Powered By Blogger

Minggu, 29 Mei 2022

RELIGIUS DALAM BALUTAN BUDAYA NUSANTARA

Sumber Gambar : https://blamakassar.kemenag.go.id/berita/menyoal-relasi-agama-dan-budaya

RELIGIUS DALAM BALUTAN BUDAYA NUSANTARA

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 


Agama dan budaya adalah dua hal yang sulit dilepaskan dari kehidupan manusia. Agama diperlukan untuk menjadi panduan bagi manusia untuk berakhlak mulia. Sedangkan budaya merupakan hasil kreasi manusia dalam memahami kehidupan, termasuk memahami ajaran agama dalam wujud perilaku hidup sehari-hari. Sebagai misal, anjuran menghormati orang tua merupakan ajaran agama, tetapi bagaimana cara menghormati orang tua dalam bentuk sikap dan perilaku merupakan ranah budaya. Tentang penghormatan kepada orang tua, di jawa dikenal tadisi sungkem orang tua, sedangkan di India dikenal tradisi mencium kaki orang tua. Inilah budaya di mana setiap daerah atau negara bisa berbeda-beda bentuknya, walaupun tujuannya sama, yaitu memberikan penghormatan kepada orang tua.  

Hubungan antara agama dan budaya sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang tak kunjung selesai. Ada yang berpendapat bahwa agama dan budaya tidak mungkin bisa bersatu dan ada juga pendapat yang mepercayai bahwa agama dan budaya bisa menyatu. Sebenarnya bagaimanakah kedudukan agama dan budaya itu? Apakah agama dan budaya bisa menyatu dalam sikap dan perilaku seseorang? Bagaimana cara menempatkan budaya dalam kehidupan beragama? Artikel singkat ini akan mencoba membahasnya.

Apakah Budaya Itu?

            Kata budaya merujuk kepada sebuah istilah yang berkaitan dengan hasil olah pikir, cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam bentuk aturan berperilaku berupa adat istiadat, tradisi, budaya maupun karya-karya fisik. Budaya adalah hasil dari kreativitas manusia dalam mengembangkan pemikirannya untuk memudahkan dan membuat lebih nyaman kehidupannya. Jadi segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia hasil dari pemikiran dan penghayatan terhadap kehidupan dapat dikategorikan sebagai budaya. Pengertian budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (KBBI Online, 2022).

Sedangkan beberapa ahli memberikan definisi budaya (Kristina, 2021) sebagai berikut:

1.        Edward Burnett Tylor (1832-19721). Menurut Tylor, kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2.        Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski mendefinisikan kebudayaan sebagai penyelesaian manusia terhadap lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan tradisi yang terbaik. Dalam hal ini, Malinowski menekankan bahwa hubungan manusia dengan alam semesta dapat digeneralisasikan secara lintas budaya.

3.        Clifford Geertz (1926-2006). Antropolog ternama dunia Clifford Geertz mengatakan kebudayaan merupakan sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol. Simbol tersebut kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan agar dapat mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, pengembangkan pengetahuan, hingga cara bersikap.

4.        Roger M. Keesing (1935-1993). Roger mendefinisikan makna kebudayaan melalui dua pendekatan, adaptif dan ideasional. Kebudayaan menurut pendekatan adaptif merupakan kontes pikiran dan perilaku. Sedangkan, menurut pendekatan ideasional kebudayaan adalah semata-mata sebagai konteks pikiran.

5.        Koentjaraningrat (1923-1999). Antropolog asal Indonesia ini mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.

Berdasarkan beberapa defines budaya menurut para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya adalah segala sesuatu yang dihasilkan manusia sebagai hasil kreasi dari cipta, rasa, dan karsa terhadap kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk aturan berperilaku (tradisi, adat istiadat) maupun karya-karya fisik (bangunan).

Apakah yang dimaksud dengan Agama?

Agama mudah dipahami tetapi sulit didefinisikan. Agama mudah dirasakan oleh para penganutnya tetapi sulit didefiniskan secara memuaskan. Makanya, hingga saat ini belum ada definisi agama yang baku dan menjadi standar dunia. Walaupun sudah banyak para ahli yang membuat definisi tentang agama, tetapi secara umum masing-masing definisi tersebut belum mampu memberikan deskripsi yang jelas tentang agama.

Pakar tafsir Al-Quran kebanggan bangsa Indonesia Prof. Dr. M. Quraish Shihab (2001), menyatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat--lebih-lebih bagi para pakar. Hal ini disebabkan, antara lain, dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Kemudahan yang dialami oleh orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.

Menurut Wright (1912), definisi agama yang memadai harus memenuhi dua prasyarat. Prasyarat pertama adalah bahwa untuk memenuhi persyaratan logika, definisi tersebut harus persis sama dengan istilah yang didefinisikan. Definis agama ini harus mencakup semua varietas dari semua agama di masa lalu maupun masa kini, dan semua bentuk yang mungkin secara logis yang agama mungkin mengasumsikan di masa depan, tidak peduli apakah kita percaya bentuk-bentuk ini diinginkan atau tidak diinginkan, mengangkat atau merendahkan, benar atau salah. Itu harus benar-benar impersonal dan deskriptif, tidak normatif. Dan itu harus menghindari agama yang membingungkan dengan moral, sihir, etika, estetika, dan mata pelajaran lain yang pernah ada di masa lalu, atau sekarang mengandung, hubungan dekat dengannya.

Prasyarat kedua dalam definisi awal agama untuk tujuan psikologi fungsional adalah bahwa definisi tersebut harus menjadi deskripsi yang akurat tentang sikap subyektif dari para praktisi agama, dan bukan pernyataan tentang fungsi sebenarnya agama dalam masyarakat manusia, sebagaimana ditentukan oleh pengamat obyektif. Ada dua alasan untuk ini. Pertama-tama, kehati-hatian menuntut bahwa seorang psikolog fungsional membuat definisinya terus terang subyektif untuk menghindari kecurigaan terlibat dalam kekeliruan psikolog, suatu kecurigaan yang sering, dan mungkin bukan tanpa alasan, dirasakan terhadap para penyelidik sejenisnya. Kedua, akan jauh lebih mudah untuk mendapatkan persetujuan atas fakta. Pengaruh yang tepat dari agama mana pun dalam evolusi sosial dan moral, yang rumit seperti interaksinya dengan kekuatan lain, sangat sulit ditentukan.

Dalam Encyclopaedia Britannica (www.Britannica.com/topic/religion), dinyatakan bahwa agama adalah hubungan manusia dengan apa yang mereka anggap suci, sakral, absolut, spiritual, ilahi, atau layak dihormati. Ini juga secara umum dianggap terdiri dari cara orang berurusan dengan keprihatinan utama tentang kehidupan mereka dan nasib mereka setelah kematian. Dalam banyak tradisi, hubungan ini dan masalah ini diekspresikan dalam hubungan seseorang dengan atau sikap terhadap dewa atau roh; dalam bentuk agama yang lebih humanistik atau naturalistik, mereka diekspresikan dalam hubungan seseorang dengan atau sikap terhadap komunitas manusia yang lebih luas atau dunia alami. Dalam banyak agama, teks dianggap memiliki status kitab suci, dan orang-orang dihargai untuk diinvestasikan dengan otoritas spiritual atau moral. Orang percaya dan penyembah berpartisipasi dan sering diperintahkan untuk melakukan praktik-praktik renungan atau kontemplatif seperti doa, meditasi, atau ritual tertentu. Ibadah, perilaku moral, kepercayaan benar, dan partisipasi dalam lembaga-lembaga keagamaan adalah di antara unsur-unsur penyusun kehidupan keagamaan.

Beberapa ahli lain juga memberikan definisi yang berbeda-beda tentang agama. John Locke (1632-1704) menyimpulkan bahwa “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku tidak memberitahu kepadaku.” Mahmud Syaltut menyatakan bahwa,”Agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.” Syaikh Muhammad Abdullah Badran (Guru Besar Al-Azar) menggambarkan “hubungan antara dua pihak di mana yang pertama memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.” Sedangkan Prof. M. Quraish Shihab sendiri mendefinisikan agama sebagai “Hubungan antara makhluk dan khaliknya.” Hubungan ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.” (Shihab, 2001).

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, terlihat bahwa memang tidak ada kesepakatan dari para ahli dalam mendefinisikan agama, masing-masing ahli memiliki pandangan sendiri yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa agama memang sesuatu yang tidak mudah untuk didefinisikan, walaupun mudah dirasakan dan dimengerti oleh pemeluknya.

Mungkinkah Agama dan Budaya Menyatu?

Menurut pendapat penulis pribadi, agama dan budaya dapat menyatu atau melebur menjadi satu dalam kehidupan manusia. Agama memberikan panduan ajaran tentang sikap dan perilaku yang baik, sedangkan budaya merupakan hasil pengejawantahan dari ajaran kebaikan tersebut. Agama tidak perlu dipertentangkan dengan agama karena keduanya memang tidak bertentang.

Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia (RI), Moh Hatta mengatakan, kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dikutip dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M) oleh Faisal Ismail, Moh Hatta yang dikenal sebagai lulusan sarjana Muslim tersebut memasukkan agama sebagai unsur kebudayaan. Pendapat tersebut disampaikan Hatta dalam Kongres Kebudayaan Pertama tahun 1948 di Magelang. Berikut cuplikan pidato Hatta:

"Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau bukan. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakan agama adalah bagian daripada kebudayaan..." (Kristina, 2021).

Menurut pendapat penulis, pandangan Moh Hatta yang menyatakan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan adalah dalam konteks kesamaan tujuan, yaitu agama dan budaya sama-sama bertujuan untuk menuntut umat manusia berakhlak baik dan bahagia hidupnya. Sedangkan dalam konteks asalnya tentu pendapat tersebut kurang tepat karena aturan agama ada yang berasal dari Tuhan (agama-agama samawi) dan ada pula yang dibuat manusia.

Menjadi Orang Indonesia yang Religius

Sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam, penulis berusaha menampakkan diri baik sikap maupun perilaku sebagai orang Indonesia yang islami. Bagaimana cara penulis memerankan peran tersebut? Caranya adalah dengan bersikap dan berperilaku sesuai budaya masyarakat setempat dengan dilandasi pada ajaran mulia agama Islam. Bagi penulis, agama dan budaya tidaklah bertentangan, bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Budaya  tidak bisa dilepaskan dari agama karena wujud manifestasi pelaksanaan dari ajaran agama diwujudkan dalam bentuk budaya. Dapat diibaratkan bahwa agama adalah ruh sedangkan budaya adalah jasad fisik atau tubuh jasmaniah. Agama adalah panduan sedangkan budaya adalah wujud nyata tindakan berdasarkan petunjuk pada panduan. Agama adalah spirit sedangkan budaya adalah perilaku nyata.

Seseorang tidak mungkin dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa melibatkan kebudayaan. Hal ini karena agama tidak mengenal budaya tertentu. Agama tidak hanya cocok untuk budaya tertentu tetapi cocok dengan budaya manapun karena budaya bagaikan baju sedangkan agama adalah tubuh. Maka tubuh tidak akan mungkin dapat menjalankan aktivitas beradab jika tanpa memakai baju. Baju atau pakaian adalah simbol dari peradaban. Maka beragama secara beradab harus menggunakan budaya. Budaya yang paling dekat untuk menjalankan panduan kebaikan dalam ajaran agama adalah budaya masyarakat setempat. Sedangkan budaya masyarakat lain atau negara lain bisa saja diadopsi tetapi belum tentu pasti cocok. Oleh karena itu, pilihan yang paling mudah dan sederhana adalah menggunakan budaya lokal setempat sebagai wadah atau sarana menjalankan ajaran kebaikan agama, dengan syarat ketat bahwa budaya tersebut tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama.

Contoh nyata di masyarakat tentang meleburnya ajaran agama dan budaya adalah penggunaan peci dan sarung untuk ibadah shalat. Peci dan sarung bukan berasal dari Arab tempat asal agama Islam, tetapi merupakan pakaian budaya masyarakat Indonesia dan Melayu. Bahkan sekarang peci dan sarung telah menjelma menjadi simbol santri dan pondok pesantren. Seorang siswa di pondok pesantren. Apakah dengan memakai peci dan sarung akan mengurangi nilai ibadah seseorang dibandingkan orang lain yang memakai surban dan baju gamis? Tentu saja tidak. Pakaian hanyalah sarana pendukung ibadah shalat, bukan termasuk rukun sahnya shalat. Jadi memakai pakaian apapun selama suci, menutup aurat dan memenuhi aspek kesopanan, maka boleh dipergunakan untuk menjalankan ibadah shalat. Inilah contoh nyata implementasi konsep menyatunya agama dan budaya. WaAllahu a’alam [].

 

Gumpang Baru, 28 April 2022

 

Sumber Referensi

Encyclopaedia Britannica (www.Britannica.com/topic/religion)

KBBI Online. (2022). Arti kata budaya—Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Retrieved April 24, 2022, from https://kbbi.web.id/budaya

Kristina. (2021, September 16). 5 Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli. Retrieved April 24, 2022, from Detikedu website: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5725690/5-pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli

Shihab, M. Q. (2001). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.

Wright, W. K. (1912). A Psychological Definition of Religion. The American Journal of Theology, 16(3), 385–409. doi: 10.1086/479094

 

 

BIODATA PENULIS

Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc. adalah dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menempuh Pendidikan S1 (S.Pd) di Universitas Sebelas Maret dan Pendidikan S2 (M.Sc.) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mulai tahun 2018 penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral di Program Studi S3 Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Selain sebagai dosen, beliau juga seorang pegiat literasi dan penulis yang telah menerbitkan lebih dari 75 judul buku (baik buku solo maupun buku kolaborasi), Peraih Juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran kimia MA/SMA (2007), Peraih SPK AWARD Peringkat 1 (2021), Peraih INOVASI DAN P2M AWARD LPPM UNS Peringkat 2 (2022), Peraih INDONESIA TOP 5000 SCIENTISTS (2022), Penulis buku non fiksi tersertifikasi BNSP (2020), Konsultan penerbitan buku pelajaran Kimia dan IPA, Reviewer jurnal ilmiah terakreditasi SINTA 2 dan 3, dan Trainer tersertifikasi Indomindmap Certified Trainer-ICT &  Indomindmap Certified Growth Mindset Coach (Indonesia), ThinkBuzan Certified Applied Innovation Facilitator (UK), ThinkBuzan Certified Speed Reading Practitioner (UK), ThinkBuzan Certified Memory Practitioner (UK), dan ThinkBuzan Certified Mind Map Facilitator (UK). Penulis dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp +6281329023054 dan email : anc_saputro@yahoo.co.id. Tulisan-tulisan penulis dapat dibaca di akun Facebook : Agung Nugroho Catur Saputro, website : https://sahabatpenakita.id dan blog : https://sharing-literasi.blogspot.com.

 

PENDIDIKAN DAN LITERASI PEREMPUAN INDONESIA

Sumber Gambar : http://rdk.fidkom.uinjkt.ac.id/index.php/2020/11/25/pentingnya-pendidikan-tinggi-bagi-perempuan/
 

PENDIDIKAN DAN LITERASI PEREMPUAN INDONESIA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Awal bulan Mei ini bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (hardiknas). Walaupun peringatan Hardiknas tahun ini terasa kurang berkesan karena semua orang lebih fokus dan konsentrasi pada acara mudik hari raya Idul Fitri 1443 H, tetaplah peringatan hardiknas harus dimaknai. Adapun tema yang diangkat dalam Hari Pendidikan Nasional 2022 adalah “Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar” (Duan, 2022).

Penting untuk diketahui bahwa saat ini Indonesia sedang berusaha menyukseskan program SDGs atau Sustainable Development Goals. SDGs adalah suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Salah satu target SDGs adalah pendidikan yang bermutu. Cara mewujudkan pendidikan yang bermutu adalah dengan memastikan terlaksananya pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, serta mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang. Pemerataan pendidikan yang dimaksud tentu bukan hanya pemerataan di desa atau kawasan terpencil saja, namun juga pemerataan pendidikan baik bagi perempuan ataupun laki-laki di Indonesia (Az-Zahro, 2022)

            Isu permasalahan pendidikan yang berlangsung sejak dulu dan masih berlangsung hingga sekarang adalah terkait persamaan hak untuk mengakses pendidikan. Di daerah-daerah terpencil, hak memperoleh pendidikan belum sepenuhnya terpenuhi. Di daerah-daerah pedesaan masih terdapat pembatasan hak mengakses pendidikan untuk orang-orang tertentu, salah satunya adalah perempuan. Masih ditemukan pandangan di masyarakat tertentu bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kodrat perempuan adalah menjadi istri dan ibu rumah tangga untuk melayani suami dan keluarganya.

             Perempuan juga seakan tidak diizinkan untuk berada di sektor publik. Apabila ada keluarga yang hanya bisa membiayai satu anak untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dapat dipastikan bahwa kesempatan tersebut akan diberikan pada anak laki-laki. Diskriminasi perempuan dalam sektor pendidikan akibat dari budaya feodal patriarki menyebabkan tingginya angka putus sekolah pada perempuan di Indonesia. Di daerah pesisir Madura misalnya, masyarakat pesisir Madura menganggap bahwa posisi perempuan berada di bawah laki-laki (Az-Zahro, 2022).

            Dalam Islam, kesempatan mencari ilmu terbuka lebar baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan. Islam tidak membeda-bedakan gender dalam kesempatan menuntut ilmu pengetahuan (mengakses pendidikan). Laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib, bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”. Hadis ini menegaskan bahwa setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan wajib menuntut ilmu tanpa terkecuali.

Mengapa dalam Islam wajib bagi setiap Muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu? Hazhira Qudsy (2021) memberikan alasannya, yaitu karena ada banyak keutamaan ilmu. Beberapa keutamaan ilmu di antaranya adalah:

1.        Ilmu adalah kekhususan, ilmu adalah keistimewaan yang Allah Swt khususkan hanya untuk manusia semata. Selain ilmu, manusia dan hewan memiliki kesamaan.

2.        Ilmu dapat mengantarkan seseorang menuju kepada kebajikan dan ketaqwaan. Dan sebab ketaqwaan itu, seseorang dapat memperoleh kemuliaan di sisi Allah Swt dan kebahagiaan abadi.

Di era sekarang yang serba mengandalkan teknologi digital, kemampuan literasi sangat penting dimiliki, khususnya kemampuan literasi informasi dan literasi digital. Kemampuan literasi seseorang sangat berkorelasi dengan pengetahuan dan tingkat pendidikannya.

            Di era digital sekarang ini sangat diperlukan kemampuan memahami informasi melaui media digital. Kemampuan ini sering disebut dengan kecakapan literasi digital. Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan memakai informasi dari berbagai sumber, yang bisa diakses melalui komputer. Dari buku “Literasi Digital”, UNESCO menjelaskan tentang literasi digital yang berhubungan dengan life skills (kecakapan). Kemampuan ini tak hanya melibatkan teknologi saja, tetapi kemampuan untuk belajar, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif untuk kompetensi digital (Fajri, 2021).  Steve Wheeler dalam tulisannya yang berjudul Digital Literacies for Engagement in Emerging Online Cultures (2012) menyatakan bahwa terdapat sembilan komponen penting yang termuat dalam literasi digital. Sembilan komponen tersebut yakni social networking, transliteracy, maintaining privacy, managing identify, creating content, organising and sharing content, reusing/repurposing content, filtering and selecting content, serta self broadcasting (Kurniasih, 2021).

Literasi berkaitan dengan aktivitas membaca dan menulis, walaupun jika dipahami lebih mendalam lagi juga berkaitan dengan aktivitas menelaah dan menyunting suatu teks bacaan. Menurut kamus online Merriam – Webster, literasi ialah suatu kemampuan atau kualitas melek aksara di dalam diri seseorang dimana di dalamnya terdapat kemampuan membaca, menulis dan juga mengenali serta memahami ide-ide secara visual. Sedangkan menurut literasi ialah seperangkat keterampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya. Sementara itu, National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.” Definisi ini memaknai literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini terkandung makna bahwa definisi literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu (Anonim, 2020).

Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, definisi literasi ternyata  berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Jika dulu definisi literasi selalu dikaitkan dengan  kemampuan membaca dan menulis, maka kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi media, literasi komputer, literasi sains, literasi sekolah, dan lain sebagainya. Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis diringkas dalam lima verba: memahami, meliputi, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Kesemua verba tersebut  merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis (Intan, 2021).

Kemampuan literasi seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuannya. Kedalaman pengetahuan dan wawasan yang luas terhadap berbagai bidang ilmu akan membuat seseorang memiliki tingkat literasi yang tinggi pula. Kedalaman pengetahuan sangat berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pengetahuannya juga semakin tinggi dan mendalam. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga relatif akan memiliki kemampuan literasi yang tinggi pula. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Sari (2018) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan literasi dengan kompetensi inti pengetahuan siswa, dengan arah korelasi positif, artinya semakin tinggi kemampuan literasi maka semakin tinggi pula kompetensi inti pengetahuan yang diperoleh siswa.

Persamaan hak dan kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi perempuan agar memiliki tingkat kemampuan literasi yang tinggi perlu terus diupayakan dan diperjuangkan oleh semua pihak. Perjuangan RA Kartini dalam menyuarakan emansipasi perempuan dalam memperoleh pendidikan harus terus dilanjutkan. RA Kartini adalah sosok perempuan inspiratif karena kemampuan literasinya yang tinggi sehingga membuatnya memiliki kepekaan terhadap kondisi para perempuan yang dibatasi dalam mengaktualisaikan diri. Karena tingkat literasinya yang tinggi juga membuat RA Kartini memiliki permikiran-pemikiran yang maju dan visioner tentang kondisi bangsanya, khususnya terkait kesempatan memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya bagi perempuan.

Di era digital ini, kemampuan literasi digital bagi kaum parempuan memegang peran penting. Perempuan sangat dekat dengan dunia pendidikan, karena di unit masyarakat terkecil yaitu keluarga, kaum ibulah yang menjadi madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Di samping itu juga banyak kaum perempuan yang menjadi pendidik di lembaga-lembaga pendidikan formal. Hal ini menunjukkan bahwa peranan perempuan dan kemampuan literasi digitalnya sangat penting dalam mendukung proses pendidikan yang sekarang ini sangat mengandalkan teknologi digital (internet).

Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Literasi Digital, Dedy Permadi mengatakan, "Rata-rata hanya 20% perempuan Indonesia memiliki akses internet, dan di antara mereka hanya 26% yang mengutarakan pendapat secara daring untuk mencari informasi yang kritis mengenai hak perempuan dan hanya 5% dari jumlah tersebut yang menggunakan internet untuk mengekspresikan pandangannya guna mendapatkan informasi di website sebagai penunjang mendapatkan hak kesetaraan.” Pernyataan ini diperkuat oleh hasil survei tahun 2018 oleh World Wide Web Foundation bertajuk "Women's Rights Online", yang menyatakan bahwa ada kesenjangan gender yang besar di bidang digital di Indonesia (Hope, 2022).

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan-perempuan Indonesia harus mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengakses pendidikan bahkan sampai jenjang pendidikan tertinggi. Perempuan-perempuan Indonesia harus memiliki kemampuan literasi yang setinggi-tingginya, terutama kemampuan literasi digital  karena mereka akan berperan dalam mendukung kemajuan pembangunan nasional melalui perananya dalam proses pendidikan formal maupun pendidikan keluarga. Kita ingat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa jika ingin melihat kemajuan suatu bangsa maka lihatlah bagaimana perempuannya karena perempuan adalah cerminan dari suatu bangsa. Wallahu a’lam. []

 

Gumpang Baru, 24 Mei 2022

 

Referensi

Anonim. (2020, October 14). Pengertian Literasi Menurut Para Ahli, Tujuan, Manfaat, Jenis dan Prinsip. Retrieved May 22, 2022, from SEVIMA website: https://sevima.com/pengertian-literasi-menurut-para-ahli-tujuan-manfaat-jenis-dan-prinsip/

Az-Zahro, D. N. (2022, January 15). Diskriminasi Perempuan dalam Bidang Pendidikan. Retrieved May 11, 2022, from Yoursay.id website: https://yoursay.suara.com/kolom/2022/01/15/090000/diskriminasi-perempuan-dalam-bidang-pendidikan

Duan, F. (2022, Mei  , 15:35 WIB). Hari Pendidikan Nasional 2022: Ini Arti Logo, Tema, dan Jadwal Pelaksanaan Upacara Hardiknas - Pikiran Rakyat Depok. Retrieved May 10, 2022, from https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-094396166/hari-pendidikan-nasional-2022-ini-arti-logo-tema-dan-jadwal-pelaksanaan-upacara-hardiknas

Fajri, D. L. (2021, December 29). Pengertian Literasi Digital Menurut Para Ahli dan Manfaatnya—Nasional Katadata.co.id. Retrieved May 11, 2022, from Katadata.co.id website: https://katadata.co.id/intan/berita/61cc3dc639d4e/pengertian-literasi-digital-menurut-para-ahli-dan-manfaatnya

Hope, J. F. (2022, April 13). Perempuan dan Literasi Digital Indonesia. Retrieved May 24, 2022, from VIVA.CO.ID website: https://www.viva.co.id/vstory/opini-vstory/1466604-perempuan-dan-literasi-digital-indonesia

Intan, N. (2021, February 10). Pengertian Literasi: Jenis, Tujuan, Manfaat, Contoh, dan Prinsipnya. Retrieved May 22, 2022, from Penerbit Deepublish website: https://penerbitdeepublish.com/pengertian-literasi/

Kurniasih, W. (2021, November 23). Pengertian Literasi Digital: Komponen, Manfaat, Dan Upaya Peningkatan - Gramedia Literasi. Retrieved May 11, 2022, from Gramedia Blog website: https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-literasi-digital/

Qudsy, H. (2021, August 17). Bersungguh-Sungguh Dalam Menuntut Ilmu. Retrieved May 11, 2022, from Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan (DPK) UII website: https://kemahasiswaan.uii.ac.id/bersungguh-sungguh-dalam-menuntut-ilmu/

Sari, N. A. M. Y. (2018). Hubungan antara Kemampuan Literasi dengan Kompetensi Inti Pengetahuan Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SD Gugus Letkol Wisnu Denpasar Utara Tahun Pelajaran 2017/2018. Indonesian Journal Of Educational Research and Review, 1(2), 94–103. doi: 10.23887/ijerr.v1i2.14708

 

 

 

BIODATA PENULIS

Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc. adalah dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menempuh Pendidikan S1 (S.Pd) di Universitas Sebelas Maret dan Pendidikan S2 (M.Sc.) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mulai tahun 2018 penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral di Program Studi S3 Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Selain sebagai dosen, beliau juga seorang pegiat literasi dan penulis yang telah menerbitkan lebih dari 75 judul buku (baik buku solo maupun buku kolaborasi), Peraih Juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran kimia MA/SMA (2007), Peraih SPK AWARD Peringkat 1 (2021), Peraih INOVASI DAN P2M AWARD LPPM UNS Peringkat 2 (2022), Peraih INDONESIA TOP 5000 SCIENTISTS (2022), Penulis buku non fiksi tersertifikasi BNSP (2020), Konsultan penerbitan buku pelajaran Kimia dan IPA, Reviewer jurnal ilmiah terakreditasi SINTA 2 dan 3, dan Trainer tersertifikasi Indomindmap Certified Trainer-ICT &  Indomindmap Certified Growth Mindset Coach (Indonesia), ThinkBuzan Certified Applied Innovation Facilitator (UK), ThinkBuzan Certified Speed Reading Practitioner (UK), ThinkBuzan Certified Memory Practitioner (UK), dan ThinkBuzan Certified Mind Map Facilitator (UK). Penulis dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp +6281329023054 dan email : anc_saputro@yahoo.co.id. Tulisan-tulisan penulis dapat dibaca di akun Facebook : Agung Nugroho Catur Saputro, website : https://sahabatpenakita.id dan blog : https://sharing-literasi.blogspot.com.

Postingan Populer