Senin, 29 September 2025
MEMANDANG ILMU KIMIA DARI KACAMATA RELIGIUS
Oleh:
Senin, 11 Agustus 2025
MENERUSKAN CITA-CITA ORANG TUA
MENERUSKAN CITA-CITA ORANG TUA
Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.*)
Kami terlahir di lingkungan pedesaan. Saya anak nomor empat dengan memiliki tiga kakak dan satu adik. Keluarga kami adalah keluarga yang cukup, walaupun lebih banyak kurangnya. Tetapi dengan semangat menjalani kehidupan dengan positif dan memperbaiki hidup, orang tua kami bertekad menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana, walaupun harus berhutang dan pengaturan pengelolaan keuangan yang sangat ketat.
Orang tua kami bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat sarjana. Walaupun mereka sendiri belum pernah mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Ayah sekolahnya hanya sampai lulus sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama, sekarang setara SMA), sedangkan ibu hanya sekolah SR (Sekolah Rakyat, sekarang setara SD).
Ayah dan ibu memiliki lima orang anak, yaitu tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Entah karena faktor ekonomi atau ada faktor alasan yang lain, anak-anak yang disekolahkan sampai ke perguruan tinggi hanya anak laki-laki saja. Itupun juga dengan berhutang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Bahkan untuk kakak pertama, beliau bisa kuliah juga karena dapat sedikit bantuan orang lain dan hasil bekerja karena orang tua tidak mampu membiayai kuliahnya.
Semangat ayah dan ibu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi-walaupun harus berhutang- karena mereka ingin masa depan anak-anaknya besok meningkat lebih baik. Walaupun ayah dan ibu hanya orang kecil dan rakyat jelata serta tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi, mereka sangat sadar bahwa pendidikan tinggi akan mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Hanya melalui jalur pendidikan tinggi, ayah dan ibu yakin kehidupan anak-anak mereka kelak akan menjadi lebih baik dan sejahtera.
Orang tua kami pernah berkata bahwa mereka tidak dapat mewariskan harta benda karena memang tidak punya, tetapi hanya bisa mewariskan ilmu (pendidikan) untuk bekal kehidupan di masa depan. Berbekal nasihat ini, maka saya berusaha menjalani proses studi selama kuliah dengan sebaik-baiknya dan berusaha meraih prestasi semaksimal mungkin. Saya juga meyakini bahwa melalui pendidikan yang baik, masa depan saya akan menjadi lebih baik.
Dengan inspirasi dan semangat orang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang sarjana, maka saya juga bertekad untuk menjalani proses studi dengan sebaik-baiknya. Saya juga berusaha untuk melanjutkan cita-cita orang tua yang ingin anak-anaknya bisa menjadi sarjana dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pendidikan Pascasarjana tingkat Magister dan Doktor.
Atas berkat doa kedua orang tua, semangat belajar anak-anaknya, dan ridho Allah SWT, akhirnya dari lima anak-anak mereka ada dua anak yang mampu melanjutkan pendidikan Pascasarjana hingga tingkat doktor, yaitu anak pertama (Dr. Agus Fatuh Widoyo, S.Ag., M.S.I.) dan saya sendiri sebagai anak nomor empat (Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc.). Selain itu, cucu pertama mereka yang merupakan putri dari anak pertama juga berhasil mengenyam pendidikan Pascasarjana tingkat magister (Mutiara Hanif Saputri, S.Pd., M.Pd.).
Kakak pertama saya mas Dr. Agus Fatuh Widoyo, S.Ag., M.S.I. yang selalu memotivasi dan mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan tingkat doktor dan memberikan ketauladanan ke saya saat ini memiliki pencapaian jenjang karier yang cukup baik. Saat ini beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah di Institut Islam Mambaul Ulum (IIM) Surakarta.
Alhamdulillah, saya, mas Agus, dan dek Hanif dapat meneruskan cita-cita almarhum - almarhumah ayah dan ibu untuk melanjutkan pendidikan tinggi hingga jenjang doktor dan magister. Alhamdulillah kami dapat mengharumkan nama baik ayah dan ibu dengan pencapaian kehidupan kami. Kami bahagia dan bangga dapat membuktikan bahwa walau kedua orang tua kami bukan orang kaya dan kehidupannya penuh dengan kekurangan, tetapi mereka mampu mendidik kami -anak-anaknya- menjadi orang yang baik dan berpendidikan tinggi. Semoga apa yang kami capai sekarang ini dapat menjadi kebaikan jariyah bagi almarhum-almarhumah ayah dan ibu. Amin. []
Gumpang Baru, 10 Agustus 2025
_________________________________________
*) Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah dosen di Progam Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, Alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, dan Pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’an (CTS-Q).
Jumat, 08 Agustus 2025
MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER
MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Dr.
Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.
Berbicara tentang
karakter, maka pasti juga membicarakan tentang moral. Moral dan karakter
merupakan dua istilah yang sangat berkaitan. Istilah Moral berasal dari bahasa
Latin, yakni mores kata jamak dari mos yang sepadan dengan kata adat
kebiasaan. Ketika berbicara tentang kata moral, maka ada beberapa kata atau
istilah lain yang memiliki makna yang hampir sama, yaitu nilai, norma, etika,
kesusilaan, budi pekerti, akhlak, dan adat istiadat. Moral adalah sesuai dengan
ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana
yang patut dan wajar (Hudi,
2017).
Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, moral dapat diartikan sebagai : (1) ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2)
akhlak; (3) budi pekerti; dan (4) susila (KBBI
Online, 2022). Menurut kamus Cambridge (dictionary.cambridge.org,
2022),
“Moral is relating to the standars of good or badd behavior, fairness, etc. that
each person believes in, rather than to laws”. Moral adalah berkaitan
dengan standar perilaku baik atau buruk, keadilan, dan lain-lain., yang
diyakini setiap orang, bukan hukum. Sedangkan menurut kamus Merriam-webster (www.merriam-webster.com,
2022),
“Moral is relating to principles of right
and wrong in behavior”. Moral berkaitan dengan prinsip benar dan salah
dalam berperilaku.
Beberapa ahli telah
berusaha membuat definisi tentang moral. Walaupun berbeda-beda definisi, secara
umum terdapat persamaan dalam inti maknanya. W.J.S. Poerdarminta mengatakan
bahwa ajaran moral dari perbuatan baik dan buruk dan perilaku. Hurlock
mendefinisikan moral sebagai perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
social. Moral sendiri berarti tata cara, dan adat. Perilaku moral dikendalikan
konsep-konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi
anggota suatu budaya. Menurut Sonny Keraf, moral dapat digunakan untuk mengukur
kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin
sebagai anggota masyarakat (member of
society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan
tertentu. Menurut Chaplin (2006), moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan
peraturan social, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur
tingkah laku. Dewey menyatakan bahwa masalah moral berkaitan dengan nilai-nilai
moral. A. Mustafa mengungkapkan moral sebagai penentuan dasar perilaku mana
yang baik dan yang buruk melalui pengamatan pada perbuatan manusia sejauh akal
pikiran mereka. Sedangkan Shaffer menyatakan bahwa moral merupakan kaidah norma
yang dapat mengatur perilaku suatu individu dalam menjalankan hubungan dan
kerjasama di lingkungan masyarakat berdasarkan aturan yang berlaku (Makplus,
2018).
Ananda
(2017)
mendefiniskan moral atau moralitas sebagai suatu tuntutan perilaku yang baik
yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam
pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Menurut Suseno dalam (Ananda,
2017),
moral adalah ukuran baik buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun
sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah
pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sementara itu,
Ouska dan Whellan dalam (Ananda,
2017)
mendefiniskan moral sebagai prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam diri
individu/seseorang.
Berdasarkan beberapa
definisi moral menurut para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral
adalah aturan, prinsip ataupun ukuran yang berkaitan dengan perilaku baik atau
buruk yang diyakini kebenarannya oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Moral
seseorang dalam kehidupan sehari-hari terimplementasikan dalam wujud sikap dan
perilakunya. Seseorang dikatakan bermoral baik atau tidak dapat dilihat dari
bagaimana perilakunya sehari-hari, apakah perilakunya mengarah tindakan yang
baik atau buruk.
Walaupun moral itu
berada dalam diri individu, kita harus menyadari bahwa moral berada dalam suatu
sistem yang berwujud aturan, norma atau pun hukum. Istilah moral dan moralitas terkadang
dianggap sama, padahal sebenarnya ada perbedaan sedikit antara kedua istilah
tersebut. Moral adalah prinsip baik-buruk, sedangkan moralitas merupakan
kualitas pertimbangan baik-buruk. Atas dasar pengertian ini, maka hakikat dan
moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi
maupun menjalankan aturan (Ananda,
2017).
Lickona,
(2012)
membagi nilai-nilai moral yang menjadi tuntutan menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal
seperti memperlakukan orang lain dengan baik, menghormati pilihan hidup,
kemerdekaan, dan kesetaraan dapat menyatukan semua orang di mana pun mereka
berada karena menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan
diri. Nilai-nilai moral yang bersifat universal
ddasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku universal. Nilai-nilai kemanusiaan
ini tidak berasal dari suku bangsa dan agama tertentu, bahkan nilai-nilai ini
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebagai misal, kejujuran itu nilai moral
yang mulia yang berlaku di negara atau wilayah manapun dan sampai kapan pun.
Kemerdekaan adalah nilai moral kemanusiaan yang berlaku untuk siapa pun dan di
mana pun ia berada atau domisili karena setiap orang memiliki hak asasi untuk
hidup secara merdeka. Oleh karena itu, kemerdekaan itu dilindungi oleh
undang-undang.
Sebaliknya, nilai-nilai
moral nonuniversal tidak membawa
tuntutan moral yang bersifat universal. Contoh nilai-nilai moral nonuniversal
adalah nilai-nilai kewajiban yang berlaku pada agama-agama tertentu (ketaatan,
berpuasa, dan memperingati hari besar keagamaan) ataupun pada adat istiadat dan
budaya suku bangsa tertentu yang secara individu menjadi sebuah tuntutan yang
cukup penting, namun hal itu belum tentu dirasakan oleh individu lain (Lickona,
2012).
Berpuasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban dan mendapatkan pahala bagi umat
Islam, tapi tidak berlaku bagi umat agama lain. Hormat pada bendera merah putih
ketika upaca pengibaran bendera merah putih merupakan kewajiban bagi setiap
warga negara Indonesia, tetapi hal ini bukan kewajiban bagi warga negara asing
yang tinggal di Indonesia karena warga negara asing memiliki bendera kebangsaan
sendiri.
Nilai-nilai moral harus
dikembangkan dalam diri anak (peserta didik) melalui program pendidikan moral
atau pendidikan karakter. Program pengembangan moral lebih baik dilakukan sejak
anak usia dini karena pada usia dini tersebut otak anak memiliki daya serap
yang sangat besar dan kemampuan meniru (imitasi) yang sangat hebat. Dengan
melalui pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai moral yang baik dan dilakukan
usaha pembiasaan, maka anak diharapkan akan mampu memiliki moral yang baik dan
menjadi bagian dari kepribadiannya. Nilai moral yang telah menjelma menjadi
kepribadian anak akan terimplementasikan dalam perilaku sehari-harinya.
Tujuan pengembangan
nilai-nilai moral/pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini
mungkin mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai moral
sehingga dapat hidup sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat.
Pembentukan perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal: (1). Menanamkan
pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga
anak dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat; (2).
Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri; (3).
Menanamkan budi pekerti yang baik; (4). Melatih anak untuk dapat membedakan
sikap dan perilaku yang baik dan yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha
menghindarkan diri dari perbuatan tercela; (5). Sebagai wahana untuk
terciptanya situasi belajar anak yang berlangsung tertib, aktif, dan penuh
perhatian; (6). Melatih anak didik untuk mencintai lingkungan yang bersih dan
sehat; dan (7). Menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari (Ananda,
2017).
Pendidikan moral sangat
berkaitan dengan pendidikan karakter. Pengembangan moral merupakan bagia dari
pendidikan karakter. Menurut Lickona
(2012),
“Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior.”
Karakter yang mulia menurutnya bermula dengan pengetahuan tentang kebaikan,
lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar
melaksanakan kebaikan. Menurut Kilpatrick dalam (Hudi,
2017),
pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui proses pengetahuan (knowing) kepada tindakan kebiasaan (habits). Hal ini bermakna, pengetahuan
yang diperoleh diaplikasikan dalam bentuk tindakan melalui latihan dan
pendidikan yang berterusan untuk membedakan mana-mana pengaruh yang baik dan
keburukan. Untuk tujuan ini, seorang siswa hendaklah dididik secara sadar akan
pengetahuan moral (moral knowing),
menghargai nilai-nilai yang baik (moral
feeling) dan melakukan kebiasaan moral yang baik (moral habits).
Menurut Hudi
(2017),
pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral knowing tidaklah cukup, sebab sebatas hanya tahu atau
memahami nilai-nilai atau moral tanpa melaksanakannya, hanya menghasilkan orang
cerdas, tetapi tidak bermoral. Sangat
penting proses pendidikan dilanjutkan sampai pada moral feeling. Moral feeling
adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang
merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip
moral. Terdapat enam hal aspek emosi yang harus dirasakan oleh seseorang untuk
menjadi manusia bermoral atau berkarakter, yakni conscience (nurani), self
esteem (percaya diri), empathy
(merasakan penderitaan orang lain), loving
the good (mencintai kebenaran), self
control (mampu mengontrol diri), dan humility
(kerendahan hati). Namun, pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral feeling saja juga tidaklah cukup,
sebab sebatas ingin atau mau, tanpa disertai perbuatan nyata hanya akan
menghasilkan manusia munafik.
Keterkaitan erat antara
pemahaman moral atau nilai moral seseorang dengan perbuatan atau tindakan yang
akan dilakukan tidaklah diragukan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Abowitz dalam (Hudi,
2017))
menyimpulkan: ”Moral perseption is
typically defined as which helps us determine whart factors in a situation are
morally siginificant, and how we can for,ulate action from what we see.
Perception helps us to understand the morally relevant values in a situation”.
Penelitian Abowitz ini menegaskan bahwa
persepsi moral seseorang akan membantu dalam menentukan faktor-faktor moral
mana yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil secara tepat sesuai dengan
hatinya. Di samping itu, persepsi moral seseorang membantu pemahaman nilai-nilai
moralitas hidup yang relevan saat ini.[]
___________________________________
*) Dr.Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’ani (CTS-Q), dan Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), serta 120-an judul buku lainnya.
Selasa, 05 Agustus 2025
URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER KINERJA DAN KARAKTER MORAL
URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER KINERJA DAN KARAKTER MORAL
Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.
Menurut Thomas Lickona, (2012), “Character so conceived has three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior.”
Karakter yang mulia menurutnya bermula dengan pengetahuan tentang kebaikan,
lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar
melaksanakan kebaikan. Menurut Kilpatrick dalam (Hudi, 2017), pembentukan
karakter bangsa dapat dilakukan melalui proses pengetahuan (knowing) kepada tindakan kebiasaan (habits). Hal ini bermakna, pengetahuan
yang diperoleh diaplikasikan dalam bentuk tindakan melalui latihan dan
pendidikan yang berterusan untuk membedakan mana-mana pengaruh yang baik dan
keburukan. Untuk tujuan ini, seorang pelajar (siswa, mahasiswa) hendaklah
dididik secara sadar akan pengetahuan moral (moral knowing), menghargai nilai-nilai yang baik (moral feeling) dan melakukan kebiasaan
moral yang baik (moral habits).
Lickona (2012) mengatakan ada
7 (tujuh) alasan utama yang menjadi dasar mengapa Pendidikan Karakter wajib
untuk diberikan kepada seluruh peserta didik sejak dari tahap dini, yaitu: 1).
Ini cara terbaik untuk menjamin peserta didik bisa memiliki kepribadian yang
baik dalam hidupnya, 2). Ini cara yang paling efektif dalam meningkatkan
prestasi akademik peserta didik, 3). Sebagian peserta didik belum bisa
membentuk karakter yang baik bagi dirinya di tempat lain, 4). Sebagai sarana
untuk membentuk peserta didik agar menjadi insan yang dapat menghormati orang
lain dan hidup dalam kemajemukan. 5). Sebagai upaya untuk mengatasi akar
masalah moral-sosial seperti ketidakjujuran, ketidaksopanan, kekerasan, etos
kerja yang rendah, dll., 6). Ini cara terbaik untuk membentuk perilaku peserta
didik sebelum mereka memasuki lingkungan kerja, 7). Sebagai sarana untuk
mengajarkan nilai-nilai budaya yang menjadi bagian dari sebuah peradaban.
Pendidikan karakter sangat penting
diajarkan ke mahasiswa. Walaupun umumnya orang berpandangan bahwa mahasiswa
sudah dewasa sehingga mereka pastinya sudah memahami pendidikan karakter,
tetapi faktanya masih dijumpai adanya mahasiswa yang kurang memiliki karakter
baik. Penulis masih menjumpai di lapangan bagaimana beberapa mahasiswa kurang
peduli terhadap lingkungannya dan kurang memiliki empati terhadap orang lain.
Mereka cenderung bersikap individualistik dimana mereka hanya fokus pada
kepentingan dirinya sendiri dan kurang mempedulikan orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa belum semua mahasiswa memiliki karakter yang baik. Karakter
baik seperti rasa empati, kepedulian sosial, kemandirian, dan sikap religius
harus tetap diajarkan dan dilatihkan kepada mahasiswa dalam pembelajaran di
ruang-ruang kelas agar karakter-karakter yang baik tersebut menjadi habit
(kebiasaan) mereka.
Pendidikan karakter menjadi tanggung
jawab semua komponen pendidikan, khususnya pendidik (guru, dosen). Di tingkat
pendidikan tinggi, dosen memiliki kewajiban selain mengajarkan materi
perkuliahan juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengajarkan pendidikan
karakter kepada para mahasiswa. Untuk mengajarkan materi pendidikan karakter
tidak perlu terpisah dalam mata kuliah khusus pendidikan karakter, tetapi dapat
diajarkan secara terpadu dalam penyampaian materi perkuliahan. Dosen dapat
mengintegrasikan materi perkuliahannya dengan materi pendidikan karakter
sehingga penyampaian materi perkuliahan secara terpadu juga menyampaikan materi
pendidikan karakter.
Ketika mengajar mata kuliah, penulis
berusaha memasukkan nilai-nilai karakter yang baik pada penyampaian materi
perkuliahan. Di mulai dari awal perkuliahan, penulis mengawali dengan mengajak
mahasiswa untuk berdoa terlebih dahulu sebelum memulai proses pembelajaran.
Pada pertemuan pertama, penulis selaku dosen yang memimpin doa bersama (doa
dalam hati masing-masing sesuai agama dan keyakinannya karena mahasiswa bisa
beragam agamanya). Tetapi pada pertemuan kedua dan seterusnya, penulis meminta
salah satu perwakilan mahasiswa untuk memimpin doa bersama. Mungkin apa yang
penulis lakukan tersebut dinilai tidak terlalu penting. Mungkin ada yang
berpendapat, buat apa mengajak mahasiswa berdoa bersama karena pastinya mereka
sudah berdoa sendiri-sendiri tanpa dipimpin.
Menurut penulis, kegiatan berdoa bersama
setiap kali memulai perkuliahan adalah kegiatan yang tidak sia-sia. Dalam
kegiatan doa bersama tersebut, penulis ingin mengajak dan mengingatkan agar
para mahasiswa kembali mengingat Tuhan (walau sesaat) setelah sekian waktu
beraktivitas memikirkan duniawi dan juga memohon kepada Tuhan agar ilmu yang
akan mereka pelajari nantinya membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi kehdupan
mereka terkhusus kesuksesan karier mereka nanti. Kegiatan doa bersama di setiap
awal perkuliahan penulis desain untuk membangkitkan jiwa spiritualisme
mahasiswa agar walau sesaat hati dan jiwa mereka tersirami oleh nilai-nilai kesucian
yang bersifat transenden.
Kegiatan mengawali perkuliahan dengan
doa bersama sudah beberapa tahun penulis lakukan ketika mengajar dan penulis
merasakan (subjektivitas penulis) bahwa setelah adanya kegiatan doa bersama,
penulis merasakan suasana kelas yang lebih religius dan damai dibandingkan
suasana kelas sebelum penulis mengadakan kegiatan doa bersama. Penulis
mengamati terkadang masih ada satu dua mahasiswa yang terkesan meremehkan
kegiata doa bersama yang terlihat dari ketika berdoa mereka tidak serius
(khusuk). Melihat kondisi tersebut, ketika di dalam proses pembelajaran,
penulis menyisipkan nasihat tentang pentingnya berdoa secara khusuk kepada
Tuhan karena manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Manusia membutuhkan
bantuan Tuhan dalam menjalani kehidupan agar ditunjukkan jalan kebaikan dan
dimudahkan dalam segala urusan. Melalui pemberian nasihat-nasihat seperti itu,
mahasiswa menjadi lebih sadar tentang pentingnya berdoa secara serius dan khusyuk.
Setelah di awal perkuliahan memasukkan
aktivitas berdoa bersama, di dalam proses penyampaian materi kuliah penulis
juga menyisipkan materi pendidikan karakter, misalnya penyisipan motivasi
berprestasi, manajemen diri, dan semangat berusaha (memperjuangkan cita-cita)
melalui pembacaan biografi tokoh-tokoh ilmuwan dunia. Sebagai contoh, ketika
menyampaikan materi kuliah kimia koordinasi, penulis mengawali dengan
menyampaikan sejarah perkembangan kimia koordinasi. Nah, saat membahas materi
sejarah perkembangan kimia koordinasi topik Teori Koordinasi Werner, penulis
menyisipkan pembahasan tentang biografi Alfred Werner, ilmuwan kimia peraih hadiah
nobel bidang kimia koordinasi tahun 1913. Melalui pembahasan biografi Alfred
Werner tersebut, mahasiswa mengetahui bagaimana Alfred Werner bekerja keras
meneliti senyawa-senyawa koordinasi selama kurang lebih 20 tahun sehingga
akhirnya menjadi pakar kimia koordinasi dengan merumuskan teori koordinasi dan
dunia menghargainya dengan memberikan penghargaan hadiah nobel pada tahun 1913.
Dari mempelajari biografi Alfred Werner
tersebut, mahasiswa dapat belajar tentang pentingnya belajar secara tekun, fokus,
menemukan bakat minat sejak dini, tidak mudah menyerah, dan akhirnya meraih
kesuksesan. Mahasiswa dapat menyadari dari kisah-kisah kesuksesan para tokoh
dunia bahwa kesuksesan harus diperjuangkan, kesuksesan tidak ada yang instan
tetapi melalui usaha dan perjuangan tanpa mengenal lelah. Dari metode pengintegrasian
pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran inilah mahasiswa belajar tentang
Performance Character, sedangkan
melalui kegiatan doa bersama dan menghayatinya serta mengimplementasikan dalam
perilaku kehidupan sehari-hari, mahasiswa belajar tentang Moral Character. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Lickona (2012) bahwa karakter
dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu Karakter Moral (Moral Character) dan Karakter Kinerja (Performance Character).
Lebih lanjut, Djohan Yoga (2022) menjelaskan
tentang perbedaan antara Karakter Moral dan Karakter Kinerja. Karakter Moral (Moral Character) merupakan karakter yang
berguna untuk menjalin hubungan dengan orang lain seperti : jujur, rasa hormat,
menerima perbedaan, dll. Karakter Moral dapat mendorong seseorang untuk
berperilaku yang positif dan menjadi warganegara yang bertanggungjawab. Dengan
Karakter Moral, sesorang akan dapat menghargai pendapat orang lain serta tidak
melanggar nilai moral dalam meraih prestasi. Adapun Karakter Kinerja (Performance Character) merupakan
karakter yang berguna untuk meraih prestasi seperti: kerja keras, disiplin,
pantang menyerah, kreatif, dll. Karakter Kinerja mendorong seseorang untuk
mengeluarkan semua potensi yang dimilikinya untuk menguasai sesuatu (ilmu,
ketrampilan). Dengan Karakter Kinerja seseorang akan dapat memaksimalkan
prestasi sebab bisa melahirkan kekuatan dan strategi yang menantang diri
sendiri untuk meraih yang terbaik dengan talenta yang dimilikinya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pelu dibekali dengan Karakter Moral dan Karakter
Kinerja. Mengapa mahasiswa perlu dibekali dengan pendidikan karakter moral dan
karakter kinerja sekaligus? Menanggapi pertanyaan ini, penulis mengutip penjelasan
Djohan Yoga (2022) dalam Workbook
Training of Trainer Character Education Practitioner yang memberikan penjelasan
secara sangat memuaskan terkait pentingnya Karakter Kinerja dan Karakter Moral
sebagai berikut.
1. Seseorang
bisa memiliki Karakter Kinerja saja tanpa Karakter Moral dan sebaliknya bisa
hanya memiliki Karakter Moral tapi tidak untuk Karakter Kinerja. Kita banyak
mendengar bahwa ada banyak peraih prestasi yang mencapaikan dengan berlatih
keras, disiplin, pantang menyerah dan aspek lainnya yang terkait dengan
Karakter Kinerja. Namun mereka kurang dalam aspek kejujuran, kebaikan, dan
aspek lainnya yang terkait dengan Karakter Moral. Sebaliknya ada orang yang
kuat dalam Kebajikan Moral tapi kurang dalam Kebajikan Kinerja seperti kerja
keras, kegigigihan dan berinisiatif.
2. Seseorang
yang berkarakter harus memiliki baik Karakter Kinerja maupun Karakter Moral.
Keduanya mendatangkan kewajiban. Karakter Kinerja seperti juga Karakter Moral
memiliki dimensi etika. Kita semua memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan
talenta, merealisasikan potensi untuk keunggulan dan memberikan usaha terbaik
dalam melaksanakan tugas-tugas kita. Kita memiliki kewajiban dengan 2 alasan :
a). Rasa hormat kepada diri-sendiri dengan cara tidak mengabaikan talenta kita
tapi menggunakan mereka untuk berkembang sebagai pribadi yang terbaik. b.
Peduli dengan kebutuhan orang lain dengan cara mengerjakan seluruh tugas dengan
sebaik-baiknya sebab kualitas kerja kita akan berpengaruh pada kehidupan orang
lain. Dalam cara yang sama, kita semua juga memiliki tanggungjawab untuk
menjadi yang pribadi yang terbaik secara etika sebab hal ini juga akan
berpengaruh pada kehidupan yang ada di sekitar kita
3. Perlu
diingat bahwa dalam kebajikan moral (moral
virtues) yang pada hakikatnya baik, kebajikan kinerja (performance virtues) dapat juga digunakan untuk sesuatu yang buruk.
Para teroris mungkin telah menggunakan kebajikan kinerjanya seperti kecerdikan
dan tanggungjawab dalam melakukan pengeboman kepada orang yang tidak berdosa.
Sebaliknya, kebajikan moral seperti keadilan, kejujuran dan kepedulian yang
pada hakekatnya baik tidak dapat dipaksa untuk melakukan tugas-tugas yang
jahat.
4. Karakter
Kinerja dan Karakter Moral saling mendukung satu dengan yang lain secara
terpadu dan saling terkait. Keterpaduan Karakter Kinerja dan Karakter Moral
bisa ditunjukkan dalam 2 cara: a). Orang yang kuat dalam Karakter Kinerja bisa
membantu mereka dalam mencapai tujuan moralnya. b. Karakter Moral bisa
memberikan energi yang bisa memotivasi mereka untuk menggerakkan kinerja yang
tinggi dan memastikan bahwa mereka melakukannya secara beretika.
5. Pendidikan
Karakter memiliki tiga dimensi psikologis yaitu: kognitif (the head), emosi (the heart)
dan perilaku (the hand). Hal yang sama
juga berlaku untuk Karakter Kinerja dan Karakter Moral yang bisa dipandang
memiliki tiga komponen psikologis juga yaitu: kesadaran (awareness), sikap (attitude)
dan aksi (action) yang dikenal dengan
istilah 3A’s of Performance Character and
Moral Character. []
Referensi
Hudi, I. (2017).
Pengaruh Pengetahuan Moral Terhadap Perilaku Moral pada Siswa SMP Negeri Kota
Pekanbaru Berdasarkan Pendidikan Orang Tua. Jurnal Moral Kemasyarakatan,
2(1), 30–44.
Lickona, T.
(2012). Mendidik untuk membentuk karakter: Bagaimana sekolah dapat
memberikan pendidikan tentang sikap hormat dan bertanggungjawab. Bumi
Aksara.
Yoga, D. (2022).
Workbook Training of Trainer Character Education Practitioner.
Indomindmap.
Gumpang
Baru, 05 Agustus 2025
_________________________________
*) Dr.
Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah Dosen
di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, alumni Program
Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, pengembang
model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan
Qur’ani (CTS-Q), peraih juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran Kimia
SMA/MA di Kementerian Agama RI, Penulis Buku Nonfiksi tersertifikasi BNSP yang
telah menulis 125 judul buku (mandiri dan book chapter) dan memiliki 48
sertifikat hak cipta dari Kemenkumham RI. Beliau dapat dihubungi melalui email: anc_saputro@yahoo.co.id, dan website: https://sharing-literasi.blogspot.com.
Postingan Populer
-
MENGENAL MIND MAP Oleh: Agung Nugroho Catur Saputro Di era sekarang ini yang serba modern dan mengandalkan kecepatan, kita dituntu...
-
BIOGRAFI Dr. AGUNG NUGROHO CATUR SAPUTRO, S.Pd., M.Sc. (ICT, C.MMF, C.AIF, C.GMC, C.CEP, C.MIP, C.SRP, C.MP, C.NFBW, C.GMAC) D...
-
Oleh : Agung Nugroho Catur Saputro “Jenis pendidikan sekolah apa yang diperlukan untuk mencapai harapan cerah? Pengetahuan memberika...