Pendidikan Profesional, pendidik yang dirindukan
MENJADI PENDIDIK YANG
DIRINDUKAN
Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.
PENDAHULUAN
Siapa yang tidak ingin selalu dirindukan orang yang dicintai? Siapa yang
tidak bahagia jika namanya selalu diingat oleh orang yang dicintainya? Siapa
yang tidak bangga ketika orang yang dicintainya berhasil mewujudkan cita-citanya
karena terinspirasinya olehnya? Dan siapa yang tidak bersukur ketika harapan
dan keinginannya pada orang yang dicintai terealisasi? Saya kira semua orang
akan setuju dengan jawaban ini “semua orang menginginkan seperti yang
ditanyakan di atas”. Bagaimana dengan anda?
Demikian pula dalam dunia pendidikan. Seorang pendidik pastilah sangat
mencintai dan menyayangi anak didiknya. Tidak ada seorang pun pendidik yang
tidak peduli dengan masa depan anak didiknya. Semua pendidik pasti akan
berusaha dengan sekuat tenaga untuk membuat anak didiknya berhasil dan sukses
dalam belajarnya. Seorang pendidik yang profesional akan menempatkan dirinya
layaknya orang tua sendiri bagi peserta didik. Peserta didik bagi seorang
pendidik professional bagaikan anak kandung sendiri yang sangat disayangi. Setujukah
anda dengan pernyataan-pernyataan ini?
Mendidik merupakan aktivitas yang mulia. Menjadi pendidik adalah sebuah pilihan
hidup yang tidak main-main. Dalam konteks yang lebih umum, tahukah kita,
siapakah yang dimaksud pendidik itu? K.H.R. Zainuddin Fananie dalam bukunya
yang berjudul Pedoman Pendidikan Modern
(2011) - buku yang ditulis tahun 1934 dan diterbitkan kembali setelah 76 tahun
- memberikan gambaran siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan pendidik.
Menurut K.H.R. Zainuddin Fananie, tempat pendidikan dibagi menjadi tiga macam,
yaitu rumah, sekolah, dan pergaulan masyarakat umum. Atas dasar pembagian ini,
maka pengertian pendidik menyesuaikan konteks tempat pendidikan. Dalam lingkungan
rumah, ibu bapaklah yang menjadi pendidik. Dalam lingkungan sekolah, gurulah
yang mempunyai tanggungjawab. Lantas, dalam dunia pergaulan, siapakah yang
menjadi pendidik? Dalam dunia pergaulan, hanya diri sendirilah yang menjadi
pendidik, yang mempunyai kewajiban mengatur diri dan bertanggungjawab atas
segala halnya sendiri. Itulah pendidik yang paling berkuasa dan yang paling
penting.
Saat ini
kita berada di era disrupsi yang ditandai dengan kemajuan yang pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi, yang sangat signifikan mempengaruhi bentuk dan pola
layanan jasa. Hal ini berdampak pula di bidang pendidikan. Berkaitan dengan hal
itu, maka dunia pendidikan harus berbenah sesegera mungkin dalam berbagai
aspek. Keterlambatan dan ketidaksiapan dunia pendidikan dalam mempersiapkan
diri mengakibatkan gagalnya pendidikan. Produk pendidikan akan menjadi
kadaluarsa dan hanya akan menjadi beban peradaban. Barisan akademisi dan
intelektual produk pendidikan yang tidak
disiapkan untuk hidup di era disrupsi akan
mengalami keterasingan di kancah persaingan global. Oleh karena itu, dunia
pendidikan, dalam hal ini adalah para pendidik harus memahami situasi di era
disrupsi dan mampu mensikapi dengan bijaksana serta juga mampu membekali
anak-anak didiknya dengan kemampuan dan keterampilan yang diperlukan.
Strategi PENDIDIK Menghadapi Era
disrupsi
Era disrupsi yang
ditandai dengan kecepatan akses informasi dan kompetisi seyogyanya disadari
oleh setiap guru agar ia mampu membekali peserta didik dengan kemampuan dan
ketrampilan yang diperlukan untuk hidup di era disrupsi tersebut. Beberapa kompetensi
dan keterampilan (skill) yang harus
dimiliki oleh setiap peserta didik (artinya menjadi tugas guru untuk
mengajarkannya dalam pembelajaran) agar nantinya mereka mampu eksis di era
disrupsi antara lain kemampuan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK), penguasaan bahasa asing (pendukung kemampuan berkomunikasi), jiwa
kompetitor dan kemandirian, kemampuan penalaran, berpikir kritis, kreatif,
inovatif, dan mampu bekerja sama dalam teamworks.
Kompetensi-kompetensi
yang diperlukan di era disrupsi tersebut harus ditanamkan ke setiap peserta
didik dan itu tugas setiap guru sebagai bentuk tanggungjawabnya terhadap
pemberian jaminan mutu terhadap anak didiknya. Untuk melaksanakan tugas-tugas
tersebut tidaklah mudah dan sederhana karena tidak semua guru mampu melaksanakannya.
Hanya guru-guru yang memiliki jiwa pendidik sejati dan memiliki kepribadian
seorang pembelajar sejati-yaitu menjadi pribadi yang memiliki semangat untuk
terus belajar dan meningkatkan kompetensi- sajalah yang mampu mewujudkannya.
Jadi untuk mensukseskan program penyaiapan peserta didik menjadi generasi yang
siap menghadapi era disrupsi, maka harus diawali dari pendidiknya dulu. Dalam
hal ini menjadi tugas pemerintah (Kemendikbud) untuk menyiapkan guru-guru yang
memiliki mental pembelajar sejati. Perlu ada program berkesinambungan untuk
mengubah mindsite para guru agar memiliki mindsite pembelajar sejati.
Dalam implementasinya
di kelas, setiap guru hendaknya mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang
mengakomodir dan memfasilitasi peserta didik untuk berlatih dan membiasakan
kompetensi-kompetensi era disrupsi.
Melalui pemberian aktivitas-aktivitas belajar (disesuaikan dengan metode
pembelajaran yang diterapkan) yang dapat melatih peserta didik untuk
mensimulasikan kompetensi-komptensi era disrupsi akan mampu menghasilkan
generasi yang siap menghadapi era disrupsi.
MENJADI PENDIDIK YANG MULTISKILLS, HARUSKAH?
Era disrupsi dikenal
dengan era kompetitif dan era multiskills (memiliki beberapa keahlian). Artinya
orang yang sukses hidup di era disrupsi adalah mereka-mereka yang memiliki jiwa
pejuang dan didukung dengan multiskills yang dimilikinya. Di era disrupsi,
setiap orang dituntut untuk tidak hanya memiliki satu jenis kompetensi atau
keahlian, tetapi seyogyanya memiliki beberapa keahlian. Oleh karena itu, di
dalam keprofesian pendidik pun seorang guru juga seharusnya tidak hanya
memiliki satu keahlian saja karena tugas keprofesiannya berkaitan dengan upaya
mendidik, membimbing, mengajar, mentauladani dan menyiapkan peserta didik agar
nantinya mereka dapat eksis di kehidupan di era disrupsi. Di era disrupsi guru
tidak cukup hanya ahli bidang ilmu, tetapi juga harus ahli komunikasi, ahli
psikologi, ahli bersosialisasi, dan ahli menghibur.
Seorang guru
profesional harus mampu melaksanakan pembelajaran dalam kondisi dan situasi
yang bagaimanapun. Jika seorang guru bertugas mengajar di kelas yang
siswa-siswinya pendiam dan cenderung pasif, maka ia harus mampu mengaktifkan
siswanya untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran dengan metode-metode mengajar
yang kreatif dan inovatif. Ketika ia kebetulan bertugas mengajar di jam
terakhir dimana siswa-siswinya kecenderungannya kurang semangat dan kurang
antusias dalam mengikuti pelajaran, maka ia harus mampu membangkitkan
antusiasme dan semangat belajar siswa dengan cara-cara yang kreatif dan
menyenangkan (menghibur) sehingga siswa kembali bergairah untuk belajar.
Seorang guru juga harus
pintar dalam berkomunikasi dengan siswa ketika mengajar di kelas, ia harus
mampu menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian seluruh sisiwa di kelas, ia
harus mampu menampilkan diri bak seorang model atau artis terkenal sehingga
menarik perhatian seluruh siswa di kelas. Ketika menjelaskan materi pelajaran,
seorang guru harus berupaya mampu berbicara sejelas mungkin dan semenarik
mungkin bagaikan seorang pembaca berita professional atau artis host acara di
TV. Jadi kalimat “di era disrupsi guru tidak cukup hanya ahli bidang ilmu,
tetapi juga harus ahli komunikasi, ahli psikologi, ahli bersosialisasi, dan
ahli menghibur” memiliki makna bahwa di era disrupsi seorang guru harus mampu
beradaptasi (menyesuaikan diri dengan lingkungan belajarnya) dan menampilkan
diri sebagai sosok pendidik professional yang dapat mendidik siswa dengan
berbagai kondisi dan karakteristiknya sehingga tujuan pembelajaran dapat
tercapai secara maksimal. Guru adalah sebuah profesi yang multiskills dan
adaptif.
MENJADI
PENDIDIK YANG AHLI MERANCANG PEMBELAJARAN
Guru yang profesional
adalah sosok pendidik yang profesional dalam segala aspek. Seorang pendidik yang
kompeten di bidang professional (materi pelajaran) dituntut mampu
memilah-memilih materi utama dan materi prasyarat. Guru yang professional harus
mampu menyusun hierarkis konsep materi pelajaran sehingga materi pelajaran
dapat diajarkan secara runtut dan sistematis. Guru yang professional harus
mampu mengajarkan nilai-nilai karakter dalam setiap pembelajarannya. Oleh
karena itu, setiap guru professional harus memiliki kemampuan mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam setiap
materi pelajaran yang diajarkannya.
Di samping itu, setiap
guru profesional harus mampu mendisain pembelajaran yang dapat memfasilitasi
siswa melatih dan mempraktikkan ketrampilan-ketrampilan era disrupsi dalam
kegiatan belajarnya. Oleh karena itu, guru yang professional harus mampu
merancang aktivitas-aktivitas belajar yang mengakomodir ketrampilan-ketrampilan
era disrupsi sehingga siswa dapat melatihnya di kegiatan belajarnya.
Strategi yang dapat
dilakukan guru agar dapat mengajarkan materi pelajaran, karakter dan
ketrampilan tanpa kehabisan waktu pelajaran adalah:
1. Menyusun hierarkis
konsep-konsep pelajaran sehingga dapat mengajarkan materi pelajaran dengan
runtut dan sistematis, mengetahui mana konsep yang menjadi prasyarat dan mana
konsep yang menjadi materi utama pelajaran.
2. Mengintegrasikan
nilai-nilai karakter dalam setiap penyajian materi pelajaran.
3. Merancang
aktivitas-aktivitas
belajar siswa yang mengakomodir ketrampilan-ketrampilan era disrupsi dalam
kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Penerapan suatu metode,
model ataupun pendekatan dalam proses pembelajaran memang harus sama persis
dengan langkah-langkah dalam metode tersebut. Seorang pendidik professional
harus mampu memodifikasi langkah-langkah metode tersebut disesuaikan dengan
kondisi peserta didiknya. Dengan memodifikasi aktivitas dalam langkah-langkah
metode pembelajaran yang dipergunakan maka diharapkan akan diperoleh hasil
belajar yang maksimal sesuai yang diharapkan.
Sebagai contoh, metode
Discovery Learning bagus digunakan untuk melatih siswa belajar menemukan
konsep-konsep pelajaran sesuai materi pelajaran yang diajarkan. Metode ini akan
berhasil dengan maksimal jika siswa yang dikenai perlakuan memiliki rasa ingin
tahu (curiosity) yang tinggi dan
memiliki jiwa suka tantangan serta kemandirian untuk melakukan proses belajar.
Lantas, bagaimana jika ada seorang guru yang akan menerapkan metode Discovery
Learning sedangkan siswanya belum mampu belajar mandiri, rasa ingin tahunya rendah
dan kurang menyukai tantangan? Nah, di sinilah kreativitas dan improvisasi
guru diperlukan.
Metode Discovery
Learning tetap dapat diterapkan dengan memodifikasi beberapa aktivitas
belajarnya tanpa perlu mengubah sintaks (langkah-langkah) metode pembelajaran.
Berbeda dengan siswa yang sudah mampu belajar mandiri, maka untuk siswa yang
belum mampu belajar mandiri perlu ada pendampingan dari guru. Misalnya pada
tahap “Problem Statement”, guru tidak
dapat hanya memberi kesempatan siswa
untuk bertanya atau mengindentifikasi masalah karena siswa belum mampu, maka
guru perlu memancing dan memicu siswa untuk menemukan permasalahan-permasalahan
yang terkandung dalam paparan data eksperimen. Cara guru untuk memancing dan
membangkitkan rasa ingin tahu siswa dapat dilakukan dengan cara memberikan
panduan/arahan/petunjuk tentang bagian-bagian mana dari paparan data yang harus
diperhatikan siswa dengan diiringi kata-kata yang bernada memancing, misalnya “Ada
yang aneh gak dengan data ini?”, “Ada yang janggal gak dengan data ini?”, “Menurut
kalian data ini wajar gak?”, dll. Dengan strategi seperti ini maka tanpa menggurui
siswa, maka siswa dengan sendirinya akan lebih fokus memperhatikan data
eksperimen dan menemukan masalah-masalah yang ada.
Demikian sumbangsih kecil penulis terhadap dunia pendidikan yang berupa gagasan pemikiran tentang bagaimana menjadi guru (pendidik) yang
profesional. Menjadi pendidik yang profesional bukanlah hal yang tidak mungkin.
Melalui semangat meningkatkan kompetensi dan menjiwai profesinya akan mampu
menghasilkan sosok-sosok pendidik yang profesional dan dirindukan oleh para
peserta didik. []