Sumber Gambar : https://radiomutiaraquran.com/2018/08/22/jujur-adalah-kiat-menuju-selamat/ |
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Beberapa hari yang lalu istri penulis bercerita
tentang kejadian saat berbelanja. Ia berkata bahwa habis dari membeli buah, tapi
setelah beberapa saat meninggalkan penjualnya, ia merasa uang kembalian yang
diterimanya kebanyakan (berarti bayarnya kurang). Padahal yang menghitung
penjualnya sendiri. Akhirnya ia mengendarai motornya kembali lagi ke penjual
buahnya dan mohon maaf apa perhitungannya tadi sudah benar. Si penjualnya
akhirnya menghitung kembali dan menyadari bahwa perhitungannya tadi keliru karena kurang dari seharusnya. Akhirnya istri pun
memberikan uang kekurangan pembayarannya dan bapak penjual buah mengucapkan
terima kasih.
Mendengarkan cerita istri tersebut, penulis
bangga dan bersyukur memiliki seorang istri yang berani bersikap jujur dengan
mengembalikan kekurangan uang yang bukan haknya kepada penjual buah. Walaupun bukan
kesalahannya , melainkan kesalahan dari penjualnya sendiri dan tidak ada
seorangpun yang mengetahuinya, ia tetap merasa bahwa uang itu bukan haknya dan
harus dikembalikan kepada yang berhak yaitu bapak penjual buah. Dari kejadian tersebut,
istri penulis telah menerapkan sikap jujur dalam bertransaksi jual beli. Islam mengajarkan
sikap jujur dalam melakukan akad jual beli, tidak boleh ada yang berbohong atau
melakukan penipuan.
Dalam kehidupan berumah tangga, penulis
selaku kepala keluarga memang selalu mengajarkan dan menekankan sikap jujur. Penulis
mengajak seluruh anggota keluarga untuk selalu bersikap jujur. Kejujuran itu
sangat disukai Allah Swt. Kejujuran adalah ciri khas seorang muslim. Orang Islam
adalah orang yang selalu melakukan kejujuran. Orang Islam tidak boleh melakukan
tindakan berbohong atau melakukan penipuan hanya demi untuk mendapatkan
keuntungan pribadi. Sekecil apapun uang keuntungan yang didapatkan jika melalui
cara-cara yang tidak jujur maka uang itu adalah haram dan berdosa
menggunakannya. Keuntungan berlipat ganda yang diperoleh melalui tindakan tidak
jujur bukanlah tanda keberkahan, melainkan justru akan mendatangkan kemadharatan.
Maka setiap orang Islam harus selalu melakukan tindakan jujur dan meninggalkan
perilaku berbohong atau penipuan. Janganlah kita melakukan perbuatan atau tindakan berbohong atau penipuan hanya
untuk memperoleh keuntungan yang besar dari setiap transaksi muamalah yang kita
lakukan.
Bersamaan dengan momentum bulan Ramadan
ini, kita diingatkan kembali tentang bersikap jujur dalam segala tindakan. Puasa
Ramadan sangat berkaitan dengan sikap jujur. Puasa mengajarkan kita untuk
selalu bersikap jujur di manapun dan kapanpun. Puasa adalah jenis ibadah yang
sulit untuk ditampakkan ke orang lain sehingga puasa sulit tercampuri oleh sifat riya’. Mengapa? Ya karena puasa tidak bisa
dipamerkan ke orang lain. Kita kesulitan menentukan parameter apakah seseorang
itu berpuasa atau tidak. Kita kesulitan untuk membedakan antara orang yang
berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa menunjukkan
perilaku yang sama dengan orang yang tidak puasa. Umumnya kita hanya
menggunakan asumsi saja untuk memperkirakan seseorang itu berpuasa atau tidak. Misalnya
kita berasumsi bahwa orang yang berpuasa biasanya badannya terlihat lemah, tapi
kita tidak bisa membuktikan secara pasti apakah orang tersebut badannya lemah
karena sedang berpuasa atau karena belum makan? Tidak makan dan tidak minum
adalah tindakan yang dilakukan oleh orang yang berpuasa tetapi tidak serta
merta bahwa orang yang tidak makan dan minum itu pasti sedang berpuasa. Di sinilah
keunikan dari ibadah puasa yang sulit terkontaminasi oleh sifat ujub dan riya’.
Seseorang tidak bisa membanggakan diri sebagai ahli puasa karena ia tidak dapat
menunjukkan bukti kepada orang lain kalau ia sering berpuasa. Berbeda halnya
dengan klaim ahli sholat dimana orang lain dapat membuktikan sendiri apakah seseorang
itu benar-benar rajin sholat atau tidak.
Seseorang itu berpuasa atau tidak
merupakan rahasia dia dengan Tuhannya. Hanya dia sendiri dan Allah Swt saja
yang mengetahui kebenarannya bahwa ia berpuasa atau tidak. Di sinilah puasa itu
mengajarkan sikap jujur. Walau tidak diketahui orang lain ia masih berpuasa
atau tidak, seorang muslim yang taat pasti akan tetap menjalankan puasa karena
ia tahu bahwa Allah Swt melihatnya. Ia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt
karena Allah Swt adalah Tuhan yang Maha Melihat yang tidak pernah tidur. Maka apapun
yang ia lakukan akan selalu dilihat atau diketahui oleh Allah Swt. Seseorang
yang selalu merasa diawasi oleh Allah swt atau selalu merasakan kehadiran Allah
Swt dalam setiap tindakannya akan melahirkan sikap ihsan. Ia akan senantiasa
berbuat kebaikan dan menjauhi tindakan-tindakan yang tidak disukai Allah Swt. Ia
akan berusaha untuk senantiasa melakukan kebajikan dan menebarkan manfaat bagi sesama
karena itulah yang disukai oleh Allah Swt.
Bersikap jujur sebagaimana diajarkan
melalui perintah kewajiban ibadah puasa Ramadan diharapkan mampu
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata tidak mudah berlaku
jujur dalam dunia nyata di kehidupan sehari-hari. Ternyata rutinitas
menjalankan ibadah puasa Ramadhan tidak serta merta membuat seseorang menjadi
orang yang jujur. Contohnya adalah para koruptor yang setiap bulan Ramadan juga
menjalankan ibadah puasa tetapi ternyata mereka tetap berbohong dan menipu untuk
mencuri uang negara demi keuntuungan pribadi. Puasa yang dijalankannya setiap
tahun ternyata tidak berdampak positif pada aktivitas sehari-harinya.
Rajin menjalankan amalan ibadah ternyata
tidak serta merta membentuk pelakunya memiliki sifat dan sikap orang baik. Masih
banyak orang yang rajin ibadahnya tetapi perilaku sehari-harinya belum
mencerminkan sebagai hamba Allah Swt yang baik. Masih banyak orang yang
memisah-misahkan antara amalan ibadah dengan amalan duniawi. Masih banyak orang
yang berpandangan bahwa ibadah itu tidak berkaitan dengan akhlak. Padahal kalau
mereka menyadari bahwa semua amalan ibadah pasti berorientasi kepada kehidupan sosial.
Amalan ibadah walaupun ibadah yang bersifat privasi sekalipun harus berdampak
positif terhadap pembentukan akhlak yang baik dan memberikan manfaat bagi orang
lain.
Dalam hal ibadah sholat misalnya, ada ayat
Al-Quran yang menyataka bahwa sholat itu mampu mencegah dari perbuatan keji dan
munkar. Logikanya bagaimana kok sholat mampu mencegah orang yang sholat dari
melakukan perbuatan keji dan munkar? Sementara banyak fakta terjadinya
pencurian sandal, sepatu, uang infak
masjid, dan lain-lain di masjid yang merupakan tempat untuk sholat. Hal ini
menunjukkan bahwa orang yang sholat tidak serta merta menjadi orang baik yang
terhindar dari melakukan keji dan mungkar. Hanya orang-orang yang sholatnya sudah
“benar” saja yang akan terhindar dari tindakan keji dan mungkar karena spirit ibadah
sholatnya telah terimplementasi dalam kehidupan sehari-harinya dan berdampak
positif terhadap kehidupan sosial.
Penulis pernah mengalami sendiri kejadian
kehilangan sandal ketika selesai sholat Jumat. Dan luar biasanya adalah Allah
Swt langsung mempertemukan penulis dengan orang yang mengambil sandal dan
sandal penulis akhirnya kembali. Tidak disangka-sangka, ternyata orang yang memakai
sandal penulis adalah teman kerja penulis sendiri. Kejadiannya adalah setelah
kebingungan mencari sandal penulis dan tidak menemukan juga, akhirnya penulis memutuskan
kembali ke kantor dengan berjalan berjalan kaki tanpa memakai alas kaki.
Tiba-tiba hati penulis tergerak untuk mampir dulu ke ruang kerja teman sebelum
kembali ke kantor. Di ruang kerja teman tersebut, kami mengobrol ringan dan di sela-sela
obrolan tersebut penulis bercerita bahwa baru saja kehilangan sandal di masjid.
Kemudian teman penulis menanggapi dengan bertanya bagaimana ciri-ciri sandalnyang
hilang. Setelah penulis menjelaskan ciri-ciri sandal yang hilang, tiba-tiba
teman penulis tersebut menyodorkan kakinya dan menanyakan apakah sandal ini
yang hilang? Penulis agak kaget dan sedikit heran, kok bisa sandal penulis
dipakai olehnya? Akhirnya teman penulis tersebut bercerita bahwa awalnya sandal
dia yang hilang. Karena sudah berusaha mencari-mencari tidak menemukan juga,
akhirnya ia memutuskan mengambil sandal lain sebagai pengganti sandalnya yang
hilang dan kebetulan (qadarullah) yang diambil adalah sandal penulis. Atas kehendak
Allah lah pula kaki penulis digerakkan untuk mampir ke ruang kerja teman
tersebut dan menceritakan kejadian kehilangan sandal. Kejadian yang serba
kebetulan tersebut pasti telah diskenariokan oleh Allah Swt untuk menegur dan
menyadarkan teman penulis dari tindakannya yang keliru tersebut. Seharusnya dia
ketika kehilangan sandal bisa mengikhlaskan diri sehingga menjadi kebaikan
baginya, bukan malah melakukan perbuatan tidak benar dengan gantian mengambil sandal
orang lain. Untungnya teman penulis tersebut masih bisa bersikap jujur walaupun
jelas ia merasa malu atas tindakannya yang konyol tersebut. Akhirnya dia meminta
maaf dan penulis pun segera memaafkannya
dan tidak memperpanjang permasalahannya, toh sandal penulis sudah kembali. Tetapi
dari kejadian yang sedikit “menggelikan” tersebut penulis telah belajar sebuah
hikmah yang langsung diperlihatkan oleh Allah Swt.
Sahabat pembaca yang budiman. Terkait gerakan
sholat, kalau kita mau merenungkan secara mendalam makna dari ucapan “salam” di
akhir sholat yang diiringi dengan memalingkan wajah ke kanan dan kiri, kita
akan menemukan sebuah pesan tersirat bahwa setelah sholat kita harus menebarkan
salam (keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kedamian) kepada orang-orang di
sekitar kita. Jadi orang yang mendirikan sholat dengan benar pasti juga akan
menebarkan keselamatan dan kedamaian bagi lingkungan sekitar. Sedangkan orang
yang sholat tetapi belum terhindar dari perbuatan keji dan munkar menunjukkan
ia baru tahap “mengerjakan” sholat saja, belum sampai pada level “mendirikan
sholat”, padahal perintahnya dalam Al-Qur’an berbunyi “dirikanlah sholat”, dan bukan
“kerjakanlah sholat”. Mari kita renungkan, apakah ibadah-ibadah yang kita kerjakan
sudah “benar” dan berdampak positif terhadap pembentukan akhlakul karimah dan menjadikan
kita memiliki kesalihan sosial? Wallahu a’lam
bish-shawab. []
Gumpang Baru, 3 Ramadan 1442 H (15 April
2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar