Powered By Blogger

Selasa, 22 September 2020

MEMBANGUN KEMBALI KEHORMATAN DAN KEMULIAAN DIRI : Belajar Filosofi Kehidupan dari Hadist “Al hayaau minal iimaan” Versi Orang Jawa

 


Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

Dalam suatu hadits, Rasulullah Saw pernah bersabda, “Al hayaau minal iimaan” (HR. Muttafaq ‘alaih) yang artinya “malu itu sebagian dari iman”. Hadits ini sepintas kelihatan agak aneh dan tidak masuk akal, masak rasa malu itu sebagian dari indikator keimanan seseorang. Iman itu tentang keyakinan seseorang pada Tuhannya sedangkan malu itu sangat berkaitan dengan menutupi aib. Lantas apa hubungannya antara  menutupi aib dengan keimanan? Di sinilah hebatnya orang-orang zaman dahulu dalam menerjemahkan maksud hadis tersebut dengan redaksional berbeda yang akhirnya menjadi tradisi di kehidupan masyarakat. 

Misalnya yang penulis ketahui di suku Jawa dikenal cara orang tua melarang anak-anaknya dari melakukan tindakan yang melanggar ajaran agama maupun norma-norma sosial dengan menggunakan kata-kata kiasan yang halus tetapi bermaksud melarang. Kata-kata yang digunakan orang Jawa untuk melarang misalnya seperti kata “saru”, “ora ilok” yang bermakna tidak pantas. Untuk mencegah anak dari melakukan suatu tindakan yang akan dapat menurunkan kehormatan dan martabatnya, para orang tua Jawa zaman dulu menggunakan kata yang bermakna tidak pantas, bukan kata jangan atau nanti dihukum, atau nanti dosa, dll. Di sini lah letak kehalusan dan ketinggian bahasa Jawa. Fenomena penggunaan kata-kata kiasan tersebut juga menunjukkan kalau orang-orang Jawa zaman dulu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama. 

Orang-orang masyarakat Jawa dulu lebih senang mencegah seseorang dari melakukan tindakan tidak baik (menurut agama maupun norma sosial) dengan menggunakan kata-kata kiasan yang lebih halus. Orang Jawa dulu terkenal dengan ajaran-ajaran filosofinya yang sangat tinggi maknanya sehingga segala sesuatu digunakan bahasa kiasan yang memiliki makna luhur. Kata-kata kiasan yang mengandung makna keluhuran budi pekerti tersebut digunakan bukan untuk mencegah orang menjadi jahat (melanggar aturan agama dan norma sosial), tetapi lebih digunakan untuk mendorong orang melindungi dan menjaga kehormatan dan martabatnya. Artinya orang Jawa menggunakan kata-kata kiasan untuk melarang justru bertujuan untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang saling berlomba-lomba menjadi baik, masyarakat yang terdiri atas pribadi-pribadi yang berbudi pekerti luhur (akhlakul karimah). 

Masyarakat Jawa dulu lebih mengutamakan pembentukan budi pekerti yang luhur (akhlakul karimah) yang merupakan inti sari dari ajaran agama Islam dibandingkan sekedar melarang orang berbuat keburukan. Dalam agama Islam kita ingat salah satu hadis Rasulullah Saw yang artinya, “Sesungguhnya tidaklah Aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Baihaqi). Rasulullah Saw diutus menyebarkan agama Islam di dunia ini tujuannya adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak. Jadi pembentukan akhlakul karimah merupakan inti dan tujuan utama dari ajaran Islam. Sudah sepantasnya setiap umat Islam mentauladani rasulullah Saw dengan memiliki akhlakul karimah (budi pekerti yang luhur).  Kemuliaan dan keagungan akhlak rasulullah Saw bahkan dipuji oleh Allah Swt dalam sebuah ayat yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS Al-Qalam: 4). Di surat lain juga dinyatakan tentang ketauladanan akhlak rasulullah Saw : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab: 21). 

Seseorang jika telah memiliki akhlakul karimah (budi pekerti yang luhur), maka di manapun dan kondisi apapun dia berada akan selalu berperilaku baik dan sopan serta tidak akan melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Ia akan selalu berusaha menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai orang baik dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar norma agama maupun norma sosial, walaupun dalam kondisi tidak ada seorang pun yang melihat. Seseorang tidak akan melakukan tindakan mencuri (walau tidak ada yang melihat) bukan karena takut ketahuan dan dihukum, tetapi lebih untuk menjaga dirinya tetap memiliki kehormatan dan kemuliaan di mata Tuhan dan pandangan masyarakatnya. Pendekatan seperti ini akan mampu menciptakan tatanan kehidupan yang aman, tenteram, saling menghormati, toleransi, dan saling melindungi (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur). 

Ajaran agama dan norma-norma sosial di masyarakat dibuat bukan untuk mencegah atau melarang orang berbuat keburukan dan kejahatan, tetapi bertujuan untuk membentuk orang memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti luhur). Dalam berinteraksi dengan sesama manusia diperlukan akhlak yang mulia (budi pekerti luhur), dalam berperilaku diperlukan adab (sopan santun), dan dalam menjalani kehidupan diperlukan kemuliaan dan kehormatan diri. Kehormatan diri dan wibawa inilah yang akan menempatkan seseorang berada pada tingkat yang tinggi dalam tatanan kemasyarakatan. Kemuliaan dan kehormatan diri ini tidak dapat dibangun dari harta kekayaan, tetapi harus dibangun dari akhlak yang baik dan perilaku yang beradab. Jadi akhlakul karimah (budi pekerti luhur) dan adab (sopan santun) perlu ditanamkan ke setiap orang sejak masih kecil agar kelak ketika besar menjadi habit (kebiasaan). 

Pembentukan karakter baik (memiliki akhlakul karimah dan beradab) perlu dilatihkan ke anak sejak kecil, terus-menerus dan kontinyu serta didukung lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang kondusif sangat berpengaruh dalam mendukung pembentukan karakter yang baik pada diri setiap anak. Oleh karena itu, pemberian suri tauladan yang baik dari orang-orang sekitar anak (orang tua dan keluarga) menjadi sangat penting untuk diusahakan. Maka jika ada orang tua menginginkan memiliki anak-anak yang shaleh shalehah, ber-akhlakul karimah dan memiliki adab yang tinggi, maka mulai lah dari diri orang tuanya. Anak yang sehari-harinya hidup dan tinggal di lingkungan keluarga yang ber-akhlakul karimah dan diwarnai adab yang baik, maka dengan sendirinya anak akan mencontoh apa yang dilihat di sekitarnya. Keluarga merupakan madrasah (sekolah) pertama bagi anak, maka mari kita ciptakan madrasah-madrasah yang baik di awal kehidupan  setiap anak. Sebelum anak memasuki lingkungan madrasah (sekolah) formal, kenalkan anak terlebih dahulu dengan lingkungan madarasah (sekolah) pertamanya di keluarga yang diwarnai dengan akhalkul karimah dan adab kesopanan. WaAllahu a’lam. []

 

Sumber artikel :

Agung Nugroho Catur Saputro. (2018). Muhasabah : Menemukan [kembali] Nilai-nilai Kemuliaan Diri yang Hilang. Jombang : Penerbit Kun Fayakun

Tidak ada komentar:

Postingan Populer