Powered By Blogger

Jumat, 30 April 2021

PUASA DAPAT MEMANJANGKAN UMUR?

 

Sumber Gambar : https://resonansi.id/angka-harapan-hidup-pandeglang-rendah-apa-artinya/


PUASA DAPAT MEMANJANGKAN UMUR?

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Setiap orang pasti menginginkan memiliki umur yang panjang. Makanya ketika merayakan peringatan hari ulang tahun, doa yang diucapkan melalui nyanyian adalah “Selamat panjang umur”. Selain umur yang panjang, sebagai orang Islam kita juga harus berharap semoga umur kita barokah. Artinya umur kita panjang dan diberkahi serta diridhai Allah Swt. Maka ketika kita memperingati hari kelahiran, seyogyanya doa yang kita panjatkan kepada Allah Swt adalah mengucapkan rasa syukur atas nikmat umur hingga saat ini dan mengharap agar diberikan umur yang panjang dan barokah.

 

Di dunia ini, negara manakah yang penduduknya memiliki usia harapan hidup paling tinggi? Jawabnya adalah Monako, negara berukuran kecil, tetapi memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Penduduk di sini bisa hidup hingga usia 89,4 tahun. Para lansia di sini juga cenderung religius, mengutamakan keluarga dan menghabiskan banyak waktu di luar ruangan. Mereka juga punya kebiasaan pergi ke mana-mana dengan berjalan kaki. Penduduk Monako juga diberi layanan kesehatan wajib yang didanai oleh negara, sehingga mereka tak perlu takut apabila jatuh sakit (Zakiah, 2019).

 

Urutan kedua negara yang memiliki usia harapan hidup tinggi adalah Jepang. Angka harapan hidup orang Jepang tertinggi kedua di dunia, yakni rata-rata mencapai usia 85,3 tahun. Mereka menghabiskan masa tuanya dengan damai, melakukan hobi seperti berkebun serta bersosialisasi bersama para lansia lainnya. Panjangnya umur orang Jepang juga dipengaruhi dengan makanan yang mereka makan, yaitu tahu, ikan laut dan ubi manis serta menghindari makan daging. Bahkan, tak sedikit penduduk Jepang yang berhasil mencapai usia 100 tahun. Persentasenya, 740 dari 1,3 juta penduduk Jepang berusia di atas 100 tahun serta 90 persen di antaranya perempuan (Zakiah, 2019). Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

 

Usia harapan hidup penduduk Indonesia mencapai 71,2 tahun. Data ini menurut Badan Pusat Statistik (BPS) ketika memaparkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia pada tahun 2018. Angka ini naik dari tahun 2016 di mana capaian usianya 'hanya' menyentuh angka 69,19 tahun (Zakiah, 2019). Mengapa penduduk di Negara kita memiliki rata-rata usia harapan hidup lebih rendah dibandingkan Negara-negara maju lainnya? Inilah yang harus kita pikirkan dan renungkan. Negara Indonesia adalah negara yang penduduknya dikenal religius dan dasar Negara kita juga disandarkan pada ketuhanan yang Maha Esa. Jadi Negara Indonesia merupakan Negara yang sangat religius, tetapi mengapa memiliki angka harapan hidup yang rendah? Apa faktor-faktor yang menyebabkan penduduk Indonesia memiliki rata-rata usia yang pendek? Apakah tingkat religius tidak berpengaruh terhadap angka harapan hidup?

 

Jika kita perhatikan kehidupan penduduk negara Monako dan Jepang yang memiliki angka harapan hidup tertinggi di dunia tersebut, tampak bahwa mereka rata-rata menjalani hidup dengan bahagia. Mereka menghabiskan hari-hari dengan aktivitas yang positif dan hati yang selalu damai dan tenteram. Mereka tidak mengkawatirkan dengan kebutuhan hidup mereka karena negara telah menjamin kesejahteraan kehidupan mereka. Selain menjalani kehidupan dengan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat, mereka juga mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat dan bergizi. Jadi secara fisik mereka makan makanan yang bergizi, dan secara rohani mereka merasakan hidup yang tenteram dan damai tanpa dibayang-bayangi rasa takut akan kekurangan kebutuhan hidupnya karena negara telah menjamin kesejahteraan mereka. Selain itu mereka juga menjalani kehidupan secara religius.

 

Berdasarkan penjelasan di atas, ternyata kehidupan yang religius ikut mempengaruhi tingkat harapan hidup. Orang yang hidupnya religius cenderung memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi. Mengapa tingkat religiusitas berpengaruh terhadap angka harapan hidup? Kemungkinan jawabannya adalah orang yang memiliki tingkat religiusitas tinggi akan mampu menjalani hidup dengan  baik dan damai sehingga hidupnya selalu dipenuhi dengan pikiran dan perilaku yang positif. Orang yang mempercayai Tuhan akan memiliki jalan hidup yang baik dan jelas. Orang yang memiliki keimanan akan memiliki sikap optimis dalam menjalani kehidupannya sehingga kehidupannya penuh dengan kebaikan.

 

Sekarang kita refleksi dengan penduduk Indonesia yang mayoritas beragama, mengapa rata-rata angka harapan hidupnya lebih rendah? Jika kita menggunakan parameter agama sebagai representasi tingkat religius, maka kita akan menemukan hal yang menarik. Apa hal yang menarik itu? Ternyata beragama dan memiliki sikap religius itu dua hal yang berbeda dan belum tentu berkaitan. Orang yang beragama belum tentu religius dan sebaliknya orang yang religius belum tentu beragama. mengapa? Karena religiusitas itu berkaitan dengan keyakinan pada eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, dimana tidak harus beragama. sedangkan agama itu adalah berisi ajaran-ajaran atau aturan-aturan agar manusia hidup dengan baik dengan mendasarkan atas perintah Tuhan. Orang yang taat beragama atau taat menjalankan perintah agama belum tentu religius. Mengapa? Karena orang yang taat menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya boleh jadi bukan karena keimanan tetapi karena terpaksa atau takut kelak masuk neraka. Jadi orang-orang tersebut beribadah bukan karena mengakui eksistensi Tuhan tetapi takut dirinya akan mendapatkan siksa di neraka.

 

Atas dasar alur pemikiran di atas, maka dapat kita tarik benang merah hubungan keimanan atau religiusitas dengan tingginya angka harapan hidup. Orang yang beragama seharusnya juga religius, yakni hidupnya damai dan tenteram. Orang yang beragama harusnya kehidupannya penuh dengan sikap-sikap positif seperti ketenangan, ketenteraman, kedamaian, optimism, dan humanism. Maka jika ada orang yang beragama tetapi hidup selalu gelisah dan tidak tenang, maka dapat dipastikan ada yang salah dengan cara ia beragama. Ada pemahaman yang salah dalam memahami ajaran-ajaran agamanya. Di sinilah kemungkinan akar penyebab mengapa bangsa Indonesia yang dikenal religius tetapi memiliki angka harapan hidup yang rendah. Walaupun tingkat kesejahteraan, kecukupan gizi, dan gaya hidup sehat juga mempengaruhi, tetapi ketenangan aspek rohani sangat mendominasi tingkat kebahagiaan. Orang yang bahagia cenderung hidupnya akan lebih optimis dan akhirnya memiliki angka harapan hidup yang tinggi.

 

Puasa Ramadan mengajarkan agar kita memiliki empati dan kesalihan social yang baik. Artinya puasa Ramadan mengajarkan kita hidup dengan bahagia. Maka jika kita mampu menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan benar dan baik, maka secara tidak langsung akan memperpanjang angka harapan hidup kita. Ingatlah sabda Rasulullah Saw bahwa silaturahmi itu mampu memperpanjang umur dan meluaskan rezeki. Ujung dari menyambung silaturahmi adalah kebahagiaan. Maka jika puasa Ramadan kita mampu menjadikan kita menjalin silaturahmi melalui kepedulian kita kepada orang-orang dhuafa, maka insyAllah umur kita akan dipanjangkan Allah Swt. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Sumber Bacaan :

Zakiah, N. (2019, November 26). 7 Negara dengan Angka Harapan Hidup Tinggi, Apa Kebiasaan Penduduknya? Retrieved April 30, 2021, from IDN Times website: https://www.idntimes.com/science/discovery/nena-zakiah-1/negara-dengan-angka-harapan-hidup-tinggi

 

 

Gumpang Baru, 16 Ramadan 1442 H (28 April 2021)

*) Tulisan dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulisnya.

Kamis, 29 April 2021

PUASA DAN MAKNA PERSAUDARAAN

 

Sumber Gambar : https://m.lampost.co/berita-saudara.html


PUASA DAN MAKNA PERSAUDARAAN

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Di dunia ini ada beragam jenis persaudaraan. Ada persaudaraan yang terjalin karena kesamaan keturunan yaitu berasal dari ayah dan ibu yang sama. Persaudaraan jenis ini kita sebut saudara kandung karena berasal dari rahim kandungan yang sama. Ada persaudaraan yang terjalin karena kesamaan asal daerah. Ada persaudaraan karena kesamaan bangsa atau Negara. Ada persaudaraan karena kesamaan ras dan suku. Ada juga persaudaraan karena kesamaan agama atau keyakinan. Ada pula persaudaraan karena persamaan nasib. Semua jenis persaudaraan tersebut bertujuan baik, yaitu mengadakan ikatan kekeluargaan dan saling tolong-menolong.

 

Dari berbagai jenis persaudaraan di atas, jenis persaudaraan yang manakah yang akan kekal sampai ke akhirat kelak? Jenis persaudaraan apakah yang dapat menolong dan menyelamatkan saudaranya nanti ketika hari pembalasan? Pertanyaan seperti ini harus menjadi renungan dan pemikiran kita agar kita mampu mewujudkan jenis persaudaraan tersebut sehingga ketika nanti di hari akhir kita dapat saling tolong-menolong. Jenis persaudaraan yang kekal sampai nanti di kehidupan akhirat inilah yang sebenarnya persauadaraan, jenis persaudaraan inilah yang dinamakan persaudaraan yang hakiki. Jenis persaudaraan hakiki inilah yang harus kita pertahankan dan kita perjuangkan agar jangan sampai putus silaturahimnya.

 

Di antara berbagai  jenis persaudaraan di atas, jenis persaudaraan yang benar-benar bertahan lama hingga nanti hari akhir adalah persaudaraan yang terjalin karena persamaan akidah dan keimanan. Persaudaraan yang dibangun dari persamaan akidah dan keimanan adalah jenis persaudaraan yang akan mampu bertahan sampai hari akhir dan bermanfaat. Persaudaraan karena persamaan akidah dan keimanan dapat terjadi pada siapa saja, bisa pada sesame saudara kandung, bisa saudara satu rumah, bisa sesame teman bermain, bisa sesame kolega di tempat kerja, dan bahkan bisa dengan orang lain yang tidak saling kenal. Mengapa persaudaraan akidah dan keimanan dapat terbentuk dari siapa pun? Karena jenis persaudaraan ini disatukan menurut kesamaan akidah dan keimanannya.

 

Di hari pembalasan nanti, setiap orang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang memiliki akidah dan keimanan yang sama. Walaupun dulu waktu di dunia adalah saudara sekandung, tetapi jika akidah dan keimanannya berbeda, maka di hari akhir ini mereka akan berpisah tempat. Jadi dasar pengelompokkan manusia di hari kiamat nanti adalah berdasarkan akidah dan keimanan. Orang yang beriman akan bersatu dan berkelompok dengan sesame orang yang beriman. Sedangkan orang yang tidak beriman juga akan berkumpul dengan orang-orang yang tidak beriman. Orang-orang yang beriman akan hidup bersama di surge yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan orang-orang yang tidak beriman akan ditempatkan di neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Jadi setiap orang di akhirat nanti akan mengunduh hasil perbuatannya sendiri selama hidup di dunia dan akan berkumpul bersama orang-orang yang seiman.

 

Puasa Ramadan yang sedang kita jalankan sekarang ini adalah jenis ibadah yang mengajarkan kita arti persaudaraan yang sebenarnya. Sesame orang yang berpuasa adalah saudara seiman. Sesame orang yang menjalankan ibadah adalah saudara seiman. Sesame orang yang sholat adalah saudara seiman. Oleh karena itu, janganlah kita saling mengejek dan merendahkan amal ibadah saudara seiman kita walau terkesan cara beribadanya berbeda. Misalnya, ada saudara seiman yang sholat shubuhnya memakai doa qunut dan ada yang  tidak. Maka orang Islam yang mengerjakan qunut dan yang tidak janganlah saling bermusuhan karena hakikatnya mereka adalah saudara seiman karena sama-sama beriman kepada Allah Swt. buktinya apa kalau mereka sama imannya? Buktinya adalah mereka semua mengerjakan sholat Shubuh yang merupakan salah satu sholat fardhu yang wajib ‘ain hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat yang telah baligh.

 

Demikianlah seharusnya kita bertindak dan bersikap dalam menanggapi adanya perbedaan dalam cara mengaktualisasikan diri dalam mengabdi dan menyembah Allah Swt. Kita tidak perlu mempermasalahkan mana ibadah yang benar karena yang menilai ibadah kita adalah Allah Swt. justru yang terpenting adalah kita tingkatkan rasa persaudaraan karena persamaan akidah dan keimanan. Walaupun berbeda dalam cara mengerjakan sholat, di akhirat nanti mereka akan dipersatukan dengan kita yang juga mengerjakan sholat. Jadi, buat apa kita bertengkar dan berselisih paham pada hal-hal yang bukan domain kita. Ibadah itu adalah domainnya Allah Swt. biarkan Allah Swt sendiri yang akan menilai ibadah siapa yang diridhainya. Tugas kita selaku hamba adalah beribadah dengan  ikhlas dan menjalankan kehidupan sesuai rambu-rambu yang diajarkan dalam tuntunan beragama. []

 

 

Gumpang Baru, 15 Ramadan 1442 H (27 April 2021)

*) Tulisan dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulisnya.

PUASA DAN DERAJAT KETAKWAAN

Sumber Gambar : https://palembang.tribunnews.com/2016/07/02/takwa-lahir-dan-takwa-batin

 

PUASA DAN DERAJAT KETAKWAAN

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Tujuan diperintahkannya puasa Ramadan adalah untuk menjadikan orang-orang yang beriman mencapai derajat muttaqin (bertakwa). Puasa Ramadan dapat menjadi sarana umat Islam untuk menjadi orang-orang bertakwa. Puasa Ramadan pasti dapat menjadikan seseorang mencapai derajat muttaqin. Tetapi, apakah puasa yang kita jalankan sekarang mampu menjadikan kita menjadi muttaqin? Maka jawabannya adalah tidak tahu karena kita tidak dapat menjamin bahwa puasa kita pasti diterima oleh Allah Swt.

 

Muttaqin adalah derajat tertinggi yang diberikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya yang mampu menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan baik, yaitu memenuhi syarat sah, rukun puasa, dan ikhlas lillahi ta’ala serta berdampak pada kesalihan social. Untuk menjalankan puasa yang berdampak positif pada kehidupan duniawi dan kehidupan ukhrowi tidaklah mudah. Hanya hamba-hamba yang memiliki kebersihan dan kesucian hati saja yang akan mampu menjalankan ibadah puasa seperti itu. Artinya tidak semua orang Islam yang menjalankan ibadah puasa Ramadan akan mendapatkan derajat muttaqin.

 

Balasan dari ibadah puasa Ramadan adalah misteri, tiada seorang pun yang mengetahui kualitas dari puasanya. Hanya Allah Swt sajalah yang akan menilai kualitas puasa setiap orang dan Allah Swt pula yang akan memberikan balasan. Dengan demikian, tidaklah pantas kalau ada seseorang yang merasa paling baik dan benar ibadah puasanya dengan mencemooh ibadah puasa orang lain seolah-olah dia tahu persis bahwa puasanya diterima Allah Swt. Semoga kita semua tidak sampai menjadi orang yang sepertti itu. Na’udzu billahi min dzalika.

 

Derajat muttaqin memang tidak mudah diraih dan tidak sembarangan orang akan meraih derajat mulia tersebut. Tetapi bukan berarti lantas menyurutkan niat kita untuk berusaha meraihnya. Muttaqin adalah derajat kemuliaan yang dijanjikan Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya agar saling berlomab-lomba menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan sebaik-baiknya. Maka, marilah kita berlomba-lomba dalam kebajikan selama bulan Ramadan ini untuk meraih derajat muttaqin. Marilah kita berdoa dan berharap pada Allah Swt agar ibadah puasa Ramadan yang kita jalannkan dapat dinilai tinggi oleh Allah Swt dan Allah Swt berkenan memberikan derajat muttaqin kepada kita. Allahumma Aamiin.

 

Puasa itu bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga serta kebutuhan biologis lainnya, melainkan juga menahan dari hawa nafsu yang cenderung ingin menguasai dan mendominasi kehidupan manusia. Puasa bertujuan untuk memperkuat sisi spiritual dan kerohanian kita agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu kita. Melalui puasa kita dilatih untuk memperkuat spirit kebaikan kita dan menekan sisi nafsu duniawi kita dan memperbanyak tujuan ke akhirat. Dengan puasa, kita dilatih untuk tidak hanya memikirkan kehidupan duniawi saja tetapi juga memikirkan dunia akhirat.

 

Melalui puasa kita dilatih untuk peka terhadap kondisi orang-orang lain di sekitar kita yang kehidupannya jauh di bawah kita. Melalui ibadah puasa kita dilatih untuk membangunkan kembali rasa empati dan kepedulian social kita kepada kehidupan sesama manusia. Mungkin selama setahun penuh kita hanya memikirkan ego dan kebutuhan pribadi kita saja, maka dengan puasa Ramadan kita disadarkan untuk juga memikirkan kehidupan orang-orang di sekitar kita yang hidupnya tidak seberuntung kita. Dengan merasakan rasa lapar dan haus seharian penuh diharapkan jiwa kita tergugah kesadarannya untuk menghargai orang lain dan juga menghormati orang lain. Dengan terbangunnya kesadaran spiritual kita dan empati kita terhadap sesama, maka akan dapat terwujud sosok pribadi yang baik, yaitu baik secara individual dan juga baik secara social. Maka kehidupan yang masyarakatnya penuh kebaikan akan mendapat rahmat dan keberkahan dari Allah Swt.

 

Gumpang Baru, 14 Ramadan 1442 H (26  April 2021)

*) Tulisan dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulisnya.

Rabu, 28 April 2021

TIPS DAN TRIK MUDAH MENULIS BUKU

 


TIPS DAN TRIK MUDAH MENULIS BUKU

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

“Menulis buku itu mudah”. Setujukah anda dengan pernyataan ini? Jika anda setuju, berarti anda sependapat dengan saya. Tetapi jika anda tidak setuju, berarti anda memiliki masalah dalam menulis buku sehingga anda beranggapan bahwa menulis buku itu sulit. Sebenarnya bagaimanakah menulis buku itu? Menulis buku itu mudah atau sulit? Menulis buku itu ringan atau berat? Saya yakin jawabatan atas pertanyaan ini akan berbeda-beda tergantung pada seberapa level kemampuan seseorang dalam menulis.

Bagi orang yang sudah terbiasa menulis, maka menulis buku itu bukan masalah sulit. Tetapi bagi orang yang jarang atau tidak terbiasa menulis, maka menulis buku itu persoalan besar dan tentunya berat sekali. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah dengan mengatakan bahwa menulis itu sulit membuat permasalahan selesai? Tidak. Sebagai akademisi, maka menulis buku seharusnya bukan persoalan sulit karena kita semua sudah memiliki basic kemampuan menulis saat menyelesaikan tugas akhir pendidikan. Jadi kita semua sebenarnya bisa menulis, hanya belum tahu bagaimana strategi agar bisa menulis buku dan akhirnya bisa produktif menulis buku.

MENGAPA KITA HARUS MENULIS?

Banyak orang ingin bisa menulis. Berbagai pelatihan menulis diikuti. Berbagai teori menulis sudah dipelajari. Tapi mengapa belum juga bisa menulis? Fenomena seperti itu juga dinyatakan oleh Dr. Ngainun Naim dalam bukunya yang berjudul Menulis itu Mudah : 40 Jurus Jitu Mewujudkan Karya. Beliau menyatakan bahwa banyak orang yang ingin bisa menulis. Mereka ikut berbagai kursus, baik daring maupun luring. Tentu, kegiatan semacam ini sangat bermanfaat dalam memberikan basis pengetahuan dan teori. Biasanya setelah mengikuti kegiatan, semangat untuk menulis tumbuh pesat. Namun semangat saja tidak cukup. Jika tidak pernah praktik menulis, juga tetap tidak akan bisa menulis. Menulis itu harus dengan praktik. Semakin banyak praktik, semakin bagus. Semangat menulis tinggi harus diiringi dengan manajemen waktu yang baik. Setiap ada kesempatan bisa digunakan untuk membaca dan menulis. Jika dilakukan dengan komitmen, pasti akan memberikan hasil yang menggembirakan (Naim, 2021).

Persoalan utama mengapa banyak orang yang sudah hafal teori menulis dan mengikuti banyak training dan workshop menulis serta juga bergabung di berbagai komunitas penulis, tapi mereka belum juga menulis adalah karena setelah tahu teori menulis mapun mengikuti pelatihan menulis tidak diikuti segera dengan praktik menulis. Sebanyak apapun buku-buku tentang menulis yang dibaca dan berapa banyak seminar dan workshop kepenulisan yang diikuti, jika tidak pernah memulai menulis, maka juga tidak akan pernah bisa menulis. Bisa menulis itu karena terbiasa berlatih menulis. Banyak berlatih menulis akan membuat seseorang semakin pandai menulis. Aktivitas menulis yang diimbangi dengan aktivitas membaca banyak buku akan memperkaya perbendaharaan kata dalam tulisannya.  

            Menulis itu adalah sebuah keterampilan yang memerlukan latihan secara terus-menerus. Jangankan seorang penulis pemula, bahkan seorang penulis profesional pun jika lama tidak menulis maka kemampuan menulisnya juga mengalami kemunduran. Jika biasanya cepat mendapat ide untuk ditulis dan lancer dalam menuliskannya, tetapi ketika lama tidak menulis ternyata mereka juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan ide tulisan dan ketika proses menulis pun mengalami hambatan. Misalnya tiba-tiba ide tulisan hilang atau buntu tidak tahu mau menulis apa. Tiba-tiba semangat menulisnya menghilang tanpa sebab yang jelas. Tiba-tiba tidak betah menulis padahal sebelumnya sangat betah dan menikmati proses menulis.

            Sebelum seseorang memutuskan ingin menulis, maka sebaiknya dia memahami alasan mendasar mengapa ia harus menulis. Tanpa memiliki alasan mendasar yang mengharuskan ia menulis, maka niscaya semangat menulisnya bisa tiba-tiba hilang di tengah proses menulis. Oleh karena itu agar semangat menulis tetap terpelihara, setiap orang yang menjalani aktivitas menulis harus mengetahui dan memahami dasar alasan mengapa ia harus menulis.

Dalam kata pengantarnya di buku “Bagaimana Saya Menulis” karya M. Alfan Alfian (2016), Hajriyanto Y. Thohari mengutip perkataan almarhum Prof. Dr. Mukti Ali :

Kalau Anda ingin terkenal, menulislah! Atau berbuatlah sesuatu sehingga orang menulis tentang perbuatan Anda itu. Tidak ada cara yang lain selain itu” (Prof. Dr. Mukti Ali, Menteri Agama RI tahun 1970an). Masih dalam kata pengantarnya tersebut, beliau  menuliskan :

Pekerjaan menulis, tentu, bukan sekadar urusan keterkenalan atau popularitas. Menulis pada sejatinya adalah mengartikulasikan pikiran atau gagasan. Walhasil, penulis adalah seorang yang banyak pikiran dan gagasan. Tentu mengartikulasikan pikiran dan gagasan bisa dengan lisan (oral) dan bisa pula dengan tulisan (literal). Hanya saja artikulasi dengan tulisan jauh lebih bertahan lama. Bahkan jika pikiran-pikiran dan gagasan itu ditulis dalam bentuk buku maka jauh lebih monumental” (Hajriyanto Y. Thohari, Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014).

            Ada beberapa alasan mengapa kita harus menulis. Alasan-alasan ini merupakan faktor pendorong agar kita mau menulis. Apa sajakah alasan-alasan mengapa kita harus menulis? Tendi Murti (2015) dalam bukunya berjudul “Bukan Sekadar Nulis, Pastikan Best Seller” memberikan 11 (sebelas) alasan mengapa kita harus menulis, yaitu:

1.        Menulis berarti sedang membagi ilmu dengan orang lain.

2.        Menulis berarti sedang menuliskan jejak bagi orang-orang yang kita cintai.

3.        Menulis menjadikan hidup lebih semangat.

4.        Menulis itu menghimpun pahala.

5.        Menulis itu membuat kita lebih percaya diri.

6.        Menulis itu dapat menyembuhkan penyakit (Pribadi, 2012).

7.        Menulis berarti sedang menuangkan ide-ide kita yang unik dan bermanfaat.

8.        Menulis berarti sedang memperbaiki dunia.

9.        Menulis berarti sedang belajar.

10.    Menulis itu lebih kreatif.

11.    Menulis itu sedang menuangkan impian.

            Sedangkan Agung Nugroho Catur Saputro (2018) dalam bukunya berjudul “Ketika Menulis Menjadi Sebuah Klangenan” menyebutkan beberapa alasan mengapa kita harus menulis sebagai berikut:

1.  Menulis itu untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan juga sekaligus sarana untuk meningkatkan kualitas diri (h.9).

2.  Menulis adalah cara untuk membuat pikiran-pikiran kita menjadi bermakna (meaningful) karena dengan menulis kita telah mengikat makna dari pemikiran kita (h.18).

3.   Menulis adalah salah satu perintah Allah Swt yang tersirat dari perintah iqra’ di wahyu pertama yang diterima Rasulullah Saw. Menulis merupakan sarana terwujudnya kehendak Allah Swt untuk umat Islam secara umum yaitu berupa perintah “bacalah” atau iqra’(h.23).

4.  Menulis merupakan salah satu ciri orang baik, yaitu menebarkan manfaat bagi orang lain dan sekaligus menjadi amal jariyah (h.48).

5.  Menulis adalah warisan tradisi keilmuan para ulama zaman dulu. Menulis merupakan cara mewariskan tradisi keilmuan kepada generasi penerus. Menulis dapat mengabadikan nama kita melalui tulisan-tulisan kita yang dikenang sepanjang masa, lintas waktu, lintas geografis, dan lintas generasi (h.79).

Berdasarkan beberapa alasan mengapa kita harus menulis di atas, lantas factor apa saja yang mampu membuat seseorang menulis? R. Masri Sareb Putra menyatakan bahwa kesungguhan dan rasa cinta terhadap ilmu menjadi modal penting dalam menulis. Selain itu, masih banyak motivasi lain yang membuat seseorang mau menulis, yaitu keuntungan bisa menjadi terkenal, mendapat uang honor/royalty, dan angka kredit (bagi dosen), cinta ilmu, transfer ilmu, dan agar tampak intelek dan dikenal sebagai pakar di bidangnya (Putra, 2007 : 20).

MANFAAT MENULIS

Mengapa banyak orang ingin menjadi penulis buku? Ya, karena menjadi penulis buku itu mempunyai banyak manfaat atau keuntungan. Menjadi penulis buku tidak harus berprofesi sebagai akademisi. Setiap orang dengan profesi apapun boleh dan tidak dilarang untuk juga menjalani profesi sebagai penulis buku.

Banyak penulis buku yang juga memiliki profesi lain. Ada penulis buku yang juga seorang dokter, dosen, guru, tentara, polisi, pengacara, artis, ibu rumah tangga, dan berbagai profesi lain. Banyak dari mereka yang akhirnya menuai keberhasilan setelah buku-buku mereka meledak di pasaran. Menjadi buku-buku best seller. Tentu saja, membuat pundi-pundi keuangan mereka bertambah pada akhirnya.

        Selain keuntungan finansial, masih terdapat beberapa keuntungan lainnya dari aktivitas menulis buku. Berikut ini beberapa keuntungan dari menulis buku menurut Gamal Komandako (2013) dalam bukunya “Jangan Menjadi Penulis Profesional Jika Ingin Rugi”:

1.    Mendapatkan keuntungan finansial.

2.    Mendapatkan ketenaran nama dalam taraf tertentu.

3.    Meningkatkan pengetahuan.

4.    Meningkatkan kreativitas.

5.    Meningkatkan karya nyata.

6.    Menjadi sarana untuk mengungkapkan isi hati.

7.    Sebagai sarana untuk pencerahan dan dakwah.

Selain keuntungan yang dijelaskan oleh Gamal Komandako di atas, menulis juga bermanfaat sebagai aktivitas terapi jiwa, yaitu sebagai sarana membahagiakan diri sendiri melalui semangat berprestasi. Melalui aktivitas menulis, kita merasa mampu menjadi diri sendiri, kita dapat mendeskripsikan siapa diri kita, dan kita bisa menemukan jati diri yang sebenarnya (Saputro, 2020).

R. Masri Sareb Putra (2007) dalam bukunya “How to Write Your Text Book” menuliskan beberapa manfaat menulis, yaitu :

1. Pelepasan emosional. Menulis dapat menjadi penyaluran emosi dan perasaan. Mengungkapkan perasaan dan pikiran secara tertulis dapat membentuk perubahan-perubahan kimiawi dalam tubuh kita.

2. Manfaat promotif atau kenaikan pangkat. Bagi seorang dosen, menulis akan mendatangkan manfaat yang berlipat ganda. Tulisan apapun, baik popular, semi-ilmiah, atau ilmiah, akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Edaran resmi dikti menyebutkan, dosen yang menghasilkan karya tulis akan memperoleh ganjaran berupa angka kredit sesuai dengan tingkat kesulitan dan usaha yang dikerahkan untuk itu.

3.  Manfaat social. Manfaat social menjadi penulis buku ajar dan artikel opini di media massa adalah menjadi terkenal atau dikenal. Predikat “terkenal” ini akan membawa efek domino yang menguntungkan.

4.  Manfaat finansial. Dunia tulis menulis kini semakin menjanjikan. Jika ditekuni, profesi penulis tak kalah menghasilkan uang dibandingkan profesi lainnya.

5. Manfaat intelektual. Menulis pasti juga didahului dengan aktivitas membaca. Maka menulis secara tidak langsung akan meningkatkan intelektual dan wawasan penulisnya karena harus membaca banyak referensi.

HAMBATAN DALAM MENULIS

Untuk memulai menulis pasti akan menghadapi banyak hambatan. Pada umumnya hambatan yang dihadapi para penulis pemula ketika mau memulai menulis adalah berkaitan dengan persoalan pskikologis, seperti takut jika tulisan tidak bagus, tidak percaya diri, tidak yakin dirinya mampu menulis, dan lain-lain. Jadi hambatan dalam memulai menulis ternyata adalah masalah keberanian. Jika ingin bisa menulis maka harus berani menulis. Jika berani memulai menulis, maka selamanya seseorang tidak akan pernah bisa menulis atau menjadi penulis professional, walaupun ia memiliki keinginan yang kuat.

Fenomena hambatan psikologis yang dihadapi oleh para penulis pemula juga dibenarkan oleh Dr. Ngainun Naim (2021: 34) dengan pernyataannya bahwa “Para penulis pemula umumnya dihinggapi persolaan-persoalan psikologis saat hendak menulis. Misalnya rasa takut, malu, tidak pede, merasa tulisan belum bagus, dan sejumlah alasan lainnya. Jika persoalan semacam ini diterus dipelihara maka yakinlah seumur hidup Anda tidak akan berhasil menulis. Anda akan tetap merasa belum memiliki tulisan yang layak sebagaimana imajinasi Anda. Padahal, tulisan yang layak itu lahir dari keberanian. Ya, keberanian untuk terus menulis”.

Keberanian untuk memulai menulis adalah hambatan yang ada pada diri setiap orang. Maka agar bisa memulai menulis, maka seseorang harus mampu memiliki keberanian tersebut. Seseorang harus mampu mengalahkan rasa ketakutan dirinya yang terus membayang-bayangi hidupnya. Bayang-bayang bahwa dirinya tidak bisa menulis, tulisan tidak bagus, tidak ada orang yang mau membaca tulisannya, tulisannya tidak keren, tulisannya banyak kesalahan, dan lain sebagainya, harus dibuang jauh-jauh dari pikirannya. Justru yang harus dibangun adalah semangat yakin bisa menulis, percaya diri bahwa dirinya pasti bisa menulis dengan baik, yakin bahwa pasti ada orang yang mau membaca tulisannya, dan kalimat-kalimat positif lainnya. Jangan membiarkan pikirannya dihantui oleh pikiran-pikiran negative, melainkan harus diisi dengan pikiran-pikiran positif dan optimisme.

Beberapa hambatan yang umumnya dihadapi oleh orang yang baru akan memulai belajar menulis adalah sebagai berikut:

1.        Tidak punya ide tulisan

2.        Bingung mau menulis apa?

3.        Takut tulisannya tidak bagus

4.        Tidak PeDe dengan tulisannya

5.        Sulit konsentrasi saat menulis

6.        Tidak punya waktu luang untuk menulis

7.        Tidak konsisten menulis

8.        Menulis jika saat mood saja

9.        Tidak suka membaca buku

10.    Berat mau menulis

Sementara itu, R. Masri Sareb Putra (2007 : 32-34) telah mengidentifikasi beberapa hambatan dalam menulis, yaitu :

1.  Demophobia = a fear of people (audience), berasal dari kata “demos” yang berarti orang banyak, orang ramai, atau public. Jadi demophobia adalah ketakutan akan khalayak yang akan membaca tulisan kita nantinya. Belum menulis, kita sudah dihantui oleh perasaan ini. Jika ini yang terjadi, maka selamanya kita tidak akan pernah menjadi penulis.

2. Laliophobia = a fear of speaking (I can’t write them down with my own words!). Laliophobia berasal dari kata “lalio” (saya berkata). Laliophobia adalah ketakutan akan ketidakmampuan mengungkapkan/menulis pikiran (hati) kita ke dalam tulisan. Jika ketakutan ini menghinggapi kita, jangan panic. Percaya diri saja, segala sesuatu bisa dilakukan karena kita telah biasa melakukannya.

3.  Katagelophobia = a fear of ridicule (ketakutan diejek/dicemooh). Untuk menghindari agar tidak dicemooh, sebelum dipublikasikan, kita periksa dulu naskah tulisan kita kira-kira di bagian mana yang berpotensi menimbulkan cemoohan atau kritikan. Kita sadari bagian itu dan kita siapkan argument untuk menjawabnya jika ada yang mempertanyakan.

4.   Money-phobia = a fear of find nothing from writing. Hambatan ini akan menyerang jika uang merupakan orientasi dan penggerak utama setiap aktivitas menulis.

STRATEGI PRODUKTIF MENULIS

Bisa menulis saja belum cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi seorang penulis produktif. Menulis bukan hanya berkaitan dengan bisa menulis, tetapi juga berkaitan dengan komitmen dan konsistensi. Bisa menulis saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan komitmen dan konsisten menulis setiap saat. Untuk bisa menjadi penulis produktif, maka seseorang harus konsisten menulis setiap saat. Ia harus bisa menyempatkan diri untuk selalu menulis setiap hari. Ia harus bisa meluangkan sebagian waktu kesibukannya untuk menulis. Ia tidak perlu menunggu waktu luang untuk menulis, justru ia yang harus meluangkan waktu untuk menulis.

Menulis itu sangat berkaitan dengan kedisiplinan diri. Hanya orang-orang yang memiliki kedisiplinan yang tinggi untuk menulislah yang kelak bisa menjadi penulis berkualitas. Dr. Ngainun Naim (2021: 86) menyatakan bahwa menulis sesungguhnya merupakan keterampilan. Semakin sering dilakukan akan semakin terampil. Jika ada orang yang bisa menulis dengan cepat dan hasilnya baik, bisa dipastikan si penulis telah terbiasa menulis setiap hari.

Gamal Komandoko (2013) menyatakan bahwa produktif menghasilkan tulisan adalah kunci utama bagi seorang penulis professional. Kunci utama untuk mendapatkan pemasukan secara rutin. Beliau memberikan saran beberapa cara agar produktif menulis, yaitu :

1.    Tulislah hal yang Anda kuasai dan sukai.

2.    Manfaatkan teknologi.

3.    Tentukan target.

4.    Lakukan sekarang juga!

Sementara itu, Agung Nugroho Catur Saputro (2018) menjelaskan tahap-tahap menulis bagi penulis pemula, yaitu :

1.  Menyiapkan bahan tulisan. Bahan tulisan berupa ide gagasan dan pemikiran dapat diperoleh dari berbagai cara, seperti membaca, mengamati, memikirkan, merenungkan, menganalisis, mengkaitkan antar informasi, maupun terinspirasi oleh seseorang atau suatu kejadian (h.57).

2.  Menyeleksi bahan tulisan untuk memilih yang terbaik atau paling sesuai dengan minat, karakter maupun style menulis kita. Tidak semua bahan tulisan kita tulis, cukup kita pilih yang paling urgen atau di sukai saja yang kita tulis agar menulis terasa menyenangkan dan tidak terasa berat (h.58).

3.  Menyiapkan data-data pendukung. Terkadang selain menyiapkan bahan utama tulisan, kita juga harus menyiapkan data-data pendukung agar tulisan kita menjadi lebih berbobot.

4.   Mulai menulis. Tahap keempat ini adalah tahap terpenting dalam menulis karena jika tahap ini tidak dilakukan, maka tulisan tidak pernah jadi (h.58).

5.  Membaca kembali dan mereview tulisan yang dihasilkan. Membaca pada tahap ini adalah benar-benar membaca, bukan “memaksakan” pikiran kita pada tulisan. Pada tahap membaca ini, bebaskan pikiran kita dari prasangka bahwa tulisan kita sudah baik (h.59).

6.  Merevisi tulisan. Jika dari hasil membaca kembali ditemukan kesalahan-kesalahan, maka tulisan kita harus segera diperbaiki (h.59).

7.  Memposting tulisan kita di media sosial ataupun blog. Setelah kita selesai menulis, segeralah memposting tulisan tersebut di media-media sosial yang tersedia (grup WhatsApp, grup Telegram, akun Facebook, grup Facebook, blog pribadi, media online, dan lain-lain).  

Berikut ini beberapa strategi agar kita bisa produktif menulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis:

1.        Menulis setiap hari

2.        Menulis di setiap kesempatan

3.        Meluangkan waktu khusus untuk menulis

4.        Menulis topic yang disukai

5.        Menulis topik yang dikuasai

6.        Menulis dengan senang hati

7.        Menjadikan aktivitas menulis sebagai hobi atau klangenan

8.        Peka terhadap ide tulisan yang muncul di pikiran

9.        Mempostting tulisan harian di media social atau blog

10.    Aktif di komunitas penulis

 

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, M. A. (2016). Bagaimana Saya Menulis. Bekasi: PT. Penjuru Ilmu Sejati.

Komandako, G. (2013). Jangan Menjadi Penulis Profesional Jika Ingin Rugi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Murti, T. (2015). Bukan Sekadar Nulis, Pastikan Best Seller. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Naim, N. (2021). Menulis Itu Mudah: 40 Jurus Jitu Mewujudkan Karya. Lamongan: Kamila Press.

Pribadi, A. (2012, May 18). Menulis Untuk Penyembuhan Diri. Retrieved November 18, 2020, from KOMPASIANA website: https://www.kompasiana.com/aguspribadi1978/55107337813311aa39bc64a6/menulis-untuk-penyembuhan-diri

Putra, R. M. S. (2007). How to Write Your Own Text Book: Cara Cepat dan Asyik Membuat Buku Ajar yang Powerful! Bandung: Kolbu.

Saputro, A. N. C. (2018). Ketika Menulis Menjadi Sebuah Klangenan. Ciamis: CV. Tsaqiva Publishing.

Saputro, A. N. C. (2020, April 6). MENULIS SEBAGAI AKTIVITAS TERAPI JIWA. Retrieved November 16, 2020, from SAHABAT PENA KITA website: https://sahabatpenakita.id/menulis-sebagai-aktivitas-terapi-jiwa/



*) Disampaikan pada Seminar [BONGKAR RAHASIA] “Produktif Menulis Buku Ajar dan Buku Teks” yang diselenggarakan oleh KPPMF FKIP UNS pada hari/tanggal : Selasa, 27 April 2021

 

Postingan Populer