Powered By Blogger

Senin, 13 Januari 2025

NETRALKAH SAINS?

 Seri Filsafat Kimia (9)


NETRALKAH SAINS?
Oleh : 

Agung Nugroho Catur Saputro 




Alhamdulillah, sekarang ini minat dan semangat umat Islam untuk belajar semakin tinggi,  baik belajar ilmu sains maupun ilmu agama. Pada dasarnya, ilmu sains mempelajari tentang alam semesta sedangkan ilmu agama mempelajari Al-Qur'an. 


Ilmu sains maupun ilmu agama sebenarnya sama-sama mempelajari ayat-ayat Allah SWT. Sains mempelajari ayat-ayat kauniyah berupa hukum-hukum Allah SWT di alam sedangkan ilmu agama mempelajari ayat-ayat qouliyah berupa hukum-hukum Allah SWT di dalam Al-Qur'an. 


Berdasarkan pemikiran tersebut, seharusnya hasil belajar sains maupun agama adalah sama, yaitu menemukan bukti-bukti ke-Mahakuasa-an dan ke-Mahabesar-an Allah SWT karena sama-sama mempelajari ayat-ayat-Nya. Seharus orang-orang yang mempelajari ilmu sains maupun ilmu agama sama-sama menjadi orang yang beriman, percaya pada Allah SWT, Tuhan penguasa seluruh alam semesta ini. Tetapi faktanya bagaimana? 


Ternyata ada juga ilmuwan yang tidak percaya adanya Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa ada "sesuatu" yang kurang tepat dalam ilmu sains. Seolah-olah sains itu bertentangan dengan agama (ketuhanan). Benarkah demikian? Jadi, apakah sains itu netral? Bagaimana pendapat Anda?


Sains dapat didefinisikan sebagai himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para pakar, pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yg kritis terhadap data-data pengukuran yg diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam (Baiquni, 1996).


Berdasarkan definisi tersebut tampaknya tidak ada masalah karena sains tampak netral. Misalnya dalam ilmu kimia, reaksi kimia antara hidrogen dan oksigen membentuk air. Apakah  pengetahuan tentang reaksi tersebut baik atau buruk? Dimana kebaikannya atau keburukannya? 


Coba kita pikirkan. Kalau orang menggunakan reaksi pembentukan tsb untuk mengelas pipa saluran air minum yg bocor, itu tindakan yg baik, tetapi jika ia dipergunakan untuk meledakkan rumah orang lain, itulah kejahatan. Di sini tampak sekali bahwa ilmu kimia itu netral. Memang demikian tampaknya kalau kita hanya meninjau sekelumit saja dari ilmu kimia.


Tetapi ternyata ilmu kimia tidak mengkaji reaksi-reaksi saja. Ilmu kimia tidak hanya berisi kumpulan pengetahuan tentang reaksi kimia saja. Ilmu kimia juga mengajarkan "Hukum Kekekalan Massa" atau "Hukum Kekekalan Materi". Jika tidak "dipagari" dengan bijaksana, hukum tersebut dapat berpotensi  untuk menjerumuskan para siswa pada suatu kepercayaan atau keyakinan "bahwa alam semesta ini tidak pernah diciptakan, tetapi ada selama-lamanya, sejak waktu tak terhingga yang telah lampau sampai waktu tak terhingga yang akan datang. Jadi, ilmu kimia itu tidak netral. Ia mengandung potensi yang berbahaya bagi aqidah maupun keimanan siswa yang mempelajarinya. 


Bahaya tersebut sudah barang tentu tidak akan menimpa siswa yg pendidikan agamanya (keimanannya) kuat, tetapi bagi siswa yg imannya tidak begitu kuat, goncangan akan terjadi dalam menghadapi "ketidakselarasan" antara sains yg mengajarkan kekekalan materi yg tidak pernah diciptakan, dan agama yg mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.


Berdasarkan pemikiran dan argumen di atas, maka pembelajaran ilmu sains, khususnya ilmu kimia sangat perlu "dipagari" dan diintegrasikan dengan nilai-nilai religius (ajaran agama) agar pembelajaran kimia dan penanaman aqidah berjalan beriringan sehingga mampu menghasilkan siswa yang berkualitas, kuat ilmu dunia dan kuat ilmu akhirat. Wallahu a'lam. []


Referensi : 

Baiquni,A., 1996, Al-Qur'an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Yasa.



*) Staf Pengajar Kimia di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).

Tidak ada komentar:

Postingan Populer