Oleh :
Agung
Nugroho Catur Saputro
Pendidikan merupakan
kebutuhan penting di era modern ini. Pendidikan dalam makna secara umum yaitu
proses yang dialami peserta didik untuk membangun pengetahuan dan mengembangkan
kompetensi dirinya. K.H.R. Zainuddin Fananie (1934) dalam bukunya Pedoman Pendidikan Modern mendefiniskan
pendidikan sebagai “Segala yang dapat mempengaruhi kebaikan jiwa manusia sejak
kecil hingga dewasa dan hingga menjadi orang tua” (Fananie, 2011). John A.
Laska (1976) dalam buku Schooling and
Education : Basic Concept and Problems merumuskan pendidikan sebagai “Upaya
sengaja yang dilakukan pelajar atau (yang disertai) orang lainnya untuk
mengontrol (atau memandu, mengarahkan, mempengaruhi dan mengelola) situasi
belajar agar dapat meraih hasil belajar yang diinginkan”. Dilihat dari
perspektif ini, pendidikan tidaklah terbatas pada sekolah, dan tidak juga
terbatas pada kurikulum atau metodologi tradisional yang dilaksanakan di
sekolah-sekolah. Pendidikan adalah suatu proses sepanjang hayat yang dapat
mengambil tempat di berbagai lingkungan dan konteks yang tidak terbatas
(Knight, 2007).
Tempat terjadinya
proses pendidikan dapat di mana saja, salah satunya adalah sekolah. Sekolah dikenal
sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal. Selain sekolah, masih banyak
tempat lain yang dapat difungsikan sebagai tempat pendidikan. Sejak 1935, Ki
Hajar Dewantara telah mengemukakan pandangannya tentang tempat pendidikan
dengan konsep Tripusat pendidikan atau Trisentra pendidikan, yaitu keluarga,
sekolah, dan gerakan kepemudaan. Masing-masing pusat pendidikan tersebut
mempunyai tujuannya yang khas, namun tetap berhubungan satu dengan yang lain
(Tilaar, 2015). Sementara itu, K.H.R. Zainuddin Fananie (1934) menyatakan bahwa
tempat pendidikan terbagi menjadi tiga bagian penting, yaitu rumah, sekolahan,
dan pergaulan masyarakat umum. Rumah dan sekolah merupakan tempat yang dengan
mudah dapat mengatur dan menguasai dengan seluas-luasnya karena di sinilah
letak dan tertanamnya pendidikan yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan pendidikan
di pergaulan masyarakat umum sangat sulit dipengaruhi dan dicampurtangani
karena masing-masing manusia mempunyai kemerdekaan untuk memilih jalannya
sendiri (Fananie, 2015).
Keluarga
merupakan pusat pendidikan pertama dan utama yang tidak dapat digantikan
lembaga pendidikan mana pun. Dari lingkungan keluarga inilah lahir peradaban
kemanusiaan karena dari situlah akan lahir budi pekerti manusia yang akan
membina suatu hidup bersama, yakni kebudayaan. Tanpa hidup bersama tidak
mungkin suatu kebudayaan akan lahir. Keterkaitan antara keluarga dan pendidikan
budi pekerti ini, Ki Hajar Dewantara telah menyatakan bahwa, “Menghidupkan,
menambah, dan menggembirakan perasaan kesosialan tidak akan dapat terlaksana
jika tidak didahului oleh pendidikan diri (pendidikan individual), karena
inilah dasarnya pendidikan budi pekerti, yang akan dapat menimbulkan rasa
kemasyarakatan atau rasa social (Tilaar, 2015). Menurut K.H.R. Zainuddin
Fananie (1934), azas pendidikan rumah (keluarga) adalah kecintaan dan kasih
sayang sehingga pendidikan yang diberikan akan mudah tertanam. Pendidikan
kepercayaan, keagamaan, dan adat istiadat wajib ditanamkan di dalam rumah.
Terkait bagaimana
proses pendidikan yang berlangsung di sekolah selama ini, dalam sebuah acara
webinar bertajuk “Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia” yang diselenggarakan
oleh Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr. Haidar Bagir
memberikan pandangan dan pemikirannya. Tulisan berikut ini adalah hasil resume yang
penulis buat berdasarkan paparan materi webinar yang disampaikan oleh
narasumber. Artikel ini penulis tulis menurut gaya penulisan penulis dengan
sedikit tambahan kata-kata interpretasi penulis pribadi, tetapi tetap
mempertahankan esensi materi yang disampaikan narasumber. Artikel ini merupakan
hasil dari penangkapan dan pemahaman penulis pribadi ketika mengikuti webinar. Sambil
menyimak pemaparan materi oleh narasumber, penulis mencoba membuat mindmap materi webinar. Dari mindmap yang penulis buat selama
mengikuti webinar tersebut, kemudian penulis kembangkan menjadi sebuah tulisan sebagaimana
di bawah ini.
Dalam paparan materi
webinarnya, Dr. Haidar Bagir menyatakan bahwa proses pendidikan haruslah
berlangsung secara merdeka. Proses pendidikan yang dialami peserta didik harus
terbebas dari tekanan. Peserta didik harus menjalani proses pendidikan secara
alamiah. Oleh karena itu, hak peserta didik untuk mendapatkan kebebasan dan tersedianya
fasilitas dan suasana lingkungan belajar yang kondusif untuk proses mengeksplorasi
potensi diri dan berlatih mengembangkan diri.
Problem sekolah selama
ini adalah kurang relevannya materi pendidikan dengan kebutuhan peserta didik.
Selama ini peserta didik hanya dijejali dengan pelajaran-pelajaran yang
terkadang kurang dibutuhkan oleh peserta didik. Selama ini peserta didik tidak
memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri pelajaran apa yang akan diikuti
sesuai minat dan bakatnya. Selama ini proses pendidikan berlangsung satu arah
yakni dari sekolah ke anak didik. Peserta didik tidak diperlakukan sebagai
subjek pendidikan tetapi justru sebagai objek pendidikan.
Sejak
masyarakat mengenal sekolah, masyarakat dunia terlalu berlebihan dalam
memberikan penilaian terhadap sekolah. Sekolah dianggap satu-satunya institusi
pendidikan yang dapat memberikan jaminan kesuksesan bagi masa depan anak didik.
Para orang tua kurang menyadari bahwa kesuksesan anak didik bukan ditentukan
oleh sekolah, melainkan bergantung pada seberapa bahagia peserta didik belajar
dan mengembangkan potensi dirinya. Sekolah bukanlah sumber kesuksesan anak
didik tetapi hanyalah media bagi anak
didik untuk mengenali dan mengeksplorasi potensi dirinya dan tempat kondusif
untuk mengembangkan diri. Karena sekolah bukanlah satu-satunya sumber
kesuksesan anak didik, maka di masa pandemic Covid-19 ini ketika Kemendikbud
memutuskan untuk melaksanakan pembelajaran secara daring untuk mencegah
terjadinya penularan virus, maka seharusnya para orang tua tidak perlu terlalu
khawatir dengan hasil belajar peserta didik. Para orang tua tidak perlu
ketakutan jika nanti anaknya tidak sukses sekolahnya.
Di masa pandemic
Covid-19 ketika pembelajaran di sekolah dialihkan dalam moda daring sebenarnya
anak didik tidak terlalu dirugikan karena sebenarnya poin penting dari proses
pendidikan adalah berada pada anak didik sendiri. Ketika pembelajaran jarak
jauh (PJJ) diterapkan dengan moda daring, sebenarnya peserta didik tetap dapat
belajar dengan maksimal karena mereka sendiri yang menentukan pola belajarnya.
Di era pembelajaran daring ini justru peserta didik memiliki kebebasan
seluas-luasnya untuk mengeksplorasi potensi dan kompetensi serta keterampilan
dirinya melalui berbagai sarana belajar. Di sini hanya diperlukan dukungan
orang tua terhadap proses belajar anak didik dan penyediaan sarana prasarana
yang mendukung proses belajar anak didik.
Di
dunia pendidikan masih ada pandangan yang keliru tentang proses belajar.
Belajar masih dipandang sebagai anak didik menerima mentah-mentah pengetahuan
dari pendidik. Mengajar masih diartikan sebagai aktivitas menjejalkan
pengetahuan ke peserta didik. Padahal menurut teori belajar konstruktivisme,
anak mengetahui dengan cara mengkonstruk pengetahuan dan informasi yang
diterimanya, bukan dengan menjejalkan pengetahuan dan informasi yang
diterimanya dalam struktur kognitifnya tanpa melalui proses aktif. Dalam
belajar peserta didik sebenarnya telah memiliki prior knowledge (pengetahuan awal) yang diperoleh ketika
berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Ketika anak-anak didik
menerima pengetahuan dan informasi baru dari pendidik, maka mereka akan
mengolah pengetahuan dan informasi baru tersebut dalam struktur kognitifnya dan
mengkaitkan dengan pegetahuan awal mereka. Dalam struktur kognitifnya, peserta
didik akan mengalami proses asimilasi dan akomodasi sehingga mampu membentuk
sebuah pemahaman yang bermakna. Menurut seorang filosof, pikiran bukanlah
bejana untuk diisi tetapi api untuk dinyalakan. Kegagalan peserta didik
menjalani proses belajarnya di sekolah bukan karena kurangnya usaha sekolah
tetapi karena sekolah justru membuat siswa gagal atau dengan kata lain
sekolahlah yang telah merusak peserta didik. Jadi jika seorang anak telah lulus
sekolah tetapi ternyata dia tidak sukses, maka penyebabnya karena sekolah tidak
membekalinya dengan kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan di masa depan.
Seharusnya sekolah (baca : pendidik) berpikir visioner yaitu memilihkan dan
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan peserta didik di masa
depan.
Kenyataan di lapangan,
umumnya pendidik di sekolah formal hanya mengajarkan pengetahuan-pengetahuan
yang sudah kadaluwarsa atau pengetahuan zaman sekarang. Di sinilah diperlukan
pendidik-pendidik yang mampu melihat masa depan dalam arti memiliki kemampuan
memprediksi pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan sepuluh atau dua
puluh tahun yang akan datang sehingga kompetensi yang dimiliki peserta didiknya
tidak kadaluwarsa nantinya.
Proses pendidikan di
sekolah seharusnya mampu membuat peserta didik bahagia. Indikator bahwa peserta
didik bahagia ketika mengikuti proses pendidikan adalah apakah peserta didik
betah berada di sekolah? Apakah peserta didik merasa belajar secara serius
ataukah justru mereka merasa enjoy di sekolah? Di sinilah peran pendidik sangat
diperlukan untuk menghadirkan lingkungan pendidikan yang membahagiakan. Sekolah
yang baik harus mampu menghasilkan peserta didik yang tidak hanya sukses tetapi
juga bahagia. Itulah tujuan penting penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Peserta didik tidak boleh merasa tersiksa dan tidak bebas ketika belajar.
Mereka harus merasakan kebahagiaan dan kebebasan dalam proses belajarnya. Oleh
karena itu penting sekali kreativitas para pendidik dalam mendisain suasana
pendidikan yang membahagiakan bagi peserta didik.
Dalam upaya menciptakan
kreativitas-kreativitas dalam proses pendidikan diperlukan upaya mengkhayal
seandainya suasana yang sangat menyenangkan itu dapat dihadirkan di sekolah. Mengkhayal
merupakan aspek penting dalam kreativitas. Tanpa kemampuan mengkhayal sulit
bagi seorang pendidik untuk kreatif dalam mendisain suasana pendidikan yang
membahagiakan. Selama ini ada keyakinan bahwa hanya yang empiris saja yang
bersifat objektif, sedangkan pengalaman-pengalam non empiris dianggap tidak
objektif kebenarannya. Padahal sudah diakui kalangan saintis bahwa instusi yang
tidak empiris juga merupakan bentuk memperoleh pengetahuan, selain juga wahyu.
Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman non empiris juga penting untuk
dipertimbangkan sebagai metode proses pendidikan di sekolah. Wallahu a’lam bish-showab. []
*) Penulis adalah staff pengajar di
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Peraih
Juara 1 Nasional bidang kimia pada lomba penulisan buku pelajaran di Kemenag RI
(2007), penulis buku tersertifikasi BNSP, penulis dan pegiat literasi yang
telah menerbitkan 30 judul buku, dan konsultan penerbitan buku pelajaran bidang
kimia dan IPA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar