Powered By Blogger

Selasa, 13 April 2021

PUASA SEBAGAI SARANA MEMBANGKITKAN EMPATI DIRI

 

Sumber Gambar : https://republika.co.id/berita/humaira/sana-sini/14/08/14/naalni-empati-tanda-orang-cerdas-emosi

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Tahukah kita, apa persamaan antara orang yang seharian berpuasa dengan orang yang seharian tidak makan dan minum? Ya, keduanya sama-sama merasakan rasa lapar dan haus. Tahukah kita, apa perbedaan antara orang yang berpuasa dengan orang yang kelaparan? Ya betul, orang yang berpuasa menyengaja diri untuk merasakan lapar sedangkan orang yang kelaparan terpaksa merasakan lapar. Apakah berbeda antara menyengaja lapar dengan terpaksa merasakan lapar?

 

Menyengaja lapar dengan terpaksa lapar jelas beda. Orang yang menyengaja merasakan rasa lapar pasti memiliki tujuan tertentu, sedangkan orang yang terpaksa menahan rasa lapar tidak memiliki tujuan tertentu. Kondisi kedua orang tersebut sangat jauh berbeda. Seandainya kepada kedua orang tersebut dihidangkan makanan yang enak, maka orang yang berpuasa atau menyengaja lapar pasti tidak akan memakan makanan tersebut. Sebaliknya, orang yang terpaksa menahan rasa lapar pasti akan segera menyantap makanan tersebut denga lahapnya. Dari ilustrasi singkat ini, apa pelajaran yang dapat kita ambil? Apa hikmahnya bagi puasa Ramadan kita tahun ini?

 

Puasa Ramadan memang kewajiban bagi setiap orang Islam. Menjalankan ibadah puasa Ramadan adalah sebuah keharusan bagi setiap orang Islam yang sudah baligh tanpa terkecuali. Walaupun ada beberapa orang yang diperbolehkan secara syariat untuk tidak berpuasa karena kondisi tertentu, tetapi pada hakikatnya keringanan tersebut tidak menghilangkan kewajibannya untuk berpuasa karena ia tetap harus mengganti puasa yang ditinggalkannya di waktu lain dan dengan cara lain. Jika kita berpuasa hanya sekadar untuk menjalankan kewajiban, maka nilai puasa kita hanya sebatas penggugur kewajiban. Puasa yang seperti itu tidak akan memiliki nilai plus. Puasa dengan niat sekadar menjalankan kewajiban tidak akan berdampak apa-apa, hanya sekadar telah terpenuhi kewajibannya. Berbeda halnya dengan jika kita berpuasa selain untuk menjalankan kewajiban juga untuk memperoleh hikmah di balik rasa lapar yang kita rasakan ketika berpuasa. Apa hikmah yang dapat kita peroleh dari aktivitas kita berjam-jam menahan rasa lapar dan haus ketika sedang berpuasa?

 

Sahabat pembaca yang budiman. Mari kita renungkan bersama. Apakah nilai puasa kita itu hanya berasal dari penderitaan kita menahan rasa lapar dan haus beberapa jam saja? Ataukah nilai puasa kita berasal dari dampak dari puasa yang kita lakukan? Apakah balasan pahala dari Allah Swt akan kita peroleh karena kita mau berlapar-lapar beberapa jam saja ataukah karena kita mampu menemukan hikmah di balik perintah puasa dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari kita? Andaikan kita diberikan pahala oleh Allah Swt karena kita menahan lapar saat berpuasa beberapa jam saja, mana yang lebih berhak mendapatkan balasan pahala antara kita yang hanya merasakan lapar dan haus beberapa jam saja ataukah orang-orang dhuafa yang mungkin merasakan lapar seharian dan bahkan mungkin beberapa hari? Mana yang lebih istimewa antara kita yang berpuasa beberapa jam saja dengan mereka yang setiap hari sering  merasakan kelaparan?

 

Dengan menggunakan kerangka berpikir di atas, nalar sehat kita pasti akan menolak argumen bahwa Allah Swt memberikan balasan pahala dan bahkan mungkin surga karena kita merasakan lapar dan haus ketika berpuasa. Allah Swt pasti menghargai puasa kita dengan balasan pahala dan surga pasti karena sebab lain. Makanya Allah Swt berfirman bahwa puasa itu untuk-Nya. Allah swt sendiri yang akan membalasnya. Juga sabda Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa (balasan pahala dari Allah Swt) kecuali rasa lapar dan haus saja. Hal ini menunjukkan bahwa rasa lapar dan haus yang kita rasakan saat berpuasa itu kurang berharga di hadapan Allah swt. Ada yang lebih berharga dari sekadar merasakan lapar dan haus dari ibadah puasa kita. Apakah sesuatu yang berharga dari ibadah puasa tersebut? Inilah yang harus kita cari apakah sesuatu tersebut. Sesuatu yang berharga dalam perintah ibadah puasa pastilah sesuatu yang tersirat berupa hikmah. Hikmah puasa inilah yang harus kita renungkan agar kita mampu meraih sesuatu yang berharga tersebut sehingga puasa kita diterima Allah Swt.

 

Kenyang adalah simbol kenikmatan duniawi sedangkan rasa lapar atau melepaskan diri dari rasa kenyang adalah simbol melepaskan diri dari kenikmatan duniawi. Puasa pada hakikatnya adalah melepaskan tubuh jasmaniah kita dari belenggu kenikmatan duniawi. Ketika kita mampu melepaskan tubuh jasmaniah kita dari ikatan-ikatan kenikmatan duniawi yang membelenggu jiwa atau rohani kita, maka saat itulah rohani kita terbebaskan dari unsur duniawi. Ketika unsur rohani kita telah kita bebaskan dari keterikatan terhadap unsur duniawi, maka kehidupan kita akan didominasi oleh unsur rohani. Jiwa atau rohani kita akan merasakan kebahagiaan tatkala ia bebas berkelana menyelami dunia rohani. Kenikmatan dunia rohani jauh lebih menyenangkan dibandingkan kenikmatan dunia jasmaniah. Kenikmatan secara psikis jauh lebih menyenangkan dibandingkan kenikmatan fisik. Itulah mengapa ketika seseorang telah mampu melepaskan diri dari keterikatannya terhadap kenikmatan duniawi, ia akan merasakan kebahagiaan yang tak terkira.

 

Sebagai contoh, bagaimana kita bisa menjelaskan perasaan bahagia yang tiba-tiba muncul tatkala kita habis bersedekah atau membantu orang lain? Secara duniawi kita telah kehilangan harta benda kita (uang) karena kita berikan/sedekahkan untuk orang lain yang tidak mampu dan membutuhkan, tetapi mengapa justru batin kita merasa bahagia? Bandingkan kebahagiaan kita saat kita mendapatkan rezeki melimpah dengan ketika kita bersedekah, pasti akan sangat terasa perbedaan kadar kebahagiaan kita. Mengapa bisa seperti itu? Inilah rahasia ilahi dari melepaskan diri dari keterikatan atau diperbudak oleh kenikmatan-kenikmatan duniawi.

 

Saat diri kita mampu melepaskan diri dari diperbudak oleh kenikmatan duniawi yang bersifat sementara, maka jiwa kita akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Di sinilah hikmah dari puasa yang tidak dapat dipahami secara nalar karena ini bukan domain rasionalitas melainkan domain spiritualitas. Jadi puasa bukan hanya aktivitas jasmaniah saja tetapi juga telah masuk ke ranah spiritualitas. Sisi spiritutualitas kita harus sering kita bangkitkan melalui aktivitas-aktivitas yang berorientasi rohani agar jiwa kita semakin peka terhadap signal-signal dari Allah swt.  

 

Berpuasa pasti merasakan rasa lapar, haus, dan badan terasa lemah kurang berenergi. Hal ini wajar karena tubuh kita tidak mendapatkan asupan makanan dalam beberapa jam. Justru tidak wajar jika ada orang yang berpuasa tetapi ia tidak merasakan rasa lapar, haus dan lemahnya tubuh karena ia mungkin mengkonsumsi suplemen makanan sehingga terhindar dari rasa lapar dan tubuhnya tetap berenergi. Tujuan berpuasa adalah untuk merasakan rasa lapar, haus dan tubuh yang lemah karena itulah yang dirasakan oleh orang-orang dhuafa yang kelaparan karena tidak makan. Dengan merasakan kelaparan dan kehausan hanya beberapa jam saja, kita dilatih untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak seberuntung kita yang bisa setiap saat makan dan minum sepuasnya.

 

Orang-orang dhuafa bisa tidak hanya beberapa jam, bisa sehari atau bahkan mungkin beberapa hari menahan rasa lapar dan tubuh yang lemah karena tidak punya makanan untuk dimakan. Maka dengan uji coba merasakan rasa yang sama dengan yang dirasakan oleh orang-orang dhuafa diharapkan akan memunculkan rasa empati pada diri kita. Dengan merasakan rasa lapar dan haus di siang hari selama sebulan penuh melalui ibadah wajib puasa Ramadan, kita diharapkan memiliki rasa empati terhadap penderitaan orang lain yang belum seberuntung kita. Dalam kbbi online kata “empati” diartikan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Jadi berpuasa melatih diri kita juga meraskan rasa lapar yang sering dirasakan oleh orang-orang dhuafa. Puasa Ramadan yang kita jalankan dengan sepenh hati dan menyadari hakikat dari tujuan diperintahkannya berpuasa akan mampu membentuk diri kita menjadi pribadi yang memiliki kesalihan sosial.

 

Puasa adalah ibadah yang memiliki dampak positif terhadap kehidupan sosial. Puasa bukan untuk diri kita, tetapi untuk kebaikan bersama yaitu terbentuknya rasa kepedulian dan empati terhadap sesama hamba Allah swt. Dengan menjalankan perintah ibadah puasa Ramadan dan mengambil hikmahnya akan mampu membuat kita menjadi hamba-hamba yang suka berorientasi pada kebaikan. Sebaik-sebaik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain. Puasa Ramadan hanyalah sarana uji coba kita untuk menjadi pribadi yang memiliki kesalehan sosial, sedangkan implementasi dari kesalihan sosial kita adalah ketika kita keluar dari bulan Ramadan. Jika di bulan Ramadan seseorang menjadi dermawan, itu hal biasa karena situasinya mendukung dan banyak temannya serta dijanjikan mendapat balasan pahala berlipat ganda. Tetapi jika di luar bulan Ramadan ia tetap dermawan, maka itu barulah luar biasa. Ini menunjukkan bahwa puasanya telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Puasanya telah menjadi sarana dia bertransformasi menjadi pribadi yang muttaqin. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

Gumpang Baru, 2 Ramadan 1442 H (14 April 2021)

*) Di tulis sebelum dan sesudah makan sahur.

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer