Powered By Blogger

Rabu, 31 Januari 2024

KITAB FIQH KARYA ULAMA WANITA

 



KITAB FIQH KARYA ULAMA WANITA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Agama Islam diturunkan Allah Swt ke dunia ini melalui Rasul-Nya bertujuan untuk memberikan rambu-rambu aturan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan. Aturan atau hukum-hukum agama tidak hanya mengatur kehidupan laki-laki tetapi juga mengatur kehidupan wanita. Wanita merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki keistimewaan yang berbeda dengan kaum laki-laki. Hanya kaum wanita saja yang bisa memahami jalan pikiran dan perilaku para wanita. Apa yang terjadi atau dialami oleh kaum wanita tidak dialami oleh kaum laki-laki. Maka wanitalah yang paling tahu dan paling paham dengan diri mereka sendiri dan kaumnya.

 

Hukum agama Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu hukum yang secara jelas dinyatakan oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hukum yang dirumuskan (hasil ijtihad) ulama untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak jelas maknanya. Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan menggunakan semua pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Proses ijtihad bertujuan menciptakan solusi dalam pertanyaan hukum yang belum dijelaskan di dalam Al-Quran dan hadis. Karenanya, hanya para ulama yang dapapt berijtihad terkait hukum Islam. Ijtihad memiliki banyak manfaat seperti membantu umat Islam saat menghadapi masalah yang belum jelas hukumnya. Ini agar hukum tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan, waktu, serta perkembangan zaman. Selain itu ijtihad dapat digunakan untuk menentukan dan menetapkan fatwa atas segala masalah yang tidak berhubungan dengan halal dan haram (Wisnu, 2022). Hukum-hukum agama Islam hasil ijtihad para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai ilmu Fiqh. Jadi ilmu Fiqh adalah ilmu buatan manusia (ulama) yang mencoba memahami/menafsirkan ayat-ayat Allah SWT yang belum jelas maksudnya.

 

Dikarenakan hukum agama baik yang berupa hukum asli dari Allah SWT maupun hukum hasil ijtihat ulama bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, maka tentunya juga mengatur tentang perikehidupan wanita. Ilmu Fiqh yang dihasilkan oleh para ulama umumnya ditulis oleh ulama laki-laki. Masih jarang atau sedikit sekali ditemukan kitab ilmu Fiqh yang ditulis oleh ulama wanita. Hal ini berdampak pada pandangan subjektivitas ulama laki-laki ketika mereka berijtihat menentukan aturan agama atau hukum yang berkaitan dengan kaum wanita.

 

Sebagai contoh pandangan Fiqh yang menyatakan bahwa wanita adalah aurat, bahkan suaranya pun juga aurat yang tidak boleh diperdengarkan kepada para laki-laki. Kaum wanita dianggap sumber fitnah, maka mereka harus memakai pakaian hijab agar aurat mereka tidak menganggu kaum laki-laki. Ternyata perintah agar wanita menutup aurat dengan pakaian tertutup (hijab) tidak diiringi dengan perintah agar laki-laki menundukkan pandangan matanya. Seharusnya perintah wanita memakai pakaian hijab dan laki-laki menundukkan pandangan adalah satu paket (satu kesatuan) karena kedua belah pihak bisa menjadi penyebab terjadinya perzinahan. Tetapi mengapa tidak demikian?

 

Pandangan bahwa wanita adalah aurat dan sumber fitnah adalah produk dari penafsiran ulama laki-laki. Pandangan seperti ini jelas sangat subjektif dan tidak imbang karena hanya mendasarkan pada satu pandangan saja yaitu dari sisi pandangan laki-laki. Pandangan sepihak tersebut hanya menguntungkan satu pihak, yaitu laki-laki, sedangkan pihak wanita dirugikan. Mengapa aturan agama berkaitan dengan pencegahan tindak asusila (perzinahan) hanya dikaitkan dengan wanita sebagai pihak tertuduh penyebab terjadinya perzinahan? Mengapa laki-laki seakan-akan tidak bisa terlibat sebagai aktor penyebab terjadinya perzinahan? Mestinya hukum Fiqh mengatur tentang bagaimana wanita harus berperilaku (berpakaian) agar tidak mengundang fitnah dan bagaimana upaya laki-laki agar tidak terjerumus ke tindakan perzinahan. Seharusnya hukum Fiqh produk hasil ijtihad ulama bersifat adil dalam menentukan aturan hukumnya, bukan hanya menyalahkan satu pihak saja yaitu wanita. Hal itu kemungkian besar karena mayoritas ulama penulis kitab-kitab Fiqh adalah ulama laki-laki sehingga subjektivitas penghukuman terjadi. Maka ke depannya perlu ada evaluasi ulang agar penetapan hukum agama benar-benar bisa berlaku adil dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan.

 

Fenomena adanya produk hukum agama hasil ijtihad ulama yang cenderung menguntungkan pihak laki-laki tersebut dapat terjadi kemungkian besar dikarenakan para ulama penulis kitab-kitab ilmu Fiqh adalah mayoritas laki-laki. Andaikan ada ulama wanita yang juga menulis kitab ilmu Fiqh, mungkin hukum atau aturan agama yang diyakini umat Islam berbeda dengan pandangan sekarang ini. Berdasarkan kasus hukum di atas, maka menurut pandangan penulis, saat ini sangat urgen munculnya kitab-kitab ilmu Fiqh yang ditulis oleh para ulama wanita. Kaum wanita dalam agama Islam memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu agama dan demikian pula harusnya hak dalam menafsirkan ayat-ayat Allah SWT menjadi produk hukum agama dalam kitab Fiqh.

 

Mengapa sejarah Islam zaman dulu jarang menyebutkan nama-nama ulama wanita? Hal itu kemungkian besar memang zaman dulu tidak banyak wanita yang menjadi ulama. Bisa jadi hal itu disebabkan pengaruh dari tradisi atau budaya bangsa Arab pra-Islam yang berpandangan bahwa wanita itu derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Akibatnya kaum wanita tidak diberi hak dan kesempatan yang sama untuk belajar dan menuntut ilmu agama. Hal yang berbeda dialami oleh para kaum laki-laki yang memperoleh hak yang sebebas-bebasnya untuk belajar ilmu agama dan menuliskannya dalam bentuk produk kitab ilmu agama, khususnya kitab ilmu Fiqh.

 

Sebenarnya sejarah telah mencatatkan bahwa zaman dahulu sudah ada ulama wanita yang terlibat dalam penyiaran dakwah Islam. Di masa sahabat, ada nama ummul mukminin sayyidah Aisyah binti Abu Bakar yang menjadi salah satu referensi umat pasca wafatnya Nabi SAW. Beliau adalah seorang ahli fikih sekaligus ahli hadis dari kalangan wanita yang mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad saw. Kepakarannya di bidang fikih dan fatwa membuat nama beliau dimasukkan dalam kategori sahabat yang banyak memberikan fatwa; al-muksirun fi al-fatwa. Pada abad kedua, ada nama Sayyidah Nafisah binti Hasan, salah satu cucu rasulullah saw yang dijuluki nafisah al-ilmi karena kedalaman ilmunya. Banyak ulama yang menimba ilmu dan meriwayatkan hadis dari beliau. Salah satunya adalah Bisyr bin Harist al-Hafi. Bahkan ulama besar sekaliber Imam Syafi’i juga dikenal sebagai murid dari Sayyidah Nafisah. Saking seringnya beliau ngaji, para ulama menobatkan imam Syafi’i sebagai orang yang paling sering mujalasah dengan sayyidah Nafisah. Oleh karena itu, wajar jika Sayyidah Nafisah disebut-sebut sebagai sosok yang banyak mempengaruhi pemikiran imam Syafi’i di Mesir (Isdianto, 2021).

 

Tetapi mengapa nama-nama ulama wanita hampir tidak dikenal dalam khazanah ilmu agama Islam? Apakah karena jumlahnya sangat sedikit-walau ada, ataukah karena mereka para ulama wanita tidak menulis kitab-kitab ilmu agama sehingga sejarah tidak mencatatkan nama-nama mereka? Jika melihat fakta sejarah bahwa memang ada beberapa ulama wanita yang terlibat dalam syiar dakwah agama Islam, dan bahkan di antara mereka ada yang menjadi guru dari ulama-ulama besar yang dikenal masyarakat zaman sekarang, sementara sejarah juga tidak banyak yang menceritakan keberadaan dan kiprah para ulama wanita dalam menghasilkan produk-produk pemikiran terkait penetapan hukum agama, maka penulis berpendapat bahwa akar penyebab mengapa dunia Islam kurang mengenal ulama wanita dikarenakan hampir tidak ditemukan kitab ilmu agama yang merupakan karangan para ulama wanita.

 

Dunia Islam sekarang tidak atau hampir jarang sekali menemukan kitab-kitab ilmu agama Islam, khususnya kitab ilmu Fiqh yang merupakan hasil dari karangan ulama wanita. Hal ini mengakibatkan munculnya anggapan bahwa sejak dulu tidak ada ulama wanita. Hukum-hukum agama Islam yang ada di kitab-kitab ilmu Fiqh hanya ditulis oleh para ulama laki-laki, sedangkan hasil pemikiran dan penafsiran (ijtihad) para ulama wanita tidak terdokumentasi dalam bentuk kitab yang berakibat hasil pemikiran mereka tidak sampai ke generasi-generasi berikutnya dan hingga generasi sekarang.

 

Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan peran wanita dalam perumusan hukum-hukum agama Islam adalah mengapa jumlah ulama wanita jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah ulama laki-laki? Jika benar bahwa ulama terdahulu tak pernah membedakan antara laki-laki dan wanita dalam soal keilmuan (Isdianto, 2021), tetapi mengapa dalam dunia keilmuan Islam hampir tidak mengenal sosok-sosok ulama wanita? Melihat fenomena ini, penulis berpendapat bahwa walaupun agama Islam tidak membeda-bedakan antara wanita dan laki-laki dalam menuntut ilmu agama, tetapi pengaruh budaya dan tradisi bangsa Arab pra-Islam yang memandang rendah derajat wanita bahkan ada anggapan jika memiliki anak wanita dianggap sebuah kesialan, masih sangat kuat mempengaruhi pola kehidupan umat Islam zaman dulu sehingga berdampak pada masih sedikit sekali wanita-wanita yang menuntut ilmu agam secara serius dan tekun hingga menjadi ulama besar.

 

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa akar permasalahan mengapa dunia keilmuan Islam hampir tidak mengenal keberadaan ulama wanita yang berdampak pada produk hukum agama yang mayoritas didominasi oleh hasil ijtihad ulama laki-laki adalah karena masih kuatnya pengaruh budaya Arab pra-Islam yang memandang derajat wanita lebih rendah dari laki-laki sehingga membatasi para wanita untuk belajar ilmu agama dan menjadi ulama. Penyebab kedua mengapa kurang dikenalnya ulama wanita dalam khazanah keilmuan agama Islam adalah karena para ulama wanita tidak atau hampir tidak meninggalkan karya-karya tulis produk hukum agama Islam yang merupakan hasil ijtihad mereka dalam bentuk kitab-kitab hukum Islam. []

 

Surakarta, 31 Januari 2023

 

Referensi

Isdianto, W. (2021, April 7). Ulama Perempuan. Swara Rahima. https://swararahima.com/2021/04/07/ulama-perempuan/

Wisnu. (2022, July 20). Pengertian Ijtihad Menurut Bahasa serta Fungsi dan Contoh. Media Indonesia. https://mediaindonesia.com/humaniora/508237/pengertian-ijtihad-menurut-bahasa-serta-fungsi-dan-contoh

 


Tidak ada komentar:

Postingan Populer