Powered By Blogger

Rabu, 16 September 2020

AGAMA DAN SAINS, SELARAS ATAU BERTENTANGAN?

Sumber gambar: https://logicalgal.com/2014/12/03/logical-gal-what-do-you-believe/

AGAMA DAN SAINS, SELARAS ATAU BERTENTANGAN?

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 



Sains adalah bidang ilmu yang didasarkan atas pengalaman empiris dan pengukuran fisik. Ibnu Khaldun dalam kitab The Muqaddimah mendefinisikan sains sebagai "Sejumlah ilmu yang dikembangkan hampir sepenuhnya berdasarkan akal dan pengalaman dunia empiris" (Maksudin, 2013:2). Sedangkan Profesor Nidhal Guessoum, guru besar Fisika dan Astronomi, mendefinisikan sains sebagai "Sekumpulan pengetahuan mengenai dunia yang bermetode, ketat, empiris (didasarkan pengamatan dan percobaan), dan objektif (tidak bergantung kepada siapa yang melakukan percobaan, pengamatan, perhitungan, atau simulasi)" (Guessoum, 2020 : 38).

Dalam beberapa abad terakhir sains mengalami perkembangan menuju ke arah sains modern. Apakah yang dimaksud dengan sains modern? Ziauddin Sardar (2006) memberikan definisi  sains modern sebagai "Suatu cara memperoleh pengetahuan yang terorganisasi, sistematis, dan disiplin, berdasarkan percobaan dan empirisme yang memberi hasil yang bisa diulang dan diterapkan secara universal, lintas budaya" (Guessoum, 2020 : 57). Kerangka sains modern ini telah memberi tantangan bagi setidaknya beberapa konsep Islam mengenai dunia dan alam. Muslim yang pandangannya sejalan dengan pendekatan sains modern melihat tidak ada pertentangan antara kepercayaan bahwa Tuhan memelihara dunia melalui hukum-hukum yang ditetapkan di alam, dan bahwa penyebab alami adalah penyebab yang secara tak langsung diizinkan Tuhan (Guessoum, 2020 : 59).

Kebenaran sains hanya berdasarkan pembuktian dan pengujian secara empiris. Karena bahan kajian sains adalah materi fisik, maka sains jarang menyinggung aspek spiritual. Nilai-nilai spiritual memang sulit diukur dan diamati, tetapi bukan berati tidak ada. Sesuatu yang sulit diobservasi bukan berarti tidak ada.

Dalam pendidikan, nilai-nilai spiritual umumnya diajarkan dalam mata pelajaran agama. Memang agama mengajarkan akhlak, moral, adab, nilai kebaikan, karakter baik, nilai religius, dan spiritual. Kajian mata pelajaran agama berkaitan dengan tuntunan ibadah, hukum-hukum syariat, maupun panduan berperilaku baik. Kebenaran ajaran agama didasarkan atas kitab suci yang berisi firman-firman Tuhan. Jadi mempelajari ilmu agama bisa diasosiasikan dengan mempelajari ilmu Allah Swt.

Lantas, bagaimana dengan mempelajari mata pelajaran sains yang notabene mempelajari materi di alam semesta, apakah tidak termasuk mempelajari ilmu Allah? Materi dan seluruh alam semesta ini adalah ciptaan Allah Swt. Allah menciptakan alam semesta ini dengan menyertakan aturan-aturan-Nya yang merupakan panduan alam berproses. Sifat dan perilaku setiap materi di alam semesta ini pasti mengikuti aturan Allah tersebut. Aturan-aturan Allah yang memandu alam berproses kita kenal dengan istilah sunnatullah. Nah, sains sebenarnya mengkaji, menemukan, dan merumuskan aturan-aturan Allah yang mengikat materi di seluruh alam yang kemudian dirumuskan menjadi hukum alam dalam wujud teori-teori sains. Jadi pada dasarnya sains merepresentasikan  hukum Allah. Maka, mempelajari sains sama saja dengan mempelajari ilmu Allah Swt.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat digaris bawahi bahwa ilmu agama dan ilmu sains keduanya adalah sama-sama berasal dari sumber yang sama yaitu Allah Swt. Jadi baik ilmu agama maupun ilmu sains sama-sama ilmu Allah Swt. Mempelajari kedua ilmu tersebut merupakan anjuran bahkan kewajiban bagi kita. Ibnu Rusyid menegaskan bahwa ilmu agama dan ilmu sains tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah Swt. Ilmu agama dan ilmu sains saling melengkapi untuk meningkatkan keimanan kita.

Bagaimana seandainya dijumpai sebuah ayat Al-Quran yang tampak bertentangan dengan teori sains? Bagaimana sebaiknya kita mensikapinya? Permasalahan seperti ini memang terkadang membuat banyak orang kebingungan untuk memilih mana yang harus dipercayai kebenarannya. Apakah lebih mempercayai Al-Quran atau teori sains?

Untuk menjawab permasalahan di atas, kita terlebih dahulu harus memahami dua kaidah penting berikut. 1). Al-Quran bukan buku sains; melainkan buku panduan, contoh yang diberikan Al-Quran mengenai alam bukan dimaksudkan sebagai deskripsi, melainkan pencerahan, menunjukkan suatu gagasan bermakna; (2). Menafsirkan ayat Al-Quran itu seringkali bersifat subjektif, makanya kita memiliki banyak  tafsir Al-Quran yang beragam atas berbagai ayat (kadang saling melengkapi, kadang sangat berbeda). 

Dari dua kaidah di atas, kita dapat menyimpulkan dua hal penting : (1). Al-Quran, sebagai buku panduan, sepenuhnya membahas perkara tujuan dan kehidupan manusia, yang berhubungan dan ada di alam; itu alasannya banyak ayat Al-Quran menyebut alam. (2). Sains dan AlQuran punya metodologi yang amat berbeda : sains itu induktif, memulai dengan apa yang kita lihat di alam lalu membuat hukum dan teori untuk menjelaskan gejala yang diamati, dan bertujuan objektif, tak bergantung ke siapa yang melakukan pengamatan, percobaan, atau pembuatan kerangka teori; AlQuran menyajikan wacana logis dengan argumen dan contoh yang bisa diikuti dan dipercayai akal budi, mengutamakan pembangunan iman dan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan lingkungan. Kedua pendekatan dan tujuan itu saling melengkapi, tapi tidak bisa saling melanggar batas, dan jelas tak bisa saling meniadakan (Guessoum, 2020).

Filsuf, ahli hukum, dokter, dan ahli astronomi muslim tersohor Ibnu Rusyid (1126-1198) menyajikan pendekatan sederhana mengenai bagaimana iman (agama) dan nalar (sains) bisa diselaraskan. Ibnu Rusyid menulis, "Kebenaran (Wahyu) tak bisa bertentangan dengan hikmah (filsafat, metode rasional dengan pembuktian); sebaliknya, keduanya mesti saling sepakat dan saling mendukung".

Lalu, apa yang harus dilakukan ketika menjumpai keadaan dimana tampak ayat Al-Quran bertentangan dengan teori sains? Ibnu Rusyid memberikan dua kaidah tentang keselarasan Wahyu dan sains sebagai panduan kita dalam mensikapi permasalahan tersebut. Kedua kaidah Ibnu Rusyid tersebut adalah : (1). Dua kebenaran, yaitu Wahyu dan sains, keduanya berasal dari Tuhan, mustahil saling bertentangan; (2). Takwil ayat Al-Quran mesti dilakukan kalau pembacaan harfiah mengarah ke tidakcocokkan dengan kebenaran yang sudah dipastikan di alam (Guessoum, 2020). Wallahu A'lam. []

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer