Oleh
:
Agung
Nugroho Catur Saputro
Manusia adalah makhluk
yang mendapatkan karunia keistimewaan dari Allah swt. Keistimewaan tersebut menyebabkan
manusia memiliki derajat kemuliaan melebihi makhluk ciptaan Allah lainnya. Tidakkah
kita bangga dengan keistimewaan ini? Lantas, apa sih keistimewaan kita sehingga
kita bisa lebih mulia dibandingkan makhluk lainnya? Apa yang harus kita lakukan
agar keistimewaan kita tersebut mampu menjadi sarana tercapainya tujuan dari
penciptaan manusia di dunia ini? Untuk mengetahui apa keistimewaan yang
dimiliki manusia, kita harus terlebih dahulu mengetahui bagaimana pandangan
Allah terhadap manusia. Kita perlu merujuk kepada Al-Quran- kitab suci yang
berisi firman-firman Allah swt- tentang bagaimana konsep manusia dalam
Al-Quran.
Sebelum
kita melihat pandangan Al-Quran tentang konsep manusia, marilah terlebih dahulu
kita lihat beberapa pendapat dari para ahli tentang manusia. Menurut Paula J.
C. & Janet W. K., manusia merupakan makhluk yang terbuka, bebas memilih
makna di dalam setiap situasi, mengemban tanggung jawab atas setiap keputusan,
yang hidup secara berkelanjutan, serta turut menyusun pola hubungan antar
sesama dan unggul multidimensional dengan berbagai kemungkinan. Omar
Mohammad Al-Toumi Al- Syaibany memberikan definisi manusia adalah makhluk yang mulia. Manusia merupakan makhluk
yang mampu berpikir, dan manusia merupakan makhluk 3 dimensi (yang terdiri dari
badan, ruh, dan kemampuan berpikir/akal). Manusia di dalam proses tumbuh
kembangnya dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu faktor keturunan dan faktor
lingkungan. Sedangkan menurut I Wayan Warta, manuisa merupakan makhluk
yang dinamis yang menganut trias dinamika yaitu cipta, karsa, dan rasa (https://pengertiandefinisi.com/pengertian-manusia-menurut-para-ahli/).
Dari beberapa pendapat ahli
di atas, terlihat bahwa para ahli memiliki definisi yang berbeda-beda tentang
manusia. Hanya ada satu persamaan pada definisi-definisi tersebut, yaitu bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan berpikir. Mengapa para ahli
terkesan kesulitan dalam mendefinisikan tentang manusia? Karena manusia memang
memiliki pribadi yang unik dan hakikat manusia sendiri sulit dimengerti oleh
manusia. Alexis Carrel (1873-1944), dokter ahli Bedah Perancis, seorang peletak
dasar humaniora, menjelaskan tentang kesulitan yang dihadapi dalam menyelidiki
hakikat manusia. Ia, dalam bukunya berjudul L’homme,
cet inconnu, edisi Arabnya berjudul al-Insan
Zalika al-Majhul (Misteri Manusia), menjelaskan bahwa manusia memang makhluk
misterius karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik
dengan perhatiannya yang sedemikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar
dirinya (Karman, 2018 : 13). Carrel (1987) mengemukakan faktor-faktor yang
menjadikan pengetahuan manusia tentang hakikat manusia terbatas dibanding dengan
pengetahuannya dalam bidang-bidang lain. Pertama,
pembahasan manusia terlambat dilakukan karena mulanya perhatian manusia hanya terfokus
pada penelitian tentang materi. Kedua,
ciri khas akal manusia yang lebih cenderung untuk memikirkan hal-hal yang tidak
kompleks. Ketiga, kompleksitas dan
keunikan masalah manusia. Ketika beragam upaya memahami hakikat manusia mengalami
kemandekan dan tumbuh kesadaran manusia terhadap keterbatasannya, manusia
kemudian mencoba mengenal dirinya melalui pendekatan agama (Karman, 2018 : 14).
Sekarang mari kita
lihat bagaimana Al-Quran memandang manusia. Menurut M. Karman (2018) dalam
bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan,
ada tiga kata kunci untuk memahami manusia secara komprehensif, baik dirinya
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, yaitu term al-basyar, al-insan, dan Banu
Adam. Pertama, term al-basyar. Term al-basyar
dalam Al-Quran disebut 123 kali yang umumnya bermakna “kegembiraan”. Di antaranya
36 kali digunakan untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriahnya dan dua
kali dalam pengertian hubungan seksual (QS. al-Baqarah [2] : 187). Hampir keseluruhan
ayat Al-Quran yang menggunakan term
al-basyar menunjuk pada anak Adam yang biasa makan, minum, dan berjalan di
pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan.
Term al-basyar dalam ayat lainnya
berkaitan dengan proses kematian. Term
tersebut mengindikasikan manusia sebagai makhluk biologis (fisik) yang selalu
bergantung untuk makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati. Dilihat dari
aspek ini, manusia tidak berbeda dengan makhluk biologis lainnya, seperti
kambing, sapi, kuda, dan lainnya (Karman, 2018 : 15).
Kedua term al-insan. Term
al-insan yang ditunjuk dengan al-naas (jamak dari al-insan) bertujuan untuk menyatakan ada kelompok manusia atau
masyarakat yang memiliki berbagai aktivitas dalam kehidupannya. Misalnya aktivitas
manusia dalam bidang peternakan (QS. al-Qashash [28] : 23), bidang pelayaran
(QS. al-Baqarah [2] : 124), bidang pengolahan besi (QS. al-Hadid [57] : 25). Term al-Insan yang dihubungkan dengan al-ins menjelaskan tentang kemampuan
manusia menembus ruang angkasa (QS. al-Rahman [55] : 33), menjelaskan tentang
tantangan untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Quran (QS. al-Isra [17] :
88). Sementara itu, term al-insan yang
dihubungkan dengan term unisi
menjelaskan tentang pengetahuan manusia mengenai air minumnya (QS. al-A’raf [7]
: 160) dan menjelaskan kemampuan dalam memimpin (QS. al-Isra’ [17] : 71). Berdasarkan
petunjuk ayat-ayat tersebut, manusia dalam konteks al-insan menunjuk pada makhluk yang berakal, yang berperan sebagai
subjek kebudayaan. Manusia sebagai al-insan
menunjuk pula makhluk yang berpotensi ruhani, seperti fitrah (QS. al-Rum [30] :
30), qalbu (QS. al-Hajj [22] : 46), akal (QS. ‘ali ‘Imran [3] : 190-191). Potensi-potensi
inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabat dan
kedudukannya dibanding makhluk Allah lainnya (QS. al-Isra’ [17] : 70) (Karman,
2018 : 20-21).
Ketiga term Banu Adam.
Term Banu Adam dan dzurriyah Adam memiliki kaitan dengan term Adam, sebuah nama, proper name, dari manusia yang
diciptakan Tuhan dan mendapatkan penghormatan dari makhluk lainnya, seperti
malaikat, berdasarkan firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 34. Kedua istilah
ini, walaupun memiliki arti “keturunan”, tetapi berbeda konotasi. Tem banu diartikan “sesuatu yang lahir dari
sesuatu yang lain”, sedangkan term dzuriyyah
diartikan “kehalusan” dan “tersebar”. Kedua term tersebut ketika disandarkan pada term Adam memberi kesan kesejarahan dan konsep manusia, sekaligus
menunjukkan bahwa manusia itu satu asal (Karman, 2018 : 21). M. Karman (2018 :
22) menambahkan penjelasannya. Menarik untuk dicermati bahwa manusia yang
disebut dengan al-basyar menunjuk
manusia sebagai makhluk biologis, disebut dengan al-insan menunjuk manusia
sebagai makhluk psikis, sementara
manusia disebut dengan banu Adam
menunjuk manusia sebagai makhluk genealogis, yakni makhluk yang berasal-usul
jelas dan berhubungan darah yang jelas.
Sedangkan Syahidin
(2009) dalam bukunya Menelusuri Metode
Pendidikan dalam Al-Quran menjelaskan bahwa menurut Al-Quran, manusia adalah makhluk ciptaan Allah swt yang diberi
akal dan hati. Akal berfungsi untuk berfikir, dan hati berfungsi untuk merasa. Karena
kedua nikmat Allah inilah, manusia memiliki kecenderungan untuk meyakini adanya
Allah swt dan mentaati segala perintah-Nya guna memperoleh kebahagiaan hakiki
di dunia dan akhirat. Akal dan hati inilah yang menjadi fitrah manusia. Allah
swt mengkaruniakan nikmat akal dan hati sebagai potensi diri setiap manusia
yang dapat dikembangkan. Melalui bekal akal dan hati inilah manusia diharapkan
dapat mengemban tugas sebagai pengelola bumi (khalifatullah fi al ardh) (Syahidin, 2009 : 45).
Melalui nikmat akal dan
hati, manusia diharapkan dapat menyempurnakan ibadahnya kepada Allah swt. Ibadah
dalam makna melaksanakan semua perintah dan yang disukai-Nya dan menjauhi
segala larangannya maupun yang tidak disukai-Nya. Allah menyukai kebaikan dan manfaat
kepada orang lain, sedangkan yang tidak disukai Allah adalah kemaksiatan dan kedhaliman.
Oleh karena itu, dengan akal untuk berpikir dan hati untuk merasa, manusia
diharapkan mampu mengenali mana yang termasuk perbuatan kebaikan dan mana yang termasuk
kemaksiatan. Dengan menggunakan nikmat akal dan hati dengan maksimal, akan
mampu membentuk manusia yang sempurna (insan
kamil) dan berakhlak mulia (akhlakul
karimah).
Kemuliaan dan
keistimewaan manusia yang merupakan fitrahnya adalah terletak pada sejauh mana manusia
mampu mengembangkan potensinya, yaitu sebagai makhluk yang dapat dididik dan
mendidik (makhkuk paedagogik). Ini merupakan potensi dasar manusia (Syahidin,
2009 : 47). Melalui pendidikan lah manusia mampu mewujudkan fitrah
kemanusiaanya sebagai makhluk yang berakal dan berhati. Pendidikan adalah jalan
atau sarana manusia mempertahankan fitrahnya dan mengembangkan potensi diri
yang dititipkan Tuhan pada dirinya. Syahidin (2009 : 47) menyatakan bahwa fitrah
manusia dalam bentuk potensi diri tidak akan pernah berubah untuk selamanya, dalam
arti bahwa nilai kemanusiaan yang hakiki adalah mampu berpikir, merasa, dan
bertindak; dan kemampuan tersebut akan selalu berkembang. Pikiran, perasaan dan
kemampuan untuk berbuat sesuatu merupakan komponen dari fitrah manusia. Fitrah inilah
yang membedakan manusia dari makhluk lainnya dan fitrah ini pulalah yang
membuat manusia itu lebih mulia disbanding makhluk lainnya.
Dalam QS. adz-Dzariyat [51]
: 56, kita dapat mengetahui bahwa tujuan manusia diciptakan adalah untuk
beribadah kepada-Nya. Nah, untuk melaksanakan ibadah kepada Allah swt, manusia
dibekali potensi dapat dididik dan dapat pula mendidik orang lain. Manusia adalah
makhluk Allah swt yang bersifat paedagogik atau manusia adalah makhluk
paedagogik. Artinya, setiap manusia yang terlahir ke dunia ini dapat
dikembangkan, dibina, dan diarahkan kecenderungan pilihannya kepada yang
terbaik untuk dirinya. Karena potensi itulah manusia diangkat sebagai khalifah
di muka bumi, menjadi pendukung dan pengembang kebudayaan. Setiap manusai
dilengkapi dengan fitrah Allah swt, berupa suatu wadah yang dapat diisi dengan
berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk yang mulia (Syahidin, 2009 : 46).
Melalui proses
pendidikan, peserta didik belajar mengenali, mengeksplorasi, dan mengembangkan
potensi dalam dirinya. Dengan mengikuti proses pendidikan inilah setiap manusia
(peserta didik) mampu mengarahkan dirinya dengan bantuan pendidik untuk meraih
hasil belajar yang diinginkan. Hal ini sesuai pendapat John A. Laska (1976)
dalam buku Schooling and Education :
Basic Concept and Problems yang mendefinsikan pendidikan sebagai “Upaya
sengaja yang dilakukan pelajar atau (yang disertai) orang lainnya untuk
mengontrol (atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan mengelola) situasi
belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan”. Dengan demikian, kita
sepakat bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah untuk membantu setiap
peserta didik menemukan fitrahnya masing-masing, yaitu mengenali dan
mengembangkan potensi diri dan minat bakat yang dimilikinya sebagai bekal dari
sang Khalik untuk mendukung perannya
sebagai khalifah di bumi.
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat kita pahami bahwa peranan pendidik dalam proses pendidikan adalah
memberikan lingkungan yang kondusif dan lingkungan pendidikan yang mendukung
proses penemuan fitrah dari setiap peserta didik. Atas dasar pemikiran ini,
maka peranan pendidik menempati posisi yang istimewa karena dapat dikatakan
menjadi agen aktualisasi fitrah peserta didik yang membantu terealisasikannya
proses penemuan dan pengembangan fitrah setiap peserta didik. Sungguh, sebuah kedudukan
yang sangat mulia dan istimewa yang dimiliki oleh setiap pendidik. Wallahu a’lam bish shawab. []
Gumpang Baru, 12 September 2020
-----------------------------------------------------------
*) Penulis adalah staff pengajar di
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Peraih
Juara 1 Nasional bidang kimia pada lomba penulisan buku pelajaran di Kemenag RI
(2007), penulis buku tersertifikasi BNSP, penulis dan pegiat literasi yang
telah menerbitkan 30 judul buku, dan konsultan penerbitan buku pelajaran bidang
kimia dan IPA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar