Sumber Gambar : https://mediaindonesia.com/opini/259773/prinsip-kebebasan-beragama-atau-berkeyakinan |
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Puasa Ramadan merupakan kewajiban bagi
setiap muslim dan muslimat yang sudah terkena hukum syariat tanpa terkecuali.
Walaupun begitu, bagi orang-orang tertentu yang karena suatu kondisi tertentu
tidak memungkinkan untuk menjalankan puasa, Allah Swt memberikan keringan untuk
tidak menjalankan puasa dan menggantikan puasa yang ditinggalkan di waktu lain
dan cara yang lain. Jadi hukum puasa Ramadan yang wajib pada dasarnya tidak
pernah berubah. Sesuatu amalan ibadah yang secara hukum syariat jelas dihukumi
wajib maka akan tetap wajib sampai kapanpun. Hanya dalam pelaksanaan kewajiban
tersebut agama memberikan keluwesan dalam mengerjakannya sesuai situasi dan
kondisi yang dialami.
Setiap orang memiliki kondisi kehidupan
yang berbeda-beda dan kemampuan yang berbeda-beda pula, maka dalam melaksanakan
kewajiban ibadah juga bisa berbeda-beda. Sebagai contoh, bagi orang yang sakit
atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan tetapi ia
tetap wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya di hari lain sejumlah hari
yang ia tidak berpuasa. Kata “diperbolehkan” maknanya tidak dipaksa atau
keharusan, tetapi suka rela. Jika orang yang sakit atau menempuh perjalanan
merasa masih mampu menjalankan puasa, maka ia diperbolehkan tetap berpuasa
tanpa terkurangi sedikitpun pahala dari puasanya. Demikian pula sebaliknya jika
ia merasa berat dan kesusahan jika tetap berpuasa di tengah menderita sakit
atau menempuh perjalanan jauh, maka ia berhak menggunakan haknya yang
dilegalkan oleh hukum syariat untuk tidak berpuasa dengan tetap menggantinya di
waktu lain karena kondisi sakitnya ataupun kondisi perjalanan jauhnya tidak
pernah bisa menggugurkan kewajibannya untuk berpuasa.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa
Islam sangat memperhatikan aspek kemanusiaan. Islam sangat luwes dalam mengatur
tata cara pelaksanaan ibadah. Islam memiliki ketegasan dan tidak pernah
kompromi dalam hal masalah akidah tetapi Islam juga tidak kaku dalam menerapkan
hukum-hukum syariatnya. Kita harus bisa
membedakan antara akidah dengan cara menjalankan peribadatan. Memegang teguh akidah
itu keharusan, tetapi bagaimana menjalankan aturan beragama dalam hal
peribadatan adalah bergantung situasi dan kondisi. Agama adalah masuk ranah
privasi, dimana agama yang mengandung ajaran akidah dan keimananan adalah
urusan pribadi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Agama adalah pedoman bagi
seorang hamba untuk menjalankan perintah sang pencipta. Dalam menjalankan
perintah agama masih ada ruang untuk menyesuaikan situasi dan kondisi yang
terjadi sehingga karena kondisinya tersebut tidak memungkinkan ideal. Agama
memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk menjalankan dan mengekspresikan rasa
keberagamaannya dengan caranya sendiri sesuai kondisinya dengan tetap mematuhi
prinsip-prinsip pokoknya. Agama hanya memberikan panduan bagaimana menjalan
ibadah sebagai representasi dari ketundukan, kepatuhan, ketaatan, dan
penghambaan kepada sang pencipta, tetapi bagaimana seseorang menjalankan
keberagamaannya dapat menyesuaikan kondisi dirinya.
Setiap orang yang lebih tahu tentang
kondisi dirinya sendiri dan tentunya Allah pasti lebih mengetahui kondisi yang
sebenarnya. Maka penting sekali untuk dipahami bersama bahwa setiap orang tidak
perlu memaksakan cara beragamanya kepada orang lain karena boleh jadi kondisi
dan pemahamannya berbeda. Kita cukup menghormati orang lain dalam menjalankan
ibadah dan keberagamaannya karena kita tidak akan diminta pertanggungjawaban
atas ibadah orang lain. Setiap orang di hari akhir nanti akan sepenuhnya
mempertanggungjawabkan sendiri amal ibadah dan perbuatannya, bukan orang lain.
Jadi kita tidak perlu merasa terganggu dengan cara beribadah dan cara beragama
orang lain. Kita cukup mengurusi diri kita sendiri apakah kita sudah
menjalankan ajaran agama kita dengan baik dan benar sesuai pemahaman kita.
Kita beragama itu untuk siapa? Pastinya
untuk kepentingan diri sendiri kan? Setiap orang pasti melakukan peribadatan
untuk kepentingan dirinya masing-masing. Jadi buat apa kita memaksakan
pemahaman dan keyakinan kita kepada orang lain? Menyampaikan kebenaran agama
yang kita yakini (imani) sebagai bagian dari berdakwah tidak salah, tetapi jika
memaksa orang lain harus mempercayai dan bahkan disertai dengan menghina atau
merendahkan agama dan kepercayaan orang lain adalah perbuatan yang tidak benar.
Beragama adalah kebebasan dan kemerdekaan setiap orang. Setiap orang bebas
memilih agama apa yang dipercayai dan dianut. Dalam agama Islam juga ada dalil
“tidak ada paksaan dalam beragama”. Jadi beragama itu bukan karena dipaksa atau
karena diintimidasi tetapi karena suka rela dan mengakui kebenaran ajaran agama
yang dianutnya. Wallahu a’lam bish-shawab.
[]
Gumpang Baru, 05 Ramadan 1442 H (17 April
2021)
*) Tulisan dalam artikel adalah pendapat
pribadi penulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar