Powered By Blogger
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Literasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 September 2025

MEMANDANG ILMU KIMIA DARI KACAMATA RELIGIUS


MEMANDANG ILMU KIMIA DARI KACAMATA RELIGIUS

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.




Ilmu kimia merupakan salah satu bidang ilmu sains yang khusus mempelajari materi. Kajian dalam ilmu kimia mengkhususkan tentang susunan atom-atom penyusun materi, komposisi atom-atom pembentuk materi, sifat materi dampak dari struktur komponen atom-atom penyusunnya, perubahan materi atau reaksi kimia, dan perubahan energi yang menyertai reaksi kimia yang terjadi materi. Secara umum, kimia dapat juga sebut ilmu tentang materi.

Ilmu kimia berkembang dengan ditopang oleh hasil kajian teoritis dan pengalaman praktis di laboratorium. Konsep-konsep dalam ilmu kimia merupakan hasil kesimpulan para ahli kimia terhadap gejala, fenomena, dan peristiwa yang diamati saat proses eksperimen kimia di laboratorium. Sifat dan perubahan materi yang teramati ketika proses eksperimen di laboratorium disimpulkan memiliki keterkaitan dengan perlakuan yang diberikan pada materi. Gejala dan fenomena yang teramati oleh para ahli kimia ada keterkaitannya dengan hokum sebab akbat. Perlakuan yang diberikan saintis pada suatu materi akan menyebabkan munculmya perubahan pada materi. Perubahan materi yang terjadi pada materi juga akan diiringi dengan terjadinya perubahan kandungan energi dalam materi.

Kimia diasosiasikan dengan reaksi kimia. Reaksi kimia dikaitkan dengan peristiwa tumbukan antar atom-atom yang berikatan membentuk senyawa kimia baru. Hanya tumbukan yang memiliki jumlah energi tertentu saja yang akan menghasilkan reaksi kimia. Jumlah energi tumbukan minimal yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia dinamakan energi aktivasi (Ea). Setiap reaksi memiliki tingkat energi aktivasi yang berbeda-beda. Energi aktivasi ini dapat diubah dengan cara mengubah mekanisme reaksi melalui penggunaan suatu katalis. Penggunaan zat katalis efektif untuk memangkat tingkat energi aktivasi menjadi beberapa tingkat energi aktivasi yang lebih kecil. Hasilnya adalah laju reaksi meningkat lebih cepat sehingga sangat menguntungkan dalam industri kimia.

Dalam pandangan aliran filsafat rasionalisme, terjadinya reaksi kimia tidak mungkin hanya dipengarungi oleh faktor materi saja yaitu atom-atom dan kecukupan energi aktivasi, melainkan pasti karena ada peran dari sang pemilik kebenaran mutlak yaitu Tuhan. Atom-atom saling bertumbukan dan mengadakan reaksi kimia karena digerakkan oleh Tuhan pencipta alam semesta. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa atom adalah benda mati yang tidak mungkin memiliki kehendak layaknya seperti makhluk hidup untuk mengadakan ikatan kimia dengan atom lain. Pemikiran yang logis adalah pasti ada sesuatu energi di alam yang mampu menggerakan atom-atom yang mati tersebut untuk mengadakan ikatan kimia. Dan energi yang mahakuat tersebut adalah yang paling mungkin milik sang pencipta alam, yaitu Tuhan yang Mahapencipta.

Atom-atom bergerak mendekati satu sama lain dan kemudian saling berikatan dengan jenis ikatan kimia tertentu karena adanya sifat-sifat tertentu pada masing-masing atom. Ada atom yang memiliki sifat sangat elektropositif dan ada atom yang sangat elektronegatif. Selain itu juga ada atom-atom yang tingkat elektropositif maupun elektronegatifnya relatif sedang. Perbedaan tingkat elektropositif dan elektronegatif pada atom-atom itulah yang mendorong atom-atom mampu saling berinteraksi dan mengadakan ikatan kimia. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah darimana datangnya sifat elektropositif dan elektronegatif dari atom-atom tersebut? Siapakah yang memberikan sifat-sifat tersebut pada atom? Mungkinkah atom-atom mampu memproduksi sendiri sifat-sifatnya? Mengapa atom-atom bisa memiliki sifat elektropositif dan elektronegatif yang berbeda-beda? Apa tujuan atom-atom memiliki sifat-sifat yang berbeda tersebut? Apakah mungkin atom-atom merencanakan tujuannya dengan memunculkan sifat-sifat tertentu di dirinya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mungkin dapat dijawab dengan menggunakan pendekatan berpikir aliran filsafat empirisme karena aliran filsafat empirisme tidak mengakui wujud nonmaterial. Aliran filsafat empirisme hanya mengakui wujud material semata. Di luar wujud material, aliran filsafat empirisme tidak mengakui sebagai kebenaran hakiki. Aliran filsafat empirisme hanya mengakui kebenaran yang mampu dijangkau dengan indrawi. Sebaliknya, jika menggunakan pendekatan aliran filsafat rasionalisme, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dan dijelaskan dengan mudah. Hal itu dikarenakan aliran filsafat rasionalisme mengakui kebenaran yang berasal dari logika berpikir dan keberadaan wujud nonmaterial. Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah karena faktor keberadaan wujud nonmaterial yang mengatur seluruh alam semesta ini yaitu Tuhan Yang Mahapencipta.

Dengan menggunakan pendekatan filsafat rasionalisme, kita menolak argumentasi bahwa atom-atom bergerak saling berikatan membentuk berbagai senyawa baru karena keinginan sendiri dari atom-atom tersebut. Logika kita pasti menolak argumentasi bahwa atom-atom dapat menciptakan sifat-sifatnya sendiri (sifat elektropositif, sifat elektronegatif, sifat logam, sifat nonlogam, dll) sehingga akhirnya mampu saling berikatan membentuk senyawa baru. Logika kita lebih mudah menerima argumentasi bahwa atom-atom ada yang memberikan sifat-sifat dan menggerakan mereka untuk saling berikatan untuk membentuk senyawa baru. Dalam lingkup makroskopis, logika kita lebih mudah menerima argumentasi bahwa seluruh materi di alam semesta ini dan segala proses yang terjadi di alam semesta ini ada yang mengaturnya melalui penciptaan hukum-hukum alam. Kekuatan mahakuasa yang mampu mengatur seluruh proses yang terjadi di alam semesta ini tidak lain adalah Sang Mahapencipta yaitu Tuhan Yang Mahakuasa.

Tuhan menciptakan alam semesta ini pasti memiliki tujuan yang pasti, yaitu untuk menjadi bahan pembelajaran bagi umat manusia. Tuhan mengajari umat manusia melalui penetapan hokum-hukum alam yang mengatur bagaimana alam semesta ini berproses. Dengan mengamati, merenungkan, menghayati, dan menemukan ibrah atau hikmah kebaikan di balik setiap proses alam semesta, manusia akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Tuhan. Jadi alam semesta ini, termasuk materi yang menjadi focus kajian ilmu kimia, adalah media perantara ciptaan Tuhan untuk mengajari umat manusia mengenal ilmu-ilmu-Nya. Ilmu sains pada hakikatnya adalah ilmu Tuhan yang dititipkan di setiap materi di alam semesta ini untuk menjadi bahan pembelajaran umat manusia yang mau mengungkapnya. Oleh karena itu, para ilmuwan sains adalah manusia-manusia istimewa yang terpilih untuk menemukan dan mengungkap rahasia ilmu-ilmu Tuhan yang tersimpan di alam semesta.

Dengan menggunakan pendekatan pola pikir seperti tersebut, maka dapat dipahami bahwa ilmu kimia pada hakikatnya adalah ilmu yang bersumber dari Tuhan yang tersimpan di dalam materi di alam semesta ini. Untuk dapat menemukan ilmu-ilmu-Nya lainnya yang terkandung di dalam setiap materi, maka manusia perlu mempelajari ilmu kimia. Ilmu kimia adalah jembatan untuk menemukan ilmu-ilmu Tuhan. Ilmu kimia hakikatnya adalah ilmu untuk mengenal Tuhan melalui pendekatan pengamatan empiris terhadap materi di tingkat mikroskopik atau atomik. Setiap gejala dan fenomena yang teramati di balik materi merupakan pesan-pesan tersirat dari Tuhan. Dengan dukungan pendekatan berpikir filsafat empirisme dan rasionalisme sekaligus, maka kita akan mampu mengungkap ilmu-ilmu Tuhan baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dengan mampu mengungkap ilmu-ilmu Tuhan yang tersurat dan tersirat, maka kita akan mampu mengenai Allah SWT.

Untuk mengenal Allah SWT. dengan memikirkan ciptaan-Nya, kita perlu melakukan tafakur atau tadabbur, yaitu merenungkan kebesaran dan keagungan-Nya yang tercermin dalam setiap detail alam semesta, mulai dari langit dan bumi hingga tubuh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan menggunakan akal dan panca indera, kita mengamati tanda-tanda kebesaran-Nya, menyadari bahwa semua itu tidak mungkin ada dengan sendirinya, dan memahami bahwa ada Zat Maha Kuasa, Maha Penyayang, dan Maha Bijaksana sebagai penciptanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah SWT. dengan firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 190-191:
"(190). Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (191). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron [03]: 190-191).

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu kimia itu tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan berpikir dengan akal saja tetapi juga perlu melibatkan hati nurani. Belajar ilmu kimia tidak cukup hanya menggunakan cara berpikir aliran filsafat empirisme saja tetapi juga perlu menggunakan cara berpikir aliran filsafat rasionalisme. Mempelajari ilmu kimia tidak cukup hanya menggandalkan kemampuan indrawi tetapi juga perlu menggunakan kemampuan spiritual. Belajar ilmu kimia tidak hanya dengan melakukan pengamatan empiris terhadap reaksi-reaksi kimia yang terjadi, tetapi juga perlu memikirkan, merenungkan dan menghayati apa tujuan hakiki dari setiap reaksi kimia yang terjadi. Wallahu a’lam bish-shawab. []


Gumpang Baru, 29 September 2025

Senin, 11 Agustus 2025

MENERUSKAN CITA-CITA ORANG TUA

 


MENERUSKAN CITA-CITA ORANG TUA 

Oleh:

Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.*)




Kami terlahir di lingkungan pedesaan. Saya anak nomor empat dengan memiliki tiga kakak dan satu adik. Keluarga kami adalah keluarga yang cukup, walaupun lebih banyak kurangnya. Tetapi dengan semangat menjalani kehidupan  dengan positif dan memperbaiki hidup, orang tua kami bertekad menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana, walaupun harus berhutang dan pengaturan pengelolaan keuangan yang sangat ketat. 


Orang tua kami bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai ke tingkat sarjana. Walaupun mereka sendiri belum pernah mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Ayah sekolahnya hanya sampai lulus sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama, sekarang setara SMA), sedangkan ibu hanya sekolah SR (Sekolah Rakyat, sekarang setara SD). 


Ayah dan ibu memiliki lima orang anak, yaitu tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Entah karena faktor ekonomi atau ada faktor alasan yang lain, anak-anak yang disekolahkan sampai ke perguruan tinggi hanya anak laki-laki saja. Itupun juga dengan berhutang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Bahkan untuk kakak pertama, beliau bisa kuliah juga karena dapat sedikit bantuan orang lain dan hasil bekerja karena orang tua tidak mampu membiayai kuliahnya. 


Semangat ayah dan ibu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi-walaupun  harus berhutang- karena mereka ingin masa depan anak-anaknya besok meningkat lebih baik. Walaupun ayah dan ibu hanya orang kecil dan rakyat jelata serta tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi, mereka sangat sadar bahwa pendidikan tinggi akan mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Hanya melalui jalur pendidikan tinggi, ayah dan ibu yakin kehidupan anak-anak mereka kelak akan menjadi lebih baik dan sejahtera. 


Orang tua kami pernah berkata bahwa mereka tidak dapat mewariskan harta benda karena memang tidak punya, tetapi hanya bisa mewariskan ilmu (pendidikan) untuk bekal kehidupan di masa depan.  Berbekal nasihat ini, maka saya berusaha menjalani proses studi selama kuliah dengan sebaik-baiknya dan berusaha meraih prestasi semaksimal mungkin. Saya juga meyakini bahwa  melalui pendidikan yang baik, masa depan saya akan menjadi lebih baik. 


Dengan inspirasi dan semangat orang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang sarjana, maka saya juga bertekad untuk menjalani proses studi dengan sebaik-baiknya. Saya juga berusaha untuk melanjutkan cita-cita orang tua yang ingin anak-anaknya bisa menjadi sarjana dengan melanjutkan pendidikan ke  jenjang yang lebih tinggi yaitu pendidikan Pascasarjana tingkat Magister dan Doktor. 


Atas berkat doa kedua orang tua, semangat belajar anak-anaknya, dan ridho Allah SWT, akhirnya dari lima anak-anak mereka ada dua anak yang mampu melanjutkan pendidikan Pascasarjana hingga  tingkat doktor, yaitu anak pertama (Dr. Agus Fatuh Widoyo, S.Ag., M.S.I.) dan saya sendiri sebagai anak nomor empat (Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc.). Selain itu, cucu pertama mereka yang merupakan putri dari anak pertama juga  berhasil mengenyam pendidikan Pascasarjana tingkat magister (Mutiara Hanif Saputri, S.Pd., M.Pd.). 


Kakak pertama saya mas Dr. Agus Fatuh Widoyo, S.Ag., M.S.I. yang selalu memotivasi dan mendorong saya untuk melanjutkan pendidikan tingkat doktor dan memberikan ketauladanan ke saya saat ini memiliki pencapaian jenjang karier yang cukup baik. Saat ini beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah di Institut Islam Mambaul Ulum (IIM) Surakarta. 


Alhamdulillah, saya, mas Agus, dan dek Hanif dapat  meneruskan cita-cita almarhum - almarhumah ayah dan ibu untuk melanjutkan pendidikan tinggi hingga jenjang doktor dan magister. Alhamdulillah kami dapat mengharumkan nama baik ayah dan ibu dengan pencapaian kehidupan kami. Kami bahagia dan bangga dapat membuktikan bahwa walau kedua orang tua kami bukan orang kaya dan kehidupannya penuh dengan kekurangan, tetapi mereka mampu mendidik kami -anak-anaknya- menjadi orang yang baik dan berpendidikan tinggi. Semoga apa yang kami capai sekarang ini dapat menjadi kebaikan jariyah bagi almarhum-almarhumah ayah dan ibu. Amin. []



Gumpang Baru, 10 Agustus 2025


_________________________________________

*) Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah dosen di Progam Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, Alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, dan Pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’an (CTS-Q).

Jumat, 08 Agustus 2025

MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER


MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.

 

 


Berbicara tentang karakter, maka pasti juga membicarakan tentang moral. Moral dan karakter merupakan dua istilah yang sangat berkaitan. Istilah Moral berasal dari bahasa Latin, yakni mores kata jamak dari mos yang sepadan dengan kata adat kebiasaan. Ketika berbicara tentang kata moral, maka ada beberapa kata atau istilah lain yang memiliki makna yang hampir sama, yaitu nilai, norma, etika, kesusilaan, budi pekerti, akhlak, dan adat istiadat. Moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang patut dan wajar (Hudi, 2017).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, moral dapat diartikan sebagai : (1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) akhlak; (3) budi pekerti; dan (4) susila (KBBI Online, 2022). Menurut kamus Cambridge (dictionary.cambridge.org, 2022), “Moral is relating to the standars of good or badd behavior, fairness, etc. that each person believes in, rather than to laws”. Moral adalah berkaitan dengan standar perilaku baik atau buruk, keadilan, dan lain-lain., yang diyakini setiap orang, bukan hukum. Sedangkan menurut kamus Merriam-webster (www.merriam-webster.com, 2022), “Moral is relating to principles of right and wrong in behavior”. Moral berkaitan dengan prinsip benar dan salah dalam berperilaku.

Beberapa ahli telah berusaha membuat definisi tentang moral. Walaupun berbeda-beda definisi, secara umum terdapat persamaan dalam inti maknanya. W.J.S. Poerdarminta mengatakan bahwa ajaran moral dari perbuatan baik dan buruk dan perilaku. Hurlock mendefinisikan moral sebagai perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok social. Moral sendiri berarti tata cara, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Menurut Sonny Keraf, moral dapat digunakan untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat (member of society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan tertentu. Menurut Chaplin (2006), moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan social, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. Dewey menyatakan bahwa masalah moral berkaitan dengan nilai-nilai moral. A. Mustafa mengungkapkan moral sebagai penentuan dasar perilaku mana yang baik dan yang buruk melalui pengamatan pada perbuatan manusia sejauh akal pikiran mereka. Sedangkan Shaffer menyatakan bahwa moral merupakan kaidah norma yang dapat mengatur perilaku suatu individu dalam menjalankan hubungan dan kerjasama di lingkungan masyarakat berdasarkan aturan yang berlaku (Makplus, 2018). Ananda (2017) mendefiniskan moral atau moralitas sebagai suatu tuntutan perilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Menurut Suseno dalam (Ananda, 2017), moral adalah ukuran baik buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sementara itu, Ouska dan Whellan dalam (Ananda, 2017) mendefiniskan moral sebagai prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang.

Berdasarkan beberapa definisi moral menurut para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral adalah aturan, prinsip ataupun ukuran yang berkaitan dengan perilaku baik atau buruk yang diyakini kebenarannya oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Moral seseorang dalam kehidupan sehari-hari terimplementasikan dalam wujud sikap dan perilakunya. Seseorang dikatakan bermoral baik atau tidak dapat dilihat dari bagaimana perilakunya sehari-hari, apakah perilakunya mengarah tindakan yang baik atau buruk.

Walaupun moral itu berada dalam diri individu, kita harus menyadari bahwa moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan, norma atau pun hukum. Istilah moral dan moralitas terkadang dianggap sama, padahal sebenarnya ada perbedaan sedikit antara kedua istilah tersebut. Moral adalah prinsip baik-buruk, sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Atas dasar pengertian ini, maka hakikat dan moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan (Ananda, 2017).

            Lickona, (2012) membagi nilai-nilai moral yang menjadi tuntutan menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal seperti memperlakukan orang lain dengan baik, menghormati pilihan hidup, kemerdekaan, dan kesetaraan dapat menyatukan semua orang di mana pun mereka berada karena menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri. Nilai-nilai moral yang bersifat universal ddasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku universal. Nilai-nilai kemanusiaan ini tidak berasal dari suku bangsa dan agama tertentu, bahkan nilai-nilai ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebagai misal, kejujuran itu nilai moral yang mulia yang berlaku di negara atau wilayah manapun dan sampai kapan pun. Kemerdekaan adalah nilai moral kemanusiaan yang berlaku untuk siapa pun dan di mana pun ia berada atau domisili karena setiap orang memiliki hak asasi untuk hidup secara merdeka. Oleh karena itu, kemerdekaan itu dilindungi oleh undang-undang.

Sebaliknya, nilai-nilai moral nonuniversal tidak membawa tuntutan moral yang bersifat universal. Contoh nilai-nilai moral nonuniversal adalah nilai-nilai kewajiban yang berlaku pada agama-agama tertentu (ketaatan, berpuasa, dan memperingati hari besar keagamaan) ataupun pada adat istiadat dan budaya suku bangsa tertentu yang secara individu menjadi sebuah tuntutan yang cukup penting, namun hal itu belum tentu dirasakan oleh individu lain (Lickona, 2012). Berpuasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban dan mendapatkan pahala bagi umat Islam, tapi tidak berlaku bagi umat agama lain. Hormat pada bendera merah putih ketika upaca pengibaran bendera merah putih merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi hal ini bukan kewajiban bagi warga negara asing yang tinggal di Indonesia karena warga negara asing memiliki bendera kebangsaan sendiri.

Nilai-nilai moral harus dikembangkan dalam diri anak (peserta didik) melalui program pendidikan moral atau pendidikan karakter. Program pengembangan moral lebih baik dilakukan sejak anak usia dini karena pada usia dini tersebut otak anak memiliki daya serap yang sangat besar dan kemampuan meniru (imitasi) yang sangat hebat. Dengan melalui pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai moral yang baik dan dilakukan usaha pembiasaan, maka anak diharapkan akan mampu memiliki moral yang baik dan menjadi bagian dari kepribadiannya. Nilai moral yang telah menjelma menjadi kepribadian anak akan terimplementasikan dalam perilaku sehari-harinya.

Tujuan pengembangan nilai-nilai moral/pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai moral sehingga dapat hidup sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Pembentukan perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal: (1). Menanamkan pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga anak dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat; (2). Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri; (3). Menanamkan budi pekerti yang baik; (4). Melatih anak untuk dapat membedakan sikap dan perilaku yang baik dan yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha menghindarkan diri dari perbuatan tercela; (5). Sebagai wahana untuk terciptanya situasi belajar anak yang berlangsung tertib, aktif, dan penuh perhatian; (6). Melatih anak didik untuk mencintai lingkungan yang bersih dan sehat; dan (7). Menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari (Ananda, 2017).

Pendidikan moral sangat berkaitan dengan pendidikan karakter. Pengembangan moral merupakan bagia dari pendidikan karakter. Menurut Lickona (2012), “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior.” Karakter yang mulia menurutnya bermula dengan pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melaksanakan kebaikan. Menurut Kilpatrick dalam (Hudi, 2017), pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui proses pengetahuan (knowing) kepada tindakan kebiasaan (habits). Hal ini bermakna, pengetahuan yang diperoleh diaplikasikan dalam bentuk tindakan melalui latihan dan pendidikan yang berterusan untuk membedakan mana-mana pengaruh yang baik dan keburukan. Untuk tujuan ini, seorang siswa hendaklah dididik secara sadar akan pengetahuan moral (moral knowing), menghargai nilai-nilai yang baik (moral feeling) dan melakukan kebiasaan moral yang baik (moral habits).

Menurut Hudi (2017), pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral knowing tidaklah cukup, sebab sebatas hanya tahu atau memahami nilai-nilai atau moral tanpa melaksanakannya, hanya menghasilkan orang cerdas, tetapi tidak bermoral. Sangat  penting proses pendidikan dilanjutkan sampai pada moral feeling. Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip moral. Terdapat enam hal aspek emosi yang harus dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia bermoral atau berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri), dan humility (kerendahan hati). Namun, pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral feeling saja juga tidaklah cukup, sebab sebatas ingin atau mau, tanpa disertai perbuatan nyata hanya akan menghasilkan manusia munafik.

Keterkaitan erat antara pemahaman moral atau nilai moral seseorang dengan perbuatan atau tindakan yang akan dilakukan tidaklah diragukan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Abowitz dalam (Hudi, 2017)) menyimpulkan: ”Moral perseption is typically defined as which helps us determine whart factors in a situation are morally siginificant, and how we can for,ulate action from what we see. Perception helps us to understand the morally relevant values in a situation”. Penelitian Abowitz ini menegaskan  bahwa persepsi moral seseorang akan membantu dalam menentukan faktor-faktor moral mana yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil secara tepat sesuai dengan hatinya. Di samping itu, persepsi moral seseorang membantu pemahaman nilai-nilai moralitas hidup yang relevan saat ini.[]

 

 

___________________________________ 

*) Dr.Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’ani (CTS-Q), dan Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), serta 120-an judul buku lainnya. 

Selasa, 05 Agustus 2025

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER KINERJA DAN KARAKTER MORAL

 


URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER KINERJA DAN KARAKTER MORAL

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.

 

 

 

Menurut Thomas Lickona, (2012), “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior.” Karakter yang mulia menurutnya bermula dengan pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melaksanakan kebaikan. Menurut Kilpatrick dalam (Hudi, 2017), pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui proses pengetahuan (knowing) kepada tindakan kebiasaan (habits). Hal ini bermakna, pengetahuan yang diperoleh diaplikasikan dalam bentuk tindakan melalui latihan dan pendidikan yang berterusan untuk membedakan mana-mana pengaruh yang baik dan keburukan. Untuk tujuan ini, seorang pelajar (siswa, mahasiswa) hendaklah dididik secara sadar akan pengetahuan moral (moral knowing), menghargai nilai-nilai yang baik (moral feeling) dan melakukan kebiasaan moral yang baik (moral habits).

 

Lickona (2012) mengatakan ada 7 (tujuh) alasan utama yang menjadi dasar mengapa Pendidikan Karakter wajib untuk diberikan kepada seluruh peserta didik sejak dari tahap dini, yaitu: 1). Ini cara terbaik untuk menjamin peserta didik bisa memiliki kepribadian yang baik dalam hidupnya, 2). Ini cara yang paling efektif dalam meningkatkan prestasi akademik peserta didik, 3). Sebagian peserta didik belum bisa membentuk karakter yang baik bagi dirinya di tempat lain, 4). Sebagai sarana untuk membentuk peserta didik agar menjadi insan yang dapat menghormati orang lain dan hidup dalam kemajemukan. 5). Sebagai upaya untuk mengatasi akar masalah moral-sosial seperti ketidakjujuran, ketidaksopanan, kekerasan, etos kerja yang rendah, dll., 6). Ini cara terbaik untuk membentuk perilaku peserta didik sebelum mereka memasuki lingkungan kerja, 7). Sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai budaya yang menjadi bagian dari sebuah peradaban.

 

Pendidikan karakter sangat penting diajarkan ke mahasiswa. Walaupun umumnya orang berpandangan bahwa mahasiswa sudah dewasa sehingga mereka pastinya sudah memahami pendidikan karakter, tetapi faktanya masih dijumpai adanya mahasiswa yang kurang memiliki karakter baik. Penulis masih menjumpai di lapangan bagaimana beberapa mahasiswa kurang peduli terhadap lingkungannya dan kurang memiliki empati terhadap orang lain. Mereka cenderung bersikap individualistik dimana mereka hanya fokus pada kepentingan dirinya sendiri dan kurang mempedulikan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua mahasiswa memiliki karakter yang baik. Karakter baik seperti rasa empati, kepedulian sosial, kemandirian, dan sikap religius harus tetap diajarkan dan dilatihkan kepada mahasiswa dalam pembelajaran di ruang-ruang kelas agar karakter-karakter yang baik tersebut menjadi habit (kebiasaan) mereka.

 

Pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua komponen pendidikan, khususnya pendidik (guru, dosen). Di tingkat pendidikan tinggi, dosen memiliki kewajiban selain mengajarkan materi perkuliahan juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengajarkan pendidikan karakter kepada para mahasiswa. Untuk mengajarkan materi pendidikan karakter tidak perlu terpisah dalam mata kuliah khusus pendidikan karakter, tetapi dapat diajarkan secara terpadu dalam penyampaian materi perkuliahan. Dosen dapat mengintegrasikan materi perkuliahannya dengan materi pendidikan karakter sehingga penyampaian materi perkuliahan secara terpadu juga menyampaikan materi pendidikan karakter.

 

Ketika mengajar mata kuliah, penulis berusaha memasukkan nilai-nilai karakter yang baik pada penyampaian materi perkuliahan. Di mulai dari awal perkuliahan, penulis mengawali dengan mengajak mahasiswa untuk berdoa terlebih dahulu sebelum memulai proses pembelajaran. Pada pertemuan pertama, penulis selaku dosen yang memimpin doa bersama (doa dalam hati masing-masing sesuai agama dan keyakinannya karena mahasiswa bisa beragam agamanya). Tetapi pada pertemuan kedua dan seterusnya, penulis meminta salah satu perwakilan mahasiswa untuk memimpin doa bersama. Mungkin apa yang penulis lakukan tersebut dinilai tidak terlalu penting. Mungkin ada yang berpendapat, buat apa mengajak mahasiswa berdoa bersama karena pastinya mereka sudah berdoa sendiri-sendiri tanpa dipimpin.

 

Menurut penulis, kegiatan berdoa bersama setiap kali memulai perkuliahan adalah kegiatan yang tidak sia-sia. Dalam kegiatan doa bersama tersebut, penulis ingin mengajak dan mengingatkan agar para mahasiswa kembali mengingat Tuhan (walau sesaat) setelah sekian waktu beraktivitas memikirkan duniawi dan juga memohon kepada Tuhan agar ilmu yang akan mereka pelajari nantinya membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi kehdupan mereka terkhusus kesuksesan karier mereka nanti. Kegiatan doa bersama di setiap awal perkuliahan penulis desain untuk membangkitkan jiwa spiritualisme mahasiswa agar walau sesaat hati dan jiwa mereka tersirami oleh nilai-nilai kesucian yang bersifat transenden.

 

Kegiatan mengawali perkuliahan dengan doa bersama sudah beberapa tahun penulis lakukan ketika mengajar dan penulis merasakan (subjektivitas penulis) bahwa setelah adanya kegiatan doa bersama, penulis merasakan suasana kelas yang lebih religius dan damai dibandingkan suasana kelas sebelum penulis mengadakan kegiatan doa bersama. Penulis mengamati terkadang masih ada satu dua mahasiswa yang terkesan meremehkan kegiata doa bersama yang terlihat dari ketika berdoa mereka tidak serius (khusuk). Melihat kondisi tersebut, ketika di dalam proses pembelajaran, penulis menyisipkan nasihat tentang pentingnya berdoa secara khusuk kepada Tuhan karena manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Manusia membutuhkan bantuan Tuhan dalam menjalani kehidupan agar ditunjukkan jalan kebaikan dan dimudahkan dalam segala urusan. Melalui pemberian nasihat-nasihat seperti itu, mahasiswa menjadi lebih sadar tentang pentingnya berdoa secara serius dan khusyuk.

 

Setelah di awal perkuliahan memasukkan aktivitas berdoa bersama, di dalam proses penyampaian materi kuliah penulis juga menyisipkan materi pendidikan karakter, misalnya penyisipan motivasi berprestasi, manajemen diri, dan semangat berusaha (memperjuangkan cita-cita) melalui pembacaan biografi tokoh-tokoh ilmuwan dunia. Sebagai contoh, ketika menyampaikan materi kuliah kimia koordinasi, penulis mengawali dengan menyampaikan sejarah perkembangan kimia koordinasi. Nah, saat membahas materi sejarah perkembangan kimia koordinasi topik Teori Koordinasi Werner, penulis menyisipkan pembahasan tentang biografi Alfred Werner, ilmuwan kimia peraih hadiah nobel bidang kimia koordinasi tahun 1913. Melalui pembahasan biografi Alfred Werner tersebut, mahasiswa mengetahui bagaimana Alfred Werner bekerja keras meneliti senyawa-senyawa koordinasi selama kurang lebih 20 tahun sehingga akhirnya menjadi pakar kimia koordinasi dengan merumuskan teori koordinasi dan dunia menghargainya dengan memberikan penghargaan hadiah nobel pada tahun 1913.

 

Dari mempelajari biografi Alfred Werner tersebut, mahasiswa dapat belajar tentang pentingnya belajar secara tekun, fokus, menemukan bakat minat sejak dini, tidak mudah menyerah, dan akhirnya meraih kesuksesan. Mahasiswa dapat menyadari dari kisah-kisah kesuksesan para tokoh dunia bahwa kesuksesan harus diperjuangkan, kesuksesan tidak ada yang instan tetapi melalui usaha dan perjuangan tanpa mengenal lelah. Dari metode pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran inilah mahasiswa belajar tentang Performance Character, sedangkan melalui kegiatan doa bersama dan menghayatinya serta mengimplementasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari, mahasiswa belajar tentang Moral Character. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Lickona (2012) bahwa karakter dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu Karakter Moral (Moral Character) dan Karakter Kinerja (Performance Character).

 

Lebih lanjut, Djohan Yoga (2022) menjelaskan tentang perbedaan antara Karakter Moral dan Karakter Kinerja. Karakter Moral (Moral Character) merupakan karakter yang berguna untuk menjalin hubungan dengan orang lain seperti : jujur, rasa hormat, menerima perbedaan, dll. Karakter Moral dapat mendorong seseorang untuk berperilaku yang positif dan menjadi warganegara yang bertanggungjawab. Dengan Karakter Moral, sesorang akan dapat menghargai pendapat orang lain serta tidak melanggar nilai moral dalam meraih prestasi. Adapun Karakter Kinerja (Performance Character) merupakan karakter yang berguna untuk meraih prestasi seperti: kerja keras, disiplin, pantang menyerah, kreatif, dll. Karakter Kinerja mendorong seseorang untuk mengeluarkan semua potensi yang dimilikinya untuk menguasai sesuatu (ilmu, ketrampilan). Dengan Karakter Kinerja seseorang akan dapat memaksimalkan prestasi sebab bisa melahirkan kekuatan dan strategi yang menantang diri sendiri untuk meraih yang terbaik dengan talenta yang dimilikinya.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mahasiswa pelu dibekali dengan Karakter Moral dan Karakter Kinerja. Mengapa mahasiswa perlu dibekali dengan pendidikan karakter moral dan karakter kinerja sekaligus? Menanggapi pertanyaan ini, penulis mengutip penjelasan Djohan Yoga (2022) dalam Workbook Training of Trainer Character Education Practitioner yang memberikan penjelasan secara sangat memuaskan terkait pentingnya Karakter Kinerja dan Karakter Moral sebagai berikut.

1. Seseorang bisa memiliki Karakter Kinerja saja tanpa Karakter Moral dan sebaliknya bisa hanya memiliki Karakter Moral tapi tidak untuk Karakter Kinerja. Kita banyak mendengar bahwa ada banyak peraih prestasi yang mencapaikan dengan berlatih keras, disiplin, pantang menyerah dan aspek lainnya yang terkait dengan Karakter Kinerja. Namun mereka kurang dalam aspek kejujuran, kebaikan, dan aspek lainnya yang terkait dengan Karakter Moral. Sebaliknya ada orang yang kuat dalam Kebajikan Moral tapi kurang dalam Kebajikan Kinerja seperti kerja keras, kegigigihan dan berinisiatif.

2. Seseorang yang berkarakter harus memiliki baik Karakter Kinerja maupun Karakter Moral. Keduanya mendatangkan kewajiban. Karakter Kinerja seperti juga Karakter Moral memiliki dimensi etika. Kita semua memiliki tanggungjawab untuk mengembangkan talenta, merealisasikan potensi untuk keunggulan dan memberikan usaha terbaik dalam melaksanakan tugas-tugas kita. Kita memiliki kewajiban dengan 2 alasan : a). Rasa hormat kepada diri-sendiri dengan cara tidak mengabaikan talenta kita tapi menggunakan mereka untuk berkembang sebagai pribadi yang terbaik. b. Peduli dengan kebutuhan orang lain dengan cara mengerjakan seluruh tugas dengan sebaik-baiknya sebab kualitas kerja kita akan berpengaruh pada kehidupan orang lain. Dalam cara yang sama, kita semua juga memiliki tanggungjawab untuk menjadi yang pribadi yang terbaik secara etika sebab hal ini juga akan berpengaruh pada kehidupan yang ada di sekitar kita

3. Perlu diingat bahwa dalam kebajikan moral (moral virtues) yang pada hakikatnya baik, kebajikan kinerja (performance virtues) dapat juga digunakan untuk sesuatu yang buruk. Para teroris mungkin telah menggunakan kebajikan kinerjanya seperti kecerdikan dan tanggungjawab dalam melakukan pengeboman kepada orang yang tidak berdosa. Sebaliknya, kebajikan moral seperti keadilan, kejujuran dan kepedulian yang pada hakekatnya baik tidak dapat dipaksa untuk melakukan tugas-tugas yang jahat.

4. Karakter Kinerja dan Karakter Moral saling mendukung satu dengan yang lain secara terpadu dan saling terkait. Keterpaduan Karakter Kinerja dan Karakter Moral bisa ditunjukkan dalam 2 cara: a). Orang yang kuat dalam Karakter Kinerja bisa membantu mereka dalam mencapai tujuan moralnya. b. Karakter Moral bisa memberikan energi yang bisa memotivasi mereka untuk menggerakkan kinerja yang tinggi dan memastikan bahwa mereka melakukannya secara beretika.

5. Pendidikan Karakter memiliki tiga dimensi psikologis yaitu: kognitif (the head), emosi (the heart) dan perilaku (the hand). Hal yang sama juga berlaku untuk Karakter Kinerja dan Karakter Moral yang bisa dipandang memiliki tiga komponen psikologis juga yaitu: kesadaran (awareness), sikap (attitude) dan aksi (action) yang dikenal dengan istilah 3A’s of Performance Character and Moral Character. []

 

Referensi

Hudi, I. (2017). Pengaruh Pengetahuan Moral Terhadap Perilaku Moral pada Siswa SMP Negeri Kota Pekanbaru Berdasarkan Pendidikan Orang Tua. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 2(1), 30–44.

 

Lickona, T. (2012). Mendidik untuk membentuk karakter: Bagaimana sekolah dapat memberikan pendidikan tentang sikap hormat dan bertanggungjawab. Bumi Aksara.

 

Yoga, D. (2022). Workbook Training of Trainer Character Education Practitioner. Indomindmap.

 

 

 

Gumpang Baru, 05 Agustus 2025

 

 

_________________________________

*) Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’ani (CTS-Q), peraih juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran Kimia SMA/MA di Kementerian Agama RI, Penulis Buku Nonfiksi tersertifikasi BNSP yang telah menulis 125 judul buku (mandiri dan book chapter) dan memiliki 48 sertifikat hak cipta dari Kemenkumham RI. Beliau dapat dihubungi melalui email: anc_saputro@yahoo.co.id, dan website: https://sharing-literasi.blogspot.com.

 

Postingan Populer