus Al-Qur’an) saja sudah merasa sangat beruntung, apalagi ditambah mendapatkan hadiah sarung baru dari Kyai. Pengalaman tersebut sangat membekas dalam memori ingatan penulis saat ini. Sepertinya ingin mengulang kembali pengalaman-pengalaman masa kecil yang sangat indah tersebut.

Tardisi Tadarus Al-Qur’an ini penulis lanjutkan sampai sekarang. Tetapi penulis tidak mengkhususkan Tadarus Al-Qur’an (membaca Al-Qur’an) hanya saat bulan Ramadan saja, melainkan membaca Al-Qur’an setiap hari. Penulis membiasakan seluruh anggota keluarga untuk membaca Al-Qur’an secara rutin setiap bakda Shalat Maghrib. Menurut penulis, mengkhususkan membaca Al-Qur’an dan bahkan mengkhatamkan membaca Al-Qur’an 30 Juz hanya di bulan Ramadana adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah rutin membaca Al-Qur’an setiap hari. Hal ini sesuai hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Allah SWT suka amalan yang sedikit yang istikamah (terus-menerus dilakukan) dibandingkan amalan besar tapi kemudian berhenti. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim).

Penting bagi seorang muslim untuk untuk melakukan sebuah amalan kebaikan secara istiqomah atau kontiyu. Kualitas amalan seseorang tidak hanya dilihat dari sebuah kecil atau besarnya amalan, akan tetapi dilihat dari kesinambungannya. Karena amal baik akan melahirkan amal baik berikutnya. Amalan yang besar namun berhenti di tengah jalan tak lebih baik dari amalan kecil namun berlangsung terus-menerus. Amalan yang sedikit tetapi istiqamah akan mencegah seseorang beramal pada titik jenuh. Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun rutin, maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada (Yudi, 2022).

5.  Pengajian anak-anak

Dulu di kampung penulis, di setiap bulan Ramadan ada tradisi kegiatan pengajian anak-anak yang dikoordinasi oleh pengurus remaja masjid yang dilaksanakan setiap bakda shalat Ashar hingga masuk waktu buka puasa. Waktu penulis penulis masih kecil, penulis rutin mengikuti acara pengajian anak-anak tersebut dan hal yang menyenangkan yang ditunggu-tunggu adalah mendapat makana takjil buka puasa bersama. Walaupun menu takjil buka puasa hanya minum the manis dan makanan snack ringan, tetapi saat itu pengalaman yang begitu menyenangkan.

            Ketika penulis sudah remaja dan menjadi pengurus remaja masjid, gantian penulis terlibat dalam memberikan materi pengajian ke anak-anak. Materi pengajian anak-anak meliputi materi pesholatan (bacaan sholat), doa-doa, dan surat-surat pendek. Waktu itu penulis merasa senang sekali dan bersemangat bisa mengajari anak-anak kecil belajar materi pesholatan, doa-doa, dan hafalan surat-surat pendek. Sebuah pengalaman masa kecil yang begitu indah dan membahagiakan.

6.   Shalat Tarawih

Sholat Tarawih merupakan ibadah yang rutin dilakukan saat bulan Ramadan. Saat penulis masih kecil, penulis melaksanakan ibadah sholat Tarawih di musholla dekat rumah yang diimami langsung oleh bapak Kyai. Ketika masih kecil, penulis didampingi ayah dalam melaksanakan sholat Tarawih. Di mushlla kampong penulis, sholat Tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rekaat, yaitu 20 rekaat sholat Tarawih dan 3 rekaat sholat Witir. Setelah penulis menginjak remaja, penulis ikut sholat Tarawih sendiri. Sejak kecil penulis berusaha bisa mengikuti shalat Tarawih sebanyak 23 rekaat tanpa bolong-bolong.

7.  Khataman Al-Qur’an

Setiap bakda shalat Tarawih dilanjutkan kegiatan Tadarus Al-Qur’an. Ketika kegiatan membaca Al-Qur’an (Tadarus Al-Qur’an) sudah khatam sampai juz 30, maka diadakan acara Khataman Al-Qur’an. Pada keegiatan Khataman Al-Qur’an tersebut diisi cara semakan bacaan hafalan Al-Qur’an Juz 30 yang dibacakan oleh salah satu santri binaan Kyai dan disemak oleh beberapa orang dewasa. Kemudian dilanjutkan acara pemberian tausiyah atau pemberian nasihat agama. Dulu penulis pernah ditunjuk Kyai untuk memberikan tausiyah agama kepada jamaah sholat Tarawih. Itu adalah pengalaman yang sangat berharga bagi penulis pribadi karena diberikan kepercayaan dan kehormatan oleh bapak Kyai untuk menyampaikan materi pengajian kepada para jamaah di musholla. Kegiatan Khataman Al-Qur’an di akhiri dengan pembacaan doa bersama yang langsung dipimpin oleh Kyai dan ditutup dengan makan nasi penak bersama-sama.

Demikianlah beberapa tradisi bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil hidup di kampong. Di antara beberapa tradisi Ramadan tersebut, masih ada yang penulis lakukan hingga sekarang dan ada juga yang sudah tidak penulis lakukan lagi. Beberapa tradisi yang sudah tidak penulis lakukan lagi bukan karena menganggap salah atau menolak tradisi warisan leluhur tetapi penulis lebih mempertimbangkan pada aspek relevansinya dengan kondisi kehidupan zaman sekarang.

Terkait beberapa amalan tradisi Ramadan yang penulis tinggalkan atau tidak penulis lakukan lagi disebabkan beberapa faktor antara lain perubahan pemahaman penulis terhadap tujuan dari tradisi Ramadan tersebut maupun tingkat relevansinya saat ini. Penulis bukan tipe orang yang anti budaya atau tradisi lokal, tetapi penulis memiliki pemikiran bahwa budaya dan tradisi masyarakat merupakan wujud upaya orang zaman dahulu dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran kebaikan agama. Seiring terjadinya pergeseran dan peningkatan pemahaman ilmu agama orang-orang zaman sekarang, maka wajar jika terjadi re-evaluasi terhadap relevansi tradisi dan budaya di masyarakat.


E. Penutup: Re-evaluasi dan Re-formating Tradisi Ramadan

Demikian cuplikan kecil sebagian pengalaman masa kecil penulis dalam menjalani beberapa tradisi bulan Ramadan dan bagaimana pandangan penulis saat ini terhadap tradisi peninggalan orang zaman dulu. Penulis berpandangan bahwa tidak semua tradisi dan budaya peninggalan orang zaman dulu itu salah atau tidak relevan dengan kehidupan sekarang. Tetap ada beberapa tradisi dan budaya masyarakat yang masih relevan dan perlu dilestarikan dengan disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Sikap yang bijaksana terhadap tradisi dan budaya masa lalu adalah bukan menolak melainkan melakukan re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya masyarakat tersebut disesuaikan dengan konteks dan kondisi zaman sekarang.

Langkah utama dalam proses re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya zaman dulu adalah menemukan inti sari dari pesan-pesam tersirat dalam tradisi dan budaya tersebut dan membuatkan format bari atau tradisi dan budaya baru yang mengandung intisari pesan tersirat terbut. Dapat dianalogikan dengan ungkapan “memindakan ruh tradisi dan budaya zaman dulu ke dalam tubuh tradisi dan budaya zaman sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

 

Gumpang Baru, 17 Maret 2024

 


Referensi

Anggraini, F. (2023, March 30). Mengenal Nyadran, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan. Retrieved March 17, 2024, from Kementerian Keuangan Republik Indonesia website: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/16021/Mengenal-Nyadran-Tradisi-Menyambut-Bulan-Ramadan.html

Anonim. (n.d.). Surat An-Nisa Ayat 9 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir. Retrieved March 17, 2024, from TafsirWeb website: https://tafsirweb.com/1541-surat-an-nisa-ayat-9.html

Milagsita, A. (2024, March 9). Apa Itu Padusan? Tradisi Masyarakat Jawa Menyucikan Diri Jelang Ramadhan. Retrieved March 17, 2024, from Detikjateng website: https://www.detik.com/jateng/budaya/d-7233413/apa-itu-padusan-tradisi-masyarakat-jawa-menyucikan-diri-jelang-ramadhan

Pradana, E. F. (2023, Agustus). Pentingnya Pendidikan Akhlak pada Anak Sejak Dini. Retrieved March 17, 2024, from https://fsyariah.uinkhas.ac.id/berita/detail/pentingnya-pendidikan-akhlak-pada-anak-sejak-dini

Yudi. (2022, May 30). Pentingnya Amalan Secara Istiqomah. Retrieved March 17, 2024, from Pondok Pesantren Daarut Tauhiid website: https://www.daaruttauhiid.org/pentingnya-amalan-secara-istiqomah/

 

Kamis, 01 Februari 2024

LUPA SHOLAT SUNNAH

 


LUPA SHOLAT SUNNAH

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Di dalam keluarga kami, sholat menjadi aktivitas yang menjadi pondasi kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, sejak kecil anak-anak sudah kami ajarkan untuk mengerjakan sholat. Pola pendidikan agama yang kami terapkan adalah melalui pemberian contoh nyata dalam tindakan (keteladanan). 


Kami mengajarkan sholat ke anak-anak dengan diawali dengan mengajak anak-anak terlibat dalam aktivitas sholat, yaitu membiasakan mereka melihat orang tuanya sholat. Dengan secara rutin setiap hari melihat orang tuanya mengerjakan sholat, maka sifat alami anak-anak yang senang mengimitasi apa yang dilihatnya akan membuat mereka juga akan melakukannya. 


Anak pertama kami dulu sudah mau rutin mengerjakan sholat fardhu sebelum masuk sekolah TK. Hal itu karena sejak kecil kami mengenalkan ke dia kebiasaan orang tuanya mengerjakan sholat fardhu. Sebelum kami mengajarkan sholat ke dia, terlebih dahulu kami mengenalkan sholat ke dia dengan cara selalu mengusahakan dia melihat orang tuanya sholat. 


Metode yang sama juga kami terapkan untuk putri kecil kami. Dia juga mau rutin ikut sholat fardhu sebelum masuk sekolah TK. Setelah sekolah TK dan mendapat pelajaran tentang sholat di sekolah, putri kecil kami semakin semangat dalam mengerjakan sholat fardhu. Alhamdulillah dia bisa mengerjakan sholat fardhu lima waktu setiap harinya. 


Selain mengajarkan sholat fardhu kepada putra putri kami, kami juga mengajarkan anak-anak kami untuk mengerjakan sholat sunnah rawatib. Untuk mengajarkan sholat sunahunnah rawatib ke anak-anak, kami juga menggunakan metode keteladanan melalui pemberian contoh tindakan nyata dan pembiasaan. 


Sholat sunnah yang rutin kami ajarkan dan biasakan untuk dikerjakan anak-anak adalah sholat sunnah bakda Maghrib, sholat sunnah bakda Isya', sholat witir, dan sholat sunnah bakda Dhuhur. Di manapun kami berada, setelah selesai mengerjakan sholat fardhu, kami dan anak-anak berusaha untuk mengakhiri aktivitas ibadah dengan mengerjakan sholat sunnah. Kebiasaan mengerjakan sholat sunnah secara rutin dan konsisten tersebut menjadikan aktivitas ibadah sholat fardhu terasa kurang ketika belum diikuti dengan sholat sunnah. 


Ada satu kejadian lucu yang dilakukan oleh putri kecil kami beberapa hari yang lalu tapi menyentuh hati kami. Sepulang dari bepergian, saya dan si kecil mengerjakan sholat dhuhur. Selesai sholat, seperti biasanya kami membaca dzikir dan berdoa, baru kemudian mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur. Saya kurang memperhatikan si kecil di belakang, tapi saya hanya agak heran kok tumben dia sudah melepas mukenanya ketika saya mau berdiri untuk mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur. Saya berpikiran mungkin dia sudah mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur ketika saya sedang berdzikir.


Ketika saya baru saja selesai mengerjakan sholat sunah bakda Dhuhur, tiba-tiba si kecil masuk kembali ke ruang mushola dan berkata, "Papi, adek lupa belum sholat dua rakaat lagi". Saya jawab, "Oh ya, kalau begitu adek pakai mukenanya lagi dan sholat dua rakaat ya". Si kecil menjawab, "Iya, tapi papi jangan pergi dulu ya". Akhirnya saya tetap berada di ruang mushola menunggu si kecil selesai mengerjakan sholat sunnah bakda Dhuhur sebanyak dua rakaat. 


Melihat perilaku si kecil tersebut, saya sangat bahagia dan bersyukur sekali karena putri kecil kami telah terbiasa mengerjakan shalat fardhu dan sholat sunah. Dia mengerjakan ibadah sholat dengan senang dan tidak merasa berat melakukannya. Dua teringat belum mengerjakan sholat sunah bakda Dhuhur menunjukkan bahwa aktivitas ibadah sholat telah menjiwai dirinya. Semoga si kecil hatinya selalu tertambat untuk mengerjakan ibadah sholat dan bisa istikamah selamanya. Amin. []


Ruang Tunggu RS UNS, 29 Januari 2024

Rabu, 31 Januari 2024

KITAB FIQH KARYA ULAMA WANITA

 



KITAB FIQH KARYA ULAMA WANITA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Agama Islam diturunkan Allah Swt ke dunia ini melalui Rasul-Nya bertujuan untuk memberikan rambu-rambu aturan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Aturan atau hukum-hukum agama tidak hanya mengatur kehidupan laki-laki tetapi juga mengatur kehidupan wanita. Wanita merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keistimewaan yang berbeda dengan kaum laki-laki. Hanya kaum wanita saja yang bisa memahami jalan pikiran dan perilaku para wanita. Apa yang terjadi atau dialami oleh kaum wanita tidak dialami oleh kaum laki-laki. Maka wanitalah yang paling tahu dan paling paham dengan diri mereka sendiri dan kaumnya.

 

Hukum agama Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu hukum yang secara jelas dinyatakan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hukum yang dirumuskan (hasil ijtihad) ulama untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak jelas maknanya. Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan menggunakan semua pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Proses ijtihad bertujuan menciptakan solusi dalam pertanyaan hukum yang belum dijelaskan di dalam Al-Quran dan hadis. Karenanya, hanya para ulama yang dapapt berijtihad terkait hukum Islam. Ijtihad memiliki banyak manfaat seperti membantu umat Islam saat menghadapi masalah yang belum jelas hukumnya. Ini agar hukum tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan, waktu, serta perkembangan zaman. Selain itu ijtihad dapat digunakan untuk menentukan dan menetapkan fatwa atas segala masalah yang tidak berhubungan dengan halal dan haram (Wisnu, 2022). Hukum-hukum agama Islam hasil ijtihad para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai ilmu Fiqh. Jadi ilmu Fiqh adalah ilmu buatan manusia (ulama) yang mencoba memahami/menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang belum jelas maksudnya.

 

Dikarenakan hukum agama baik yang berupa hukum asli dari Allah SWT maupun hukum hasil ijtihat ulama bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, maka tentunya juga mengatur tentang perikehidupan wanita. Ilmu Fiqh yang dihasilkan oleh para ulama umumnya ditulis oleh ulama laki-laki. Masih jarang atau sedikit sekali ditemukan kitab ilmu Fiqh yang ditulis oleh ulama wanita. Hal ini berdampak pada pandangan subjektivitas ulama laki-laki ketika mereka berijtihat menentukan aturan agama atau hukum yang berkaitan dengan kaum wanita.

 

Sebagai contoh pandangan Fiqh yang menyatakan bahwa wanita adalah aurat, bahkan suaranya pun juga aurat yang tidak boleh diperdengarkan kepada para laki-laki. Kaum wanita dianggap sumber fitnah, maka mereka harus memakai pakaian hijab agar aurat mereka tidak menganggu kaum laki-laki. Ternyata perintah agar wanita menutup aurat dengan pakaian tertutup (hijab) tidak diiringi dengan perintah agar laki-laki menundukkan pandangan matanya. Seharusnya perintah wanita memakai pakaian hijab dan laki-laki menundukkan pandangan adalah satu paket (satu kesatuan) karena kedua belah pihak bisa menjadi penyebab terjadinya perzinahan. Tetapi mengapa tidak demikian?

 

Pandangan bahwa wanita adalah aurat dan sumber fitnah adalah produk dari penafsiran ulama laki-laki. Pandangan seperti ini jelas sangat subjektif dan tidak imbang karena hanya mendasarkan pada satu pandangan saja yaitu dari sisi pandangan laki-laki. Pandangan sepihak tersebut hanya menguntungkan satu pihak, yaitu laki-laki, sedangkan pihak wanita dirugikan. Mengapa aturan agama berkaitan dengan pencegahan tindak asusila (perzinahan) hanya dikaitkan dengan wanita sebagai pihak tertuduh penyebab terjadinya perzinahan? Mengapa laki-laki seakan-akan tidak bisa terlibat sebagai aktor penyebab terjadinya perzinahan? Mestinya hukum Fiqh mengatur tentang bagaimana wanita harus berperilaku (berpakaian) agar tidak mengundang fitnah dan bagaimana upaya laki-laki agar tidak terjerumus ke tindakan perzinahan. Seharusnya hukum Fiqh produk hasil ijtihad ulama bersifat adil dalam menentukan aturan hukumnya, bukan hanya menyalahkan satu pihak saja yaitu wanita. Hal itu kemungkian besar karena mayoritas ulama penulis kitab-kitab Fiqh adalah ulama laki-laki sehingga subjektivitas penghukuman terjadi. Maka ke depannya perlu ada evaluasi ulang agar penetapan hukum agama benar-benar bisa berlaku adil dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan.

 

Fenomena adanya produk hukum agama hasil ijtihad ulama yang cenderung menguntungkan pihak laki-laki tersebut dapat terjadi kemungkian besar dikarenakan para ulama penulis kitab-kitab ilmu Fiqh adalah mayoritas laki-laki. Andaikan ada ulama wanita yang juga menulis kitab ilmu Fiqh, mungkin hukum atau aturan agama yang diyakini umat Islam berbeda dengan pandangan sekarang ini. Berdasarkan kasus hukum di atas, maka menurut pandangan penulis, saat ini sangat urgen munculnya kitab-kitab ilmu Fiqh yang ditulis oleh para ulama wanita. Kaum wanita dalam agama Islam memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu agama dan demikian pula harusnya hak dalam menafsirkan ayat-ayat Allah SWT menjadi produk hukum agama dalam kitab Fiqh.

 

Mengapa sejarah Islam zaman dulu jarang menyebutkan nama-nama ulama wanita? Hal itu kemungkian besar memang zaman dulu tidak banyak wanita yang menjadi ulama. Bisa jadi hal itu disebabkan pengaruh dari tradisi atau budaya bangsa Arab pra-Islam yang berpandangan bahwa wanita itu derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Akibatnya kaum wanita tidak diberi hak dan kesempatan yang sama untuk belajar dan menuntut ilmu agama. Hal yang berbeda dialami oleh para kaum laki-laki yang memperoleh hak yang sebebas-bebasnya untuk belajar ilmu agama dan menuliskannya dalam bentuk produk kitab ilmu agama, khususnya kitab ilmu Fiqh.

 

Sebenarnya sejarah telah mencatatkan bahwa zaman dahulu sudah ada ulama wanita yang terlibat dalam penyiaran dakwah Islam. Di masa sahabat, ada nama ummul mukminin sayyidah Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi salah satu referensi umat pasca wafatnya Nabi SAW. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus ahli hadis dari kalangan wanita yang mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad saw. Kepakarannya di bidang fikih dan fatwa membuat nama beliau dimasukkan dalam kategori sahabat yang banyak memberikan fatwa; al-muksirun fi al-fatwa. Pada abad kedua, ada nama Sayyidah Nafisah binti Hasan, salah satu cucu rasulullah saw yang dijuluki nafisah al-ilmi karena kedalaman ilmunya. Banyak ulama yang menimba ilmu dan meriwayatkan hadis dari beliau. Salah satunya adalah Bisyr bin Harist al-Hafi. Bahkan ulama besar sekaliber Imam Syafi’i juga dikenal sebagai murid dari Sayyidah Nafisah. Saking seringnya beliau ngaji, para ulama menobatkan imam Syafi’i sebagai orang yang paling sering mujalasah dengan sayyidah Nafisah. Oleh karena itu, wajar jika Sayyidah Nafisah disebut-sebut sebagai sosok yang banyak mempengaruhi pemikiran imam Syafi’i di Mesir (Isdianto, 2021).

 

Tetapi mengapa nama-nama ulama wanita hampir tidak dikenal dalam khazanah ilmu agama Islam? Apakah karena jumlahnya sangat sedikit-walau ada, ataukah karena mereka para ulama wanita tidak menulis kitab-kitab ilmu agama sehingga sejarah tidak mencatatkan nama-nama mereka? Jika melihat fakta sejarah bahwa memang ada beberapa ulama wanita yang terlibat dalam syiar dakwah agama Islam, dan bahkan di antara mereka ada yang menjadi guru dari ulama-ulama besar yang dikenal masyarakat zaman sekarang, sementara sejarah juga tidak banyak yang menceritakan keberadaan dan kiprah para ulama wanita dalam menghasilkan produk-produk pemikiran terkait penetapan hukum agama, maka penulis berpendapat bahwa akar penyebab mengapa dunia Islam kurang mengenal ulama wanita dikarenakan hampir tidak ditemukan kitab ilmu agama yang merupakan karangan para ulama wanita.

 

Dunia Islam sekarang tidak atau hampir jarang sekali menemukan kitab-kitab ilmu agama Islam, khususnya kitab ilmu Fiqh yang merupakan hasil dari karangan ulama wanita. Hal ini mengakibatkan munculnya anggapan bahwa sejak dulu tidak ada ulama wanita. Hukum-hukum agama Islam yang ada di kitab-kitab ilmu Fiqh hanya ditulis oleh para ulama laki-laki, sedangkan hasil pemikiran dan penafsiran (ijtihad) para ulama wanita tidak terdokumentasi dalam bentuk kitab yang berakibat hasil pemikiran mereka tidak sampai ke generasi-generasi berikutnya dan hingga generasi sekarang.

 

Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan peran wanita dalam perumusan hukum-hukum agama Islam adalah mengapa jumlah ulama wanita jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah ulama laki-laki? Jika benar bahwa ulama terdahulu tak pernah membedakan antara laki-laki dan wanita dalam soal keilmuan (Isdianto, 2021), tetapi mengapa dalam dunia keilmuan Islam hampir tidak mengenal sosok-sosok ulama wanita? Melihat fenomena ini, penulis berpendapat bahwa walaupun agama Islam tidak membeda-bedakan antara wanita dan laki-laki dalam menuntut ilmu agama, tetapi pengaruh budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam yang memandang rendah derajat wanita bahkan ada anggapan jika memiliki anak wanita dianggap sebuah kesialan, masih sangat kuat mempengaruhi pola kehidupan umat Islam zaman dulu sehingga berdampak pada masih sedikit sekali wanita-wanita yang menuntut ilmu agam secara serius dan tekun hingga menjadi ulama besar.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa akar permasalahan mengapa dunia keilmuan Islam hampir tidak mengenal keberadaan ulama wanita yang berdampak pada produk hukum agama yang mayoritas didominasi oleh hasil ijtihad ulama laki-laki adalah karena masih kuatnya pengaruh budaya Arab pra-Islam yang memandang derajat wanita lebih rendah dari laki-laki sehingga membatasi para wanita untuk belajar ilmu agama dan menjadi ulama. Penyebab kedua mengapa kurang dikenalnya ulama wanita dalam khazanah keilmuan agama Islam adalah karena para ulama wanita tidak atau hampir tidak meninggalkan karya-karya tulis produk hukum agama Islam yang merupakan hasil ijtihad mereka dalam bentuk kitab-kitab hukum Islam. []

 

Surakarta, 31 Januari 2023

 

Referensi

Isdianto, W. (2021, April 7). Ulama Perempuan. Swara Rahima. https://swararahima.com/2021/04/07/ulama-perempuan/

Wisnu. (2022, July 20). Pengertian Ijtihad Menurut Bahasa serta Fungsi dan Contoh. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/508237/pengertian-ijtihad-menurut-bahasa-serta-fungsi-dan-contoh

 


Postingan Populer