Sumber Gambar : https://islam.nu.or.id/post/read/95912/ini-enam-tingkat-keimanan-manusia-di-hadapan-allah |
PUASA SEBAGAI INDIKATOR KEIMANAN
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Keimanan merupakan pondasi dasar dalam kehidupan
beragama. Beragama harus dilandasi keimanan terhadap prinsip dasar dalam agama
yang diyakini kebenarannya. Tanpa ada keimanan, seseorang tidak akan mampu
menjalankan ajaran agama dengan benar. Beragama itu harus suka rela. Beragama tidak
boleh karena keterpaksaan atau karena ketakutan terhadap suatu ancaman atau
intimidasi. Beragama adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup dan mendapatkan
panduan yang jelas tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan benar. Beragama
harus mampu membuat seseorang hidupnya bahagia karena hatinya telah mencapai
kedamaian. Seseorang yang beragama tetapi hatinya selalu dirundung kesedihan
atau kemarahan, maka dapat dipastikan bahwa ada yang salah dengan cara ia
beragama.
Agama ada di dunia ini melalui
pembawanya adalah bertujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban,
keselamatan bagi umat manusia. Agama bagaikan lampu rambu lalu lintas yang
berfungsi memandu umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Tanpa keberadaan
agama yang mengandung norma-norma kebaikan dan nilai-nilai moral, maka
kehidupan manusia bisa tidak teratur. Setiap orang pasti memiliki pandagan
tersendiri tentang bagaimana kehidupan yang baik, dimana berbeda suku dan
bangsa juga pasti berbeda pandangan. Maka pandangan seseorang terhadap
kehidupan bisa bersifat sektoral atau individual. Jika setiap orang hanya
menyakini kebenaran dari pendapatnya saja, bisa dibayangkan bagaimana rumitnya
kehidupan manusia karena masing-masing orang memiliki standar kebenaran
sendiri-sendiri dimana kebenaran-kebenaran individual tersebut bisa saja saling
berbeda dan bisa juga saling bersinggungan atau bertentangan satu dengan yang lain.
Akibatnya adalah manusia bisa saling berselisih paham dan akhirnya bisa
mengakibatkan pertikaian antarmanusia. Di sinilah keberadaan agama diharapkan
mampu menghentikan atau mencegah terjadinya pertikaian dan permusuhan antar
umat manusia karena adanya perbedaan pandangan dan standar kebenaran tersebut.
Agama itu bersifat universal, maka
kebenaran yang dibawa oleh agama merupakan kebenaran yang bersifat universal
dan mencakup kehidupan tidak hanya di dunia tetapi bahkan kehidupan setelah
dunia. Ajaran dalam suatu agama
terkadang melampaui kemampuan akal pikir manusia, maka jika hanya mengandalkan
kemampuan penalaran dan logika berpikir secara ilmiah, maka kebenaran ajaran
agama terkadang sulit dijangkau. Untuk itulah perlu instrument lain untuk
mengukur kebenaran ajaran agama. Instrument pengukur kebenaran ajaran agama
tersebut adalah keimanan. Keimanan adalah domain hati, maka keimanan tidak
membutuhkan pembuktian empiris. Keimanan tidak memerlukan penjelasan ilmiah.
Penjelasan ilmiah memang mampu menambah tingkat keimanan, tetapi bukan penyebab
muncull keimanan. Berbicara masalah keimanan adalah berbicara tentang hidayah
Allah. Hidayah Allah hanya akan diperoleh oleh orang yang hatinya bersih. Maka
keimanan itu berkaitan dengan kebersihan hati. Orang yang hatinya kotor yaitu
hati yang sakit atau bahkan hati yang mati tidak akan mampu menerima
signal-signal keimanan. Hati yang sakit dan hati yang mati tidak akan dapat
dimasuki oleh iman. Keimanan hanya membutuhkan penerimaan hati nurani yang
bersih dan terbebas dari segala kepentingan individualistik. Keimanan hanya
memerlukan hati yang suci dan ikhlas tanpa terkotori sedikitpun noda-noda
duniawi sehingga kebenaran agama dalam masuk ke dalam hati nurani tanpa ada
penghalang apapun. Di sinilah diperlukan kebeningan dan kejernihan hati dan jiwa
dalam menerima kebenaran ajaran agama.
Puasa selain melibatkan aspek jasmaiah
juga melibatkan keimanan. Orang beriman akan menjalannkan kewajiban ibadah
puasa Ramadan dengan mengatakan “sami’na
wa atha’na” tanpa mencari penjelasan apapun tentang manfaat dari ibadah
puasa karena ia meyakini bahwa apapun yang diperintahkan Allah Swt pasti
bertujuan pada kebaikan. Sebaliknya, bagi orang yang tidak beriman atau kadar
keimanannya rendah, ia akan mencari penjelasan dulu sebelum menjalankan ibadah
puasa. Ia akan terlebih dahulu mencari-cari apa keuntungan dan manfaat dari
menjalankan ibadah puasa. Ia hanya akan menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas
jika puasa memberikan manfaat dan keuntungan bagi dirinya. Kalaupun ia tetap
menjalankan ibadah puasa walau belum menemukan jawaban yang memuaskannya, maka
puasanya bukan dilandasi atas keikhlasan lillahi ta’ala, dan puasa yang tidak
dilandasi keikhlasan hanya akan mendapatkan rasa lapar dan dahaga sedangkan
hikmah kebaikan tidak akan diperolehnya. Inilah serugi-ruginya ibadah orang
yang tidak ikhlas karena ia beribadah memakai syarat.
Ikhlas itu tidak memerlukan persyaratan.
Ikhlas itu tidak bersifat tendensius. Ikhlas itu tidak mengharapkan pahala atau
balasa apapun. Ikhlas itu semata-mata mengharap ridha Allah Swt. keridhaan
Allah Swt merupakan inti dari tujuan semua peribadatan yang kita lakukan. Masalah
pahala atau balasan apa yang kita dapatkan, itu bukan urusan kita sebagai
makhluk. Pahala dan surge itu hak Allah Swt dan Allah lah yang memiliki hak prerogatif
untuk memilih dan menentukan siapa saja yang akan diberikan rahmat-Nya dan
diizinkan memasuki surga-Nya. Jadi kita tidak perlu sibuk memikirkan ibadah dan
amal kita mendapat pahala atau tidak? Di akhirat nanti kita masuk surga atau
tidak? Kita cukup berusaha menjalankan
kehidupan secara baik, banyak berbuat kebaikan, banyak menerbarkan manfaat
untuk orang lain, dan beribadah sesuai pemahaman ilmu agama kita dengan ikhlas.
Dari semua aktiivitas sehari-hari kita yang diliputi kebaikan tersebut, kita
berharap Allah Swt meridhai dan memasukkan kita kepada golongan orang-orang
yang mendapatkan rahmat-Nya.
Puasa Ramadan adalah sarana kita menguji
keimanan kita. Apakah kita menjalankan puasa Ramadan dengan penuh keimanan
ataukah karena keterpaksaan? Apakah kita melaksanakan ibadah puasa Ramadan
karena sudah diwajibkan Allah dan merupakan bagian dari ajaran agama kita
ataukah karena kita mengharapkan pahala? Apakah kita berpuasa dengan hati
bahagia dan ikhlas ataukah merasa terpaksa? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ini kembali kepada kita. Jawaban kita akan menentukan kualitas keimanan kita di
hadapan Allah Swt. Semoga kita melalui puasa Ramadan tahun ini termasuk golongan
orang-orang yang beriman. Amin. []
Gumpang Baru, 07 Ramadan 1442 H (19
April 2021)
*) Tulisan dalam artikel adalah pendapat
pribadi penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar