ISRA MIKRAJ DAN RELATIVITAS WAKTU
Oleh:
Agung
Nugroho Catur Saputro
Tanggal
18 Februari 2023 nanti, kita (umat Islam) akan memperingati Isra Mikraj.
Mengapa kita perlu memperingati peristiwa Isra Mikraj setiap tahunnya? Karena
peristiwa Isra Mikraj mengandung banyak hikmah yang bermanfaat untuk
meningkatkan kadar keimanan kita. Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik
dari peristiwa Isra Mikraj-nya Rasulullah Saw.
Sampai
sekarang masih terjadi perdebatan tentang peristiwa agung Isra Mikraj yang
dilakukan Rasulullah Saw. Apakah peristiwa tersebut masuk akal (rasional) atau
hanya cerita fiktif saja? Apakah Rasulullah Saw melakukan Isra Mikraj dengan
tubuh (jasad) atau hanya ruh saja? Bagaimana pandangan ilmu Sains dalam
menjelaskan peristiwa Isra Mikraj tersebut? Dalam artikel ini beberapa
pertanyaan tersebut akan dibahas dan dijelaskan jawabannya.
Isra Mikraj merupakan salah
satu peristiwa penting dalam agama Islam. Kata Isra Mikraj merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Makna
Isra Mikraj menurut KBBI ialah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad saw. dari
Masjidilharam ke Masjidilaqsa, langsung ke Sidratulmuntaha (di langit ke tujuh)
pada malam hari untuk menerima perintah salat lima waktu (Prasetya, 2022). Isra Mikraj
terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah Saw. hijrah
ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mikraj terjadi pada
tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah
al-Manshurfuri, Isra Mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian,
dan inilah yang popular (Faisal, 2022).
Peristiwa
Isra Mikraj merupakan peristiwa penting dalam agama Islam karena pada peristiwa
Isra Mikraj tersebut perintah ibadah salat fardhu ditetapkan Allah Swt. yang
langsung diterima oleh baginda Rasulullah Muhammad Saw. di Sidratul munthaha. Peristiwa
perjalanan Nabi Saw dalam Isra Mikraj tersebut mengandunng banyak pelajaran dan
hikmah karena banyak kejadian yang penuh misteri. Kisah peristiwa Isra Mikraj
sulit diterima oleh akal pikiran manusia awam pada umumnya karena sekilas
bertentangan dengan hukum alam. Bagaimana mungkin ada manusia yang mampu
mengadakan perjalanan dalam satu malam dari masjidilharam ke masjidilaqsa dan
lanjut ke langit ketujuh (sidratul munthaha)?
Akal pikiran manusia
biasa akan mudah menyangkal kebenaran peristiwa tersebut. Maka, untuk dapat memahami
peristiwa Isra Mikraj tersebut diperlukan hati dan pikiran yang jernih serta didukung
dengan pengetahuan yang cukup. Orang awam akan kesulitan memahami peristiwa
luar biasa tersebut karena mereka tidak memiliki pengetahuan pendukungnya. Peristiwa
Isra Mikraj dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan sains modern. Teori
Relativitas waktu dapat dipergunakan untuk memahami perjalanan Rasulullah Saw
di malam Isra Mikraj tersebut. Hal itu dikarenakan peristiwa Isra Mikraj sangat
berkaitan dengan fenomena relativitas waktu. Boleh jadi peristiwa Isra Mikraj
merupakan nubuwwah Nabi Muhammad Saw
tentang pentingnya pengetahuan tentang relativitas waktu.
Relativitas waktu
adalah fakta yang telah terbukti secara ilmiah, sebagaimana telah diungkapkan
oleh Teori Relativitas Khusus yang dipublikasikan oleh Albert Einstein pada tahun
1905. Teori relativitas khusus merupakan salah satu dari teori relativitas
Albert Einstein, selain itu ada teori relativitas umum. Teori relativitas (theory of relativity) digaungkan pertama
kali pada 1916. Kemudian menjadi gagasan yang paling revolusioner dalam sejarah
dan menjadi lompatan besar atas hukum gravitasi yang sebelumnya digagas oleh
Sir Isaac Newton pada 1687 (CNN Indonesia, 2019). Teori
relativitas khusus menyatakan bahwa “Kecepatan
membuat waktu bersifat relatif”. Bila suatu benda bergerak dengan kecepatan
mendekati kecepatan cahaya maka waktu akan mengalami pemuluran atau melambatnya
waktu. Fenomena ini disebut dengan dilatasi waktu (Jumini, 2015). Teori
relativitas khusus Einstein ini dapat dipergunakan sebagai pendekatan berpikir
untuk memahami peristiwa Isra Mikraj-nya Rasulullah Saw.
Penjelasan teori
relativitas khusus Einstein tentang terjadinya pemuluran atau pelambatan waktu menunjukkan
bahwa waktu di alam semesta ini bersifat relatif. Waktu bersifat relatif
bergantung pada kerangka acuannya. Jika suatu kerangka acuan bergerak relatif
terhadap kerangka acuan lain yang diam, maka waktu yang dialami oleh seseorang
di kerangka acuan yang bergerak tersebut akan berbeda waktu dengan waktu pada
kerangka acuan yang diam. Tetapi hal ini hanya berlaku jika gerak tersebut
mempunyai kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya. Perbedaan waktu tersebut
kemudian dikenal sebagai konsep dilatasi waktu (Jumini, 2015).
Kebenaran adanya relativitas waktu di dunia ini berkesesuaian dengan apa yang termaktum dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an di beberapa ayat dan surat menyatakan bahwa waktu bersifat relatif. Inilah beberapa ayat Al-Qur’an yang membuktikan adanya relativitas waktu.
“Dan mereka
meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak
akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti
seribu menurut perhitunganmu.” (QS.
Al-Hajj [22]: 47).
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah [32]: 5).
“3). (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. 4).Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 3-4).
Dilihat dari ketiga ayat dalam Al-Qur’an di atas, tampak
begitu jelasnya bahwa waktu itu relatif. Allah menggambarkan terjadinya
relativitas waktu dengan memberikan contoh perbandingan waktu dimana waktu di
sisi-Nya sangat berbeda jauh dengan waktu di dunia, yaitu waktu satu hari di
sisi-Nya setara dengan seribu tahun dan lima puluh ribu tahun waktu di dunia. Konsep
relativitas waktu menurut Al-Qur’an ini menunjukkan bahwa betapa lambatnya
waktu di akhirat jika dilihat dari kerangka acuan waktu di dunia.
Ketiga firman
Allah Swt tersebut di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa waktu di akhirat itu
sangat lama sekali, sampai di ayat lain Allah Swt menggunakan istilah abadi
untuk menggambarkan betapa lamanya waktu di akhirat dibandingkan waktu di
dunia. Jika dihitung, maka:
1). 1 hari di akhirat = 1.000
tahun di dunia.
1 hari di akhirat = 1.000 x 365 hari di
dunia = 365.000 hari di dunia.
2). 1 hari di akhirat = 50.000
tahun di dunia
1 hari di akhirat = 50.000 x 365 hari di
dunia = 18.250.000 hari di dunia.
Angka-angka
di atas merupakan angka-angka yang sangat besar jika dibandingkan angka
(jumlah) usia manusia hidup di dunia. Jika rata-rata usia manusia hidup di
dunia diambil 70 tahun, maka 1000 tahun : 70 = 14,285 tahun. Berarti sehari di
akhirat sama dengan 14 kali usia hidup manusia, padahal itu baru sehari,
bagaimana jika seminggu? Sebulan? setahun? Otak
manusia tidak akan mampu membayangkan lamanya waktu di akhirat. Maka
untuk memudahkan agar manusia bisa memahami maksud ayat-ayat relativitas waktu
tersebut, Allah Swt menggunakan istilah yang lebih sederhana yaitu abadi. Jadi
kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang abadi atau selama-lamanya karena
waktu sangat lama sekali jika dibandingkan dengan waktu hidup manusia di dunia.
Kita
kembali ke pembahasan tentang peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw. Dalam
peristiwa Isra Mikraj dikisahkan dalam waktu semalam Rasulullah Saw
diberangkatkan (menempuh perjalanan) dari Masjidilharam di Mekkah ke Masjidilaqsa
di Jerusalem kemudian dilanjutkan naik melewati langit ke tujuh menuju Sidratul
Munthaha. Cerita perjalanan beliau dalam peristiwa Isra Mikraj tersebut bagi
akal pikiran orang awam akan sulit diterima dan dipandang cerita yang tidak
masuk akal. Mengapa? Karena orang awam masih menggunakan kerangka acuan hukum
alam di dunia ini dimana tidak masuk akal manusia mampu bergerak dengan begitu
cepatnya dalam waktu semalam mampu mengadakan perjalanan yang sangat jauh (jarak
Mekkah-Jerusalem setara dengan perjalanan onta berlari selama satu bulan) dan bahkan
ke langit ke tujuh. Tetapi jika kita menggunakan teori relativitas waktu dengan
menggunakan kerangka acuan hukum alam berbeda dengan hukum alam dunia ini, maka
peristiwa Isra Mikraj tersebut bisa masuk akal (rasional).
Peristiwa
Isra Mikraj mudah diterima akal jika kita berpikir bahwa Rasulullah Saw melakukan
perjalanan Isra Mikraj di alam yang hukum alamnya (sunnatullah) berbeda dengan
hukum alam di dunia ini. Artinya Rasulullah Saw ketika melakukan Isra Mikraj
beliau memasuki alam atau dimensi lain yang berbeda dengan alam dunia sehingga
hukum alam yang berlaku juga berbeda dengan hukum alam di dunia. Jadi untuk
memahami peristiwa Isra Mikraj yang luar biasa tersebut, kita harus menggunakan
kerangka acuan bukan alam dunia ini. Dengan kata lain, Rasulullah Saw menempuh
perjalanan Isra Mikraj bukan di alam dunia ini, karena pasti terkendala oleh hukum
alam (sunnatullah) alam dunia.
Pendapat yang
paling masuk akal terkait peristiwa Isra Mikraj adalah Rasulullah Saw menempuh
perjalanan Isra Mikraj di alam ruh, atau dengan kata lain Rasulullah Saw
melakukan perjalanan Isra Mikraj hanya dengan ruhnya saja, tidak beserta dengan
jasadnya. Alam ruh berbeda dimensi ruang dan waktunya dengan dimensi ruang dan
waktu alam dunia, maka pastilah hukum alam (sunnatullah) yang berlaku di alam
ruh juga berbeda dengan hukum alam (sunnatullah) alam dunia. Hokum alam
(sunnatulah) yang berlaku di alam ruh tidak berlaku di alam dunia, dan
sebaliknya juga hukum alam di dunia juga tidak berlaku di alam ruh. Hal itu
dikarenakan di setiap alam Allah Swt menetapkan hukum alam (sunnatullah)
sendiri-sendiri yang berbeda antara satu alam dengan alam yang lain. Dengan
pendekatan pemikiran seperti ini, maka peristiwa Isra Mikraj Rasulullah Saw
merupakan peristiwa yang masuk akal (rasional) karena terjadi bukan di alam
dunia tetapi di alam ruh yang hukum alamnya (sunnatulah) berbeda sehingga
memungkinkan terjadinya perjalanan yang sangat cepat menurut pandangan kerangka
acuan hukum alam di dunia.
Dalam
peristiwa Isra Mikraj, ruh Rasulullah Saw keluar dari jasad dan berada di alam
yang tidak terinderakan oleh panca indera kita; beliau melihat serta mendengar
apa-apa yang ada di alam kita. Dengan kata lain, ruh beliau memasuki alam
dimensi lain yaitu alam ruh. Perjalanan beliau yang berlangsung sangat cepat
dapat terjadi karena dilakukan tanpa jasad sehingga tidak terkendala oleh hukum
alam (sunnatullah) yang berlaku di alam kita. Ruh beliau yang berada di alam
lain mengikuti hukum alam (sunnatullah) yang berlaku di sana. Jadi peristiwa Isra
Mikraj adalah masuk akal (rasional) (Baiquni,
1996).
Jika
masih juga muncul keraguan dengan pertanyaan, bagaimana mungkin Rasulullah Saw bisa
memasuki alam ruh dan mengadakan perjalanan Isra Mikraj, padahal beliau manusia
biasa yang ruhnya berada di dalam jasadnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
penting untuk diketahui bahwa peristiwa Rasulullah Saw melakukan perjalanan Isra
Mikraj itu bukan atas kehendaknya sendiri dan bukan atas kemampuannya sendiri,
melainkan atas kehendak dan kuasa Allah Swt. Jadi Rasulullah Saw bukan
berangkat sendiri melakukan perjalanan Isra Mikraj melainkan Rasulullah Saw
diberangkatkan oleh Allah Swt. Jadi Allah Swt yang berkuasa dan berkendak untuk
memberangkatkan Rasulullah Saw untuk memasuki alam ruh dan melakukan perjalanan
Isra Mikraj. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah Swt dalam
Al-Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 1.
“Maha Suci
Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya
dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Israa’ [17]: 1).
Dengan
memahami teori relativitas waktu, kita jadi lebih mudah memahami dan menerima
bahwa peristiwa Isra Mikraj yang dialami Rasulullah Saw adalah masuk akal.
Memang zaman dulu ketika orang-orang zaman Nabi Saw belum memahami tentang
relativitas waktu, peristiwa Isra Mikraj sulit diterima akal sehat alias tidak
masuk akal, tetapi setelah sains mengungkap kebenaran bahwa waktu bersifat
relatif dengan ditemukannya teori relativitas khusus oleh Albert Einstein, maka
peristiwa Isra Mikraj adalah masuk akal dan rasional.
Memperingati
peristiwa Isra Mikraj mengajarkan kita untuk mengungkap kebenaran Ilahi yaitu
konsep relativitas waktu bahwa waktu di alam semesta ini bersifat relatif. Kini
bisa dimengerti bahwa waktu berubah-ubah di ruang-ruang alam semesta yang
berbeda dan bahwa setiap tempat mempunyai kerangka referensi (kerangka acuan),
yakni ukuran yang berbeda. Juga diketahui bahwa posisi tempat-tempat di alam
semesta menentukan pengaturan waktu relatifnya. Melalui pemahaman konsep
relativitas waktu, kita dapat memahami bahwa pengamat di alam semesta, dengan
sedikit waktu yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kita, dapat
dengan mudah melihat milyaran orang yang lahir, hidup, dan mati selama periode
ini. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau Allah Swt dapat melihat masa lalu,
masa kini, dan masa akan datang (Abbas,
2000).
Sebagai
penutup, memperingati hari besar Islam Isra Mikraj penting dilakukan umat Islam
karena mengandung beberapa hikmah. Hikmah
pertama, umat Islam jadi memahami betapa bermanfaatnya penemuan sains
tentang teori relativitas khusus yang khusus berbicara tentang waktu yang
bersifat relatif, walau sebenarnya jika umat Islam mau mengkaji Al-Qur’an lebih
serius lagi, khususnya terkait ayat-ayat kauniyah, maka kebenaran konsep
relativitas waktu akan lebih dulu dipahami orang Islam jauh sebelum Albert
Einstein mengungkap teori relativitas khususnya. Hikmah kedua, dengan memahami kemukjizatan Isra Mikraj yang dialami
Rasulullah Saw, dapat menambah keimanan kita tentang alam ghaib, yaitu ada alam
lain di luar alam dunia yang dimensi ruang dan waktunya atau hukum alamnya
(sunnatullah) berbeda dengan hukum alam di dunia. Hikmah ketiga, keberadaan hari akhir dapat diterima secara rasional
sebagai alam berdimensi lain dimana dimensi ruang dan waktunya berbeda dengan
dimensi ruang dan waktu di alam dunia. Dengan analogi berpikir tentang adanya
planet, sistem tata surya ataupun galaksi di luar planet, sistem tata surya dan
galaksi kita yang mana hukum alamnya berbeda dengan hukum alam di bumi, yang
secara sains terima sebagai kebenaran ilmiah, maka harusnya keberadaan alam
akhirat sebagai alam lain di luar alam dunia yang mana hukum alamnya juga
berbeda dengan hukum alam di dunia, adalah sesuatu yang mudah diterima akal
sehat atau bersifat rasional. Hikmah
keempat, dari pemahaman tentang relativitas waktu yang ditunjukkan dari
peristiwa Isra Mikraj membuka pemahaman kita bahwa sifat keabadiaan di alam
akhirat itu masuk akal atau rasional karena memang di alam akhirat dimensi
waktunya berbeda atau bersifat relatif dibandingkan dimensi waktu di alam
dunia, yang mana di Al-Qur’an Allah Swt memberitahukan bahwa waktu sehari di
akhirat itu setara dengan waktu seribu tahun waktu di dunia. Hikmah
kelima, dengan memahami konsep relativitas waktu yang diajarkan dari
peristiwa Isra Mikraj, kita jadi lebih mudah menerima kebenaran bahwa Allah Swt
mampu mengamati seluruh kehidupan makhluknya di dunia ini, karena waktu di
sisi-Nya sangat lama dibandingkan waktu di dunia. Wallahu A’lam bish-Shawab. []
Gumpang Baru, 29 Januari 2023
Sumber
Bacaan
Abbas,
A. M. A. (2000). Singgasana-Nya di atas Air: Penciptaan Alam Semesta Menurut
Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Penerbit Lentera.
Baiquni,
A. (1996). Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: PT. Dana
Bhakti Prima Yasa.
CNN
Indonesia. (2019, Oktober). Mengenal Teori Relativitas Einstein Beserta
Pembuktiannya. Retrieved January 26, 2023, from Teknologi website:
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191003101030-199-436322/mengenal-teori-relativitas-einstein-beserta-pembuktiannya
Faisal,
I. (2022, February 27). Membumikan Makna Isra Mikraj. Retrieved January 13,
2023, from Kementerian Agama Republik Indonesia website:
https://kemenag.go.id/read/membumikan-makna-isra-mi-raj-v3v7v
Jumini,
S. (2015). Relativitas Einstein terhadap Waktu Ditinjau dari Al-Qur`an Surat
Al-Ma’ârij Ayat 4. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum, 1(02),
213–232. doi: 10.32699/syariati.v1i02.1110
Prasetya,
Y. (2022, February 28). Mana yang Benar: Isra Mikraj atau Isra Miraj? Retrieved
January 29, 2023, from KOMPASIANA website:
https://www.kompasiana.com/yogaprasetya/621c0474bb44864df32420f2/mana-yang-benar-isra-mikraj-atau-isra-miraj
___________________________________
*Agung Nugroho Catur Saputro, Dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret. Penulis buku Berpikir untuk Pendidikan (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2022), Bongkar Rahasia Cara Mudah Produktif Menulis Buku (Yogyakarta: KBM Indonesia, 2023), dan 90-an buku lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar