MEMANDANG ILMU KIMIA DARI KACAMATA RELIGIUS
Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.
Ilmu kimia merupakan salah satu bidang ilmu sains yang khusus mempelajari materi. Kajian dalam ilmu kimia mengkhususkan tentang susunan atom-atom penyusun materi, komposisi atom-atom pembentuk materi, sifat materi dampak dari struktur komponen atom-atom penyusunnya, perubahan materi atau reaksi kimia, dan perubahan energi yang menyertai reaksi kimia yang terjadi materi. Secara umum, kimia dapat juga sebut ilmu tentang materi.
Ilmu kimia berkembang dengan ditopang oleh hasil kajian teoritis dan pengalaman praktis di laboratorium. Konsep-konsep dalam ilmu kimia merupakan hasil kesimpulan para ahli kimia terhadap gejala, fenomena, dan peristiwa yang diamati saat proses eksperimen kimia di laboratorium. Sifat dan perubahan materi yang teramati ketika proses eksperimen di laboratorium disimpulkan memiliki keterkaitan dengan perlakuan yang diberikan pada materi. Gejala dan fenomena yang teramati oleh para ahli kimia ada keterkaitannya dengan hokum sebab akbat. Perlakuan yang diberikan saintis pada suatu materi akan menyebabkan munculmya perubahan pada materi. Perubahan materi yang terjadi pada materi juga akan diiringi dengan terjadinya perubahan kandungan energi dalam materi.
Kimia diasosiasikan dengan reaksi kimia. Reaksi kimia dikaitkan dengan peristiwa tumbukan antar atom-atom yang berikatan membentuk senyawa kimia baru. Hanya tumbukan yang memiliki jumlah energi tertentu saja yang akan menghasilkan reaksi kimia. Jumlah energi tumbukan minimal yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia dinamakan energi aktivasi (Ea). Setiap reaksi memiliki tingkat energi aktivasi yang berbeda-beda. Energi aktivasi ini dapat diubah dengan cara mengubah mekanisme reaksi melalui penggunaan suatu katalis. Penggunaan zat katalis efektif untuk memangkat tingkat energi aktivasi menjadi beberapa tingkat energi aktivasi yang lebih kecil. Hasilnya adalah laju reaksi meningkat lebih cepat sehingga sangat menguntungkan dalam industri kimia.
Dalam pandangan aliran filsafat rasionalisme, terjadinya reaksi kimia tidak mungkin hanya dipengarungi oleh faktor materi saja yaitu atom-atom dan kecukupan energi aktivasi, melainkan pasti karena ada peran dari sang pemilik kebenaran mutlak yaitu Tuhan. Atom-atom saling bertumbukan dan mengadakan reaksi kimia karena digerakkan oleh Tuhan pencipta alam semesta. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa atom adalah benda mati yang tidak mungkin memiliki kehendak layaknya seperti makhluk hidup untuk mengadakan ikatan kimia dengan atom lain. Pemikiran yang logis adalah pasti ada sesuatu energi di alam yang mampu menggerakan atom-atom yang mati tersebut untuk mengadakan ikatan kimia. Dan energi yang mahakuat tersebut adalah yang paling mungkin milik sang pencipta alam, yaitu Tuhan yang Mahapencipta.
Atom-atom bergerak mendekati satu sama lain dan kemudian saling berikatan dengan jenis ikatan kimia tertentu karena adanya sifat-sifat tertentu pada masing-masing atom. Ada atom yang memiliki sifat sangat elektropositif dan ada atom yang sangat elektronegatif. Selain itu juga ada atom-atom yang tingkat elektropositif maupun elektronegatifnya relatif sedang. Perbedaan tingkat elektropositif dan elektronegatif pada atom-atom itulah yang mendorong atom-atom mampu saling berinteraksi dan mengadakan ikatan kimia. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah darimana datangnya sifat elektropositif dan elektronegatif dari atom-atom tersebut? Siapakah yang memberikan sifat-sifat tersebut pada atom? Mungkinkah atom-atom mampu memproduksi sendiri sifat-sifatnya? Mengapa atom-atom bisa memiliki sifat elektropositif dan elektronegatif yang berbeda-beda? Apa tujuan atom-atom memiliki sifat-sifat yang berbeda tersebut? Apakah mungkin atom-atom merencanakan tujuannya dengan memunculkan sifat-sifat tertentu di dirinya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mungkin dapat dijawab dengan menggunakan pendekatan berpikir aliran filsafat empirisme karena aliran filsafat empirisme tidak mengakui wujud nonmaterial. Aliran filsafat empirisme hanya mengakui wujud material semata. Di luar wujud material, aliran filsafat empirisme tidak mengakui sebagai kebenaran hakiki. Aliran filsafat empirisme hanya mengakui kebenaran yang mampu dijangkau dengan indrawi. Sebaliknya, jika menggunakan pendekatan aliran filsafat rasionalisme, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dan dijelaskan dengan mudah. Hal itu dikarenakan aliran filsafat rasionalisme mengakui kebenaran yang berasal dari logika berpikir dan keberadaan wujud nonmaterial. Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah karena faktor keberadaan wujud nonmaterial yang mengatur seluruh alam semesta ini yaitu Tuhan Yang Mahapencipta.
Dengan menggunakan pendekatan filsafat rasionalisme, kita menolak argumentasi bahwa atom-atom bergerak saling berikatan membentuk berbagai senyawa baru karena keinginan sendiri dari atom-atom tersebut. Logika kita pasti menolak argumentasi bahwa atom-atom dapat menciptakan sifat-sifatnya sendiri (sifat elektropositif, sifat elektronegatif, sifat logam, sifat nonlogam, dll) sehingga akhirnya mampu saling berikatan membentuk senyawa baru. Logika kita lebih mudah menerima argumentasi bahwa atom-atom ada yang memberikan sifat-sifat dan menggerakan mereka untuk saling berikatan untuk membentuk senyawa baru. Dalam lingkup makroskopis, logika kita lebih mudah menerima argumentasi bahwa seluruh materi di alam semesta ini dan segala proses yang terjadi di alam semesta ini ada yang mengaturnya melalui penciptaan hukum-hukum alam. Kekuatan mahakuasa yang mampu mengatur seluruh proses yang terjadi di alam semesta ini tidak lain adalah Sang Mahapencipta yaitu Tuhan Yang Mahakuasa.
Tuhan menciptakan alam semesta ini pasti memiliki tujuan yang pasti, yaitu untuk menjadi bahan pembelajaran bagi umat manusia. Tuhan mengajari umat manusia melalui penetapan hokum-hukum alam yang mengatur bagaimana alam semesta ini berproses. Dengan mengamati, merenungkan, menghayati, dan menemukan ibrah atau hikmah kebaikan di balik setiap proses alam semesta, manusia akan mampu menangkap ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Tuhan. Jadi alam semesta ini, termasuk materi yang menjadi focus kajian ilmu kimia, adalah media perantara ciptaan Tuhan untuk mengajari umat manusia mengenal ilmu-ilmu-Nya. Ilmu sains pada hakikatnya adalah ilmu Tuhan yang dititipkan di setiap materi di alam semesta ini untuk menjadi bahan pembelajaran umat manusia yang mau mengungkapnya. Oleh karena itu, para ilmuwan sains adalah manusia-manusia istimewa yang terpilih untuk menemukan dan mengungkap rahasia ilmu-ilmu Tuhan yang tersimpan di alam semesta.
Dengan menggunakan pendekatan pola pikir seperti tersebut, maka dapat dipahami bahwa ilmu kimia pada hakikatnya adalah ilmu yang bersumber dari Tuhan yang tersimpan di dalam materi di alam semesta ini. Untuk dapat menemukan ilmu-ilmu-Nya lainnya yang terkandung di dalam setiap materi, maka manusia perlu mempelajari ilmu kimia. Ilmu kimia adalah jembatan untuk menemukan ilmu-ilmu Tuhan. Ilmu kimia hakikatnya adalah ilmu untuk mengenal Tuhan melalui pendekatan pengamatan empiris terhadap materi di tingkat mikroskopik atau atomik. Setiap gejala dan fenomena yang teramati di balik materi merupakan pesan-pesan tersirat dari Tuhan. Dengan dukungan pendekatan berpikir filsafat empirisme dan rasionalisme sekaligus, maka kita akan mampu mengungkap ilmu-ilmu Tuhan baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dengan mampu mengungkap ilmu-ilmu Tuhan yang tersurat dan tersirat, maka kita akan mampu mengenai Allah SWT.
Untuk mengenal Allah SWT. dengan memikirkan ciptaan-Nya, kita perlu melakukan tafakur atau tadabbur, yaitu merenungkan kebesaran dan keagungan-Nya yang tercermin dalam setiap detail alam semesta, mulai dari langit dan bumi hingga tubuh manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan menggunakan akal dan panca indera, kita mengamati tanda-tanda kebesaran-Nya, menyadari bahwa semua itu tidak mungkin ada dengan sendirinya, dan memahami bahwa ada Zat Maha Kuasa, Maha Penyayang, dan Maha Bijaksana sebagai penciptanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah SWT. dengan firman-Nya dalam surat Ali Imron ayat 190-191:
"(190). Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (191). (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron [03]: 190-191).
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mempelajari ilmu kimia itu tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan berpikir dengan akal saja tetapi juga perlu melibatkan hati nurani. Belajar ilmu kimia tidak cukup hanya menggunakan cara berpikir aliran filsafat empirisme saja tetapi juga perlu menggunakan cara berpikir aliran filsafat rasionalisme. Mempelajari ilmu kimia tidak cukup hanya menggandalkan kemampuan indrawi tetapi juga perlu menggunakan kemampuan spiritual. Belajar ilmu kimia tidak hanya dengan melakukan pengamatan empiris terhadap reaksi-reaksi kimia yang terjadi, tetapi juga perlu memikirkan, merenungkan dan menghayati apa tujuan hakiki dari setiap reaksi kimia yang terjadi. Wallahu a’lam bish-shawab. []
Gumpang Baru, 29 September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar