Powered By Blogger

Jumat, 08 Agustus 2025

MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER


MORAL DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.

 

 


Berbicara tentang karakter, maka pasti juga membicarakan tentang moral. Moral dan karakter merupakan dua istilah yang sangat berkaitan. Istilah Moral berasal dari bahasa Latin, yakni mores kata jamak dari mos yang sepadan dengan kata adat kebiasaan. Ketika berbicara tentang kata moral, maka ada beberapa kata atau istilah lain yang memiliki makna yang hampir sama, yaitu nilai, norma, etika, kesusilaan, budi pekerti, akhlak, dan adat istiadat. Moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang patut dan wajar (Hudi, 2017).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, moral dapat diartikan sebagai : (1) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2) akhlak; (3) budi pekerti; dan (4) susila (KBBI Online, 2022). Menurut kamus Cambridge (dictionary.cambridge.org, 2022), “Moral is relating to the standars of good or badd behavior, fairness, etc. that each person believes in, rather than to laws”. Moral adalah berkaitan dengan standar perilaku baik atau buruk, keadilan, dan lain-lain., yang diyakini setiap orang, bukan hukum. Sedangkan menurut kamus Merriam-webster (www.merriam-webster.com, 2022), “Moral is relating to principles of right and wrong in behavior”. Moral berkaitan dengan prinsip benar dan salah dalam berperilaku.

Beberapa ahli telah berusaha membuat definisi tentang moral. Walaupun berbeda-beda definisi, secara umum terdapat persamaan dalam inti maknanya. W.J.S. Poerdarminta mengatakan bahwa ajaran moral dari perbuatan baik dan buruk dan perilaku. Hurlock mendefinisikan moral sebagai perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok social. Moral sendiri berarti tata cara, dan adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Menurut Sonny Keraf, moral dapat digunakan untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat (member of society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan tertentu. Menurut Chaplin (2006), moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan social, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. Dewey menyatakan bahwa masalah moral berkaitan dengan nilai-nilai moral. A. Mustafa mengungkapkan moral sebagai penentuan dasar perilaku mana yang baik dan yang buruk melalui pengamatan pada perbuatan manusia sejauh akal pikiran mereka. Sedangkan Shaffer menyatakan bahwa moral merupakan kaidah norma yang dapat mengatur perilaku suatu individu dalam menjalankan hubungan dan kerjasama di lingkungan masyarakat berdasarkan aturan yang berlaku (Makplus, 2018). Ananda (2017) mendefiniskan moral atau moralitas sebagai suatu tuntutan perilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Menurut Suseno dalam (Ananda, 2017), moral adalah ukuran baik buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sementara itu, Ouska dan Whellan dalam (Ananda, 2017) mendefiniskan moral sebagai prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang.

Berdasarkan beberapa definisi moral menurut para ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa moral adalah aturan, prinsip ataupun ukuran yang berkaitan dengan perilaku baik atau buruk yang diyakini kebenarannya oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Moral seseorang dalam kehidupan sehari-hari terimplementasikan dalam wujud sikap dan perilakunya. Seseorang dikatakan bermoral baik atau tidak dapat dilihat dari bagaimana perilakunya sehari-hari, apakah perilakunya mengarah tindakan yang baik atau buruk.

Walaupun moral itu berada dalam diri individu, kita harus menyadari bahwa moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan, norma atau pun hukum. Istilah moral dan moralitas terkadang dianggap sama, padahal sebenarnya ada perbedaan sedikit antara kedua istilah tersebut. Moral adalah prinsip baik-buruk, sedangkan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Atas dasar pengertian ini, maka hakikat dan moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan (Ananda, 2017).

            Lickona, (2012) membagi nilai-nilai moral yang menjadi tuntutan menjadi dua kategori, yaitu universal dan nonuniversal. Nilai-nilai moral universal seperti memperlakukan orang lain dengan baik, menghormati pilihan hidup, kemerdekaan, dan kesetaraan dapat menyatukan semua orang di mana pun mereka berada karena menjunjung tinggi dasar-dasar nilai kemanusiaan dan penghargaan diri. Nilai-nilai moral yang bersifat universal ddasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku universal. Nilai-nilai kemanusiaan ini tidak berasal dari suku bangsa dan agama tertentu, bahkan nilai-nilai ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Sebagai misal, kejujuran itu nilai moral yang mulia yang berlaku di negara atau wilayah manapun dan sampai kapan pun. Kemerdekaan adalah nilai moral kemanusiaan yang berlaku untuk siapa pun dan di mana pun ia berada atau domisili karena setiap orang memiliki hak asasi untuk hidup secara merdeka. Oleh karena itu, kemerdekaan itu dilindungi oleh undang-undang.

Sebaliknya, nilai-nilai moral nonuniversal tidak membawa tuntutan moral yang bersifat universal. Contoh nilai-nilai moral nonuniversal adalah nilai-nilai kewajiban yang berlaku pada agama-agama tertentu (ketaatan, berpuasa, dan memperingati hari besar keagamaan) ataupun pada adat istiadat dan budaya suku bangsa tertentu yang secara individu menjadi sebuah tuntutan yang cukup penting, namun hal itu belum tentu dirasakan oleh individu lain (Lickona, 2012). Berpuasa di bulan Ramadan merupakan kewajiban dan mendapatkan pahala bagi umat Islam, tapi tidak berlaku bagi umat agama lain. Hormat pada bendera merah putih ketika upaca pengibaran bendera merah putih merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia, tetapi hal ini bukan kewajiban bagi warga negara asing yang tinggal di Indonesia karena warga negara asing memiliki bendera kebangsaan sendiri.

Nilai-nilai moral harus dikembangkan dalam diri anak (peserta didik) melalui program pendidikan moral atau pendidikan karakter. Program pengembangan moral lebih baik dilakukan sejak anak usia dini karena pada usia dini tersebut otak anak memiliki daya serap yang sangat besar dan kemampuan meniru (imitasi) yang sangat hebat. Dengan melalui pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai moral yang baik dan dilakukan usaha pembiasaan, maka anak diharapkan akan mampu memiliki moral yang baik dan menjadi bagian dari kepribadiannya. Nilai moral yang telah menjelma menjadi kepribadian anak akan terimplementasikan dalam perilaku sehari-harinya.

Tujuan pengembangan nilai-nilai moral/pembentukan perilaku adalah untuk mempersiapkan anak sedini mungkin mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai moral sehingga dapat hidup sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Pembentukan perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal: (1). Menanamkan pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga anak dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat; (2). Membantu anak agar tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri; (3). Menanamkan budi pekerti yang baik; (4). Melatih anak untuk dapat membedakan sikap dan perilaku yang baik dan yang tidak baik sehingga dengan sadar berusaha menghindarkan diri dari perbuatan tercela; (5). Sebagai wahana untuk terciptanya situasi belajar anak yang berlangsung tertib, aktif, dan penuh perhatian; (6). Melatih anak didik untuk mencintai lingkungan yang bersih dan sehat; dan (7). Menanamkan kebiasaan disiplin dalam kehidupan sehari-hari (Ananda, 2017).

Pendidikan moral sangat berkaitan dengan pendidikan karakter. Pengembangan moral merupakan bagia dari pendidikan karakter. Menurut Lickona (2012), “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior.” Karakter yang mulia menurutnya bermula dengan pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melaksanakan kebaikan. Menurut Kilpatrick dalam (Hudi, 2017), pembentukan karakter bangsa dapat dilakukan melalui proses pengetahuan (knowing) kepada tindakan kebiasaan (habits). Hal ini bermakna, pengetahuan yang diperoleh diaplikasikan dalam bentuk tindakan melalui latihan dan pendidikan yang berterusan untuk membedakan mana-mana pengaruh yang baik dan keburukan. Untuk tujuan ini, seorang siswa hendaklah dididik secara sadar akan pengetahuan moral (moral knowing), menghargai nilai-nilai yang baik (moral feeling) dan melakukan kebiasaan moral yang baik (moral habits).

Menurut Hudi (2017), pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral knowing tidaklah cukup, sebab sebatas hanya tahu atau memahami nilai-nilai atau moral tanpa melaksanakannya, hanya menghasilkan orang cerdas, tetapi tidak bermoral. Sangat  penting proses pendidikan dilanjutkan sampai pada moral feeling. Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai prinsip-prinsip moral. Terdapat enam hal aspek emosi yang harus dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia bermoral atau berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri), dan humility (kerendahan hati). Namun, pendidikan moral atau karakter hanya sampai pada moral feeling saja juga tidaklah cukup, sebab sebatas ingin atau mau, tanpa disertai perbuatan nyata hanya akan menghasilkan manusia munafik.

Keterkaitan erat antara pemahaman moral atau nilai moral seseorang dengan perbuatan atau tindakan yang akan dilakukan tidaklah diragukan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Abowitz dalam (Hudi, 2017)) menyimpulkan: ”Moral perseption is typically defined as which helps us determine whart factors in a situation are morally siginificant, and how we can for,ulate action from what we see. Perception helps us to understand the morally relevant values in a situation”. Penelitian Abowitz ini menegaskan  bahwa persepsi moral seseorang akan membantu dalam menentukan faktor-faktor moral mana yang mempengaruhi keputusan yang akan diambil secara tepat sesuai dengan hatinya. Di samping itu, persepsi moral seseorang membantu pemahaman nilai-nilai moralitas hidup yang relevan saat ini.[]

 

 

___________________________________ 

*) Dr.Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc. adalah Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret, alumni Program Studi Doktor Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Pengembang model pembelajaran Chemistry, Technology and Society Berorientasi Pendidikan Qur’ani (CTS-Q), dan Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), serta 120-an judul buku lainnya. 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer