Sumber Gambar : https://blamakassar.kemenag.go.id/berita/menyoal-relasi-agama-dan-budaya
Oleh
:
Agung
Nugroho Catur Saputro
Agama dan budaya adalah
dua hal yang sulit dilepaskan dari kehidupan manusia. Agama diperlukan untuk menjadi
panduan bagi manusia untuk berakhlak mulia. Sedangkan budaya merupakan hasil
kreasi manusia dalam memahami kehidupan, termasuk memahami ajaran agama dalam
wujud perilaku hidup sehari-hari. Sebagai misal, anjuran menghormati orang tua
merupakan ajaran agama, tetapi bagaimana cara menghormati orang tua dalam
bentuk sikap dan perilaku merupakan ranah budaya. Tentang penghormatan kepada
orang tua, di jawa dikenal tadisi sungkem orang tua, sedangkan di India dikenal
tradisi mencium kaki orang tua. Inilah budaya di mana setiap daerah atau negara
bisa berbeda-beda bentuknya, walaupun tujuannya sama, yaitu memberikan
penghormatan kepada orang tua.
Hubungan antara agama
dan budaya sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang tak kunjung
selesai. Ada yang berpendapat bahwa agama dan budaya tidak mungkin bisa bersatu
dan ada juga pendapat yang mepercayai bahwa agama dan budaya bisa menyatu. Sebenarnya
bagaimanakah kedudukan agama dan budaya itu? Apakah agama dan budaya bisa
menyatu dalam sikap dan perilaku seseorang? Bagaimana cara menempatkan budaya
dalam kehidupan beragama? Artikel singkat ini akan mencoba membahasnya.
Apakah
Budaya Itu?
Kata
budaya merujuk kepada sebuah istilah yang berkaitan dengan hasil olah pikir, cipta,
rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam bentuk aturan berperilaku berupa
adat istiadat, tradisi, budaya maupun karya-karya fisik. Budaya adalah hasil
dari kreativitas manusia dalam mengembangkan pemikirannya untuk memudahkan dan
membuat lebih nyaman kehidupannya. Jadi segala sesuatu yang dihasilkan oleh
manusia hasil dari pemikiran dan penghayatan terhadap kehidupan dapat
dikategorikan sebagai budaya. Pengertian budaya menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan
yang sudah berkembang (beradab, maju), atau sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan yang sudah sukar diubah (KBBI
Online, 2022).
Sedangkan beberapa ahli
memberikan definisi budaya (Kristina,
2021)
sebagai berikut:
1.
Edward Burnett Tylor (1832-19721). Menurut
Tylor, kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.
Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski
mendefinisikan kebudayaan sebagai penyelesaian manusia terhadap lingkungan
hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan
tradisi yang terbaik. Dalam hal ini, Malinowski menekankan bahwa hubungan
manusia dengan alam semesta dapat digeneralisasikan secara lintas budaya.
3.
Clifford Geertz (1926-2006). Antropolog
ternama dunia Clifford Geertz mengatakan kebudayaan merupakan sistem
keteraturan dari makna dan simbol-simbol. Simbol tersebut kemudian
diterjemahkan dan diinterpretasikan agar dapat mengontrol perilaku,
sumber-sumber ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, pengembangkan
pengetahuan, hingga cara bersikap.
4.
Roger M. Keesing (1935-1993). Roger
mendefinisikan makna kebudayaan melalui dua pendekatan, adaptif dan ideasional.
Kebudayaan menurut pendekatan adaptif merupakan kontes pikiran dan perilaku.
Sedangkan, menurut pendekatan ideasional kebudayaan adalah semata-mata sebagai
konteks pikiran.
5.
Koentjaraningrat (1923-1999). Antropolog
asal Indonesia ini mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan
rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.
Berdasarkan
beberapa defines budaya menurut para ahli tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa budaya adalah segala sesuatu yang dihasilkan manusia sebagai
hasil kreasi dari cipta, rasa, dan karsa terhadap kehidupan yang diwujudkan
dalam bentuk aturan berperilaku (tradisi, adat istiadat) maupun karya-karya
fisik (bangunan).
Apakah
yang dimaksud dengan Agama?
Agama mudah dipahami
tetapi sulit didefinisikan. Agama mudah dirasakan oleh para penganutnya tetapi
sulit didefiniskan secara memuaskan. Makanya, hingga saat ini belum ada
definisi agama yang baku dan menjadi standar dunia. Walaupun sudah banyak para
ahli yang membuat definisi tentang agama, tetapi secara umum masing-masing
definisi tersebut belum mampu memberikan deskripsi yang jelas tentang agama.
Pakar tafsir Al-Quran kebanggan
bangsa Indonesia Prof. Dr. M. Quraish Shihab
(2001),
menyatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah
juga untuk menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat
sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat--lebih-lebih bagi para pakar.
Hal ini disebabkan, antara lain, dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam
arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun
semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak
termasuk unsurnya. Kemudahan yang dialami oleh orang awam disebabkan oleh cara
mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.
Menurut Wright
(1912),
definisi agama yang memadai harus memenuhi dua prasyarat. Prasyarat pertama
adalah bahwa untuk memenuhi persyaratan logika, definisi tersebut harus persis
sama dengan istilah yang didefinisikan. Definis agama ini harus mencakup semua
varietas dari semua agama di masa lalu maupun masa kini, dan semua bentuk yang
mungkin secara logis yang agama mungkin mengasumsikan di masa depan, tidak
peduli apakah kita percaya bentuk-bentuk ini diinginkan atau tidak diinginkan,
mengangkat atau merendahkan, benar atau salah. Itu harus benar-benar impersonal
dan deskriptif, tidak normatif. Dan itu harus menghindari agama yang
membingungkan dengan moral, sihir, etika, estetika, dan mata pelajaran lain
yang pernah ada di masa lalu, atau sekarang mengandung, hubungan dekat
dengannya.
Prasyarat kedua dalam
definisi awal agama untuk tujuan psikologi fungsional adalah bahwa definisi
tersebut harus menjadi deskripsi yang akurat tentang sikap subyektif dari para
praktisi agama, dan bukan pernyataan tentang fungsi sebenarnya agama dalam
masyarakat manusia, sebagaimana ditentukan oleh pengamat obyektif. Ada dua
alasan untuk ini. Pertama-tama, kehati-hatian menuntut bahwa seorang psikolog
fungsional membuat definisinya terus terang subyektif untuk menghindari
kecurigaan terlibat dalam kekeliruan psikolog, suatu kecurigaan yang sering,
dan mungkin bukan tanpa alasan, dirasakan terhadap para penyelidik sejenisnya.
Kedua, akan jauh lebih mudah untuk mendapatkan persetujuan atas fakta. Pengaruh
yang tepat dari agama mana pun dalam evolusi sosial dan moral, yang rumit
seperti interaksinya dengan kekuatan lain, sangat sulit ditentukan.
Dalam Encyclopaedia
Britannica (www.Britannica.com/topic/religion),
dinyatakan bahwa agama adalah hubungan manusia dengan apa yang mereka anggap
suci, sakral, absolut, spiritual, ilahi, atau layak dihormati. Ini juga secara
umum dianggap terdiri dari cara orang berurusan dengan keprihatinan utama
tentang kehidupan mereka dan nasib mereka setelah kematian. Dalam banyak
tradisi, hubungan ini dan masalah ini diekspresikan dalam hubungan seseorang
dengan atau sikap terhadap dewa atau roh; dalam bentuk agama yang lebih
humanistik atau naturalistik, mereka diekspresikan dalam hubungan seseorang
dengan atau sikap terhadap komunitas manusia yang lebih luas atau dunia alami.
Dalam banyak agama, teks dianggap memiliki status kitab suci, dan orang-orang
dihargai untuk diinvestasikan dengan otoritas spiritual atau moral. Orang
percaya dan penyembah berpartisipasi dan sering diperintahkan untuk melakukan
praktik-praktik renungan atau kontemplatif seperti doa, meditasi, atau ritual
tertentu. Ibadah, perilaku moral, kepercayaan benar, dan partisipasi dalam
lembaga-lembaga keagamaan adalah di antara unsur-unsur penyusun kehidupan
keagamaan.
Beberapa ahli lain juga
memberikan definisi yang berbeda-beda tentang agama. John Locke (1632-1704)
menyimpulkan bahwa “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah
jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku tidak
memberitahu kepadaku.” Mahmud Syaltut menyatakan bahwa,”Agama adalah
ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman
hidup manusia.” Syaikh Muhammad Abdullah Badran (Guru Besar Al-Azar)
menggambarkan “hubungan antara dua pihak di mana yang pertama memiliki
kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.” Sedangkan Prof. M. Quraish Shihab
sendiri mendefinisikan agama sebagai “Hubungan antara makhluk dan khaliknya.”
Hubungan ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang
dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.” (Shihab,
2001).
Berdasarkan uraian
penjelasan di atas, terlihat bahwa memang tidak ada kesepakatan dari para ahli
dalam mendefinisikan agama, masing-masing ahli memiliki pandangan sendiri yang
berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa agama memang sesuatu yang tidak mudah
untuk didefinisikan, walaupun mudah dirasakan dan dimengerti oleh pemeluknya.
Mungkinkah
Agama dan Budaya Menyatu?
Menurut pendapat
penulis pribadi, agama dan budaya dapat menyatu atau melebur menjadi satu dalam
kehidupan manusia. Agama memberikan panduan ajaran tentang sikap dan perilaku
yang baik, sedangkan budaya merupakan hasil pengejawantahan dari ajaran
kebaikan tersebut. Agama tidak perlu dipertentangkan dengan agama karena
keduanya memang tidak bertentang.
Wakil Presiden Pertama
Republik Indonesia (RI), Moh Hatta mengatakan, kebudayaan adalah ciptaan hidup
dari suatu bangsa. Dikutip dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode
Klasik (Abad VII-XII M) oleh Faisal Ismail, Moh Hatta yang dikenal sebagai
lulusan sarjana Muslim tersebut memasukkan agama sebagai unsur kebudayaan.
Pendapat tersebut disampaikan Hatta dalam Kongres Kebudayaan Pertama tahun 1948
di Magelang. Berikut cuplikan pidato Hatta:
"Kebudayaan
adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi
pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau bukan. Keduanya bagi
saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan karena dengan beragama
manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakan agama adalah bagian
daripada kebudayaan..." (Kristina,
2021).
Menurut pendapat penulis, pandangan Moh
Hatta yang menyatakan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan adalah dalam
konteks kesamaan tujuan, yaitu agama dan budaya sama-sama bertujuan untuk
menuntut umat manusia berakhlak baik dan bahagia hidupnya. Sedangkan dalam
konteks asalnya tentu pendapat tersebut kurang tepat karena aturan agama ada
yang berasal dari Tuhan (agama-agama samawi) dan ada pula yang dibuat manusia.
Menjadi
Orang Indonesia yang Religius
Sebagai warga negara
Indonesia yang beragama Islam, penulis berusaha menampakkan diri baik sikap
maupun perilaku sebagai orang Indonesia yang islami. Bagaimana cara penulis
memerankan peran tersebut? Caranya adalah dengan bersikap dan berperilaku
sesuai budaya masyarakat setempat dengan dilandasi pada ajaran mulia agama
Islam. Bagi penulis, agama dan budaya tidaklah bertentangan, bahkan merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Budaya
tidak bisa dilepaskan dari agama karena wujud manifestasi pelaksanaan dari
ajaran agama diwujudkan dalam bentuk budaya. Dapat diibaratkan bahwa agama
adalah ruh sedangkan budaya adalah jasad fisik atau tubuh jasmaniah. Agama
adalah panduan sedangkan budaya adalah wujud nyata tindakan berdasarkan
petunjuk pada panduan. Agama adalah spirit sedangkan budaya adalah perilaku
nyata.
Seseorang tidak mungkin
dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa melibatkan kebudayaan. Hal ini karena
agama tidak mengenal budaya tertentu. Agama tidak hanya cocok untuk budaya
tertentu tetapi cocok dengan budaya manapun karena budaya bagaikan baju
sedangkan agama adalah tubuh. Maka tubuh tidak akan mungkin dapat menjalankan
aktivitas beradab jika tanpa memakai baju. Baju atau pakaian adalah simbol dari
peradaban. Maka beragama secara beradab harus menggunakan budaya. Budaya yang
paling dekat untuk menjalankan panduan kebaikan dalam ajaran agama adalah budaya
masyarakat setempat. Sedangkan budaya masyarakat lain atau negara lain bisa
saja diadopsi tetapi belum tentu pasti cocok. Oleh karena itu, pilihan yang
paling mudah dan sederhana adalah menggunakan budaya lokal setempat sebagai
wadah atau sarana menjalankan ajaran kebaikan agama, dengan syarat ketat bahwa budaya
tersebut tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama.
Contoh nyata di
masyarakat tentang meleburnya ajaran agama dan budaya adalah penggunaan peci
dan sarung untuk ibadah shalat. Peci dan sarung bukan berasal dari Arab tempat
asal agama Islam, tetapi merupakan pakaian budaya masyarakat Indonesia dan
Melayu. Bahkan sekarang peci dan sarung telah menjelma menjadi simbol santri
dan pondok pesantren. Seorang siswa di pondok pesantren. Apakah dengan memakai
peci dan sarung akan mengurangi nilai ibadah seseorang dibandingkan orang lain
yang memakai surban dan baju gamis? Tentu saja tidak. Pakaian hanyalah sarana
pendukung ibadah shalat, bukan termasuk rukun sahnya shalat. Jadi memakai pakaian
apapun selama suci, menutup aurat dan memenuhi aspek kesopanan, maka boleh
dipergunakan untuk menjalankan ibadah shalat. Inilah contoh nyata implementasi
konsep menyatunya agama dan budaya. WaAllahu
a’alam [].
Gumpang Baru, 28 April 2022
Sumber
Referensi
Encyclopaedia
Britannica (www.Britannica.com/topic/religion)
KBBI Online.
(2022). Arti kata budaya—Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Retrieved
April 24, 2022, from https://kbbi.web.id/budaya
Kristina. (2021,
September 16). 5 Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli. Retrieved April 24,
2022, from Detikedu website:
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5725690/5-pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli
Shihab, M. Q.
(2001). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.
Wright, W. K.
(1912). A Psychological Definition of Religion. The American Journal of
Theology, 16(3), 385–409. doi: 10.1086/479094
BIODATA PENULIS
Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc. adalah dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menempuh Pendidikan S1 (S.Pd) di
Universitas Sebelas Maret dan Pendidikan S2 (M.Sc.) di Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Mulai tahun 2018 penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral di
Program Studi S3 Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Selain sebagai dosen, beliau juga seorang pegiat literasi dan penulis yang
telah menerbitkan lebih dari 75 judul buku (baik buku solo maupun buku
kolaborasi), Peraih Juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran kimia
MA/SMA (2007), Peraih SPK AWARD Peringkat 1 (2021), Peraih INOVASI DAN P2M
AWARD LPPM UNS Peringkat 2 (2022), Peraih INDONESIA TOP 5000 SCIENTISTS (2022),
Penulis buku non fiksi tersertifikasi BNSP (2020), Konsultan penerbitan buku
pelajaran Kimia dan IPA, Reviewer jurnal ilmiah terakreditasi SINTA 2 dan 3,
dan Trainer tersertifikasi Indomindmap Certified Trainer-ICT & Indomindmap Certified Growth Mindset Coach
(Indonesia), ThinkBuzan Certified Applied Innovation Facilitator (UK),
ThinkBuzan Certified Speed Reading Practitioner (UK), ThinkBuzan Certified
Memory Practitioner (UK), dan ThinkBuzan Certified Mind Map Facilitator (UK).
Penulis dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp +6281329023054 dan email :
anc_saputro@yahoo.co.id. Tulisan-tulisan penulis dapat dibaca di akun Facebook
: Agung Nugroho Catur Saputro, website : https://sahabatpenakita.id dan blog : https://sharing-literasi.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar