Powered By Blogger

Kamis, 15 April 2021

PUASA DAN NILAI KEJUJURAN

 

Sumber Gambar : https://radiomutiaraquran.com/2018/08/22/jujur-adalah-kiat-menuju-selamat/

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Beberapa hari yang lalu istri penulis bercerita tentang kejadian saat berbelanja. Ia berkata bahwa habis dari membeli buah, tapi setelah beberapa saat meninggalkan penjualnya, ia merasa uang kembalian yang diterimanya kebanyakan (berarti bayarnya kurang). Padahal yang menghitung penjualnya sendiri. Akhirnya ia mengendarai motornya kembali lagi ke penjual buahnya dan mohon maaf apa perhitungannya tadi sudah benar. Si penjualnya akhirnya menghitung kembali dan menyadari bahwa perhitungannya tadi keliru  karena kurang dari seharusnya. Akhirnya istri pun memberikan uang kekurangan pembayarannya dan bapak penjual buah mengucapkan terima kasih.

 

Mendengarkan cerita istri tersebut, penulis bangga dan bersyukur memiliki seorang istri yang berani bersikap jujur dengan mengembalikan kekurangan uang yang bukan haknya kepada penjual buah. Walaupun bukan kesalahannya , melainkan kesalahan dari penjualnya sendiri dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, ia tetap merasa bahwa uang itu bukan haknya dan harus dikembalikan kepada yang berhak yaitu bapak penjual buah. Dari kejadian tersebut, istri penulis telah menerapkan sikap jujur dalam bertransaksi jual beli. Islam mengajarkan sikap jujur dalam melakukan akad jual beli, tidak boleh ada yang berbohong atau melakukan penipuan.

 

Dalam kehidupan berumah tangga, penulis selaku kepala keluarga memang selalu mengajarkan dan menekankan sikap jujur. Penulis mengajak seluruh anggota keluarga untuk selalu bersikap jujur. Kejujuran itu sangat disukai Allah Swt. Kejujuran adalah ciri khas seorang muslim. Orang Islam adalah orang yang selalu melakukan kejujuran. Orang Islam tidak boleh melakukan tindakan berbohong atau melakukan penipuan hanya demi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sekecil apapun uang keuntungan yang didapatkan jika melalui cara-cara yang tidak jujur maka uang itu adalah haram dan berdosa menggunakannya. Keuntungan berlipat ganda yang diperoleh melalui tindakan tidak jujur bukanlah tanda keberkahan, melainkan justru akan mendatangkan kemadharatan. Maka setiap orang Islam harus selalu melakukan tindakan jujur dan meninggalkan perilaku berbohong atau penipuan. Janganlah kita melakukan perbuatan  atau tindakan berbohong atau penipuan hanya untuk memperoleh keuntungan yang besar dari setiap transaksi muamalah yang kita lakukan.  

 

Bersamaan dengan momentum bulan Ramadan ini, kita diingatkan kembali tentang bersikap jujur dalam segala tindakan. Puasa Ramadan sangat berkaitan dengan sikap jujur. Puasa mengajarkan kita untuk selalu bersikap jujur di manapun dan kapanpun. Puasa adalah jenis ibadah yang sulit untuk ditampakkan ke orang lain sehingga puasa sulit tercampuri oleh sifat  riya’. Mengapa? Ya karena puasa tidak bisa dipamerkan ke orang lain. Kita kesulitan menentukan parameter apakah seseorang itu berpuasa atau tidak. Kita kesulitan untuk membedakan antara orang yang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa. Orang yang berpuasa menunjukkan perilaku yang sama dengan orang yang tidak puasa. Umumnya kita hanya menggunakan asumsi saja untuk memperkirakan seseorang itu berpuasa atau tidak. Misalnya kita berasumsi bahwa orang yang berpuasa biasanya badannya terlihat lemah, tapi kita tidak bisa membuktikan secara pasti apakah orang tersebut badannya lemah karena sedang berpuasa atau karena belum makan? Tidak makan dan tidak minum adalah tindakan yang dilakukan oleh orang yang berpuasa tetapi tidak serta merta bahwa orang yang tidak makan dan minum itu pasti sedang berpuasa. Di sinilah keunikan dari ibadah puasa yang sulit terkontaminasi oleh sifat ujub dan riya’. Seseorang tidak bisa membanggakan diri sebagai ahli puasa karena ia tidak dapat menunjukkan bukti kepada orang lain kalau ia sering berpuasa. Berbeda halnya dengan klaim ahli sholat dimana orang lain dapat membuktikan sendiri apakah seseorang itu benar-benar rajin sholat atau tidak.

 

Seseorang itu berpuasa atau tidak merupakan rahasia dia dengan Tuhannya. Hanya dia sendiri dan Allah Swt saja yang mengetahui kebenarannya bahwa ia berpuasa atau tidak. Di sinilah puasa itu mengajarkan sikap jujur. Walau tidak diketahui orang lain ia masih berpuasa atau tidak, seorang muslim yang taat pasti akan tetap menjalankan puasa karena ia tahu bahwa Allah Swt melihatnya. Ia merasa selalu diawasi oleh Allah Swt karena Allah Swt adalah Tuhan yang Maha Melihat yang tidak pernah tidur. Maka apapun yang ia lakukan akan selalu dilihat atau diketahui oleh Allah Swt. Seseorang yang selalu merasa diawasi oleh Allah swt atau selalu merasakan kehadiran Allah Swt dalam setiap tindakannya akan melahirkan sikap ihsan. Ia akan senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi tindakan-tindakan yang tidak disukai Allah Swt. Ia akan berusaha untuk senantiasa melakukan kebajikan dan menebarkan manfaat bagi sesama karena itulah yang disukai oleh Allah Swt.

 

Bersikap jujur sebagaimana diajarkan melalui perintah kewajiban ibadah puasa Ramadan diharapkan mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata tidak mudah berlaku jujur dalam dunia nyata di kehidupan sehari-hari. Ternyata rutinitas menjalankan ibadah puasa Ramadhan tidak serta merta membuat seseorang menjadi orang yang jujur. Contohnya adalah para koruptor yang setiap bulan Ramadan juga menjalankan ibadah puasa tetapi ternyata mereka tetap berbohong dan menipu untuk mencuri uang negara demi keuntuungan pribadi. Puasa yang dijalankannya setiap tahun ternyata tidak berdampak positif pada aktivitas sehari-harinya.

 

Rajin menjalankan amalan ibadah ternyata tidak serta merta membentuk pelakunya memiliki sifat dan sikap orang baik. Masih banyak orang yang rajin ibadahnya tetapi perilaku sehari-harinya belum mencerminkan sebagai hamba Allah Swt yang baik. Masih banyak orang yang memisah-misahkan antara amalan ibadah dengan amalan duniawi. Masih banyak orang yang berpandangan bahwa ibadah itu tidak berkaitan dengan akhlak. Padahal kalau mereka menyadari bahwa semua amalan ibadah pasti berorientasi kepada kehidupan sosial. Amalan ibadah walaupun ibadah yang bersifat privasi sekalipun harus berdampak positif terhadap pembentukan akhlak yang baik dan memberikan manfaat bagi orang lain.

 

Dalam hal ibadah sholat misalnya, ada ayat Al-Quran yang menyataka bahwa sholat itu mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Logikanya bagaimana kok sholat mampu mencegah orang yang sholat dari melakukan perbuatan keji dan munkar? Sementara banyak fakta terjadinya pencurian sandal, sepatu,  uang infak masjid, dan lain-lain di masjid yang merupakan tempat untuk sholat. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sholat tidak serta merta menjadi orang baik yang terhindar dari melakukan keji dan mungkar. Hanya orang-orang yang sholatnya sudah “benar” saja yang akan terhindar dari tindakan keji dan mungkar karena spirit ibadah sholatnya telah terimplementasi dalam kehidupan sehari-harinya dan berdampak positif terhadap kehidupan sosial.

 

Penulis pernah mengalami sendiri kejadian kehilangan sandal ketika selesai sholat Jumat. Dan luar biasanya adalah Allah Swt langsung mempertemukan penulis dengan orang yang mengambil sandal dan sandal penulis akhirnya kembali. Tidak disangka-sangka, ternyata orang yang memakai sandal penulis adalah teman kerja penulis sendiri. Kejadiannya adalah setelah kebingungan mencari sandal penulis dan tidak menemukan juga, akhirnya penulis memutuskan kembali ke kantor dengan berjalan berjalan kaki tanpa memakai alas kaki. Tiba-tiba hati penulis tergerak untuk mampir dulu ke ruang kerja teman sebelum kembali ke kantor. Di ruang kerja teman tersebut, kami mengobrol ringan dan di sela-sela obrolan tersebut penulis bercerita bahwa baru saja kehilangan sandal di masjid. Kemudian teman penulis menanggapi dengan bertanya bagaimana ciri-ciri sandalnyang hilang. Setelah penulis menjelaskan ciri-ciri sandal yang hilang, tiba-tiba teman penulis tersebut menyodorkan kakinya dan menanyakan apakah sandal ini yang hilang? Penulis agak kaget dan sedikit heran, kok bisa sandal penulis dipakai olehnya? Akhirnya teman penulis tersebut bercerita bahwa awalnya sandal dia yang hilang. Karena sudah berusaha mencari-mencari tidak menemukan juga, akhirnya ia memutuskan mengambil sandal lain sebagai pengganti sandalnya yang hilang dan kebetulan (qadarullah) yang diambil adalah sandal penulis. Atas kehendak Allah lah pula kaki penulis digerakkan untuk mampir ke ruang kerja teman tersebut dan menceritakan kejadian kehilangan sandal. Kejadian yang serba kebetulan tersebut pasti telah diskenariokan oleh Allah Swt untuk menegur dan menyadarkan teman penulis dari tindakannya yang keliru tersebut. Seharusnya dia ketika kehilangan sandal bisa mengikhlaskan diri sehingga menjadi kebaikan baginya, bukan malah melakukan perbuatan tidak benar dengan gantian mengambil sandal orang lain. Untungnya teman penulis tersebut masih bisa bersikap jujur walaupun jelas ia merasa malu atas tindakannya yang konyol tersebut. Akhirnya dia meminta maaf  dan penulis pun segera memaafkannya dan tidak memperpanjang permasalahannya, toh sandal penulis sudah kembali. Tetapi dari kejadian yang sedikit “menggelikan” tersebut penulis telah belajar sebuah hikmah yang langsung diperlihatkan oleh Allah Swt.

 

Sahabat pembaca yang budiman. Terkait gerakan sholat, kalau kita mau merenungkan secara mendalam makna dari ucapan “salam” di akhir sholat yang diiringi dengan memalingkan wajah ke kanan dan kiri, kita akan menemukan sebuah pesan tersirat bahwa setelah sholat kita harus menebarkan salam (keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kedamian) kepada orang-orang di sekitar kita. Jadi orang yang mendirikan sholat dengan benar pasti juga akan menebarkan keselamatan dan kedamaian bagi lingkungan sekitar. Sedangkan orang yang sholat tetapi belum terhindar dari perbuatan keji dan munkar menunjukkan ia baru tahap “mengerjakan” sholat saja, belum sampai pada level “mendirikan sholat”, padahal perintahnya dalam Al-Qur’an berbunyi “dirikanlah sholat”, dan bukan “kerjakanlah sholat”. Mari kita renungkan, apakah ibadah-ibadah yang kita kerjakan sudah “benar” dan berdampak positif terhadap pembentukan akhlakul karimah dan menjadikan kita memiliki kesalihan sosial? Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Gumpang Baru, 3 Ramadan 1442 H (15 April 2021)

 *) Tulisan dalam artikel adalah pendapat pribadi penulis.

Tidak ada komentar:

Postingan Populer