Powered By Blogger

Senin, 19 April 2021

PUASA SEBAGAI INDIKATOR KEIMANAN

Sumber Gambar : https://islam.nu.or.id/post/read/95912/ini-enam-tingkat-keimanan-manusia-di-hadapan-allah

 

PUASA SEBAGAI INDIKATOR KEIMANAN

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Keimanan merupakan pondasi dasar dalam kehidupan beragama. Beragama harus dilandasi keimanan terhadap prinsip dasar dalam agama yang diyakini kebenarannya. Tanpa ada keimanan, seseorang tidak akan mampu menjalankan ajaran agama dengan benar. Beragama itu harus suka rela. Beragama tidak boleh karena keterpaksaan atau karena ketakutan terhadap suatu ancaman atau intimidasi. Beragama adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup dan mendapatkan panduan yang jelas tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan benar. Beragama harus mampu membuat seseorang hidupnya bahagia karena hatinya telah mencapai kedamaian. Seseorang yang beragama tetapi hatinya selalu dirundung kesedihan atau kemarahan, maka dapat dipastikan bahwa ada yang salah dengan cara ia beragama.

 

Agama ada di dunia ini melalui pembawanya adalah bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, keselamatan bagi umat manusia. Agama bagaikan lampu rambu lalu lintas yang berfungsi memandu umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Tanpa keberadaan agama yang mengandung norma-norma kebaikan dan nilai-nilai moral, maka kehidupan manusia bisa tidak teratur. Setiap orang pasti memiliki pandagan tersendiri tentang bagaimana kehidupan yang baik, dimana berbeda suku dan bangsa juga pasti berbeda pandangan. Maka pandangan seseorang terhadap kehidupan bisa bersifat sektoral atau individual. Jika setiap orang hanya menyakini kebenaran dari pendapatnya saja, bisa dibayangkan bagaimana rumitnya kehidupan manusia karena masing-masing orang memiliki standar kebenaran sendiri-sendiri dimana kebenaran-kebenaran individual tersebut bisa saja saling berbeda dan bisa juga saling bersinggungan atau bertentangan satu dengan yang lain. Akibatnya adalah manusia bisa saling berselisih paham dan akhirnya bisa mengakibatkan pertikaian antarmanusia. Di sinilah keberadaan agama diharapkan mampu menghentikan atau mencegah terjadinya pertikaian dan permusuhan antar umat manusia karena adanya perbedaan pandangan dan standar kebenaran tersebut.

 

Agama itu bersifat universal, maka kebenaran yang dibawa oleh agama merupakan kebenaran yang bersifat universal dan mencakup kehidupan tidak hanya di dunia tetapi bahkan kehidupan setelah dunia. Ajaran dalam suatu  agama terkadang melampaui kemampuan akal pikir manusia, maka jika hanya mengandalkan kemampuan penalaran dan logika berpikir secara ilmiah, maka kebenaran ajaran agama terkadang sulit dijangkau. Untuk itulah perlu instrument lain untuk mengukur kebenaran ajaran agama. Instrument pengukur kebenaran ajaran agama tersebut adalah keimanan. Keimanan adalah domain hati, maka keimanan tidak membutuhkan pembuktian empiris. Keimanan tidak memerlukan penjelasan ilmiah. Penjelasan ilmiah memang mampu menambah tingkat keimanan, tetapi bukan penyebab muncull keimanan. Berbicara masalah keimanan adalah berbicara tentang hidayah Allah. Hidayah Allah hanya akan diperoleh oleh orang yang hatinya bersih. Maka keimanan itu berkaitan dengan kebersihan hati. Orang yang hatinya kotor yaitu hati yang sakit atau bahkan hati yang mati tidak akan mampu menerima signal-signal keimanan. Hati yang sakit dan hati yang mati tidak akan dapat dimasuki oleh iman. Keimanan hanya membutuhkan penerimaan hati nurani yang bersih dan terbebas dari segala kepentingan individualistik. Keimanan hanya memerlukan hati yang suci dan ikhlas tanpa terkotori sedikitpun noda-noda duniawi sehingga kebenaran agama dalam masuk ke dalam hati nurani tanpa ada penghalang apapun. Di sinilah diperlukan kebeningan dan kejernihan hati dan jiwa dalam menerima kebenaran ajaran agama.  

 

Puasa selain melibatkan aspek jasmaiah juga melibatkan keimanan. Orang beriman akan menjalannkan kewajiban ibadah puasa Ramadan dengan mengatakan “sami’na wa atha’na” tanpa mencari penjelasan apapun tentang manfaat dari ibadah puasa karena ia meyakini bahwa apapun yang diperintahkan Allah Swt pasti bertujuan pada kebaikan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman atau kadar keimanannya rendah, ia akan mencari penjelasan dulu sebelum menjalankan ibadah puasa. Ia akan terlebih dahulu mencari-cari apa keuntungan dan manfaat dari menjalankan ibadah puasa. Ia hanya akan menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas jika puasa memberikan manfaat dan keuntungan bagi dirinya. Kalaupun ia tetap menjalankan ibadah puasa walau belum menemukan jawaban yang memuaskannya, maka puasanya bukan dilandasi atas keikhlasan lillahi ta’ala, dan puasa yang tidak dilandasi keikhlasan hanya akan mendapatkan rasa lapar dan dahaga sedangkan hikmah kebaikan tidak akan diperolehnya. Inilah serugi-ruginya ibadah orang yang tidak ikhlas karena ia beribadah memakai syarat.

 

Ikhlas itu tidak memerlukan persyaratan. Ikhlas itu tidak bersifat tendensius. Ikhlas itu tidak mengharapkan pahala atau balasa apapun. Ikhlas itu semata-mata mengharap ridha Allah Swt. keridhaan Allah Swt merupakan inti dari tujuan semua peribadatan yang kita lakukan. Masalah pahala atau balasan apa yang kita dapatkan, itu bukan urusan kita sebagai makhluk. Pahala dan surge itu hak Allah Swt dan Allah lah yang memiliki hak prerogatif untuk memilih dan menentukan siapa saja yang akan diberikan rahmat-Nya dan diizinkan memasuki surga-Nya. Jadi kita tidak perlu sibuk memikirkan ibadah dan amal kita mendapat pahala atau tidak? Di akhirat nanti kita masuk surga atau tidak?  Kita cukup berusaha menjalankan kehidupan secara baik, banyak berbuat kebaikan, banyak menerbarkan manfaat untuk orang lain, dan beribadah sesuai pemahaman ilmu agama kita dengan ikhlas. Dari semua aktiivitas sehari-hari kita yang diliputi kebaikan tersebut, kita berharap Allah Swt meridhai dan memasukkan kita kepada golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat-Nya.

 

Puasa Ramadan adalah sarana kita menguji keimanan kita. Apakah kita menjalankan puasa Ramadan dengan penuh keimanan ataukah karena keterpaksaan? Apakah kita melaksanakan ibadah puasa Ramadan karena sudah diwajibkan Allah dan merupakan bagian dari ajaran agama kita ataukah karena kita mengharapkan pahala? Apakah kita berpuasa dengan hati bahagia dan ikhlas ataukah merasa terpaksa? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kembali kepada kita. Jawaban kita akan menentukan kualitas keimanan kita di hadapan Allah Swt. Semoga kita melalui puasa Ramadan tahun ini termasuk golongan orang-orang yang beriman. Amin. []

 

Gumpang Baru, 07 Ramadan 1442 H (19 April 2021)

*) Tulisan dalam artikel adalah pendapat pribadi penulis.

 

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer