Sumber Gambar : https://sinarnurani.wordpress.com/2015/06/12/kata-perenungan-master-cheng-yen-908/ |
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Islam adalah agama yang sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena Islam diturunkan memang untuk manusia. Setiap
aturan syariatnya sangat memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan. Sebagai misal dalam
perintah ibadah puasa. Puasa dalam Islam berbeda dengan puasa di agama ataupun
kepercayaan lain. Di Islam, puasa itu tidak memberatkan dan berada dalam batas
kewajaran. Kata “tidak memberatkan” bukan berlaku secara individual, tetapi
secara umum. Pelaksanaan puasa dalam ajaran Islam bisa dilakukan semua orang
tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Selain itu, pelaksanaan puasa dalam
Islam juga sangat memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan.
Puasa dalam Islam tidak melanggar
batas-batas sifat kemanusiaan karena puasa dalam Islam bertujuan bukan untuk keperluan
fisik jasmani (misal untuk memperoleh kekuatan tertentu) melainkan untuk tujuan pembentukan akhlak dan
karakter. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 yang merupakan dasar dari
kewajiban menjalankan puasa Ramadan ditegaskan bahwa tujuan akhir dari ibadah
puasa Ramadan adalah agar menjadi orang yang muttaqin (orang yang bertakwa).
Firman Allah Swt.
“Yaa ayyuhallaziina aamanį»„ kutiba
'alaikumus-siyaamu kamaa kutiba 'alallaziina min qablikum la'allakum tattaquun.”
Artinya:
Hai, orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 183).
Inilah perbedaan pelaksanaan puasa dalam
Islam dengan puasa di agama atau kepercayaan lain di luar Islam. Puasa itu
untuk pembentukan sikap dan karakter, bukan untuk gaya-gayaan atau untuk tujuan
agar tampak hebat atau kuat karena mampu tidak makan dan minum seharian. Puasa dalam
Islam juga bukan untuk tujuan agar tercatat di buku rekor MURI atau bahkan dalam
buku rekor dunia The
Guinness Book of Records. Tidak sama sekali. Puasa dalam Islam
memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu membentuk sosok manusia beriman yang
berkarakter dan bermartabat yaitu memiliki kepribadian muttaqin.
Puasa dalam agama Islam sangat
memperhatikan batasan-batasan kemampuan manusia. Puasa dalam ajaran Islam bukan
untuk menguji seberapa kuat umat Islam menahan rasa lapar,
haus dan kebutuhan jasmani lainnya, melainkan untuk pembentukan karakter
dan akhlak. Puasa dalam Islam bukan untuk mengukur seberapa kuat fisik jasmani seseorang,
tetapi untuk melatih rasa empati dan welas asih seseorang agar memiliki jiwa
yang lembut, peka terhadap kondisi orang lain, mudah tersentuh hatinya untuk
menolong orang yang membutuhkan pertolongan, sensitif terhadap signal-signal
dari sang khalik sehingga menjadi hamba-hamba yang berserah diri dan jauh dari sikap
sombong dan membangga-banggakan diri.
Ketika kita berpuasa, sebenarnya yang
sedang berlatih menahan diri bukan hanya jasmani saja tetapi juga psikis
(rohani). Ketika kita sedang berpuasa, rohani kita dilatih atau digembleng agar semakin peka terhadap lingkungan sosial sekitar
dan hati kita semakin lembut dan dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang. Ramadhan
artinya membakar, maka di bulan Ramadhan ini melalui pelaksanaan ibadah puasa
kita belajar dan dilatih untuk membakar sifat-sifat angkuh dan sombong akibat
merasa sudah punya segala kekayaan ataupun jabatan duniawi. Bulan Ramadhan bagaikan
media simulasi bagi kita untuk berlatih dan menguji diri apakah tubuh kita ini
didominasi unsur-unsur duniawi atau ukhrowi, apakah diri kita dominan
berorientasi untuk tujuan dan kepentingan duniawi ataukah ukhrowi, dan sifat manakah
yang mendominasi diri kita, apakah sifat sombong dan emosional ataukah sifat
kasih sayang dan welas asih.
Puasa melalui merasakan rasa lapar dan
haus serta badan yang lemah kurang berenergi mengajak kita untuk membangun
sifat welas asih, cinta, dan kasih sayang kita pada sesama manusia. Sifat fitrah
manusia yang berupa kebaikan yang sempat menghilang karena dampak pengaruh
kehidupan duniawi akan dibangkitkan kembali agar mendominasi diri kita melalui
merasakan penderitaan rasa lapar dan haus. Makan dan minum adalah kebutuhan dasar
manusia, tanpa terpenuhinya dua kebutuhan vital tersebut, maka kehidupan
seseorang pasti akan terganggu. Nah, puasa justru sesaat (sekitar 12 jam) mencegah
atau menahan manusia dari memenuhi kebutuhan pentingnya tersebut. Tetapi keunikannya
adalah puasanya orang Islam tidak akan sampai membuat kehilangan semangat
hidupnya karena penderitaan yang dideritanya ketika berpuasa masih pada batas
kewajaran. Di sinilah tampak sisi kemanusiaan di balik perintah puasa Ramadhan.
Sifat welas asih, kasih sayang dan cinta
harus selalu dibangun di setiap diri. Kenikmatan duniawi terkadang mampu
menggerus sifat-sifat kemanusiaan tersebut dan tergantikan oleh sifat-sifat keserakahan,
kekejaman, kebengisan, dan kesombongan. Karena merasa sudah memiliki segalanya,
mungkin berupa kekayaan yang melimpah ataupun jabatan yang tinggi, terkadang
mampu membuat seseorang kehilangan sifat welas asih dan berubah menjadi sombong
dan tidak berperikemanusiaan. Harta dan jabatan terkadang mampu mengubah
seseorang yang tadinya berkepribadian lemah lembut dan penuh welas asih berubah
seratus delapan puluh derajat menjadi berkepribadian lain yang sangat berbeda,
ia menjadi orang sombong, congkak, angkuh, mudah merendahkan orang lain, merasa
paling berharga, dan sifat buruk lainnya. Nah, melalui puasa kita disadarkan
bahwa manusia itu hanyalah makhluk yang lemah, manusia adalah makhluk yang tidak
mampu hidup sendirian tanpa bantuan dari pihak lain, dan manusia hanyalah
makhluk ciptaan yang sangat bergantung pada kemurahan dan kasih sayang sang
penciptanya. Melalui kesadaran tersebut, akan mampu mengembalikan manusia
kepada fitrahnya dan menjadi hamba-hamba bertakwa sesuai tujuan penciptaannya. Wallahu a’lam bish-shawab. []
Gumpang Baru, 04 Ramadhan 1442 H (16
April 2021)
*) Tulisan dalam artikel ini merupakan
pendapat pribadi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar