Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
*Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret
**Mahasiswa S3 Pendidikan Kimia PPs Universitas Negeri Yogyakarta
A.
Pendahuluan
Kimia merupakan salah
satu ilmu sains yang fokus mengkaji tentang materi. Bahan kajian ilmu kimia
meliputi kajian tentang struktur, komposisi, sifat dan perubahan materi
serta perubahan energi yang menyertai
perubahan materi. Kimia mempelajari bangun (struktur) materi dan
perubahan-perubahan yang dialami materi dalam proses-proses alamiah maupun
dalam eksperimen yang direncanakan
Dalam pendidikan,
pemikiran keterpaduan (integrasi) antara ilmu kimia dan nilai-nilai spiritual
seyogyanya diimplementasikan dalam proses pembelajaran mata pelajaran kimia.
Oleh karena itu, pembelajaran kimia selain mengajarkan konten kimia seharusnya
juga mengajarkan tentang nilai-nilai spiritual (ketauhidan). Tetapi pada
kenyataannya, masih sedikit pendidik (guru atau dosen) yang ketika mengajar
kimia mengintegrasikan pembelajarannya dengan nilai-nilai spiritual. Fenomena
ini menunjukkan adanya permasalahan dalam dunia pendidikan kita, khususnya
bidang pembelajaran sains.
Adanya fenomena
dekadensi moral di kalangan remaja usia sekolah, seperti tawuran antarpelajar,
kekerasan pada sesame siswa, tindakan asusila, pergaulan bebas, dan lain-lain
diduga kemungkinan juga ada kaitannya dengan pendidikan karakter (khususnya
karakter religius) yang belum berhasil. Walaupun program pendidikan karakter
telah lama diimplementasikan dalam
pendidikan, tetapi ternyata hasilnya belum terlihat signifikan. Menurut hasil
penelitian
Ilmu sains, khususnya
ilmu kimia merupakan bidang ilmu yang sebenarnya sangat dekat dengan nilai-nilai spiritual dan mudah
diintegrasikannya dalam pembelajaran mata pelajaran. Tetapi karena
ketidaktahuan pendidik bagaimana cara mengintegrasikannya dalam proses
pembelajaran mata pelajaran, maka hal itu dianggap sulit dan tidak banyak
pendidik yang melakukannya. Apalagi didukung dengan belum banyaknya para
pendidik yang sadar bahwa tugas mereka tidak hanya menghasilkan peserta didik
yang pandai mata pelajaran, tetapi juga harus mampu menghasilkan peserta didik
yang mengenal Tuhannya, peserta didik yang menyadari keberadaan Sang Pencipta
alam semesta, dan peserta didik yang memiliki akhlak/perilaku/karakter yang
mulia.
B.
Mendisain
Ulang Tujuan Pembelajaran Kimia
Kurikulum 2013 yang diterapkan secara resmi oleh
pemerintah (Kemendikbud RI) bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia
agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan peradaban dunia
Pada pasal 31 ayat (3)
UUD 1945 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penjelasan lebih lanjut dari pasal 31
tersebut tercantum dalam UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) pasal 3
menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan dan
fungsi pendidikan nasional, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan di
Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang beriman kepada Tuhan yang
maha Esa. Apabila dicermati lebih dalam, dari semua tujuan pendidikan, yang
merupakan tujuan paling penting dan menaungi yang lainnya adalah iman dan taqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dipahami selain urutan penyebutannya
dalam Undang-Undang lebih awal juga karena tanpa iman dan taqwa, pencapaian
tujuan pendidikan yang lain tidak akan membawa kebaikan bagi umat manusia di
dunia apalagi di akhirat. Bahkan akhlak mulia (akhlakul karimah) hanya akan
terwujud jika ada iman dan taqwa (Darmana, 2014).
Dalam dokumen kurikum 2013, rumusan kompetensi sikap
spiritual adalah “Menghayati dan
mengamalkan ajaran agama yang dianutnya”. Kompetensi tersebut dicapai melalui
pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan,
dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran serta
kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan kompetensi
sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung dan dapat digunakan
sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih
lanjut.
Seiring dengan tujuan pertama dari
pendidikan nasional dan kurikulum 2013, maka pembelajaran kimia seharusnya juga
tidak berbeda jauh, yaitu mencetak peserta didik yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menguasai konsep-konsep kimia. Untuk mewujudkan
tujuan ini, maka pembelajaran kimia di sekolah harus didesain dan
diintegrasikan dengan nilai-nilai spiritual (religius). Langkah pertama untuk
mendesain pembelajaran kimia yang berbasis spiritual adalah dengan mengubah
paradigma pemikiran tentang pembelajaran kimia. Paradigma berpikir yang selama
ini digunakan para pendidik adalah “Chemistry
through education” atau mengajarkan kimia melalui pendidikan. Paradigma
pemikiran seperti ini hanya menganggap kimia sebagai objek pembelajaran saja
atau kimia sebagai konten yang menjadi fokus pembelajaran. Kelemahan dari
paradigma berpikir seperti ini adalah pembelajaran kimia tidak memberikan
dampak apapun terhadap pembentukan sikap dan karakter pada peserta didik karena
kimia dipelajari hanya sebagai objek pelajaran saja. Pembelajaran kimia yang
mendasarkan pada paradigma berpikir seperti ini tidak mampu menghadirkan kimia
sebagai media pendidikan karakter, khususnya karakter religius.
Berdasarkan kelemahan
paradigma “Chemistry through education”
di atas, maka sudah waktunya paradigma tersebut diubah dan diganti dengan
paradigma “Education through chemistry”
atau pendidikan melalui kimia. Apakah perbedaan makna antara paradigma
‘chemistry through education’ dengan ‘education through chemistry’ dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel
6.1.
Perbandingan Paradigma “Chemistry through
education” dan “Education through
chemistry”
Chemistry Through Education |
Education Through Chemistry |
§ Mempelajari
pengetahuan dasar kimia, konsep, teori dan hukum |
§ Mempelajari
pengetahuan kimia dan konsep yang penting untuk memahami dan menghargai
masalah sosio-saintifik dalam masyarakat. |
§ Melakukan
proses kimia melalui pembelajaran inkuiri. |
§ Melakukan
penelitian ilmiah pemecahan masalah untuk lebih memahami latar belakang kimia
yang berkaitan dengan masalah sosio-saintifik dalam masyarakat. |
§ Mendapatkan
apresiasi dari sifat ilmu. |
§ Mendapatkan
apresiasi dari sifat ilmu. |
§ Melakukan
kerja praktis dan hargai karya para ilmuwan. |
§ Mengembangkan
keterampilan pribadi terkait kreativitas, inisiatif, kerja aman, dll. |
§ Mengembangkan
sikap positif terhadap kimia dan ilmuwan. |
§ Mengembangkan
sikap positif terhadap kimia sebagai komponen utama dalam mengembangkan
masyarakat dan usaha keras ilmiah. |
§ Mendapatkan
keterampilan komunikatif yang terkait dengan lisan, tertulis dan simbolis /
tabular / format grafis. |
§ Mendapatkan
keterampilan komunikatif yang terkait dengan lisan, tertulis dan simbolis /
tabular / format grafis. |
§ Melakukan
pengambilan keputusan dalam menanggulangi masalah ilmiah. |
§ Melakukan
pengambilan keputusan secara sosio-saintifik
terkait dengan masalah yang timbul dari masyarakat. |
§ Menerapkan
penggunaan kimia ke masyarakat dan menghargai masalah etika yang dihadapi
oleh para ilmuwan. |
§ Membangkan
nilai-nilai sosial yang terkait dengan menjadi warga negara yang bertanggung
jawab dan melakukan karir yang berhubungan dengan kimia. |
“Chemistry through education” merupakan
paradigma pembelajaran kimia yang lama, sedangkan “Education through chemistry” merupakan paradigma baru yang sedang trend sekarang. Paradigma “Chemistry through education” mengandung
makna bahwa kimia adalah objek yang diajarkan dan pendidikan sebagai sarana
mengajarkan. Di sini fungsi kimia hanya sebatas objek, kimia hanya sebagai objek
pembelajaran, tidak ada fungsi lain selain objek yang dipelajari. Sementara
itu, paradigma “Education through
chemistry” sangat berbeda sekali
dengan paradigma sebelumnya. Dalam paradigma yang baru ini, peran kimia bukan
sebagai objek kajian, tetapi justru sebagai sarana atau media untuk mendidik.
Pendidikan di sini justru yang menjadi objek pembelajaran. Jadi kalau
diungkapkan dengan kalimat redaksional yang berbeda menjadi “Mengajarkan Pendidikan
Melalui Kimia”.
Dalam konteks pendidikan
karakter, paradigma “Education through
chemistry” menurut pendapat
penulis sangat relevan. Mengapa demikian? Kimia merupakan materi pelajaran yang
mempelajari materi dan perubahannya. Sifat-sifat materi dan perubahannya
dipengaruhi oleh hukum-hukum alam yang mengaturnya. Hukum alam atau sunatullah
sebenarnya tidak lain adalah kehendak Allah Swt., hukum alam adalah sebuah
ketetapan Allah Swt. yang diberikan kepada setiap materi di alam semesta. Kalau
kita mempelajari materi di alam semesta ini secara tidak langsung kita juga
mempelajari hukum-hukum atau kehendak Allah Swt..
Melalui pengkajian sifat-sifat
materi dan perubahannya, sama dengan kita mengkaji mekanisme kerja Allah Swt.
dalam mengatur alam semesta ini. Allah Swt. menetapkan kehendak-Nya pada setiap
materi dan gejala perubahan materi pasti bertujuan positif, tidak mungkin Allah
Swt. punya tujuan negatif terhadap makhluk-Nya karena tidak ada manfaatnya.
Dengan memfungsikan kimia sebagai sarana mendidik itu sama dengan memanfaatkan
kehendak Allah Swt. dalam bentuk hukum/hikmah/ibroh dalam setiap materi sebagai
sarana mengajarkan nilai-nilai karakter akhlakul karimah kepada peserta didik
(siswa maupun mahasiswa) (Saputro, 2018).
C.
Pendidikan
Kimia Berbasis Spiritual, Mungkinkah?
Agama dan sains
(ilmu pengetahuan) bagi manusia merupakan kebutuhan asasi. Artinya, kedua hal
ini merupakan kebutuhan pokok bagi hidup dan sistem kehidupan manusia. Agama
bagi manusia sebagai pedoman, petunjuk, kepercayaan dan keyakinan bagi
pemeluknya untuk hidup sesuai dengan “fitrah” manusia yang dibawa sejak lahir.
Eksistensi agama yang diimani, diyakini dan diamalkan ajarannya akan membawa
pemeluknya dalam hidup dan sistem kehidupan lebih baik, tertib dan berkualitas.
Eksistensi sains bagi agama berfungsi sebagai pengukuh dan penguat agama bagi
pemeluknya, karena dengan sains mampu mengungkap rahasia-rahasia alam semesta
dan isinya, sehingga akan menambah khidmat dan khusyuk dalam beribadah dan
bermuamalah
Dalam
pengajaran sains dan teknologi (iptek) harus ada pengintegrasian pengajarannya
dengan seluruh pola ideologi islam yang berlaku di masyrakat. Barat akhir-akhir
ini telah mengintegrasikan pola pengajaran mereka dengan sistem ideologinya.
Misalnya di Amerika, sains sosial dan kemanusiaan diajarkan dalam kerangka
budaya Amerika. Demikian juga dulu di Uni Soviet, pendidikan ilmiah
diintegrasikan dengan disiplin-disiplin non-teknik dan seluruh siswanya harus
mempelajari sejarah Partai Komunis Uni Soviet, etika Marxis, filsafat dan
estetika Marxis-Leninis, dasar-dasar ateisme ilmiah, ekonomi politik dan
dasar-dasar komuniusme ilmiah. Hanya di negara-negara islam pengintegrasian
pengajaran antara ideologi dengan disiplin-disiplin sosial-teknik dan
humanisme-teknik belum berlangsung
D.
Menggali
Nilai-nilai Karakter Religius yang Terkandung dalam Ilmu Kimia
Alam dihidangkan Allah Swt.,
baik sebagai bahan konsumsi materiel
maupun immateriel adalah sebagai
perpustakaan raksasa, sebagai obyek riset (tadabbur), serta sebagai
perbandingan dan pelajaran (i’tibar). Berulang – ulang ditemukan rangsangan
keilmuan dan motivasi untuk studi Al Qur’an pada beberapa ayat – ayat-Nya
(Lubis,1997:19). Membaca alam semesta itu bisa diibaratkan seperti seolah-olah
kita sedang membaca curriculum vitae
Allah Swt. Mengungkap proses-proses alam semesta itu bisa diasosiasikan dengan mengungkap sifat-sifat Allah Swt.
Mengenal hukum-hukum alam yang berlaku di alam semesta itu bisa merupakan cara
mengenal Allah Swt. Jadi mempelajari
proses-proses di alam semesta itu bagaikan seperti mempelajari sifat-sifat
Allah Swt. Kalau sudah mengenal sifat-sifat Allah Swt., itu sudah menunjukkan
bahwa keberadaan Allah Swt. dapat diterima. Alam semesta ini diciptakan Allah
agar menjadi bahan pemikiran dan renungan umat manusia.
Dalam ilmu kimia banyak
terdapat materi-materi pelajaran yang mengandung nilai-nilai keindahan dan
keteraturan yang pada akhirnya mengarah kepada peng-agungan sang pencipta. Jika
seorang pendidik mampu menggali lebih
dalam lagi hakikat makna di balik proses-proses kimia tersebut, maka akan diperoleh banyak
sekali nilai-nilai religiusnya yang sangat diperlukan oleh para siswa sebagai
bekal berperilaku (Saputro, 2008). Sebagai contoh misalnya pada pelajaran materi pokok reaksi kimia.
Dalam reaksi kimia, zat-zat pereaksi (reaktan) akan saling bereaksi membentuk
zat baru (senyawa baru) yang disebut zat hasil reaksi (produk). Sifat produk
sama sekali berbeda dengan sifat reaktan, tetapi reaktan "hanya" bisa
bertransformasi (berubah) menjadi produk jika reaktan memiliki energi minimal
yang cukup untuk melampaui energi aktivasi. Mengapa zat-zat di alam ini (atom,
molekul, ion) dapat bereaksi secara kimia? Perlu kita pahami bahwa zat-zat
kimia itu benda mati yang tidak memiliki akal dan tidak dapat berperilaku
seperti makhluk hidup. Tetapi mengapa zat-zat kimia tersebut dapat bereaksi? Nah,
di sinilah pentingnya kita pahami bahwa walaupun zat-zat (materi) di alam ini
benda mati, tetapi mereka telah diberikan oleh Allah Swt. semacam sifat
tertentu yang terikat oleh sunnatullah
(hukum-hukum alam). Jadi materi di alam ini ketika berinteraksi dengan materi
lain hanya sekedar menjalankan "iradah” (kehendak) Tuhannya yang telah
ditetapkan dalam wujud sifat-sifat materi. Materi di alam ini hanya memenuhi
"kewajibannya" selaku makhluk, materi di alam ini hanya sekedar
mematuhi takdirnya.
Ada beberapa pelajaran
atau hikmah kehidupan yang dapat kita ambil dari materi pelajaran reaksi kimia.
Hikmah yang pertama adalah terjadinya perubahan materi secara kimia (reaksi
kimia) telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang niscaya harus berubah
menjadi lebih baik. Untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik
memerlukan bekal keilmuan yang cukup agar dapat melalui segala hambatan dan
rintangan yang setiap saat dapat menghalangi kelancaran proses perubahan
tersebut. Hikmah kedua adalah jika kita memiliki keinginan untuk berubah ke
arah yang lebih baik tetapi kita kurang memiliki bekal keilmuan maupun motivasi
yang cukup, maka kita memerlukan bantuan dari pihak lain. Maka sangat pantaslah
kalau agama kita menganjurkan agar kita saling membantu satu sama lain dan
saling menasihati dalam kebaikan. Adapun hikmah yang ketiga adalah perubahan
diri menjadi pribadi yang lebih baik itu perlu momen yang tepat dan indikator
terjadinya perubahan. Setiap waktu adalah baik, tetapi di antara waktu-waktu
yang baik tersebut terdapat waktu yang paling "tepat" untuk kita
melakukan perubahan diri. Hikmah keempat yaitu adanya "rahasia"
dibalik kesuksesan proses transformasi diri. Ada konsep yang sangat penting
yang perlu kita pahami dalam proses transformasi diri yaitu "kesadaran
diri" bahwa keinginan kita untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik
adalah kehendak Allah Swt. yang sudah ditetapkan pada setiap diri kita
(Saputro, 2018b).
Dari alur pemikiran di
atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat nilai–nilai religius yang terkandung
dalam setiap materi pelajaran kimia. Nilai–nilai religius ini mungkin tidak
terlihat secara langsung dari materi pelajaran (tersurat), tetapi secara
tersirat, yaitu lebih pada penghayatan dan pembandingan antara materi pelajaran
dengan pesan–pesan moral sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Allah Swt.
lewat firman– firman-Nya dalam Al-Qur’an
maupun Hadits Rasulullah Saw. Nilai–nilai religius dalam materi kimia ini dapat
diketahui tergantung dari kemampuan analisis dan penghayatan serta basis
pengetahuan agama dari pendidik bidang
studi yang bersangkutan, karena semakin tinggi kemampuan analisis dan
mengaitkan hakikat proses - proses kimia
dalam materi ikatan kimia dengan pesan - pesan moral dalam agama yang dimiliki
oleh pendidik bidang studi, maka semakin banyak pula pesan - pesan moral yang
dapat digali dari materi pelajaran tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa ayat - ayat
Allah Swt. yang berupa ayat – ayat Qouliyah (Al-Qur’an alkarim) tidak mungkin
bertentangan dengan ayat –ayat Kauniyah (Alam semesta beserta segala proses di
dalamnya yang berlangsung sesuai sunatullah) (Saputro, 2008).
E.
Strategi
Mengajarkan Karakter Religius dalam Pembelajaran Kimia
Untuk mengajarkan
karakter ketauhidan kepada peserta didik dalam pembelajaran mata pelajaran
kimia, maka kita tidak dapat menggunakan metode-metode pembelajaran yang
berasal dari barat. Konstruksi keilmuwan peradaban barat dibangun dari bagunan
keilmuan yang meniadakan peran Tuhan dalam pembahasannya. Oleh karena itu,
tindak mungkin kita menggunakan metode pembelajaran yang dihasilkan dari pola
pemikiran atau penelitian yang mengasumsikan bahwa Tidak ada Tuhan. Sebagai
solusinya, maka kita harus kembali menengok ke wahyu (baca Al-Quran) sebagai
sumber pengetahuan. Al-Quran harus kita jadikan sebagai sumber keilmuan yang
selalu hidup
Menurut Syahidin
(2009), dunia Islam memiliki sejumlah metode pendidikan yang sudah teruji
keampuhannya. Metode pendidikan dalam dunia Islam tersebut dikenal dengan
sebuatan metode Qurani. Metode
pendidikan Qurani merupakan metode pendidikan yang digali dari Al-Quran. Metode
ini diintisarikan dari metode-metode yang diajarkan Allah Swt. melalui Al-Quran
yang kemudian diaplikasikan oleh Rasulullah Muhammad Saw. ketika berdakwah atau
memberi pelajaran kepada para sahabatnya.
Dalam mengajarkan
karakter ketauhidan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, seorang
pendidik harus memahami dulu hakikat peserta didik sebagai manusia. Peserta
didik adalah manusia ciptaan Allah yang dibekali kemampuan untuk berubah dan
oleh karena itu mampu untuk dididik.
Berangkat dari pemahaman terhadap hakikat manusia inilah, maka seorang
pendidik akan memperlakukan peserta didik bukan sebagai objek pembelajaran
tetapi sebagai subjek pembelajaran. Untuk menelusuri pemahaman hakikat manusia
dalam pandangan Islam, al-Syaibani (1979) dalam Syahidin (2009) menemukan
delapan prinsip dasar pandangan Islam tentang manusia, yang digali dari Al-Quran
dan sunnah Rasulullah Saw. dengan memahami berbagai aspek penafsiran yang dapat
dihayatinya. Dari delapan prinsip dasar tersebut, ada tiga prinsip yang dapat
dijadikan landasan dalam mengembangkan konsep pendidikan Islam, yaitu :
1. Manusia sebagai makhluk Allah yang dimuliakan (Q.S. al-Isra [17] : 70).
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam,
kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra [17] : 70).
2.
Manusia sebagai makhluk
yang memiliki tiga dimensi yaitu dimensi Jiwa (Q.S. al –A’raf [7] : 172, Q.S.
al-Isra [17] : 85), dimensi Akal ( Q.S. al-Baqarah [2] : 73, 76, 219 dan 266),
dan dimensi Fisik (Q.S. al-Hujurat [49] : 28. Q.S. al-Kahfi [18] : 110).
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",(Q.S. al –A’raf [7] : 172).
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. al-Isra [17] : 85)
3. Manusia sebagai makhuk yang memiliki potensi dasar yang cenderung menerima kebenaran Tuhan dan dapat berfikir positif, lurus atau “hanif” (Q.S. al-Rum [30] : 30), memiliki motivasi, kecerdasan, kebutuhan, perbedaan individual, dapat dipengaruhi dan suka berubah sehingga sangat memungkinkan untuk dapat dididik.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (Q.S. al-Rum [30] : 30).
F.
Simpulan
Berdasarkan uraian
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kimia
memungkinkan untuk didisain secara terintegrasi dengan nilai-nilai religius
sehingga pembelajaran kimia berbasis nilai-nilai spiritual. Disain pembelajaran
kimia berbasis spiritual diharapkan dapat menanamkan karakter religius ke siswa
dalam pembelajaran mata pelajaran kimia. Strategi untuk mengintegrasikan
nilai-nilai religius dalam pembelajaran kimia dapat dilakukan dengan mengadopsi
metode pendidikan Qurani.
G.
Referensi
Darmana, A.
(2014). Internalisasi nilai tauhid pada
pembelajaran kimia untuk meningkatkan kemampuan siswa SMA dalam memahami
nilai-nilai agama dan kimia. Dipetik Januari Minggu, 2018, dari
repository.upi.edu: repository.upi.edu
Hidayati, A., Zaim, M., Rukun, K., & Darmansyah.
(2014). The development of character education curriculum for element student
in west sumatera. International journal of education and research,
189-198.
Holbrook, J. (2005). Making
chemistry teaching relevant. International Conference on Science Education
(pp. 1-12). Istanbul, Turkey: Chemical Education International, Vol. 6 No. 1.
Husain, S. S., & Ashraf, S. A.
(2000). Krisis dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Mawardi Prima.
Keenan, C. W., Kleinfelter, D. C.,
& Wood, J. H. (1984). Kimia untuk Universitas Jilid 1. Terjemahan A.
Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta: Erlangga.
Kemendikbud. (2018a). PP
Mendikbud RI No. 36 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud RI No. 59
Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kemendikbud. (2018b). PP
Kemendikbud RI No. 37 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud No. 24
Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Pelajaran pada Kurikulum
2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kemendikbud. (2018b). PP
Kemendikbud RI No. 37 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud No. 24
Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Pelajaran pada Kurikulum
2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta: Kemendikbud
RI.
Maksudin. (2013). Paradigma
Agama dan Sains Nondikotomik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Miftahusyaian, M. (2010).
Spiritualisasi keilmuan : mengkonstruksi peradaban intelektual muslim abad
ke-21. el-Harakah. Vol. 12 No. 01, 1-18.
Saputro, A. N. (2018). Kimia
Kehidupan : Model Integrasi Sains-Agama sebagai Panduan Pendidikan Karakter
dalam Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Deepublish.
Syahidin. (2009). Menelusuri
metode pendidikan dalam al Quran. Bandung: Alfabeta.
Saputro, A. N. C. (2008). Analisis Nilai-nilai Relegius dalam Konsep
Ikatan Kimia pada Pelajaran Ikatan Kimia SMA. SAINMAT-Jurnal Matematika,
IPA dan Pembelajarannya, 2,12 : 51-64.
Saputro, A. N. C. (2018a). Muhasabah : Menemukan [Kembali] Nilai-Nilai Kemuliaan Diri
Yang Hilang. Jombang : Kun Fayakun Publishing.
Saputro, A. N. C. (2018b). Kimia Kehidupan : Model Integrasi Sains-Agama Sebagai Panduan
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Kimia. Yogyakarta : Deepublish.
Saputro,
A. N. C. (2018c). Analisis Nilai-Nilai
Karakter Religius dalam Konsep Kimia SMA/MA Kelas XI. Surakarta : Tidak
dipublikasikan.
__________________________
Sumber Artikel :
Agung Nugroho Catur Saputro. (2020). Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai. Sukabumi : Haura Utama. Hal. 53-63.
Sumber Gambar :
__________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar