Powered By Blogger

Sabtu, 17 Juni 2023

HARMONISASI SAINS DAN AGAMA DALAM PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER


HARMONISASI SAINS DAN AGAMA DALAM PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

A.       Pendahuluan

Keberadaan agama di dunia ini mungkin setua usia peradaban manusia. Agama mungkin ada sejak ada manusia di muka bumi ini. Menurut worldpopulationreview.com, ada sekitar 4.000 - 4.300 agama di dunia ini. Sekitar 85% dari orang-orang di Bumi mempunyai agama, sementara sisanya tidak beragama (Joan, 2022). Agama yang paling banyak penganutnya adalah Kristen, dengan diikuti oleh sekitar 2,38 miliar orang di seluruh dunia. Nomor dua adalah agama Islam, yang dianut oleh lebih dari 1,91 miliar orang. Namun, peneliti populasi memperkirakan bahwa Islam akan hampir menyusul Kristen pada tahun 2050. Di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Desember 2021, Islam menjadi agama dengan pemeluk terbanyak, dengan jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 237,53 juta jiwa atau 86,9% dari populasi penduduk Indonesia (Zulfikar, 2022).

            Agama ada untuk tujuan mengatur kehidupan manusia agar teratur, tertib, rukun, damai, dan beradab. Agama bagi manusia sebagai pedoman, petunjuk, kepercayaan, dan keyakinan bagi pemeluknya untuk hidup sesuai dengan fitrah manusia yang dibawa sejak lahir (Maksudin, 2013). Ajaran-ajaran kebaikan dalam agama diperuntukkan sebagai panduan bagi manusia untuk menjalani kehidupan dengan baik. Keberadaan agama masih dibutuhkan selama umat manusia masih mengharapkan tatanan kehidupan yang tertib, damai, dan beradab. Walaupun ada sebagian orang yang berpandangan bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi, sudah kadaluwarsa, sudah tidak relevan dengan kehidupan manusia yang serba modern, dan lain sebagainya,  tetapi faktanya jumlah penganut agama di dunia terus mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa agama yang merepresentasikan spiritualitas masih dibutuhkan manusia zaman modern ini. Meskipun paham materalisme begitu gencarnya mempengaruhi manusia zaman sekarang, tetapi ternyata ketenangan jiwa (rohani) masih banyak dicari orang. Dan ketenangan jiwa tersebut dapat diperoleh melalui aktivitas menjalankan ritual-ritual ibadah sesuai ajaran agama.

 

B.        Pengertian Agama

Agama merupakan sesuatu yang mudah dipahami penganutnya tetapi sulit didefinisikan secara ilmiah. Pakar tafsir Al-Quran kebanggan bangsa Indonesia Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992), menyatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat--lebih-lebih bagi para pakar. Hal ini disebabkan, antara lain, dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Kemudahan yang dialami oleh orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.

Banyak ahli yang mencoba membuat definisi tentang agama, tetapi mereka belum memperoleh sebuah definisi yang dapat mengakomodir semua komponen dalam agama dan definisi tersebut menjangkau semua jenis agama di dunia ini. John Locke (1632-1704) menyimpulkan bahwa “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku tidak memberitahu kepadaku.” Mahmud Syaltut menyatakan bahwa, ”Agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.” Syaikh Muhammad Abdullah Badran (Guru Besar Al-Azar) menggambarkan “hubungan antara dua pihak di mana yang pertama memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.” Sedangkan Prof. Dr. M. Quraish Shihab sendiri mendefinisikan agama sebagai “Hubungan antara makhluk dan khaliknya.” Hubungan ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.” (Shihab, 1992).

Setiap agama meyakini adanya Supreme Being (yang Mahakuasa) yang menciptakan alam semesta yang disebut Tuhan, dan ada pula yang menyebutnya Dewa. Ada agama yang meyakini banyak Tuhan (politeisme) dan ada agama yang menyakini satu Tuhan (monoteisme).  Sejarawan Yunani kuno, Herodotus (484-425 SM), dalam perjalanannya ke Mesir mencoba menjelaskan bahwa dewa Amon dan Horus yang dianut masyarakat Mesir hampir sama dengan dewa Zeus dan Apollo yang diyakini oleh masyarakat Yunani. Euhemesus (330-260 SM) mengatakan bahwa dewa-dewa yang ada dalam ‘sejarah” pada awalnya adalah orang-orang penting dan terkenal yang kemudian disembah oleh pengikutnya setelah orang tersebut meninggal (Pals, 1996).

 

C.        Urgensi Harmonisasi Agama dan Sains

Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia tidak cukup hanya beragama saja, melainkan mereka juga harus menguasai ilmu keduniawian yaitu sains sebagai bekal untuk mengelola alam. Menurut Ibnu Khaldun dalam Maksudin (2013), sains adalah sejumlah ilmu yang dikembangkan hampir sepenuhnya berdasarkan akal dan pengalaman dunia empiris. Sedangkan Nidhal Guessoum (2020) mendefinisikan sains sebagai sekumpulan pengetahuan mengenai dunia yang bermetode, ketat, empiris (didasari pengamatan dan percobaan), dan objektif (tidak bergantung kepada siapa yang melakukan percobaan, pengamatan, perhitungan, atau simulasi).

Agama dan sains bagi manusia merupakan kebutuhan asasi. Artinya, kedua hal ini merupakan kebutuhan pokok bagi hidup dan sistem kehidupan manusia (Maksudin, 2013). Basis terbentuknya agama dan sains memang berbeda. Agama terbentuk berdasarkan wahyu Tuhan atau pemikiran orang-orang suci, sedangkan sains dibentuk dari hasil berpikir rasional terhadap data empiris berdasarkan hasil observasi maupun eksperimen. Agama berkaitan dengan hal-hal spiritual (rohani) sedangkan sains berkaitan dengan pemikiran rasional dan empiris. Jadi agama dan sains memang memiliki perbedaan yang sangat mendasar yang menjadi faktor pembeda di antara keduanya. Jika hanya mendasarkan kepada faktor pembentuknya saja, maka agama dan sains selamanya tidak akan pernah bertemu. Tetapi jika dikaitkan dengan tujuan mengapa ada agama dan mengapa ada sains, maka akan ditemukan sebuah titik temu yang mungkin mampu mempersatukan agama dan sains dalam satu tujuan yang mulia, yaitu membangun peradaban manusia yang maju dan beradab.

Agama dan sains merupakan dua bidang ilmu yang sama-sama berasal dari Tuhan. Prinsip inilah yang harus dipegang oleh setiap orang yang beragama. Menurut pandangan Maksudin (2013), hubungan agama dan sains ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Di samping itu, jika dikaji menurut fitrah manusia, agama dan sains keduanya pada hakikatnya sama-sama berasal dari Tuhan. Agama sebagai dasar-dasar petunjuk Tuhan untuk dipatuhi dan diamalkan dalam hidup dan sistem kehidupan manusia, sedangkan sains diperolehnya melalui abilitas dan kapasitas atau potensi manusia yang dibawanya sejak lahir.

 

D.       Pendidikan Karakter: Ikhtiar Mengharmonisasikan Agama dan Sains

Berbagai persoalan yang menyelimuti kehidupan manusia di dunia seperti tindak kriminalitas, perbuatan tidak bermoral dan beretika, penyimpangan seksual, dan lain sebagainya, jika ditelusur secara mendalam, ternyata faktor penyebab intinya adalah lebih mengarah pada “kering rohaniah” dalam diri manusia. Oleh karena itu, agama dan sains sebagai kebutuhan asasi manusia harus diintegrasikan, dipadukan, dan disinergikan secara utuh. Di era globalisasi yang sarat dengan kemudahan fasilitas dan perilaku materalistik ini, perlu upaya bagaimana mengintegrasikan agama dan sains bagi umat manusia sehingga terwujud hubungan sinergis, sistematis, dan fungsional bagi keduanya. Agama tidak menjadikan pemeluknya menjauhi sains, dan demikian juga sains bagi saintis tidak meninggalkan agama, akan tetapi agamawan dan ilmuwan saintis saling memperkuat, memperkokoh, dan saling mengisi kekuranga dan kelemahan sehingga yang ada saling “fastabiqul khairat” (berlomba-lomba dalam kebaikan). Agama dan sains dimiliki bagi setiap diri manusia secara utuh, berintegrasi, menyatu padu, sehingga benar-benar menjadi manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan kecerdasan keberagamaannya, atau disebut menjadi manusia saleh individual sekaligus saleh sosial (Maksudin, 2013).

Ikhtiar mengintegrasikan agama dan sains merupakan keniscayaan. Pengintegrasian agama dan sains jika dimaksudkan untuk menyatukannya menjadi satu bidang ilmu baru, maka kemungkinan akan sulit dilakukan. Mengapa? Karena agama dan sains masing-masing memiliki karakteristik tersendiri. Agama bersifat spiritualis-teologis sedangkan sains bersifat rasionalis-empiris. Agama bersumber dari wahyu sedangkan sains bersumber pengamatan dan eksperimen. Agama mencakup hal-hal transenden sedangkan sains hanya mencakup hal-hal fisik. Dalam konteks agama Islam, Prof. Nidhal (Guessoum, 2020) memberikan petunjuk dalam ikhtiar mengintegrasikan agama dan sains, yaitu bahwa Al-Qur’an seharusnya tidak dijadikan sebagai rujukan untuk menguji teori atau hasil sains. Al-Qur’an adalah buku panduan rohani, moral, dan sosial. Al-Qur’an mengajak manusia meneliti dunia dan memasukkan pengetahuan yang didapat dalam pandangan dunia teistik. Namun, Al-Qur’an tidak menyatakan diri menyajikan penjabaran, apalagi penjelasan cara kerja dunia.

Menurut pandangan penulis, pengintegrasian agama dan sains dapat dijalankan melalui dunia pendidikan. Dalam konteks pendidikan, keterpaduan agama dan sains dapat diarahkan kepada pembentukan karakter. Pembelajaran sains memungkinkan untuk didisain secara terintegrasi dengan nilai-nilai religius sehingga pembelajaran sains berbasis nilai-nilai spiritual. Disain pembelajaran sains berbasis spiritual diharapkan dapat menanamkan karakter religius ke peserta didik dalam pembelajaran sains. Strategi untuk mengintegrasikan nilai-nilai religius dalam pembelajaran sains dapat dilakukan dengan mengadopsi metode pendidikan Qurani (Saputro, 2020). Dalam proses pendidikan di sekolah, peserta didik  harus diberikan pemahaman bahwa belajar itu tidak hanya berhubungan dengan masalah-masalah dunia saja, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana kehidupan setelah meninggal nanti. Oleh karena itu, peserta didik juga perlu mendapatkan pelajaran tentang agama agar mereka memiliki pandangan yang seimbang antara kehidupan di dunia dan di akhirat (Majid, 2014).

 

E.        Simpulan

Berdasarkan uraian pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama dan sains dapat diintegrasikan untuk tujuan pembentukan karakter. Karakter ilmiah-religius dapat dibentuk melalui pembelajaran sains terintegrasi agama. Pembentukan karakter dalam pembelajaran sains yang terintegrasi nilai-nilai karakter religius dapat mengadopsi metode-metode pendidikan Qurani yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Proses pembelajaran sains terintegrasi karakter religius akan menghasilkan peserta didik yang memiliki karakteristik unggul dalam penguasaan sains tetapi memiliki kerendahan hati (tawadhu’) dan kelembutan hati dalam bersikap dan berperilaku. []

 

Daftar Bacaan

Guessoum, N. (2020). Memahami sains modern: Bimbingan untuk kaum muda muslim [The young muslim’s guide to modern science]. Jakarta: Qaf Media Kreativa.

Joan, I. H. P. (2022, September 5). 10 Agama Terbesar di Dunia, Islam Urutan Segini. Retrieved May 10, 2023, from https://mediaindonesia.com/humaniora/520289/10-agama-terbesar-di-dunia-islam-urutan-segini

Majid, Abd. (2014). Pendidikan berbasis ketuhanan: Membangun manusia berkarakter. Bogor: Ghalia Indonesia.

Maksudin. (2013). Paradigma agama dan sains nondikotomik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pals, D. L. (1996). Seven Theories of Religion. New York: Oxford University Press.

Saputro, A. N. C. (2020). Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai. Sukabumi: Haura Utama.

Shihab, M. Q. (1992). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.

Zulfikar, F. (2022, September 4). Daftar Urutan Agama Terbanyak di Dunia, Islam Nomor Berapa? Retrieved May 11, 2023, from Detikedu website: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6271846/daftar-urutan-agama-terbanyak-di-dunia-islam-nomor-berapa

 

 

 ___________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer