RAMADAN: MOMENTUM KEMBALI MENJADI MANUSIA SEJATI
Oleh:
Agung
Nugroho Catur Saputro
A.
Pendahuluan
Dalam kehidupan ini
memang banyak permasalahan yang harus kita hadapi. Kita harus memiliki semangat
tinggi dan kemauan yang kuat untuk mampu menjalani kehidupan ini dengan baik.
Banyaknya persoalan yang dihadapi terkadang menjadikan kita lupa bagaimana
menjadi manusia. Karena kemewahan dan gemerlapan dunia yang dimilikinya, telah
menjadikan manusia menjadi layaknya sebuah robot yang tidak lagi memiliki hati
nurani. Kesuksesan, kekayaan, dan ketenaran
telah menggerus sisi-sisi spiritual kita menjadi makhluk yang materalistik.
Ramadan merupakan bulan
yang memiliki arti penting bagi umat Islam. Di dalam bulan Ramadan, umat Islam
meyakini banyak kebaikan dan keberkahannya di dalamnya. Oleh karena itu, ketika
datang bulan Ramadan umat Islam di seluruh penjuru dunia akan menyambutnya
dengan penuh antusias dan mempersiapkan berbagai program kegiatan yang bernilai
ibadah dan kebaikan. Umat Islam akan
jor-joran melakukan berbagai amalan ibadah dan amalan kebaikan demi mendapatkan maghfirah dan keridhaan Allah
Swt.
Di dalam bulan Ramadan Allah Swt mewajibkan ibadah puasa bagi setiap orang Islam yang sudah baligh. Kewajiban menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi umat Islam didasarkan pada firman Allah Swt dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).
Puasa
Ramadan merupakan jenis ibadah yang tidak hanya berkaitan dengan aktivitas
jasmani (fisik) saja, melainkan juga sangat berkaitan dengan aspek ruhani
(spiritual). Ibadah puasa Ramadan tidak hanya berorientasi ke hablumminallah tetapi juga berorientasi ke
hablumminannaas. Ibadah puasa Ramadan
tidak hanya berkaitan dengan aspek kesalehan individual tetapi juga sangat berkaitan
dengan aspek kesalehan sosial. Orang yang berpuasa Ramadan selain dituntut
harus mematuhi rukun dan syarat sah puasa, juga puasanya diharapkan berdampak
positif terhadap masyarakat sekitarnya.
Muncul
fenomena yang menggembirakan yang terjadi pada umat Islam ketika memasuki bulan
Ramadan. Setiap memasuki bulan Ramadan, umat Islam berlomba-lomba melakukan
ibadah dan amal kebaikan, seperti sholat tarawih, tadarus Al-Qur’an, sholat
tahajud, sholat dhuha, kultum Ramadan, berbagi takjil dan makanan berbuka
puasa, sedekah pada fakir miskin, dan lain sebagainya. Terlihat sekali
bagaimana umat Islam begitu antusias dan jor-joran dalam beramal ketika berada
di bulan Ramadan. Sayangnya fenomena tersebut hilang ketika berakhirnya bulan
Ramadan. Seolah-olah kebiasaan berbuat kebaikan bagi sesama tersebut tidak
berbekas lagi di bulan-bulan selain bulan Ramadan. Mengapa bisa terjadi
fenomena tersebut? Ada apa dengan pemahaman umat Islam terhadap bulan Ramadan?
Dalam
artikel ini, munculnya fenomena umat Islam jor-joran dalam berbuat kebaikan
saat berada di bulan Ramadan dan kembali seperti sebelum bulan Ramadan akan
didiskusikan. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena berkaitan dengan
pemahaman umum umat Islam terhadap puasa Ramadan.
B.
Mengenal
Hakikat Manusia
Manusia
adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dengan yang
lainnya. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda-beda suku, bangsa, ras,
maupun bahasa. Tetapi walaupun berbeda-beda, manusia tetap bisa saling
berinteraksi satu dengan yang lain karena pada dasarnya dirinya memang makhluk hidup
yang tidak bisa hidup sendirian.
Manusia memang dibekali
berbagai kemampuan untuk mampu menaklukan alam dan hidup di dunia yang penuh
rintangan dan hambatan. Tetapi penting untuk disadari bahwa di dunia ini tidak
ada yang namanya manusia super. Manusia super hanya ada di film-film fiksi
maupun dongeng-dongeng pengantar tidur. Karena manusia bukan makhluk yang serba
bisa dan serba mampu, maka manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain.
Dengan kata lain, setiap manusia memerlukan berhubungan dan berinteraksi satu
dengan yang lain.
Hakikat manusia memang sulit didefinisikan. Manusia
adalah makhluk Tuhan yang unik dan sekaligus istimewa. Karena keunikan dan
keistimewaannya tersebut, para ahli sampai mengalami kesulitan dalam
mendefinisikan hakikat manusia secara memuaskan. Menurut
Paula J. C. & Janet W. K., manusia merupakan makhluk yang terbuka, bebas
memilih makna di dalam setiap situasi, mengemban tanggung jawab atas setiap
keputusan, yang hidup secara berkelanjutan, serta turut menyusun pola hubungan
antar sesama dan unggul multidimensional dengan berbagai kemungkinan (Saputro, 2020).
Dalam
pandangan agama Islam, menurut Al-Qur’an terdapat empat term yang digunakan Allah Swt dalam mendeskripsikan hakikat
manusia. Keempat term tentang manusia
menurut Al-Qur’an adalah:
1.
Al-Basyar.
Kata al-basyar dalam
Al-Quran disebut 123 kali yang umumnya bermakna “kegembiraan”. Di antaranya 36
kali digunakan untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya dan dua
kali dalam pengertian hubungan seksual (QS. al-Baqarah [2]: 187). Hampir
keseluruhan ayat Al-Quran yang menggunakan term al-basyar menunjuk
pada anak Adam yang biasa makan, minum, dan berjalan di pasar-pasar, dan di
dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Term
al-basyar dalam ayat lainnya berkaitan dengan proses kematian. Term tersebut
mengindikasikan manusia sebagai makhluk biologis (fisik) yang selalu bergantung
untuk makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati. Dilihat dari aspek ini,
manusia tidak berbeda dengan makhluk biologis lainnya, seperti kambing, sapi,
kuda, dan lainnya (Karman, 2018: 15).
2.
Al-Insan
Kata al-Insan
yang berasal dari
kata al-uns, dinyatakan dalam Al-Quran
sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak, atau pelupa. Kata al-Insan digunakan dalam Al-Quran untuk menunjukkan
totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut
mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan
memiliki diferensiasi individual antara yang satu dengan yang lain, dan sebagai
makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi
(Syarif, 2017).
3.
Al-Naas
Kata al-Naas dinyatakan dalam Al-Quran sebanyak
240 kali dan tersebar dalam 53. Kata al-Naas
menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa
melihat status keimanan atau kekafirannya. Dalam menunjuk makna manusia, kata al-Naas lebih bersifat umum bila dibandingkan
dengan kata al-Insan. Keumuman tersebut
dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-Naas menunjuk manusia sebagai sebagai makhluk sosial dan kebanyakan
digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan kerusakan dan
merupakan penghuni neraka, di samping iblis (Syarif, 2017).
4.
Bani Adam
Kata bani Adam ditemukan sebanyak 7 kali dan tersebar
dalam 3 surat. Secara etimologi kata bani
Adam menunjukkan arti pada keturunan nabi Adam as. Dalam ungkapan lain disebutkan
dengan kata dzuriyat adam (Syarif, 2017).
Konsep Islam dalam Al-Quran tentang hakikat
manusia berdasarkan ungkapan kata al-basyar,
al-insan, al-naas, dan bani adam atau
dzuriyyat adam, sebagaimana disebutkan
di atas, memberikan gambaran keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai
individu, sosial, budaya, dan makhluk Allah Swt. Kondisi demikian menempatkan manusia
secara seimbang antara teosentris dan antroposentris (Syarif, 2017).
Manusia merupakan makhluk yang
diciptakan Allah Swt. untuk menjadi khalifah
di bumi. Agar dapat menjalankan tugas ke-khalifah-annya,
maka manusia diberikan bekal oleh Allah Swt. berupa nafsu dan akal. Dengan
bekal nafsu, manusia memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya
menjadi lebih baik, lebih nyaman, lebih sejahtera, dan lebih modern. Untuk
mewujudkan keinginannya tersebut, manusia dapat menggunakan akalnya untuk
berpikir, berkreasi, dan berinovasi untuk menemukan sains dan teknologi guna
menciptakan produk-produk teknologi yang memudahkan kehidupan manusia. Dengan
bekal akalnya, manusia telah mampu menciptakan berbagai teknologi maju untuk
membantu riset-riset yang lebih maju lagi.
Karena memiliki nafsu dan akal lah,
maka manusia berbeda dengan makhluk-makhluk Allah Swt yang lain. Manusia
memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt., sehingga manusia diutus untuk
menjadi khalifah di bumi. Nikmat Allah Swt. berupa nafsu dan akal menjadikan
manusia merupakan makhluk yang unik. Keunikan manusia sampai sulit dipahami
oleh manusia itu sendiri. Hingga saat ini, para ahli masih mengalami kesulitan
untuk mendefinisikan hakikat manusia secara lengkap dan komprehensif. Para ahli
mendefinisikan manusia secara parsial-parsial dimana definisi satu ahli tidak
mampu mengakomodir definisi ahli yang lain. Para ahli masih belum mampu merumuskan satu
definisi paripurna yang mampu mendeskripsikan hakikat manusia secara lengkap.
C. Manusia Sebagai Makhluk
Bermasyarakat
Di antara makhluk-makhluk di dunia ini, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang paling sempurna. Kesempurnaan penciptaan manusia dibandingkan makhluk lain ini dinyatakan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin
[95]: 4).
Walaupun
menjadi makhluk yang paling baik bentuknya dan paling sempurna penciptaannya,
manusia tetaplah makhluk yang memiliki kelemahan. Manusia memiliki banyak
kelemahan dibandingkan makhluk lain. Tetapi kelemahan yang dimiliki manusia
justru mampu membuatnya menjadi makhluk yang paling beradab. Peradaban maju
umat manusia dapat terwujud karena manusia berusaha mencari solusi atas segala
permasalahan hidupnya. Kelemahan yang dimilikinya justru telah mendorong
manusia mengenali potensi dan kemampuannya sehingga akhirnya mampu membangun
peradaban yang maju dan modern. Pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia
akhirnya tidak hanya bergantung pada alam, melainkan dapat terfasilitasi berkat
daya pikir, kreasi, dan inovasinya yang tiada henti.
Dalam mewujudkan keinginannya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, manusia tidak bisa bekerja secara individual. Manusia memerlukan
saling bekerjasama dan berkolaborasi. Karena setiap individu memiliki
keunggulan sendiri-sendiri, maka ketika individu-individu bersatu bekerjasama
dan berkolaborasi dalam satu tujuan yang sama, maka akan dihasilkan hasil yang maksimal.
Sebaliknya jika tujuan tersebut dilakukan secara individu maka hasilnya pasti
kurang maksimal karena setiap individu memiliki kelemahan.
Fitrah diciptakannya manusia adalah untuk menjadi makhluk
yang bermasyarakat. Manusia tercipta dengan kondisi yang berbeda-beda -berbeda
suku, ras, bangsa, bahasa, warna kulit, bentuk rambut, warna bola mata, bentuk
hidung, dan lain sebagainya- agar manusia saling mengenal satu sama lain. Dengan
mengenal satu dengan yang lain, manusia akan berinteraksi dan akhirnya
bekerjasama. Sekumpulan manusia yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama
akhirnya akan membentuk unit-unit masyarakat kecil hingga unit masyarakat yang
lebih besar. Semakin besar tujuan yang ingin dicapai maka semakin besar unit
masyarakat yang dibentuk.
Karena banyak memiliki kelemahan, maka manusia memerlukan
kerjasama. Ikan mampu hidup dan menyelam
di samudera yang dalam, sedangkan manusia tidak mampu. Burung bisa terbang
tinggi mengarungi angkasa luas sedangkan manusia tidak mampu. Cacing bisa hidup
dan menembus ke dalam tanah sedangkan manusia tidak mampu. Tetapi dengan
kelebihan kemampuan akal untuk berpikir, manusia mampu melakukan apa yang
dilakukan oleh hewan-hewan tersebut dan bahkan melebihinya. Manusia dengan
teknologi maju yang diciptakannya mampu menyelam ke dalam samudera, mampu
terbang dan bergerak dengan sangat cepat di udara, dan mampu menembus ke dalam
bumi. Tetapi untuk dapat menciptakan teknologi maju tersebut, manusia harus
bekerjasama satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang sendirian mampu
menciptakan alat atau pesawat modern. Sebuah pesawat terbang dapat diciptakan
melibatkan banyak ahli seperti ahli material, ahli matematika, ahli fisika, ahli
aerodinamika, ahli navigasi, ahli penerbangan, ahli bahan bakar, dan lain
sebagainya. Sebuah kapal selam dapat diciptakan melibatkan banyak ahli seperti
ahli material, ahli bahan bakar, ahli fisika, ahli navigasi, ahli kimia, ahli
matematika, dan lain sebagainya.
Demikianlah, kelemahan yang dimiliki oleh manusia dapat
ditutupi oleh kelebihan akalnya untuk berpikir, tetapi untuk mewujudkan hasil
pemikirannya menjadi produk teknologi yang bisa dipergunakan, manusia
memerlukan kerjasama dan kolaborasi antar sesama yang memiliki keahlian
berbeda-beda. Perbedan keahlian yang dimiliki manusia jika disatukan melalui
sebuah kerjasama yang kompak dan solid akan menghasilkan hasil temuan ilmu dan
teknologi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia. Inilah fitrah penciptaan
manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat.
D. Puasa Ramadan: Hikmah Kewajiban
Berpuasa
Bulan
Ramadan adalah bulan yang istimewa. Keistimewaannya bukan hanya karena bulan
diturunkannya kitab suci Al-Qur’an hingga terdapatnya malam Lailatul Qadar.
Tetapi, di bulan Ramadan juga terdapat ibadah yang diwajibkan untuk
dilaksanakan oleh seluruh umat Islam, yaitu berpuasa, sebagaimana telah
diperintahkan Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Karena keistimewaan
inilah maka bulan Ramadan diyakini sebagai bulan yang penuh kemuliaan (Saputro, 2023a).
Puasa
Ramadan merupakan ibadah yang diwajibkan bagi setiap orang Islam yang telah baligh
selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Ibadah puasa Ramadan memiliki kedudukan
yang istimewa bagi setiap orang Islam. Orang Islam memaknai puasa Ramadan
sebagai jenis ibadah yang “istimewa” karena berbeda dengan ibadah-ibadah wajib
lainnya. Pahala dari menjalankan ibadah puasa Ramadan tidak dinyatakan secara
jelas sebagaimana ibadah yang lain, melainkan hanya dinyatakan bahwa puasa
Ramadan itu untuk Allah Swt dan Allah Swt sendiri yang akan membalasnya.
Setiap tahun di bulan Ramadan umat
Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Ibadah puasa Ramadan bukan hanya
ibadah terkait aspek fisik jasmani, tetapi juga sangat berkaitan dengan aspek
psikis (rohani). Banyak hikmah yang terkandung dalam perintah ibadah puasa
Ramadan. Agung Nugroho Catur Saputro dalam bukunya berjudul Spiritualisme
Lapar dalam Ibadah Puasa (KBM
Indonesia, 2023) menjelaskan beberapa hikmah dari puasa Ramadan, yaitu
antara lain puasa sebagai sarana membangkitkan empati diri, puasa mengajarkan
kejujuran, puasa membangkitkan sifat welas asih, puasa melatih sikap
profesional, dan lain sebagainya (Saputro, 2023b).
Puasa
Ramadan memang jenis ibadah yang unik. Ada beberapa dalil yang mendukung
keunikan dari puasa Ramadan. Dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw menyatakan
bahwa banyak orang yang menjalankan puasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa
selain rasa lapar dan haus. Artinya, banyak orang yang menjalankan puasa
Ramadan tetapi puasanya tidak diterima Allah Swt. Mereka tidak mendapatkan
pahala atas puasa yang dilakukan. Mereka hanya telah menggugurkan kewajibannya
untuk menjalankan puasa Ramadan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang
yang merugi karena telah bersusah payah menjalankan puasa Ramadan tetapi tidak
memperoleh fadhilah dari puasa itu sendiri. Mengapa bisa seseorang berpuasa
tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lapar dan haus? Pertanyaan ini
harus menjadi renungan umat Islam.
Puasa
identik dengan rasa lapar dan haus. Orang yang berpuasa pasti merasakan rasa
lapar dan haus. Merujuk pada firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah ayat 183
yang menyatakan tujuan diperintahkannya puasa adalah untuk menjadi orang yang
bertakwa. Apakah berpuasa yang hanya menahan diri dari makan dan minum sejak
terbit fajar hingga terbenamnya matahari mampu menjadikan seseorang menjadi
orang yang bertakwa? Jika hanya menahan rasa lapar dan haus selama sehari saja mampu
membuat seseorang mencapai derajat muttaqin, maka muncul pertanyaan: Apakah fakir
miskin dan kaum dhuafa yang mungkin tidak hanya sehari mereka menahan rasa lapar dan haus, tetapi bahkan mungkin
bisa beberapa hari, tidak lebih tinggi derajat ketakwaannya dibandingkan orang
yang berpuasa? Jika orang berpuasa yang karena mampu menahan lapar dan haus
sehari dibalas dengan surga, apakah fakir miskin dan orang-orang dhuafa yang
mungkin kelaparan selama berhari-hari tidak lebih berhak mendapatkan surga? Secara
akal sehat, jika keutamaan puasa karena menahan lapar dan haus, maka seharusnya
fakir miskin dan kaun dhuafa lebih bertakwa dan lebih berhak mendapatkan surga
dibandingkan orang yang puasa. Di sinilah kita umat Islam harus berpikir dan
merenungkanannya.
Menurut
pendapat penulis, mengapa orang yang berpuasa Ramadan bisa mendapatkan keutamaan
dan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Allah Swt pastilah karena ada
sesuatu yang istimewa di balik pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Dengan mendasarkan pada hadis Rasulullah Saw
bahwa puasa itu untuk Allah dan Allah lah yang akan membalasnya, tanpa
menyebutkan balasan apa yang akan diberikan kepada orang yang berpuasa, dan
juga hadis Nabi Saw yang menyatakan banyak orang yang berpuasa tetapi tidak
memperoleh apa-apa selain rasa lapar dan haus, sudah cukup memberikan petunjuk
bagi orang yang mau berpikir dan merenung bahwa rasa lapar dan haus akibat
menjalankan puasa tidak memiliki keistimewaan di hadapan Allah Swt. Mengapa?
Karena masih banyak orang lain yang lebih kelaparan dan kehausan dibandingkan
orang yang berpuasa, yakni orang-orang fakir miskin dan kaum dhuafa. Jika orang
berpuasa masih bisa berharap merasakan kelezatan makanan dan minuman saat waktu
berbuka telah datang, maka tidaklah demikian dengan fakir miskin dan kaum
dhuafa. Fakir miskin dan kaum dhuafa tidak tahu sampai kapan mereka akan
merasakan kelaparan dan kehausan karena mereka memang tidak memiliki makanan
untuk dimakan.
Dengan
menggunakan pola pikir tersebut di atas, maka penulis berpikir bahwa yang
membuat orang yang berpuasa istimewa di hadapan Allah Swt adalah bukan karena
puasanya, tetapi dampak positif atau hikmah kebaikan yang muncul dari
pelaksanaan ibadah puasanya. Lantas, apakah dampak positif atau hikmah kebaikan
yang terkandung dalam perintah kewajiban ibadah puasa Ramadan? Inilah tugas
umat Islam untuk memikirkan, merenungkan, menemukan dan melaksanakannya.
E. Pengaruh Puasa Ramadan Terhadap Sifat
Kemanusiaan
Puasa
Ramadan mendidik umat Islam mengenali kembali sisi kemanusiaannya. Dengan
melatih diri merasakan rasa kelaparan dan kehausan setiap harinya selama
sebulan penuh diharapkan akan mampu membangunkan kesadaran diri bahwa betapa
hidup dalam kondisi menahan lapar dan haus itu tidak menyenangkan. Merasakan
lapar dan haus seharian saja sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari
telah terasa sangat berat dan tidak enak, lalu bagaimana keadaan orang-orang
miskin dan tidak punya yang mungkin sepanjang hari dan entah akan berapa hari
mereka harus merasakan perihnya perut menahan lapar? Di sinilah umat Islam
diajarkan oleh Allah Swt melalui perintah puasa Ramadan selama sebulan penuh
agar memiliki rasa empati pada sesama.
Umat
Islam setiap tahun selalu diingatkan melalui perintah puasa Ramadan bahwa hidup
di dunia ini tidak sendirian. Hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong
sesama manusia. Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk sosial yang
memerlukan interaksi dan saling membantu satu sama lain. Dalam berinteraksi
sesama manusia diperlukan sikap pengendalian diri agar terwujud pola interaksi
dan pola kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, dan tenteram. Tanpa ada
kemampuan mengendalikan diri, maka setiap orang akan mengedepankan sikap egois
dan mementingkan kebutuhan pribadi, sedangkan kebutuhan bersama atau kepentingan
masyarakat akan terabaikan. Jika di masyarakat orang-orang sudah hanya
mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, maka dapat
dipastikan kehidupan di masyarakat tersebut akan kacau dan timbul banyak
permasalahan. Di sinilah kita diingatkan melalui kewajiban puasa Ramadan setiap
tahun di bulan Ramadan untuk melatih diri memperkuat sikap pengendalian diri.
Sikap
pengendalian diri dimulai dari pengendalian terhadap kebutuhan fa’ali yaitu kebutuhan makan, minum, dan
berhubungan seksual. Kebutuhan fa’ali
merupakan kebutuhan pokok manusia yang pertama. Kebutuan pokok manusia yang
kedua adalah kebutuhan akan ketenteraman dan keamanan, kemudian kebutuhan
ketiga adalah kebutuhan akan keterikatan pada kelompok. Kebutuhan pokok keempat
adalah kebutuhan akan rasa penghormatan, dan kebutuhan pokok manusia yang
kelima adalah kebutuhan akan pencapaian cita-cita (Shihab, 1992).
Mengapa
berkaitan dengan aspek fisik jasmani, puasa Ramadan lebih ditekankan pada
pengendalian terhadap kebutuhan fa’ali?
Terhadap pertanyaan ini, Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992) memberikan
penjelasan karena kebutuhan fa’ali
merupakan kebutuhan pokok manusia yang pertama. Seseorang yang mampu
mengendalikan dirinya dalam kebutuhan pertama, akan dengan mudah mengendalikan
kebutuhan-kebutuhannya yang berada pada posisi berikutnya. Kebutuhan kedua
tidak akan mendesaknya sebelum kebutuhan pertama terpenuhi. Bahkan seseorang
dapat mengendalikan kebutuhan berikutnya jika kebutuhan sebelumnya belum
terpenuhi.
Puasa
Ramadan sebagaimana dinyatakan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 183 adalah
bertujuan untuk memperoleh takwa. Tujuan tersebut dapat tercapai hanya jika
kita dapat menghayati arti puasa itu sendiri. Untuk dapat memahami dan
menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut
hakikat manusia dan kewajibannya di bumi. Pertama,
manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah yang kemudian dihembuskan kepadanya
Ruh ciptaan-Nya dan kemudian diberikan potensi diri (kemampuan, bakat, minat)
sehingga manusia layak menjadi khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan
bumi. Dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab (1992), bahwa dalam
Kitab Perjanjian Lama dan juga hadis-hadis, ditemukan bahwa Tuhan menciptakan
manusia menurut “petanya”, dalam arti diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat
Tuhan sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju bumi, ia (Adam) transit dulu
di surga agar pengalaman yang diperolehnya di sana dapat dijadikan bekal dalam
menyukseskan tugas pokoknya di bumi. Hal ini akan mendorongnya untuk
menciptakan bayangan surga di bumi.
Prof.
Dr. M. Quraish Shihab (1992) menambahkan,
jika ditinjau dari segi hukum puasa, maka sifat Tuhan yang diusahakan untuk
diteladani oleh orang yang berpuasa adalah: (1) bahwa Dia (Tuhan) memberi makan
dan tidak (diberi) makan (QS. 6: 14); dan (2) Dia (Tuhan) tidak memiliki teman
wanita (istri) (QS.6: 101). Kedua hal ini terpilih untuk diteladani oleh orang
yang berpuasa karena keduanya merupakan kebutuhan fa’ali manusia yang terpenting. Keberhasilan dalam mengendalikan
kedua hal tersebut akan mengantarkan kepada kesuksesan dalam mengendalikan
kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Banyak
orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan tetapi tidak memperoleh (pahala)
kebaikan apa-apaun dari Allah Swt. selain hanya merasakan rasa lapar dan
dahaga. Terjadinya fenomena ini telah lama dinyatakan oleh Rasulullah Saw.
dalam sabdanya. Mengapa fenomena tersebut bisa terjadi? Hal itu terjadi karena
disebabkan yang bersangkutan tidak menghayati tujuan puasa yang sebenarnya,
yaitu meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya yang berjumlah sembilan puluh sembilan
itu. Sifat “Maha Pengampun” dan “Maha Pemaaf”, misalnya, haruslah diteladani
oleh siapa saja yang berpuasa Ramadan. Demikian pula dengan sifat “Maha
Pengasih” dan “Maha Penyayang”. Sifat-sifat ini dituntut pula untuk diteladani
sehingga rahmat dan kasih sayang terasa bagi seluruh makhluk Tuhan (Shihab, 1992).
Jika
sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan puluh sembilan tersebut dapat
diteladani oleh orang yang mengerjakan puasa Ramadan, maka yang bersangkutan akan
mampu mewujudkan dirinya menjadi manusia sejati, yaitu manusia dengan
sifat-sifat seperti peta penciptaannya, menjadi khalifah Allah di bumi dan
memakmurkan bumi. Dengan mengerjakan puasa Ramadan setiap tahun dan menghayati
tujuan puasa itu sendiri, maka umat Islam dapat merealisasikan tujuan
penciptannya sebagai khalifatullah fi al
ardhi.
F. Simpulan
Puasa
Ramadan merupakan jenis ibadah wajib yang memiliki makna tersendiri bagi orang
Islam. Dalam perintah puasa Ramadan, Allah Swt memang tidak menyatakan secara
jelas pahala yang akan didapat oleh orang yang mengerjakan puasa. Tetapi Allah
Swt sebagaimana termaktum dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 menjelaskan bahwa tujuan
diperintahkannya ibadah puasa Ramadan adalah agar orang-orang yang beriman
menjadi orang-orang yang bertakwa.
Tujuan
pembentukan menjadi orang-orang yang bertakwa (muttaqin) inilah yang menjadi keistimewaan dari ibadah puasa
Ramadan. Kata muttaqin memiliki makna
yang mendalam karena merujuk kepada sebuah sikap kepatuhan pada perintah Allah
Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian karena puasa Ramadan
dikatakan dapat membentuk seseorang meencapai derajat muttaqin, maka tentulah
dalam perintah ibadah puasa Ramadan terkandung pesan tersirat yang sangat
penting dan sangat istimewa dalam pandangan Allah Swt. Pastilah pelaksanaan
ibadah puasa Ramadan tidak hanya berkaitan dengan aspek kebutuhan jasmani individual
seperti menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan seksual di siang
hari., tetapi pasti juga merujuk ke aspek yang lebih luas yang menyangkut
kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Perintah
puasa Ramadan dengan tujuan yang begitu mulianya pastilah terkandung pesan agar
orang yang berpuasa kembali menjadi sosok manusia sejati. Sosok manusia yang
benar-benar bersifat dan bersikap layaknya manusia dengan segala kelebihan dan
keistimewaannya di mata Allah Swt. Sosok manusia yang memiliki sifat
kemanusiaan dan cinta pada sesama. Karena kesibukan dengan urusan pemenuhan
kebutuhan duniawi terkadang membuat manusia melupakan jati dirinya sebagai
makhluk bermasyarakat. Nah, puasa Ramadan dengan misi mengembalikan manusia
kembali ke jati dirinya sebagaimana peta penciptaannya melalui hikmah menahan
rasa lapar dan haus. Jadi ibadah puasa Ramadan merupakan jenis ibadah yang
membawa misi kemanusiaan, yakni mengajarkan umat Islam mengenali hakikat
dirinya sebagai manusia yang meneladani sifat-sifat Tuhannya. Wallahu a’lam bish shawab. []
Referensi
Karman,
K. (2018). Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Saputro,
A. N. C. (2020, September 12). Pendidikan Sebagai Sarana Aktuallisasi Fitrah
Manusia. Retrieved March 25, 2023, from Agung Nugroho Catur Saputro website: https://sharing-literasi.blogspot.com/2020/09/pendidikan-sebagai-sarana-aktualisasi.html
Saputro,
A. N. C. (2023a). Spiritualisme Lapar dalam Ibadah Puasa: Mencari Mutiara
Hikmah Dibalik Kemuliaan Bulan Ramadan. Yogyakarta: KBM Indonesia.
Saputro,
A. N. C. (2023b, February 23). Ramadan Bulan Perbaikan Diri. Retrieved March
27, 2023, from Sahabat Pena Kita website:
https://sahabatpenakita.id/ramadan-bulan-perbaikan-diri/
Shihab,
M. Q. (1992). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.
Syarif,
M. (2017). Hakekat Manusia dan Implikasinya Pada Pendidikan Islam. Jurnal
Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 2(2), 135–147. doi:
10.25299/althariqah.2017.vol2(2).1042
________________________________
*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di
Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta :
KBM Indonesia, 2022), Spiritualisme Lapar
dalam Ibadah Puasa (Yogyakarta : KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar