Powered By Blogger

Minggu, 30 April 2023

IKHTIAR MENUJU TAKDIR BAIK


IKHTIAR MENUJU TAKDIR BAIK

Oleh:

 Agung Nugroho Catur Saputro

 


Sebulan yang lalu beberapa hari menjelang bulan Ramadan, saya menjalani tindakan operasi batu ginjal di RS UNS. Selesai operasi, dokter Urologi yang mengoperasi saya menjelaskan bahwa batu telah dipecah dengan metode laser dan diharapkan serpihan-serpihan batu tersebut akan keluar sendiri bersama aliran urine. Dokter juga menjelaskan bahwa di ginjal saya telah terpasang DJ Stent (selang) yang dipasang menghubungkan ginjal dan kandung kemih. Pemasangan Stent tersebut bertujuan untuk membantu melancarkan aliran urine dari ginjal ke kandung kemih karena terjadi pembengkakan saluran ureter akibat adanya batu ginjal.

Terkait tindakan pemecahan batu ginjal yang baru saja dilakukan, dokter mengatakan bahwa karena posisi batu ginjal saya berada agak ke dalam ginjal sehingga agak sulit untuk sekali tindakan operasi. Dokter merekomendasikan untuk melakukan tindakan berikutnya dengan metode ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) jika batunya masih ada. Apakah yang dimaksud dengan metode ESWL? ESWL adalah kumpulan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin yang disebut lithotripter. Cara kerja ESWL adalah gelombang kejut difokuskan oleh sinar-X ke batu ginjal dan berjalan ke tubuh melalui kulit dan jaringan, mencapai batu di mana mereka memecahnya menjadi fragmen kecil (Simanjuntak, 2023).

Satu minggu setelah operasi, saya melakukan tes CT-Scan sesuai rekomendasi dokter untuk mengetahui masih ada batu atau tidak di ginjal. Hasil CT-Scan mengonfirmasikan bahwa ternyata masih ada endapan batu di ginjal kanan saya. Melihat hasil tes CT-Scan tersebut, dokter kemudian menjadwalkan tindakan pemecahan batu ginjal kembali dengan metode ESWL nanti setelah hari raya Idul Fitri.

Setelah kurang lebih dua minggu dari kontrol dokter di bulan Ramadan, setelah hari raya Idul Fitri saya kembali kontrol ke dokter. Ketika bertemu dokter Urologi, saya menceritakan keluhan rasa sakit yang saya derita setiap hari setiap kali buang air kecil dan pasca buang air kecil. Mendengar keluhan saya tersebut, dokter menjelaskan bahwa keluhan rasa sakit saat selesai buang air kecil tersebut kemungkinan besar karena masih ada batu di ginjal dan juga efek adanya Stent. Dokter kemudian menjadwalkan tindakan ESWL minggu berikutnya sambil membuatkan resep obat yang perlu saya minum selama waktu sampai jadwal tindakan ESWL.

Saat saya menjalani tindakan operasi batu ginjal pada bulan Maret kemarin, ternyata ada seorang kolega yang juga menjalani tindakan operasi batu ginjal beberapa hari sebelumnya, tetapi di RS yang berbeda dan dengan dokter berbeda pula. Kolega saya tersebut juga mengalami seperti saya yaitu di ginjalnya dipasang DJ Stent karena terjadi pembengkakan di ginjalnya. Kolega saya tersebut setelah beberapa hari sejak menjalani tindakan operasi batu ginjal, katanya keluhan sakitnya sudah berkurang. Hal itu berbeda dengan saya yang sebulan pasca operasi, setiap hari saya masih merasakan rasa sakit dan air kencing juga masih berdarah.

Hasil foto Rontgen kolega saya pasca operasi menunjukkan tidak adanya endapan batu di ginjalnya, sedangkan hasil tes CT-Scan saya menunjukkan masih adanya endapan batu di ginjal. Mengapa hasil tindakan operasi yang saya jalani berbeda dengan yang terjadi pada kolega saya tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh perbedaan ukuran batu ginjalnya, dimana ukuran baru ginjal kolega saya tersebut baru beberapa millimeter saja sedangkan punya saya sudah berukuran satu centimeter.

Minggu kemarin saat saya menjalani kontrol ke dokter, ternyata kolega saya tersebut juga sedang menjalani tindakan operasi pelepasan DJ Stent. Sekarang dia telah sembuh dan terbebas dari penderitaan rasa sakit akibat batu ginjal. Sementara saya masih harus terus bersabar merasakan rasa sakit setiap kali buang air kecil karena masih adanya batu ginjal dan DJ Stent di ginjal. Semoga setelah tindakan ESWL nanti saya bisa benar-benar terbebas dari penderitaan rasa sakit akibat batu ginjal dan sebulan kemudian dapat menjalani operasi pelepasan DJ Stent. Amin.

Berdasarkan pengalaman yang dialami kolega saya dan yang saya alami yang sama-sama menderita sakit yang sama, menjalani tindakan operasi yang sama, sama-sama dilakukan pemasangan DJ Stent di ginjal, tetapi hasilnya berbeda, saya berusaha berpikir positif. Sebulan pasca tindakan operasi, penyakit batu ginjal kolega saya sudah sembuh dan lanjut menjalani operasi pelepasan Stent, sedangkan saya belum sembuh dan bahkan masih harus menjalani tindakan medis lagi yang entah akan berapa kali baru bisa sembuh.

Perbedaan hasil tersebut menunjukkan bahwa setiap orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Kolega saya tersebut telah menemukan takdirnya berupa kesembuhan dari sakit batu ginjal hanya melalui satu kali tindakan operasi. Saya pun juga sedang menjalani takdir saya, yaitu masih harus terus berikhtiar mencari kesembuhan. Saya meyakini bahwa pasti ada hikmah kebaikan atau ibrah di balik kejadian yang saya alami ini. Penyakit yang saya derita berasal dari Allah Swt, maka saya yakin Allah Swt juga telah menetapkan takdir kesembuhan untuk saya. Tugas saya sekarang adalah terus berikhtiar untuk mencapai takdir kesembuhan yang ditetapkan Allah Swt. Melalui ikhtiar dengan batuan dokter spesialis Urologi yang kompeten dan expert di bidang pengobatan penyakit batu ginjal dan disupport dengan doa saya dan orang-orang yang mendoakan saya, maka  kesembuhan itu sebuah keniscayaan. InsyaAllah. Amin. []

 

Gumpang Baru, 01 Mei 2023 


 __________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

Sabtu, 29 April 2023

MENJALIN SILATURAHMI MELALUI BUKU

Foto bersama dr. Nur Fathonah, Sp.B
(Dokter Spesialis Bedah RS UNS)

MENJALIN SILATURAHMI MELALUI BUKU
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro





Saya senang menjalin silaturahmi dengan banyak orang. Menjalin silaturahmi dengan banyak orang akan mendatangkan manfaat dan kebaikan. Menjalin silaturahmi itu sendiri merupakan kebaikan. Bahagia rasanya ketika bisa menjalin silaturahmi dengan orang-orang yang tadinya belum kita kenal.


Saya tidak membeda-bedakan dengan siapa saya menjalin silaturahmi. Bagi saya, setiap jalinan silaturahmi yang terbentuk pasti mendatangkan manfaat kebaikan. Menjalin silaturahmi merupakan tujuan dari penciptaan manusia yang berbeda-beda. Allah Swt menciptakan manusia berbeda suku, bangsa, bahasa, ras agar saling mengenal. Jika sudah saling mengenal akan terjalin silaturahmi.


Ada beragam tujuan dan sarana untuk menjalin silaturahmi. Saya sendiri senang menjalin silaturahmi dengan banyak orang karena saya meyakini bahwa dari setiap jalinan silaturahmi yang terjalin akan mendatangkan kebaikan. Dalam kehidupan ini kita pasti selalu berharap mendapatkan kebaikan.


Sedangkan sarana untuk menjalin silaturahmi yang saya gunakan salah satunya adalah melalui buku. Ya, saya menggunakan buku-buku karya saya untuk sarana menjalin silaturahmi dengan orang-orang yang baru saya kenal. Dengan saya memberikan hadiah atau kenang-kenangan berupa buku karya saya sendiri, selain sebagai pengganti kartu nama, saya juga berharap buku-buku saya tersebut bisa menjadi sarana terjalinnya tali silaturahmi.


Demikianlah yang saya lakukan dengan beberapa dokter yang selama beberapa bulan ini mengobati dan merawat saya. Salah satu dokter yang merawat saya saat proses pengobatan penyakit Fistula Ani adalah ibu dr. Nur Fathonah, Sp.B. Beliau adalah dokter spesialis bedah di RS UNS. Selama kurang lebih dua bulan saya berinteraksi secara intensif dengan beliau. Beliau adalah dokter yang mengoperasi penyakit Fistula Ani saya.


dr. Nur Fathonah, Sp.B. merupakan dokter yang ramah dan sangat care kepada pasiennya. Selama menjalani proses operasi dan perawatan pasca operasi selama dua bulan dengan beliau, beliau sangat perhatian, teliti, dan hati-hati dalam melakukan perawatan luka operasi. Setiap Minggu saya rutin kontrol perkembangan luka operasi ke beliau. Setiap kali kontrol, beliau sangat teliti dan serius memeriksa perkembangan luka operasi saya.


Beliau sangat tegas dalam memberikan tindakan medis. Beliau tidak sembrono dalam memberikan tindakan medis. Semua tindakan medis yang diberikan selalu terukur dan terencana. Tetapi di balik ketegasan beliau, beliau adalah sosok dokter yang ramah, humanis dan menyenangkan ketika ngobrol. Setiap kali bertemu saat kontrol rutin, beliau tidak melulu berbicara tentang penyakit saya, tetapi terkadang membahas topik lain yang ringan-ringan seperti tentang keluarga, pekerjaan, dan topik lainnya.


Setelah beliau merujuk saya ke dokter bedah lain yang lebih spesifik untuk melanjutkan proses penyembuhan penyakit Fistula Ani yang saya derita, saya tidak bertemu lagi dengan beliau selama beberapa waktu. Hingga di suatu kesempatan yang tidak disengaja di RS UNS ketika sedang menjalani prosedur akan operasi batu ginjal, saya bertemu lagi dengan beliau. Beliau ternyata masih ingat saya, terbukti dengan beliau yang menyapa duluan karena waktu itu saya tidak menyadari kalau beliau di samping saya.


Momentum pertemuan yang tidak disengaja itupun tidak saya sia-siakan. Setelah menceritakan perkembangan penyakit Fistula Ani saya yang sudah sembuh dan mengucapkan terima kasih atas bantuan pengobatan selama ini, saya mohon izin untuk berfoto dengan beliau untuk mengabadikan momen tersebut. Ternyata  beliau bersedia dengan senang hati untuk berfoto dengan saya dan istri saya. Bahkan beliau berkenan memberikan nomor kontaknya kepada saya.


Ketika pertemuan tersebut sebenarnya saya ingin memberikan kenang-kenangan kepada beliau beberapa buku saya tetapi kebetulan pas saya  tidak membawa buku. Maka saya pun berencana memberikan buku karya saya ke beliau di lain waktu. Akhirnya beberapa hari yang lalu saat saya ada jadwal kontrol ke dokter urologi, saya menyempatkan diri menitipkan hadiah buku ke beliau melalui perawat ruang poli.


Setelah menitipkan buku untuk beliau ke perawat poli, saya kemudian mengabari beliau sambil mengucapkan selamat Idul Fitri dan mengirimkan foto bersama yang dulu karena dulu beliau minta dikirimi foto kenang-kenangan kebersamaan tersebut. Alhamdulillah beliau senang dan berkenan menerima hadiah kenang-kenangan berupa dua buku sederhana karya saya.


Di kesempatan yang baik tersebut, saya pun memohon izin kepada beliau untuk berkenan memberikan kata pengantar untuk buku yang akan saya tulis. Saya berencana menuliskan pengalaman menderita penyakit Fistula Ani selama tujuh tahun menjadi sebuah buku, walau belum tahu entah kapan akan selesai penulisannya.


Penyakit Fistula Ani merupakan jenis penyakit yang masih kategori langka, sulit penyembuhannya, dan belum banyak dikenal masyarakat. Banyak orang yang masih awam dengan penyakit Fistula Ani. Saya merasa terpanggil untuk ikut mensosialisasikan penyakit Fistula Ani dan cara penyembuhannya melalui operasi berdasarkan pengalaman pribadi.


Karena beliau adalah dokter bedah yang terlibat dalam proses penyembuhan penyakit Fistula Ani saya, maka saya pikir beliau pantas mendapatkan kehormatan untuk memberikan kata pengantar di calon buku saya tersebut. Alhamdulillah ternyata beliau menyambut gembira rencana saya untuk menulis buku tersebut dan berkenan akan memberikan kata pengantar nantinya jika draft buku sudah selesai. Terima kasih bu dokter. []


Gumpang Baru, 29 April 2023


 ________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

Rabu, 26 April 2023

SAINS, AGAMA, DAN PENDIDIKAN: Kajian Relasi Sains dan Agama dalam Bingkai Pendidikan Karakter

 

Sumber Gambar: https://islamlib.com/agama/relasi-sains-dan-agama/

SAINS, AGAMA, DAN PENDIDIKAN:

Kajian Relasi Sains dan Agama dalam Bingkai Pendidikan Karakter

(Kata Pengantar)

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 


Sains dan agama merupakan dua bidang ilmu yang sering dipertentangkan. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa sains dan agama tidak bisa disatukan, sementara yang lain berpendapat bahwa sains dan agama bisa disatukan. Apakah sains dan agama itu memang berseberangan ataukah bisa berdampingan?

Kajian tentang keterkaitan antara sains dan agama akan terus relevan untuk dilakukan. Sains yang berbasis rasionalitas-empiris dan agama yang berbasis teologis-spiritualis memang memiliki karakteristik yang berbeda. Sepintas sains dan agama merupakan dua bidang ilmu yang sangat berbeda dan tidak berkaitan satu dengan yang lain. Hal itu dikarenakan metode pemerolehan kedua bidang ilmu tersebut sangatlah berbeda.

Sains diperoleh melalui proses berpikir rasional dan berbasis data pengamatan empiris. Sedangkan agama diperoleh berdasarkan wahyu dan pengalaman spiritual. Tetapi ketika pikiran kita difokuskan pada pemahaman bahwa segala materi dan proses di alam semesta ini adalah hasil dari kehendak Tuhan, maka pikiran akal sehat kita akan menemukan adanya keterkaitan yang sangat erat antara ilmu sains dan ilmu agama. Mengapa? Karena kedua ilmu tersebut pada dasarnya sama-sama berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta. 

Akal sehat kita akan menolak pemikiran bahwa ilmu Tuhan yang diperoleh  dari pengamatan alam semesta dapat bertentangan dengan ilmu yang berasal dari wahyu-Nya. Pikiran akal sehat pasti meyakini bahwa kedua ilmu tersebut pasti sama dan tidak ada pertentangan sedikitpun di antara keduanya. Jika akhirnya terkesan ada perbedaan antara temuan sains dengan informasi dalam kitab suci (wahyu), maka hal itu kemungkinan besar dipengaruhi oleh faktor subjektivitas penafsiran manusia yang kebenarannya sangat relatif.

Penulis merupakan salah satu orang yang berpendapat bahwa sains dan agama itu dapat berdampingan. Sains dan agama jika bisa diintegrasikan maka akan menghasilkan peradaban manusia yang maju dan beradab. Ikhtiar mengintegrasikan sains dan agama yang penulis lakukan bukan bertujuan untuk pembentukan disiplin ilmu baru tetapi lebih diarahkan untuk tujuan pembentukan karakter. Sains yang diwarnai dengan ilmu agama akan membentuk karakter yang baik, baik performance character maupun moral character.

Sudah lama penulis menaruh minat pada kajian tentang integrasi sains dan agama. Penulis merasa tertarik untuk terus menggali dan mengkaji konsep-konsep sains dalam perspektif Al-Qur’an. Penulis banyak menulis esai-esai tentang ilmu sains, khususnya ilmu kimia-bidang ilmu yang menjadi keahlian penulis- yang dikaitkan dengan ilmu agama dan pendidikan karakter religius. Beberapa artikel ilmiah dan buku tentang integrasi sains dan agama telah penulis hasilkan, yaitu antara lain: (1). Analisis Nilai-nilai Relegius dalam Konsep Ikatan Kimia pada Pelajaran Kimia SMA (Jurnal Ilmiah ber-ISSN, 2008), (2). Pengintegrasian Nilai-nilai Relegius dalam Buku Pelajaran Kimia SMA/MA sebagai Metode Alternatif Membentuk Karakter Insan Mulia pada Siswa (Prosiding Seminar Nasional, 2011), (3). Pemanfaatan Kisah Pendirian Benteng Besi Iskandar Zulkarnain sebagai Sumber Inspirasi dalam Pembelajaran Kimia SMA/MA Konsep Sel Elektrokimia dan Pembentukan Karakter Insan Mulia (Prosiding Seminar Nasional, 2014), (4). Kimia: Seandainya Kehidupan tanpa Kimia? Jilid 1. Buku pelajaran kimia untuk siswa SMA/MA kelas X (Kementerian Agama RI, 2007), (5). Bertualang di Dunia Kimia. Buku referensi kimia untuk SMA/MA (PT. Pustaka Insan Madani, 2008), (6). Kimia Kehidupan: Model Integrasi Sains-Agama sebagai Panduan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Kimia (Deepublish, 2018), (7). Sains Kehidupan: Mengungkap Rahasia Alam untuk Membangkitkan Energi Kehidupan  (Farha Pustaka, 2020), (8). Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai (Farha Pustaka, 2020), (9), Sains dan Agama, Selaras atau Bertentangan? Book Chapter dalam buku Mengurai Konflik Agama dan Kitab Suci (Licensi, 2021), dan (10). Integration Method of Religious Character Value in Chemistry Learning (Jurnal Nasional Terakreditasi SINTA 2, 2022).

Buku yang berjudul “Sains, Agama, dan Pendidikan: Kajian Relasi Sains dan Agama dalam Bingkai Pendidikan Karakter” ini merupakan kelanjutan dari karya-karya pemikiran penulis tentang tema integrasi sains dan agama. Buku ini berasal dari kumpulan artikel-artikel tema integrasi sains, agama, dan pendidikan yang pernah penulis tulis dan sudah cukup lama tersimpan di komputer. Agar pemikiran-pemikiran penulis tentang tema integrasi sains, agama, dan pendidikan tersebut dapat lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh orang lain, maka untuk tujuan itulah buku ini disusun. Karena disiplin keilmuan penulis adalah ilmu kimia, maka topik-topik kajian sains dalam buku ini didominasi oleh topik kajian ilmu kimia.

            Penulisan buku ini bertujuan untuk menambah khasanah pemikiran tentang pengintegrasian sains dan agama, dan dikaitkan dengan pendidikan. Semakin banyak pemikiran integrasi sains dan agama dari para sarjana dan cendekiawan muslim yang dipublikasikan secara luas akan memperluas wawasan dan cara pandang masyarakat terhadap hubungan sains dan agama. Masyarakat akan semakin pintar menempatkan posisi sains dan agama dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat. Masyarakat akan terhindar dari pemikiran sempit dalam memandang suatu permasalahan.

Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat dan memberikan sumbangsih pemikiran bagi kemajuan peradaban dunia yang lebih maju, sejahtera, dan beradab. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kata sempurna, maka saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan karya tulis ini. Saran, tanggapan, masukan dan kritik membangun tentang buku ini bisa dikirimkan ke alamat elektronik penulis: anc_saputro@yahoo.co.id. Selamat membaca.

 

 _______________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

Selasa, 11 April 2023

RAMADAN: MOMENTUM KEMBALI MENJADI MANUSIA SEJATI

 


RAMADAN: MOMENTUM KEMBALI MENJADI MANUSIA SEJATI

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

A.      Pendahuluan

Dalam kehidupan ini memang banyak permasalahan yang harus kita hadapi. Kita harus memiliki semangat tinggi dan kemauan yang kuat untuk mampu menjalani kehidupan ini dengan baik. Banyaknya persoalan yang dihadapi terkadang menjadikan kita lupa bagaimana menjadi manusia. Karena kemewahan dan gemerlapan dunia yang dimilikinya, telah menjadikan manusia menjadi layaknya sebuah robot yang tidak lagi memiliki hati nurani. Kesuksesan, kekayaan, dan  ketenaran telah menggerus sisi-sisi spiritual kita menjadi makhluk yang materalistik.

Ramadan merupakan bulan yang memiliki arti penting bagi umat Islam. Di dalam bulan Ramadan, umat Islam meyakini banyak kebaikan dan keberkahannya di dalamnya. Oleh karena itu, ketika datang bulan Ramadan umat Islam di seluruh penjuru dunia akan menyambutnya dengan penuh antusias dan mempersiapkan berbagai program kegiatan yang bernilai ibadah dan  kebaikan. Umat Islam akan jor-joran melakukan berbagai amalan ibadah dan amalan kebaikan  demi mendapatkan maghfirah dan keridhaan Allah Swt.

Di dalam bulan Ramadan Allah Swt mewajibkan ibadah puasa bagi setiap orang Islam yang sudah baligh. Kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi umat Islam didasarkan pada firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

 

            Puasa Ramadan merupakan jenis ibadah yang tidak hanya berkaitan dengan aktivitas jasmani (fisik) saja, melainkan juga sangat berkaitan dengan aspek ruhani (spiritual). Ibadah puasa Ramadan tidak hanya berorientasi ke hablumminallah tetapi juga berorientasi ke hablumminannaas. Ibadah puasa Ramadan tidak hanya berkaitan dengan aspek kesalehan individual tetapi juga sangat berkaitan dengan aspek kesalehan sosial. Orang yang berpuasa Ramadan selain dituntut harus mematuhi rukun dan syarat sah puasa, juga puasanya diharapkan berdampak positif terhadap masyarakat sekitarnya.

            Muncul fenomena yang menggembirakan yang terjadi pada umat Islam ketika memasuki bulan Ramadan. Setiap memasuki bulan Ramadan, umat Islam berlomba-lomba melakukan ibadah dan amal kebaikan, seperti sholat tarawih, tadarus Al-Qur’an, sholat tahajud, sholat dhuha, kultum Ramadan, berbagi takjil dan makanan berbuka puasa, sedekah pada fakir miskin, dan lain sebagainya. Terlihat sekali bagaimana umat Islam begitu antusias dan jor-joran dalam beramal ketika berada di bulan Ramadan. Sayangnya fenomena tersebut hilang ketika berakhirnya bulan Ramadan. Seolah-olah kebiasaan berbuat kebaikan bagi sesama tersebut tidak berbekas lagi di bulan-bulan selain bulan Ramadan. Mengapa bisa terjadi fenomena tersebut? Ada apa dengan pemahaman umat Islam terhadap bulan Ramadan?

            Dalam artikel ini, munculnya fenomena umat Islam jor-joran dalam berbuat kebaikan saat berada di bulan Ramadan dan kembali seperti sebelum bulan Ramadan akan didiskusikan. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena berkaitan dengan pemahaman umum umat Islam terhadap puasa Ramadan.

 

B.       Mengenal Hakikat Manusia

            Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dengan yang lainnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda-beda suku, bangsa, ras, maupun bahasa. Tetapi walaupun berbeda-beda, manusia tetap bisa saling berinteraksi satu dengan yang lain karena pada dasarnya dirinya memang makhluk hidup yang tidak bisa hidup sendirian.

Manusia memang dibekali berbagai kemampuan untuk mampu menaklukan alam dan hidup di dunia yang penuh rintangan dan hambatan. Tetapi penting untuk disadari bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya manusia super. Manusia super hanya ada di film-film fiksi maupun dongeng-dongeng pengantar tidur. Karena manusia bukan makhluk yang serba bisa dan serba mampu, maka manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain. Dengan kata lain, setiap manusia memerlukan berhubungan dan berinteraksi satu dengan yang lain.

            Hakikat manusia memang sulit didefinisikan. Manusia adalah makhluk Tuhan yang unik dan sekaligus istimewa. Karena keunikan dan keistimewaannya tersebut, para ahli sampai mengalami kesulitan dalam mendefinisikan hakikat manusia secara memuaskan. Menurut Paula J. C. & Janet W. K., manusia merupakan makhluk yang terbuka, bebas memilih makna di dalam setiap situasi, mengemban tanggung jawab atas setiap keputusan, yang hidup secara berkelanjutan, serta turut menyusun pola hubungan antar sesama dan unggul multidimensional dengan berbagai kemungkinan (Saputro, 2020).

Dalam pandangan agama Islam, menurut Al-Qur’an terdapat empat term yang digunakan Allah Swt dalam mendeskripsikan hakikat manusia. Keempat term tentang manusia menurut Al-Qur’an adalah:

1.    Al-Basyar.

Kata al-basyar dalam Al-Quran disebut 123 kali yang umumnya bermakna “kegembiraan”. Di antaranya 36 kali digunakan untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya dan dua kali dalam pengertian hubungan seksual (QS. al-Baqarah [2]: 187). Hampir keseluruhan ayat Al-Quran yang menggunakan term al-basyar menunjuk pada anak Adam yang biasa makan, minum, dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Term al-basyar dalam ayat lainnya berkaitan dengan proses kematian. Term tersebut mengindikasikan manusia sebagai makhluk biologis (fisik) yang selalu bergantung untuk makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati. Dilihat dari aspek ini, manusia tidak berbeda dengan makhluk biologis lainnya, seperti kambing, sapi, kuda, dan lainnya (Karman, 2018: 15).

2.    Al-Insan

Kata al-Insan yang  berasal  dari  kata al-uns, dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-Insan digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara yang satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi (Syarif, 2017).

3.    Al-Naas

Kata al-Naas dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53. Kata al-Naas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya. Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Naas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-Insan. Keumuman tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Naas menunjuk manusia sebagai sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan kerusakan dan merupakan penghuni neraka, di samping iblis (Syarif, 2017).

4.     Bani Adam

Kata bani Adam ditemukan sebanyak 7 kali dan tersebar dalam 3 surat. Secara etimologi kata bani Adam menunjukkan arti pada keturunan nabi Adam as. Dalam ungkapan lain disebutkan dengan kata dzuriyat adam (Syarif, 2017).

Konsep Islam dalam Al-Quran tentang hakikat manusia berdasarkan ungkapan kata al-basyar, al-insan, al-naas, dan bani adam atau dzuriyyat adam, sebagaimana disebutkan di atas, memberikan gambaran keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai individu, sosial, budaya, dan makhluk Allah Swt. Kondisi demikian menempatkan manusia secara seimbang antara teosentris dan antroposentris (Syarif, 2017).

Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah Swt. untuk menjadi khalifah di bumi. Agar dapat menjalankan tugas ke-khalifah-annya, maka manusia diberikan bekal oleh Allah Swt. berupa nafsu dan akal. Dengan bekal nafsu, manusia memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya menjadi lebih baik, lebih nyaman, lebih sejahtera, dan lebih modern. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, manusia dapat menggunakan akalnya untuk berpikir, berkreasi, dan berinovasi untuk menemukan sains dan teknologi guna menciptakan produk-produk teknologi yang memudahkan kehidupan manusia. Dengan bekal akalnya, manusia telah mampu menciptakan berbagai teknologi maju untuk membantu riset-riset yang lebih maju lagi.

Karena memiliki nafsu dan akal lah, maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk Allah Swt yang lain. Manusia memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt., sehingga manusia diutus untuk menjadi khalifah di bumi. Nikmat Allah Swt. berupa nafsu dan akal menjadikan manusia merupakan makhluk yang unik. Keunikan manusia sampai sulit dipahami oleh manusia itu sendiri. Hingga saat ini, para ahli masih mengalami kesulitan untuk mendefinisikan hakikat manusia secara lengkap dan komprehensif. Para ahli mendefinisikan manusia secara parsial-parsial dimana definisi satu ahli tidak mampu mengakomodir definisi ahli yang lain.  Para ahli masih belum mampu merumuskan satu definisi paripurna yang mampu mendeskripsikan hakikat manusia secara lengkap.

 

C.      Manusia Sebagai Makhluk Bermasyarakat

Di antara makhluk-makhluk di dunia ini, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia dibandingkan makhluk lain ini dinyatakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin [95]: 4).

                Walaupun menjadi makhluk yang paling baik bentuknya dan paling sempurna penciptaannya, manusia tetaplah makhluk yang memiliki kelemahan. Manusia memiliki banyak kelemahan dibandingkan makhluk lain. Tetapi kelemahan yang dimiliki manusia justru mampu membuatnya menjadi makhluk yang paling beradab. Peradaban maju umat manusia dapat terwujud karena manusia berusaha mencari solusi atas segala permasalahan hidupnya. Kelemahan yang dimilikinya justru telah mendorong manusia mengenali potensi dan kemampuannya sehingga akhirnya mampu membangun peradaban yang maju dan modern. Pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia akhirnya tidak hanya bergantung pada alam, melainkan dapat terfasilitasi berkat daya pikir, kreasi, dan inovasinya yang tiada henti.

            Dalam mewujudkan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak bisa bekerja secara individual. Manusia memerlukan saling bekerjasama dan berkolaborasi. Karena setiap individu memiliki keunggulan sendiri-sendiri, maka ketika individu-individu bersatu bekerjasama dan berkolaborasi dalam satu tujuan yang sama, maka akan dihasilkan hasil yang maksimal. Sebaliknya jika tujuan tersebut dilakukan secara individu maka hasilnya pasti kurang maksimal karena setiap individu memiliki kelemahan.

            Fitrah diciptakannya manusia adalah untuk menjadi makhluk yang bermasyarakat. Manusia tercipta dengan kondisi yang berbeda-beda -berbeda suku, ras, bangsa, bahasa, warna kulit, bentuk rambut, warna bola mata, bentuk hidung, dan lain sebagainya- agar manusia saling mengenal satu sama lain. Dengan mengenal satu dengan yang lain, manusia akan berinteraksi dan akhirnya bekerjasama. Sekumpulan manusia yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama akhirnya akan membentuk unit-unit masyarakat kecil hingga unit masyarakat yang lebih besar. Semakin besar tujuan yang ingin dicapai maka semakin besar unit masyarakat yang dibentuk.

            Karena banyak memiliki kelemahan, maka manusia memerlukan kerjasama. Ikan mampu  hidup dan menyelam di samudera yang dalam, sedangkan manusia tidak mampu. Burung bisa terbang tinggi mengarungi angkasa luas sedangkan manusia tidak mampu. Cacing bisa hidup dan menembus ke dalam tanah sedangkan manusia tidak mampu. Tetapi dengan kelebihan kemampuan akal untuk berpikir, manusia mampu melakukan apa yang dilakukan oleh hewan-hewan tersebut dan bahkan melebihinya. Manusia dengan teknologi maju yang diciptakannya mampu menyelam ke dalam samudera, mampu terbang dan bergerak dengan sangat cepat di udara, dan mampu menembus ke dalam bumi. Tetapi untuk dapat menciptakan teknologi maju tersebut, manusia harus bekerjasama satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang sendirian mampu menciptakan alat atau pesawat modern. Sebuah pesawat terbang dapat diciptakan melibatkan banyak ahli seperti ahli material, ahli matematika, ahli fisika, ahli aerodinamika, ahli navigasi, ahli penerbangan, ahli bahan bakar, dan lain sebagainya. Sebuah kapal selam dapat diciptakan melibatkan banyak ahli seperti ahli material, ahli bahan bakar, ahli fisika, ahli navigasi, ahli kimia, ahli matematika, dan lain sebagainya.

            Demikianlah, kelemahan yang dimiliki oleh manusia dapat ditutupi oleh kelebihan akalnya untuk berpikir, tetapi untuk mewujudkan hasil pemikirannya menjadi produk teknologi yang bisa dipergunakan, manusia memerlukan kerjasama dan kolaborasi antar sesama yang memiliki keahlian berbeda-beda. Perbedan keahlian yang dimiliki manusia jika disatukan melalui sebuah kerjasama yang kompak dan solid akan menghasilkan hasil temuan ilmu dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Inilah fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat.

 

D.      Puasa Ramadan: Hikmah Kewajiban Berpuasa

Bulan Ramadan adalah bulan yang istimewa. Keistimewaannya bukan hanya karena bulan diturunkannya kitab suci Al-Qur’an hingga terdapatnya malam Lailatul Qadar. Tetapi, di bulan Ramadan juga terdapat ibadah yang diwajibkan untuk dilaksanakan oleh seluruh umat Islam, yaitu berpuasa, sebagaimana telah diperintahkan Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Karena keistimewaan inilah maka bulan Ramadan diyakini sebagai bulan yang penuh kemuliaan (Saputro, 2023a).

Puasa Ramadan merupakan ibadah yang diwajibkan bagi setiap orang Islam yang telah baligh selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Ibadah puasa Ramadan memiliki kedudukan yang istimewa bagi setiap orang Islam. Orang Islam memaknai puasa Ramadan sebagai jenis ibadah yang “istimewa” karena berbeda dengan ibadah-ibadah wajib lainnya. Pahala dari menjalankan ibadah puasa Ramadan tidak dinyatakan secara jelas sebagaimana ibadah yang lain, melainkan hanya dinyatakan bahwa puasa Ramadan itu untuk Allah Swt dan Allah Swt sendiri yang akan membalasnya.

Setiap tahun di bulan Ramadan umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Ibadah puasa Ramadan bukan hanya ibadah terkait aspek fisik jasmani, tetapi juga sangat berkaitan dengan aspek psikis (rohani). Banyak hikmah yang terkandung dalam perintah ibadah puasa Ramadan. Agung Nugroho Catur Saputro dalam bukunya berjudul Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa  (KBM Indonesia, 2023) menjelaskan beberapa hikmah dari puasa Ramadan, yaitu antara lain puasa sebagai sarana membangkitkan empati diri, puasa mengajarkan kejujuran, puasa membangkitkan sifat welas asih, puasa melatih sikap profesional, dan lain sebagainya (Saputro, 2023b).

Puasa Ramadan memang jenis ibadah yang unik. Ada beberapa dalil yang mendukung keunikan dari puasa Ramadan. Dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw menyatakan bahwa banyak orang yang menjalankan puasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus. Artinya, banyak orang yang menjalankan puasa Ramadan tetapi puasanya tidak diterima Allah Swt. Mereka tidak mendapatkan pahala atas puasa yang dilakukan. Mereka hanya telah menggugurkan kewajibannya untuk menjalankan puasa Ramadan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang merugi karena telah bersusah payah menjalankan puasa Ramadan tetapi tidak memperoleh fadhilah dari puasa itu sendiri. Mengapa bisa seseorang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus? Pertanyaan ini harus menjadi renungan umat Islam.

Puasa identik dengan rasa lapar dan haus. Orang yang berpuasa pasti merasakan rasa lapar dan haus. Merujuk pada firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 183 yang menyatakan tujuan diperintahkannya puasa adalah untuk menjadi orang yang bertakwa. Apakah berpuasa yang hanya menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari mampu menjadikan seseorang menjadi orang yang bertakwa? Jika hanya menahan rasa lapar dan haus selama sehari saja mampu membuat seseorang mencapai derajat muttaqin, maka muncul pertanyaan: Apakah fakir miskin dan kaum dhuafa yang mungkin tidak hanya sehari mereka  menahan rasa lapar dan haus, tetapi bahkan mungkin bisa beberapa hari, tidak lebih tinggi derajat ketakwaannya dibandingkan orang yang berpuasa? Jika orang berpuasa yang karena mampu menahan lapar dan haus sehari dibalas dengan surga, apakah fakir miskin dan orang-orang dhuafa yang mungkin kelaparan selama berhari-hari tidak lebih berhak mendapatkan surga? Secara akal sehat, jika keutamaan puasa karena menahan lapar dan haus, maka seharusnya fakir miskin dan kaun dhuafa lebih bertakwa dan lebih berhak mendapatkan surga dibandingkan orang yang puasa. Di sinilah kita umat Islam harus berpikir dan merenungkanannya.

Menurut pendapat penulis, mengapa orang yang berpuasa Ramadan bisa mendapatkan keutamaan dan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Allah Swt pastilah karena ada sesuatu yang istimewa di balik pelaksanaan ibadah puasa Ramadan.  Dengan mendasarkan pada hadis Rasulullah Saw bahwa puasa itu untuk Allah dan Allah lah yang akan membalasnya, tanpa menyebutkan balasan apa yang akan diberikan kepada orang yang berpuasa, dan juga hadis Nabi Saw yang menyatakan banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus, sudah cukup memberikan petunjuk bagi orang yang mau berpikir dan merenung bahwa rasa lapar dan haus akibat menjalankan puasa tidak memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt. Mengapa? Karena masih banyak orang lain yang lebih kelaparan dan kehausan dibandingkan orang yang berpuasa, yakni orang-orang fakir miskin dan kaum dhuafa. Jika orang berpuasa masih bisa berharap merasakan kelezatan makanan dan minuman saat waktu berbuka telah datang, maka tidaklah demikian dengan fakir miskin dan kaum dhuafa. Fakir miskin dan kaum dhuafa tidak tahu sampai kapan mereka akan merasakan kelaparan dan kehausan karena mereka memang tidak memiliki makanan untuk dimakan.

Dengan menggunakan pola pikir tersebut di atas, maka penulis berpikir bahwa yang membuat orang yang berpuasa istimewa di hadapan Allah Swt adalah bukan karena puasanya, tetapi dampak positif atau hikmah kebaikan yang muncul dari pelaksanaan ibadah puasanya. Lantas, apakah dampak positif atau hikmah kebaikan yang terkandung dalam perintah kewajiban ibadah puasa Ramadan? Inilah tugas umat Islam untuk memikirkan, merenungkan, menemukan dan melaksanakannya.

 

E.       Pengaruh Puasa Ramadan Terhadap Sifat Kemanusiaan

Puasa Ramadan mendidik umat Islam mengenali kembali sisi kemanusiaannya. Dengan melatih diri merasakan rasa kelaparan dan kehausan setiap harinya selama sebulan penuh diharapkan akan mampu membangunkan kesadaran diri bahwa betapa hidup dalam kondisi menahan lapar dan haus itu tidak menyenangkan. Merasakan lapar dan haus seharian saja sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari telah terasa sangat berat dan tidak enak, lalu bagaimana keadaan orang-orang miskin dan tidak punya yang mungkin sepanjang hari dan entah akan berapa hari mereka harus merasakan perihnya perut menahan lapar? Di sinilah umat Islam diajarkan oleh Allah Swt melalui perintah puasa Ramadan selama sebulan penuh agar memiliki rasa empati pada sesama.

Umat Islam setiap tahun selalu diingatkan melalui perintah puasa Ramadan bahwa hidup di dunia ini tidak sendirian. Hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong sesama manusia. Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk sosial yang memerlukan interaksi dan saling membantu satu sama lain. Dalam berinteraksi sesama manusia diperlukan sikap pengendalian diri agar terwujud pola interaksi dan pola kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, dan tenteram. Tanpa ada kemampuan mengendalikan diri, maka setiap orang akan mengedepankan sikap egois dan mementingkan kebutuhan pribadi, sedangkan kebutuhan bersama atau kepentingan masyarakat akan terabaikan. Jika di masyarakat orang-orang sudah hanya mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, maka dapat dipastikan kehidupan di masyarakat tersebut akan kacau dan timbul banyak permasalahan. Di sinilah kita diingatkan melalui kewajiban puasa Ramadan setiap tahun di bulan Ramadan untuk melatih diri memperkuat sikap pengendalian diri.

Sikap pengendalian diri dimulai dari pengendalian terhadap kebutuhan fa’ali yaitu kebutuhan makan, minum, dan berhubungan seksual. Kebutuhan fa’ali merupakan kebutuhan pokok manusia yang pertama. Kebutuan pokok manusia yang kedua adalah kebutuhan akan ketenteraman dan keamanan, kemudian kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan keterikatan pada kelompok. Kebutuhan pokok keempat adalah kebutuhan akan rasa penghormatan, dan kebutuhan pokok manusia yang kelima adalah kebutuhan akan pencapaian cita-cita (Shihab, 1992).

Mengapa berkaitan dengan aspek fisik jasmani, puasa Ramadan lebih ditekankan pada pengendalian terhadap kebutuhan fa’ali? Terhadap pertanyaan ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992) memberikan penjelasan karena kebutuhan fa’ali merupakan kebutuhan pokok manusia yang pertama. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan pertama, akan dengan mudah mengendalikan kebutuhan-kebutuhannya yang berada pada posisi berikutnya. Kebutuhan kedua tidak akan mendesaknya sebelum kebutuhan pertama terpenuhi. Bahkan seseorang dapat mengendalikan kebutuhan berikutnya jika kebutuhan sebelumnya belum terpenuhi.

Puasa Ramadan sebagaimana dinyatakan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 183 adalah bertujuan untuk memperoleh takwa. Tujuan tersebut dapat tercapai hanya jika kita dapat menghayati arti puasa itu sendiri. Untuk dapat memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi. Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah yang kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya dan kemudian diberikan potensi diri (kemampuan, bakat, minat) sehingga manusia layak menjadi khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi. Dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992), bahwa dalam Kitab Perjanjian Lama dan juga hadis-hadis, ditemukan bahwa Tuhan menciptakan manusia menurut “petanya”, dalam arti diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju bumi, ia (Adam) transit dulu di surga agar pengalaman yang diperolehnya di sana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di bumi. Hal ini akan mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992) menambahkan, jika ditinjau dari segi hukum puasa, maka sifat Tuhan yang diusahakan untuk diteladani oleh orang yang berpuasa adalah: (1) bahwa Dia (Tuhan) memberi makan dan tidak (diberi) makan (QS. 6: 14); dan (2) Dia (Tuhan) tidak memiliki teman wanita (istri) (QS.6: 101). Kedua hal ini terpilih untuk diteladani oleh orang yang berpuasa karena keduanya merupakan kebutuhan fa’ali manusia yang terpenting. Keberhasilan dalam mengendalikan kedua hal tersebut akan mengantarkan kepada kesuksesan dalam mengendalikan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Banyak orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan tetapi tidak memperoleh (pahala) kebaikan apa-apaun dari Allah Swt. selain hanya merasakan rasa lapar dan dahaga. Terjadinya fenomena ini telah lama dinyatakan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya. Mengapa fenomena tersebut bisa terjadi? Hal itu terjadi karena disebabkan yang bersangkutan tidak menghayati tujuan puasa yang sebenarnya, yaitu meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya yang berjumlah sembilan puluh sembilan itu. Sifat “Maha Pengampun” dan “Maha Pemaaf”, misalnya, haruslah diteladani oleh siapa saja yang berpuasa Ramadan. Demikian pula dengan sifat “Maha Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Sifat-sifat ini dituntut pula untuk diteladani sehingga rahmat dan kasih sayang terasa bagi seluruh makhluk Tuhan (Shihab, 1992).

Jika sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan puluh sembilan tersebut dapat diteladani oleh orang yang mengerjakan puasa Ramadan, maka yang bersangkutan akan mampu mewujudkan dirinya menjadi manusia sejati, yaitu manusia dengan sifat-sifat seperti peta penciptaannya, menjadi khalifah Allah di bumi dan memakmurkan bumi. Dengan mengerjakan puasa Ramadan setiap tahun dan menghayati tujuan puasa itu sendiri, maka umat Islam dapat merealisasikan tujuan penciptannya sebagai khalifatullah fi al ardhi.

 

F.      Simpulan

Puasa Ramadan merupakan jenis ibadah wajib yang memiliki makna tersendiri bagi orang Islam. Dalam perintah puasa Ramadan, Allah Swt memang tidak menyatakan secara jelas pahala yang akan didapat oleh orang yang mengerjakan puasa. Tetapi Allah Swt sebagaimana termaktum dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 menjelaskan bahwa tujuan diperintahkannya ibadah puasa Ramadan adalah agar orang-orang yang beriman menjadi orang-orang yang bertakwa.

Tujuan pembentukan menjadi orang-orang yang bertakwa (muttaqin) inilah yang menjadi keistimewaan dari ibadah puasa Ramadan. Kata muttaqin memiliki makna yang mendalam karena merujuk kepada sebuah sikap kepatuhan pada perintah Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian karena puasa Ramadan dikatakan dapat membentuk seseorang meencapai derajat muttaqin, maka tentulah dalam perintah ibadah puasa Ramadan terkandung pesan tersirat yang sangat penting dan sangat istimewa dalam pandangan Allah Swt. Pastilah pelaksanaan ibadah puasa Ramadan tidak hanya berkaitan dengan aspek kebutuhan jasmani individual seperti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan seksual di siang hari., tetapi pasti juga merujuk ke aspek yang lebih luas yang menyangkut kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Perintah puasa Ramadan dengan tujuan yang begitu mulianya pastilah terkandung pesan agar orang yang berpuasa kembali menjadi sosok manusia sejati. Sosok manusia yang benar-benar bersifat dan bersikap layaknya manusia dengan segala kelebihan dan keistimewaannya di mata Allah Swt. Sosok manusia yang memiliki sifat kemanusiaan dan cinta pada sesama. Karena kesibukan dengan urusan pemenuhan kebutuhan duniawi terkadang membuat manusia melupakan jati dirinya sebagai makhluk bermasyarakat. Nah, puasa Ramadan dengan misi mengembalikan manusia kembali ke jati dirinya sebagaimana peta penciptaannya melalui hikmah menahan rasa lapar dan haus. Jadi ibadah puasa Ramadan merupakan jenis ibadah yang membawa misi kemanusiaan, yakni mengajarkan umat Islam mengenali hakikat dirinya sebagai manusia yang meneladani sifat-sifat Tuhannya. Wallahu a’lam bish shawab. []

 

Referensi

Karman, K. (2018). Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Saputro, A. N. C. (2020, September 12). Pendidikan Sebagai Sarana Aktuallisasi Fitrah Manusia. Retrieved March 25, 2023, from Agung Nugroho Catur Saputro website: https://sharing-literasi.blogspot.com/2020/09/pendidikan-sebagai-sarana-aktualisasi.html

Saputro, A. N. C. (2023a). Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa: Mencari Mutiara Hikmah Dibalik Kemuliaan Bulan Ramadan. Yogyakarta: KBM Indonesia.

Saputro, A. N. C. (2023b, February 23). Ramadan Bulan Perbaikan Diri. Retrieved March 27, 2023, from Sahabat Pena Kita website: https://sahabatpenakita.id/ramadan-bulan-perbaikan-diri/

Shihab, M. Q. (1992). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.

Syarif, M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 2(2), 135–147. doi: 10.25299/althariqah.2017.vol2(2).1042

 

 

________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta : KBM Indonesia, 2022), Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa (Yogyakarta : KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.


Postingan Populer