MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Dr.
Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.
Berbicara tentang
karakter, maka pasti juga membicarakan tentang moral. Moral dan karakter
merupakan dua istilah yang sangat berkaitan. Istilah Moral berasal dari bahasa
Latin, yakni mores kata jamak dari mos yang sepadan dengan kata adat
kebiasaan. Ketika berbicara tentang kata moral, maka ada beberapa kata atau
istilah lain yang memiliki makna yang hampir sama, yaitu nilai, norma, etika,
kesusilaan, budi pekerti, akhlak, dan adat istiadat. Moral adalah sesuai dengan
ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana
yang patut dan wajar (Hudi,
2017).
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, moral dapat diartikan sebagai : (1) ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2)
akhlak; (3) budi pekerti; dan (4) susila (KBBI
Online, 2022). Menurut kamus Cambridge (dictionary.cambridge.org,
2022),
“Moral is relating to the standars of good or badd behavior, fairness, etc. that
each person believes in, rather than to laws”. Moral adalah berkaitan
dengan standar perilaku baik atau buruk, keadilan, dan lain-lain., yang
diyakini setiap orang, bukan hukum. Sedangkan menurut kamus Merriam-webster (www.merriam-webster.com,
2022),
“Moral is relating to principles of right
and wrong in behavior”. Moral berkaitan dengan prinsip benar dan salah
dalam berperilaku.
Beberapa ahli telah
berusaha membuat definisi tentang moral. Walaupun berbeda-beda definisi, secara
umum terdapat persamaan dalam inti maknanya. W.J.S. Poerdarminta mengatakan
bahwa ajaran moral dari perbuatan baik dan buruk dan perilaku. Hurlock
mendefinisikan moral sebagai perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
social. Moral sendiri berarti tata cara, dan adat. Perilaku moral dikendalikan
konsep-konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi
anggota suatu budaya. Menurut Sonny Keraf, moral dapat digunakan untuk mengukur
kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin
sebagai anggota masyarakat (member of
society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan
tertentu. Menurut Chaplin (2006), moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan
peraturan social, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur
tingkah laku. Dewey menyatakan bahwa masalah moral berkaitan dengan nilai-nilai
moral. A. Mustafa mengungkapkan moral sebagai penentuan dasar perilaku mana
yang baik dan yang buruk melalui pengamatan pada perbuatan manusia sejauh akal
pikiran mereka. Sedangkan Shaffer menyatakan bahwa moral merupakan kaidah norma
yang dapat mengatur perilaku suatu individu dalam menjalankan hubungan dan
kerjasama di lingkungan masyarakat berdasarkan aturan yang berlaku (Makplus,
2018).
Ananda
(2017)
mendefiniskan moral atau moralitas sebagai suatu tuntutan perilaku yang baik
yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam
pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Menurut Suseno dalam (Ananda,
2017),
moral adalah ukuran baik buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah
pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sementara itu,
Ouska dan Whellan dalam (Ananda,
2017)
mendefiniskan moral sebagai prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam diri
individu/seseorang.
Berdasarkan beberapa
definisi moral menurut para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral
adalah aturan, prinsip ataupun ukuran yang berkaitan dengan perilaku baik atau
buruk yang diyakini kebenarannya oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Moral
seseorang dalam kehidupan sehari-hari terimplementasikan dalam wujud sikap dan
perilakunya. Seseorang dikatakan bermoral baik atau tidak dapat dilihat dari
bagaimana perilakunya sehari-hari, apakah perilakunya mengarah tindakan yang
baik atau buruk.
Walaupun moral itu
berada dalam diri individu, kita harus menyadari bahwa moral berada dalam suatu
sistem yang berwujud aturan, norma atau pun hukum. Istilah moral dan moralitas terkadang
dianggap sama, padahal sebenarnya ada perbedaan sedikit antara kedua istilah
tersebut. Moral adalah prinsip baik-buruk, sedangkan moralitas merupakan
kualitas pertimbangan baik-buruk. Atas dasar pengertian ini, maka hakikat dan
moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi
maupun menjalankan aturan (Ananda,
2017).
Lickona,
(2012)
membagi nilai-nilai moral yang menjadi tuntutan menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal
seperti memperlakukan orang lain dengan baik, menghormati pilihan hidup,
kemerdekaan, dan kesetaraan dapat menyatukan semua orang di mana pun mereka
berada karena menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan
diri. Nilai-nilai moral yang bersifat universal
ddasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku universal. Nilai-nilai kemanusiaan
ini tidak berasal dari suku bangsa dan agama tertentu, bahkan nilai-nilai ini
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebagai misal, kejujuran itu nilai moral
yang mulia yang berlaku di negara atau wilayah manapun dan sampai kapan pun.
Kemerdekaan adalah nilai moral kemanusiaan yang berlaku untuk siapa pun dan di
mana pun ia berada atau domisili karena setiap orang memiliki hak asasi untuk
hidup secara merdeka. Oleh karena itu, kemerdekaan itu dilindungi oleh
undang-undang.
Sebaliknya, nilai-nilai
moral nonuniversal tidak membawa
tuntutan moral yang bersifat universal. Contoh nilai-nilai moral nonuniversal
adalah nilai-nilai kewajiban yang berlaku pada agama-agama tertentu (ketaatan,
berpuasa, dan memperingati hari besar keagamaan) ataupun pada adat istiadat dan
budaya suku bangsa tertentu yang secara individu menjadi sebuah tuntutan yang
cukup penting, namun hal itu belum tentu dirasakan oleh individu lain (Lickona,
2012).
Berpuasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban dan mendapatkan pahala bagi umat
Islam, tapi tidak berlaku bagi umat agama lain. Hormat pada bendera merah putih
ketika upaca pengibaran bendera merah putih merupakan kewajiban bagi setiap
warga negara Indonesia, tetapi hal ini bukan kewajiban bagi warga negara asing
yang tinggal di Indonesia karena warga negara asing memiliki bendera kebangsaan
sendiri.
Nilai-nilai moral harus
dikembangkan dalam diri anak (peserta didik) melalui program pendidikan moral
atau pendidikan karakter. Program pengembangan moral lebih baik dilakukan sejak
anak usia dini karena pada usia dini tersebut otak anak memiliki daya serap
yang sangat besar dan kemampuan meniru (imitasi) yang sangat hebat. Dengan
melalui pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai moral yang baik dan dilakukan
usaha pembiasaan, maka anak diharapkan akan mampu memiliki moral yang baik dan
menjadi bagian dari kepribadiannya. Nilai moral yang telah menjelma menjadi
kepribadian anak akan terimplementasikan dalam perilaku sehari-harinya.
Tujuan pengembangan
nilai-nilai moral/pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini
mungkin mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai moral
sehingga dapat hidup sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat.
Pembentukan perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal: (1). Menanamkan
pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga
anak dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat; (2).
Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri; (3).
Menanamkan budi pekerti yang baik; (4). Melatih anak untuk dapat membedakan
sikap dan perilaku yang baik dan yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha
menghindarkan diri dari perbuatan tercela; (5). Sebagai wahana untuk
terciptanya situasi belajar anak yang berlangsung tertib, aktif, dan penuh
perhatian; (6). Melatih anak didik untuk mencintai lingkungan yang bersih dan
sehat; dan (7). Menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari (Ananda,
2017).
Pendidikan moral sangat
berkaitan dengan pendidikan karakter. Pengembangan moral merupakan bagia dari
pendidikan karakter. Menurut Lickona
(2012),
“Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior.”
Karakter yang mulia menurutnya bermula dengan pengetahuan tentang kebaikan,
lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar
melaksanakan kebaikan. Menurut Kilpatrick dalam (Hudi,
2017),
pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui proses pengetahuan (knowing) kepada tindakan kebiasaan (habits). Hal ini bermakna, pengetahuan
yang diperoleh diaplikasikan dalam bentuk tindakan melalui latihan dan
pendidikan yang berterusan untuk membedakan mana-mana pengaruh yang baik dan
keburukan. Untuk tujuan ini, seorang siswa hendaklah dididik secara sadar akan
pengetahuan moral (moral knowing),
menghargai nilai-nilai yang baik (moral
feeling) dan melakukan kebiasaan moral yang baik (moral habits).
Menurut Hudi
(2017),
pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral knowing tidaklah cukup, sebab sebatas hanya tahu atau
memahami nilai-nilai atau moral tanpa melaksanakannya, hanya menghasilkan orang
cerdas, tetapi tidak bermoral. Sangat
penting proses pendidikan dilanjutkan sampai pada moral feeling. Moral feeling
adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang
merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip
moral. Terdapat enam hal aspek emosi yang harus dirasakan oleh seseorang untuk
menjadi manusia bermoral atau berkarakter, yakni conscience (nurani), self
esteem (percaya diri), empathy
(merasakan penderitaan orang lain), loving
the good (mencintai kebenaran), self
control (mampu mengontrol diri), dan humility
(kerendahan hati). Namun, pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral feeling saja juga tidaklah cukup,
sebab sebatas ingin atau mau, tanpa disertai perbuatan nyata hanya akan
menghasilkan manusia munafik.
Keterkaitan erat antara
pemahaman moral atau nilai moral seseorang dengan perbuatan atau tindakan yang
akan dilakukan tidaklah diragukan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Abowitz dalam (Hudi,
2017))
menyimpulkan: ”Moral perseption is
typically defined as which helps us determine whart factors in a situation are
morally siginificant, and how we can for,ulate action from what we see.
Perception helps us to understand the morally relevant values in a situation”.
Penelitian Abowitz ini menegaskan bahwa
persepsi moral seseorang akan membantu dalam menentukan faktor-faktor moral
mana yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil secara tepat sesuai dengan
hatinya. Di samping itu, persepsi moral seseorang membantu pemahaman nilai-nilai
moralitas hidup yang relevan saat ini.[]
___________________________________
*) Dr.Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’ani (CTS-Q), dan Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), serta 120-an judul buku lainnya.