Powered By Blogger

Kamis, 15 Juni 2023

CINTA ORANG TUA, CINTA ANAK


CINTA ORANG TUA, CINTA ANAK

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 


Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: ”Apabila anak keturunan Adam itu meninggal, maka terputuslah semua amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim). Hadis ini banyak dipergunakan sebagai dasar pemikiran pentingnya setiap orang memiliki investasi amal yang pahalanya terus mengalir berkesinambungan kepadanya walaupun ia telah meninggal dunia nanti.

 

Berkaitan dengan amalan yang pahalanya mengalir terus-menerus tersebut, kita patut bersyukur karena ternyata Rasulullah Saw. memberikan petunjuk bahwa cara memiliki amalan yang pahalanya berkesinambungan tersebut ternyata tidak hanya satu jalan, bahkan malah ada tiga jalan. Ketiga jalan amal berkesinambungan tersebut bagus kalau bisa diamalkan semunya, tetapi jika tidak mampu minimal kita punya satu amalan dari ketiga amalan tersebut.

 

Ketiga amalan yang bersifat kesinambungan pahalanya tersebut, yaitu sedekah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendoakan kedua orangnya. Tidak semua orang mampu memiliki tiga amal berkesinambungan tersebut sekaligus karena mungkin ada faktor lain yang menyebabkan tidak memungkinannya memiliki tiga jenis amalan tersebut. Oleh karena itu, kita harus pintar-pintar membuat strategi agar bagaimana kita bisa memiliki ketiga amal berkesinambungan tersebut.  

 

Amalan pertama yaitu sedekah jariyah merupakan jenis amalan yang dapat dikendalikan oleh setiap orang. Selama ia memiliki harta, keinginan dan berniat memberikan sedekah jariyah, maka pastilah ia dapat melakukannya. Sedekah jariyah ini maknanya luas sekali, tidak terpaku hanya pada sedekah untuk pembangunan bangunan fisik. Kata kunci untuk sedekah jariyah adalah sedekah tersebut dapat terus bermanfaat bagi orang lain walaupun orang yang bersedekah telah meninggal dunia.

 

Amalan kedua yaitu ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, juga termasuk amalan yang dapat dikendalikan orang yang bersangkutan. Selama seseorang itu memiliki ilmu pengetahuan, keinginan dan kemampuan untuk mengajarkan/menyampaikan kepada orang lain, maka pastilah amalan jenis kedua ini juga mudah diraih. Tetapi untuk dapat kesempatan melakukan amalan kedua ini, seseorang harus berusaha dengan serius untuk belajar dan menuntut ilmu. Hanya orang-orang yang berilmu pengetahuan yang bermanfaat saya yang punya peluang untuk melakukan amalan kedua. Amalan kedua ini merupakan salah satu keberkahan bagi orang yang berilmu.

 

Tentang ilmu yang bermanfaat, ada sebagian orang yang memahaminya yang dimaksud adalah ilmu agama. Tetapi ada juga sebagian orang yang memahaminya bahwa ilmu yang dimaksud adalah ilmu secara umum, bukan hanya ilmu agama saja. Penulis pribadi lebih cenderung sependapat dengan pendapat yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah semua ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu keduniawian (sains). Mengapa penulis berpendapat demikian? Karena menurut pandangan penulis, semua ilmu itu baik ilmu agama maupun ilmu duniawi (sains) pada hakikatnya sama-sama ilmu-Nya Allah Swt.

 

Ilmu agama diperoleh dari wahyu yang diturunkan Allah Swt melalui para rasul-Nya, sedangkan ilmu duniawi (sains) diperoleh dari pengamatan dan perenungan terhadap fenomena alam semesta yang diciptakan Allah Swt untuk bahan pembelajaran umat manusia. Baik ilmu agama maupun ilmu duniawi (sains) asalnya sama-sama dari sumber yang satu yaitu Allah Swt, yang berbeda hanya cara memperolehnya. Karena sumbernya sama, yaitu Allah swt., maka pastinya kedua jenis ilmu tersebut tidak akan ada pertentangan di antara keduanya. Jika pun ternyata ditemukan kesan perbedaan ataupun pertentangan antara ilmu agama dan ilmu duniawi (sains), pasti itu bukan karena ilmunya yang bertentangan, melainkan pasti karena faktor manusianya yang subjektif  dalam memahami ataupun mentakwilkan (menafsirkan) maksud dari kedua ilmu tersebut.

 

Dibandingkan amalan pertama dan kedua, amalan ketiga yang paling berbeda. Mengapa? Karena  amalan ketiga ini tidak sepenuhnya dapat dikendalikan setiap orang. Hal ini karena tidak setiap orang dapat memastikan dirinya bisa memiliki anak. Kemampuan memiliki anak tidak dapat dikendalikan oleh setiap orang. Seseorang tidak dapat memastikan jika dirinya pasti akan memiliki anak setelah menikah. Oleh karena itu, kesempatan melakukan amalan ketiga merupakan keistimewaan yang khusus dimiliki oleh orang yang memiliki anak.  

 

Bagi pasangan suami istri yang memiliki anak, seyogyanya bersyukur karena mereka terpilih dan mendapat keistimewaan untuk melahirkan anak yang notabene makhluk ciptaan Allah Swt. Setiap anak yang terlahir ke dunia ini pada hakikatnya adalah milik penciptanya yaitu Allah Swt. Orang tua bukanlah pemilik anak yang dilahirkannya, melainkan hanya orang yang dititipi oleh Allah Swt. Oleh karena itu, orang tua tidak dibenarkan merasa memiliki hak atas kehidupan anak-anaknya. Anak-anak tetaplah milik Allah Swt. Allah lah yang memberikan kehidupan kepada anak-anak. Allah Swt telah membekali setiap anak yang terlahir ke dunia ini dengan bekal potensi diri dan kemampuan yang masih bersifat laten (tersimpan dalam diri anak).

 

Potensi diri anak akan muncul manakala anak berada di lingkungan yang tepat dan sesuai untuk berkembangnya potensi diri. Fitrah kehidupan anak sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Potensi diri dan kemampuan anak akan tumbuh dan berkembang secara alami ketika anak menemukan lingkungan yang tepat, baik lingkungan pergaulan di keluarga, lingkunggan pergaulan di masyarakat, maupun lingkungan di sekolah. Maka, tugas orang tualah untuk menempatkan anak-anak berada di lingkungan yang baik agar mereka dapat menjalankan tugas perkembangannya dengan maksimal.

 

Dalam menerapkan pola asuh dalam pemeliharaan anak, seyogyanya orang tua tidak menempatkan anak sebagai investasi jangka panjang. Janganlah menjadikan anak sebagai objek kehidupan yang bisa seenaknya diatur-atur kehidupannya oleh orang tua. Janganlah anak dijadikan sebagai alat untuk mewujudkan tujuan orang tua. Janganlah anak dijadikan alat bantu untuk menjalankan egoisme orang tua. Anak sudah memiliki jalan kehidupannya sendiri sesuai blueprint penciptaanya. Ingatlah bahwa anak bukan milik orang tuanya, melainkan milik Allah Swt.

 

Para orang tua hendaknya mengingat kembali pada konsep awal bahwa orang tua yang bisa memiliki anak adalah orang tua yang istimewa karena dipilih Allah Swt untuk dititipi amanah anak untuk dipelihara dengan baik dan penuh limpahan rasa cinta dan kasih sayang. Maka bersyukurlah dengan cara memelihat anak dengan penuh cinta dan kasih sayang, mengenalkan anak pada Tuhannya melalui pendidikan agama, dan menyediakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan dapat memfasilitasi anak mengeskplorasi bakat minatnya dan mengembangkannya secara maksimal.

 

Dapat memelihara anak dengan penuh cinta dan kasih sayang itu sudah sebuah kebaikan dan pasti dibalas oleh Allah Swt dengan pahala kebaikan. Mengenalkan anak dengan Tuhannya melalui pendidikan agama yang baik itu juga sebuah kebaikan bagi orang tua. Memfasilitasi anak menemukan potensi diri dan bakat minatnya serta membantu anak mengembangkan diri secara maksimal juga sebuah kebaikan dan akan dicatat sebagai amal kebaikan orang tua. Ketika anak sejak kecil dilimpahi cinta dan kasih sayang orang tua, maka ketika mereka dewasa secara alami pasti akan mencintai dan menyayangi kedua orang tuanya yang sangat mencintai mereka. Tidak perlu disuruh-suruh agar anak berbakti kepada orang tua, anak yang dididik dengan lingkungan penuh limpahan cinta dan kasih sayang pasti secara alami juga jiwanya dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang kepada orang tuanya.

 

Keinginan anak untuk berbakti kepada orang tua itu harusnya muncul secara alami, bukan karena tekanan atau ketakutan akibat ancaman dosa. Kebaikan itu harus alami, bukan dipaksa atau karena tekanan. Anak secara alami akan berbakti pada kedua orang tuanya dan menyayangi orang tuanya jika mereka juga dulu pernah merasakan dirawat dengan penuh cinta dan kasih sayang. Anak akan ikhlas mendoakan kedua orang tuanya jika mereka dulu pernah merasakan ketulusan dan keikhlasan orang tuanya dalam merawat mereka sejak kecil.

 

Jiwa anak yang dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang orang tuanya pasti juga akan secara alami ingin memberikan cinta dan kasih sayangnya kepada orang tuanya. Ketika mereka dewasa, terutama ketika kedua orang tuanya telah tiada, hati mereka akan selalu merindukan memori kehangatan rasa cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka setiap hari akan melantunkan doa-doa terbaiknya untuk kedua orang tuanya sebagai bentuk kerinduan mereka pada kedua orang tuanya. Sebaliknya, jiwa anak yang kering dari cinta dan kasih sayang, yang hanya diisi dengan rasa ketakutan dan ancaman dosa jika tidak berbakti pada orang tua, hanya akan membentuk anak yang terpaksa berbakti dan mendoakan orang tuanya. Padahal doa yang dipanjatkan dengan tidak ikhlas atau karena keterpaksaan itu tidak akan mampu menembus pintu-pintu langit. Semoga kita dimampukan untuk menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak kita. Amin. []

 

Gumpang Baru, 15 Juni 2023

 

___________________________________

*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.

 

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer