Sumber Gambar : https://republika.co.id/berita/humaira/sana-sini/14/08/14/naalni-empati-tanda-orang-cerdas-emosi |
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Tahukah kita, apa persamaan antara orang
yang seharian berpuasa dengan orang yang seharian tidak makan dan minum? Ya,
keduanya sama-sama merasakan rasa lapar dan haus. Tahukah kita, apa perbedaan
antara orang yang berpuasa dengan orang yang kelaparan? Ya betul, orang yang
berpuasa menyengaja diri untuk merasakan lapar sedangkan orang yang kelaparan
terpaksa merasakan lapar. Apakah berbeda antara menyengaja lapar dengan
terpaksa merasakan lapar?
Menyengaja lapar dengan terpaksa lapar jelas
beda. Orang yang menyengaja merasakan rasa lapar pasti memiliki tujuan
tertentu, sedangkan orang yang terpaksa menahan rasa lapar tidak memiliki
tujuan tertentu. Kondisi kedua orang tersebut sangat jauh berbeda. Seandainya
kepada kedua orang tersebut dihidangkan makanan yang enak, maka orang yang
berpuasa atau menyengaja lapar pasti tidak akan memakan makanan tersebut. Sebaliknya,
orang yang terpaksa menahan rasa lapar pasti akan segera menyantap makanan
tersebut denga lahapnya. Dari ilustrasi singkat ini, apa pelajaran yang dapat
kita ambil? Apa hikmahnya bagi puasa Ramadan kita tahun ini?
Puasa Ramadan memang kewajiban bagi
setiap orang Islam. Menjalankan ibadah puasa Ramadan adalah sebuah keharusan
bagi setiap orang Islam yang sudah baligh tanpa terkecuali. Walaupun ada
beberapa orang yang diperbolehkan secara syariat untuk tidak berpuasa karena
kondisi tertentu, tetapi pada hakikatnya keringanan tersebut tidak
menghilangkan kewajibannya untuk berpuasa karena ia tetap harus mengganti puasa
yang ditinggalkannya di waktu lain dan dengan cara lain. Jika kita berpuasa
hanya sekadar untuk menjalankan kewajiban, maka nilai puasa kita hanya sebatas
penggugur kewajiban. Puasa yang seperti itu tidak akan memiliki nilai plus. Puasa
dengan niat sekadar menjalankan kewajiban tidak akan berdampak apa-apa, hanya
sekadar telah terpenuhi kewajibannya. Berbeda halnya dengan jika kita berpuasa
selain untuk menjalankan kewajiban juga untuk memperoleh hikmah di balik rasa
lapar yang kita rasakan ketika berpuasa. Apa hikmah yang dapat kita peroleh
dari aktivitas kita berjam-jam menahan rasa lapar dan haus ketika sedang
berpuasa?
Sahabat pembaca yang budiman. Mari kita
renungkan bersama. Apakah nilai puasa kita itu hanya berasal dari penderitaan
kita menahan rasa lapar dan haus beberapa jam saja? Ataukah nilai puasa kita
berasal dari dampak dari puasa yang kita lakukan? Apakah balasan pahala dari
Allah Swt akan kita peroleh karena kita mau berlapar-lapar beberapa jam saja
ataukah karena kita mampu menemukan hikmah di balik perintah puasa dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari kita? Andaikan kita
diberikan pahala oleh Allah Swt karena kita menahan lapar saat berpuasa
beberapa jam saja, mana yang lebih berhak mendapatkan balasan pahala antara
kita yang hanya merasakan lapar dan haus beberapa jam saja ataukah orang-orang
dhuafa yang mungkin merasakan lapar seharian dan bahkan mungkin beberapa hari?
Mana yang lebih istimewa antara kita yang berpuasa beberapa jam saja dengan
mereka yang setiap hari sering merasakan
kelaparan?
Dengan menggunakan kerangka berpikir di
atas, nalar sehat kita pasti akan menolak argumen bahwa Allah Swt memberikan
balasan pahala dan bahkan mungkin surga karena kita merasakan lapar dan haus
ketika berpuasa. Allah Swt pasti menghargai puasa kita dengan balasan pahala
dan surga pasti karena sebab lain. Makanya Allah Swt berfirman bahwa puasa itu
untuk-Nya. Allah swt sendiri yang akan membalasnya. Juga sabda Rasulullah Saw
yang menyatakan bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan
apa-apa (balasan pahala dari Allah Swt) kecuali rasa lapar dan haus saja. Hal ini
menunjukkan bahwa rasa lapar dan haus yang kita rasakan saat berpuasa itu
kurang berharga di hadapan Allah swt. Ada yang lebih berharga dari sekadar
merasakan lapar dan haus dari ibadah puasa kita. Apakah sesuatu yang berharga dari
ibadah puasa tersebut? Inilah yang harus kita cari apakah sesuatu tersebut. Sesuatu
yang berharga dalam perintah ibadah puasa pastilah sesuatu yang tersirat berupa
hikmah. Hikmah puasa inilah yang harus kita renungkan agar kita mampu meraih
sesuatu yang berharga tersebut sehingga puasa kita diterima Allah Swt.
Kenyang adalah simbol kenikmatan duniawi
sedangkan rasa lapar atau melepaskan diri dari rasa kenyang adalah simbol
melepaskan diri dari kenikmatan duniawi. Puasa pada hakikatnya adalah
melepaskan tubuh jasmaniah kita dari belenggu kenikmatan duniawi. Ketika kita
mampu melepaskan tubuh jasmaniah kita dari ikatan-ikatan kenikmatan duniawi
yang membelenggu jiwa atau rohani kita, maka saat itulah rohani kita terbebaskan
dari unsur duniawi. Ketika unsur rohani kita telah kita bebaskan dari
keterikatan terhadap unsur duniawi, maka kehidupan kita akan didominasi oleh
unsur rohani. Jiwa atau rohani kita akan merasakan kebahagiaan tatkala ia bebas
berkelana menyelami dunia rohani. Kenikmatan dunia rohani jauh lebih
menyenangkan dibandingkan kenikmatan dunia jasmaniah. Kenikmatan secara psikis
jauh lebih menyenangkan dibandingkan kenikmatan fisik. Itulah mengapa ketika
seseorang telah mampu melepaskan diri dari keterikatannya terhadap kenikmatan
duniawi, ia akan merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Sebagai contoh, bagaimana kita bisa
menjelaskan perasaan bahagia yang tiba-tiba muncul tatkala kita habis bersedekah
atau membantu orang lain? Secara duniawi kita telah kehilangan harta benda kita
(uang) karena kita berikan/sedekahkan untuk orang lain yang tidak mampu dan
membutuhkan, tetapi mengapa justru batin kita merasa bahagia? Bandingkan
kebahagiaan kita saat kita mendapatkan rezeki melimpah dengan ketika kita
bersedekah, pasti akan sangat terasa perbedaan kadar kebahagiaan kita. Mengapa bisa
seperti itu? Inilah rahasia ilahi dari melepaskan diri dari keterikatan atau
diperbudak oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi.
Saat diri kita mampu melepaskan diri
dari diperbudak oleh kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, maka jiwa kita
akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Di sinilah hikmah dari puasa yang tidak
dapat dipahami secara nalar karena ini bukan domain rasionalitas melainkan
domain spiritualitas. Jadi puasa bukan hanya aktivitas jasmaniah saja tetapi
juga telah masuk ke ranah spiritualitas. Sisi spiritutualitas kita harus sering
kita bangkitkan melalui aktivitas-aktivitas yang berorientasi rohani agar jiwa
kita semakin peka terhadap signal-signal dari Allah swt.
Berpuasa pasti merasakan rasa lapar,
haus, dan badan terasa lemah kurang berenergi. Hal ini wajar karena tubuh kita
tidak mendapatkan asupan makanan dalam beberapa jam. Justru tidak wajar jika
ada orang yang berpuasa tetapi ia tidak merasakan rasa lapar, haus dan lemahnya
tubuh karena ia mungkin mengkonsumsi suplemen makanan sehingga terhindar dari
rasa lapar dan tubuhnya tetap berenergi. Tujuan berpuasa adalah untuk merasakan
rasa lapar, haus dan tubuh yang lemah karena itulah yang dirasakan oleh
orang-orang dhuafa yang kelaparan karena tidak makan. Dengan merasakan
kelaparan dan kehausan hanya beberapa jam saja, kita dilatih untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak seberuntung kita yang
bisa setiap saat makan dan minum sepuasnya.
Orang-orang dhuafa bisa tidak hanya
beberapa jam, bisa sehari atau bahkan mungkin beberapa hari menahan rasa lapar
dan tubuh yang lemah karena tidak punya makanan untuk dimakan. Maka dengan uji
coba merasakan rasa yang sama dengan yang dirasakan oleh orang-orang dhuafa diharapkan
akan memunculkan rasa empati pada diri kita. Dengan merasakan rasa lapar dan
haus di siang hari selama sebulan penuh melalui ibadah wajib puasa Ramadan,
kita diharapkan memiliki rasa empati terhadap penderitaan orang lain yang belum
seberuntung kita. Dalam kbbi online kata “empati” diartikan sebagai keadaan
mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam
keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Jadi berpuasa melatih diri kita juga meraskan rasa lapar yang sering dirasakan
oleh orang-orang dhuafa. Puasa Ramadan yang kita jalankan dengan sepenh hati
dan menyadari hakikat dari tujuan diperintahkannya berpuasa akan mampu
membentuk diri kita menjadi pribadi yang memiliki kesalihan sosial.
Puasa adalah ibadah yang memiliki dampak
positif terhadap kehidupan sosial. Puasa bukan untuk diri kita, tetapi untuk
kebaikan bersama yaitu terbentuknya rasa kepedulian dan empati terhadap sesama hamba
Allah swt. Dengan menjalankan perintah ibadah puasa Ramadan dan mengambil hikmahnya
akan mampu membuat kita menjadi hamba-hamba yang suka berorientasi pada
kebaikan. Sebaik-sebaik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi orang
lain. Puasa Ramadan hanyalah sarana uji coba kita untuk menjadi pribadi yang
memiliki kesalehan sosial, sedangkan implementasi dari kesalihan sosial kita
adalah ketika kita keluar dari bulan Ramadan. Jika di bulan Ramadan seseorang menjadi
dermawan, itu hal biasa karena situasinya mendukung dan banyak temannya serta
dijanjikan mendapat balasan pahala berlipat ganda. Tetapi jika di luar bulan
Ramadan ia tetap dermawan, maka itu barulah luar biasa. Ini menunjukkan bahwa puasanya
telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Puasanya telah menjadi
sarana dia bertransformasi menjadi pribadi yang muttaqin. Wallahu a’lam bish-shawab. []
Gumpang Baru, 2 Ramadan 1442 H (14 April
2021)
*) Di tulis sebelum dan sesudah makan sahur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar