Masih
ingatkah kita tentang ciri-ciri reaksi kimia? Ya benar, ada empat indikator
telah berlangsungnya reaksi kimia. Apakah empat indikator terjadinya reaksi
kimia tersebut? Indikator pertama terjadinya
reaksi kimia adalah munculnya perubahan warna. Jika kita mencampurkan dua
larutan dan setelah kedua larutan tercampur ternyata terjadi perubahan warna,
maka itu menunjukkan telah terjadi reaksi kimia yang menghasilkan produk berupa
senyawa berwarna. Contoh reaksi larutan kalium kromat (kuning) dengan larutan
asam klorida menghasilkan warna jingga.
Indikator
kedua adalah pembentukan gas. Terbentuknya gas dari pencampuran zat-zat bukan
gas menunjukkan telah terjadi reaksi kimia. Munculnya bau dari suatu larutan
juga mengindikasikan telah terjadi reaksi kimia dan dihasilkan produk senyawa
gas. Contoh reaksi yang menghasilkan gas adalah reaksi antara logam magnesium
dengan larutan asam klorida.
Indikator terjadinya
reaksi kimia yang ketiga adalah terbentuknya endapan. Terbentuknya endapan dari
pencampuran dua larutan mengindikasikan telah terjadi reaksi kimia. Contoh
reaksi antara larutan perak nitrat dengan larutan natrium klorida yang
menghasilkan endapan putih.
Indikator
yang keempat adalah terjadinya perubahan temperatur. Semakin panas atau
dinginnya campuran dua zat mengindikasikan telah terjadi reaksi kimia. Reaksi
kimia yang menghasilkan kalor (panas) disebut reaksi "eksoterm"
sedangkan reaksi yang menyerap kalor (ditunjukkan larutan menjadi lebih dingin)
dinamakan reaksi "endoterm". Contoh reaksi antara larutan natrium
hidroksida dengan larutan asam klorida menghasilkan larutan yang terasa hangat.
Indikator-indikator
terjadinya reaksi kimia ternyata ada hubungannya dengan syarat suatu air dapat
digunakan untuk bersuci (thoharoh). Jika ada air suci dan mensucikan kecampuran
sedikit najis, bagaimana hukum air tersebut? Terkait permasalahan agama ini,
ada perbedaan pendapat antar ulama. Ada ulama yang menyatakan bahwa jika airnya
sedikit maka menjadi najis walaupun tidak berubah rasa, warna dan baunya
sehingga tidak boleh untuk thoharoh. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah
imam Hanafi, imam Syafi'i dan imam Hambali. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jika air
tersebut tidak berubah rasanya, warnanya dan baunya, maka air tersebut tetap
bersifat suci dan dapat digunakan untuk thoharoh. Ulama yang mendukung pendapat
kedua ini adalah ibnu abbas, abu hurairah, hasan basri, imam maliki, dll.
Berdasarkan
dua pendapat tersebut, ada benang merah penghubung antar kedua pendapat, yaitu
keduanya menyatakan jika air itu tidak berubah rasa, warna dan bau, maka status
air tersebut suci dan dapat digunakan untuk bersuci. Pendapat pertama
menganggap najis jika airnya sedikit, tetapi jika airnya banyak maka tetap suci
(ukuran banyaknya air tidak dibahas di sini). Lantas apa kaitan kasus tersebut
dengan kimia?
Pada
kasus air suci kecampuran sedikit najis, kedua pendapat ulama pada dasarnya
sama, yaitu mensyaratkan bahwa air tetap suci jika tidak berubah rasa, warna
dan baunya. Nah, parameter rasa, warna dan bau ini sebenarnya parameter
terjadinya reaksi kimia.
Jika ada suatu air yang
tidak berubah rasanya, warnanya, dan baunya, maka hal itu menunjukkan bahwa
dalam air tersebut tidak terjadi reaksi kimia yang menghasilkan senyawa baru.
Tidak berubah rasa menunjukkan tidak dalam air tidak terbentuk senyawa lain
yang rasanya berbeda dengan rasa air. Tidak berubah warna menunjukkan tidak
terjadi reaksi kimia yang menghasilkan senyawa berwarna. Tidak berubah baunya
menunjukkan tidak terjadi reaksi kimia yang menghasilkan gas. Dari ketiga
parameter air suci tersebut, jika ketiganya tidak muncul mengandung arti bahwa
dalam air tersebut memang benar-benar air murni yang tidak mengandung zat yang
bersifat najis atau mengandung zat najis tetapi konsentrasinya sangat kecil
sekali sehingga tidak mempengaruhi derajat kesucian air. WaAllahu a'lam. []
Sumber Artikel :
Agung Nugroho
Catur Saputro. (2018). Kimia Kehidupan.
Yogyakarta : Deepublish.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar