Powered By Blogger

Sabtu, 16 Maret 2024

MEMAKNAI TRADISI BULAN RAMADAN: Refleksi Pengalaman Masa Kecil

 


MEMAKNAI TRADISI BULAN RAMADAN:
Refleksi Pengalaman Masa Kecil

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

 

 

A. Pendahuluan

 

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa [04]: 9).

Penggalan firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 di atas menjadi sumber inspirasi bagi para orang tua untuk tidak mengabaikan kondisi anak keturunannya. Para orang tua harus mampu menyiapkan anak keturunannya untuk memiliki kompetensi dan keterampilan yang mendukung kehidupan agar kelak anak keturunan mereka mampu hidup dengan normal dan menjalani roda kehidupan dengan baik dan tanpa kendala apapun. Tafsir Al-Muyassar dari Kementerian Agama Saudi Arabia (Anonim, n.d.) menafsirkan ayat tersebut dengan redaksional sebagai berikut. “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggal dan meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang masih kecil-kecil atau lemah, yang mereka takutkan mengalami kezhaliman atau tak terurus, maka hendaknya mereka selalu merasa diawasi oleh Allah dalam memperlakukan orang yang berada di bawah tanggungannya dari anak-anak yatim dan anak-anak lainnya, yaitu dengan cara menjaga harta benda mereka, mendidik mereka dengan baik, dan menyingkirkan segala gangguan dari mereka dan hendaklah berkata kepada mereka dengan ucapan yang sejalan dengan semangat keadilan dan yang baik-baik”.

Salah satu cara menyiapkan keturunan yang tangguh dan berkualitas tinggi adalah memberikan anak pengalaman-pengalaman menjalankan amalan agama yang terejawantahkan dalam wujud tradisi dan budaya kearifan lokal. Pengalaman melakukan amalan-amalan kebaikan di waktu kecil akan menjadi bekal menjadi orang baik ketika mereka dewasa kelak. Mengajarkan anak mengamalkan amalan-amalan kebaikan di masa kecil merupakan bagian dari pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang memang seyogyanya dimulai ketika anak masih kecil.


B.  Urgensi Pendidikan Akhlak (Karakter) untuk Anak Kecil

Pendidikan akhlak sebaiknya diberikan kepada anak sejak kecil, karena usia yang masih dini, anak akan mudah dibimbing dan diajarkan perbuatan-perbuatan yang baik, sehingga ketika sudah dewasa, perbuatan baik tersebut akan melekat dan menjadi kebiasaan anak tersebut. Memberikan pendidikan kepada anak sejak dini, sudah dicontohkan oleh Luqman al-Hakim yang kisahnya diabadikan dalam surah Luqman, memberikan nasihat-nasihat kepada anaknya, seperti: melarang mempersekutukan Allah, harus berbakti kepada kedua orang tua, perintah mendirikan sholat, berbuat kebaikan, menjauhi kemungkaran, tidak boleh berbuat sombong dan sabar dalam menghadapi persoalan (Pradana, 2023).

Masa kecil memang masa-masa yang menyenangkan. Dunia anak kecil merupakan dunia yang isinya hanyalah bersenang-senang, bergembira, dan bermain. Anak kecil belum memahami berbagai permasalahan kehidupan. Anak kecil tahunya dunianya adalah dunia yang penuh kesenangan dan kegembiraan. Mereka tidak memiliki pikiran negatif terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Apapun yang mereka lakukan adalah untuk bersenang-senang dan bergembira.

            Dalam hal proses belajar, anak-anak juga tidak memahami apa itu belajar. Yang mereka tahu adalah mereka mengeksplorasi potensi diri dan kemampuan yang ada dalam dirinya. Anak-anak hanyalah makhluk Tuhan yang menjalankan fitrah kehidupannya melalui tahap-tahap perkembangannya. Mereka menjalani proses kehidupan dan berproses menjadi lebih kompeten hanya berdasarkan garis hidup (blueprint) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Proses belajar anak-anak adalah mengikuti karakteristik dunia mereka, yaitu dunia yang penuh permainan dan kegembiraan. Oleh karena itu, belajarnya anak-anak adalah melalui bermain. Permainan dan apapun yang dilakukan anak-anak pada hakikatnya adalah proses mereka belajar mengenali potensi diri dan menempa dirinya untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kompeten dalam menjalani kehidupan nantinya.

Apa yang dilakukan di masa kecil akan menjadi kenangan indah ketika dewasa. Semua yang dilihat, dilakukan, dan dipelajari di masa kecil akan menjadi investasi berharga ketika dewasa. Masa kecil bagaikan sebuah memory hardisk yang menyimpan semua data masa kecil yang dapat diputar ulang ketika dewasa. Masa kecil adalah masa-masa yang tepat untuk menyimpan sebanyak-banyaknya memori indah dan memori proses belajar yang nantinya ketika dewasa dapat di panggil kembali untuk dimanfaatkan.

Mengajarkan akhlak atau karakter-karakter yang baik kepada anak kecil dengan mengenalkan, melatihkan, dan membiasakan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang mengandung nilai pendidikan karakter baik merupakan investasi sangat berharga bagi kehidupan mereka nanti ketika dewasa. Semua sikap dan perilaku kebaikan yang sudah terbiasa mereka lakukan hingga mendarah daging dan menyatu dalam diri menjadi jati diri mereka akan menuntut dan mengarahkan jiwa mereka menjadi orang-orang yang berjiwa dan berakhlak baik.


C.  Memaknai Tradisi-Tradisi di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan menyimpan banyak kenangan di waktu kecil. Banyak tradisi bulan Ramadan yang penulis alami sewaktu kecil. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan merupakan wujud akulturasi dari pemaknaan kemuliaan bulan Ramadan yang dikemas dalam bingkai kearifan budaya lokal. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan- bulan yang penuh kemuliaan- diciptakan oleh orang-orang tua arif bijaksana di zaman dahulu untuk menghormati dan memuliakan datangnya bulan Ramadan maupun mengisi keagungan bulan Ramadan yang penuh maghfirah dengan amalan-amalan yang baik.

Tradisi-tradisi menjelang dan selama bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil memberikan bekas ingatan yang mendalam. Setiap kali mengingat kembali pengalaman menjalani tradisi bulan Ramadan di waktu kecil, penulis merasakan kebahagiaan dan muncul rasa syukur karena pernah menjalani pengalaman-pengalaman indah dan menyenangkan tersebut. Dulu sewaktu kecil penulis tidak memikirkan mengapa masyarakat melakukan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut dan apa manfaatnya. Tetapi setelah penulis dewasa dan pemahaman ilmu agama penulis semakin mendalam, penulis dapat menangkap pesan-pesan kebaikan yang tersirat dalam kegiatan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut.

Memang setelah dewasa, penulis tidak lagi melaksanakan semua tradisi bulan Ramadan yang dulu pernah penulis lakukan di masa kecil. Tetapi sebagian dari tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut tetap penulis lakukan hingga sekarang. Beberapa tradisi bulan Ramadan yang penulis tidak lakukan lagi tersebut bukan karena tradisi tersebut salah atau bertentangan dengan ajaran agama Islam yang penulis pahami. Tetapi penulis lebih memilih mengambil hikmah yang terkandung dari tradisi bulan Ramadan tersebut dan mengerjakannnya dalam wujud amalan yang berbeda tetapi bertujuan sama. Penulis tidak ingin terjebak dalam aktivitas kulitnya tetapi penulis ingin mengambil inti sari dari tujuan dan manfaat dari tradisi bulan Ramadan tersebut.

Orang-orang zaman sekarang akan memunculkan tradisi dan budaya baru yang lebih relevan dengan pola dan kondisi kehidupan zaman sekarang. Tradisi dan budaya baru yang tercipta di masyarakat zaman sekarang merupakan perwujudan dari upaya orang-orang zaman sekarang dalam mengaktualisikan pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Jadi penulis bersikap moderat terhadap keberadaan tradisi dan budaya warisan orang-orang zaman dahulu, yakni tidak menolak dan tidak menerima seratus persen, tetapi lebih bersikap selektif dan mengutamakan tujuan hakikat dari diadakannya tradisi dan budaya tersebut. Tradisi dan budaya yang masih relevan dengan perikehidupan zaman sekarang perlu tetap dilestarikan, tetapi tradisi dan budaya yang sudah tidak relevan dengan kehidupan sekarang dan bahkan mungkin bisa menimbulkan kemadharatan, maka perlu ditingalkan dengan diganti dengan tradisi dan budaya baru yang lebih baik dan bermanfaat.


D.   Tradisi-Tradisi Bulan Ramadan di Masa Kecil

            Pengalaman-pengalaman di masa kecil sangat bermanfaat ketika dewasa. Pengalaman berpuasa Ramadan di masa kecil ternyata menyimpan banyak hikmah yang patut direnungkan. Hikmah-hikmah pengalaman menjalankan puasa Ramadan di masa kecil dapat dimanfaatkan untuk bahan refleksi diri kita ketika menjalani proses kehidupan ini. Beberapa pengalaman menarik di masa kecil penulis yang penulis ingat ketika datang bulan Ramadan adalah sebagai berikut.

1.  Padusan

Mengutip dari buku Manunggaling Islam Jawa karya Rojikin, dijelaskan bahwa Padusan adalah bersuci dari hadas kecil maupun besar. Secara umum, makna dari Padusan adalah sebuah tradisi sebagai titik awal untuk memulai amalan-amalan di bulan suci Ramadhan. Lebih lanjut disampaikan melalui laman resmi Visit Jawa Tengah, bahwa Padusan merupakan tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan (Milagsita, 2024).

Penulis waktu kecil melakukan tradisi Padusan ini dengan mandi bersama teman-teman di sungai dekat Waduk Cengklik. Waktu itu mandi bersama teman-teman masa kecil begitu menyenangkan. Terlebih airnya jernih karena berasal langsung dari Waduk Cengklik sehingga terasa sangat segar dan suasana penuh kegembiraan. Ada juga sebagian masyarakat yang melakukan padusan ke beberapa tempat pemandian umum seperti umbul Tlatar dan umbul Pengging.

Saat ini, penulis sudah tidak melakukan tradisi Padusan tersebut. Menurut pemikiran penulis, tradisi Padusan merupakan simbol penyucian diri (jasmani dan rohani) orang-orang zaman dulu untuk menyambut datangnya bulan yang mulia yaitu bulan Ramadan. Mereka mewujudkan aktivitas penyucian diri dengan mandi bersama yang disebut Padusan. Jadi hakikat dari tradisi Padusan adalah penyiapan jiwa yang suci (menyucikan jiwa) untuk menyambut bulan Ramadan. Penulis berpendapat bahwa kegiatan penyucian jiwa dalam tradisi Padusan tersebut dapat diganti dan diwujudkan dengan membersihkan niat di hati dan pikiran untuk menyambut datangnya bulan Ramadan.

Puasa Ramadan adalah ibadah yang sangat berkaitan dengan sisi rohani, maka menyiapkan rohani yang bersih dan suci dengan membersihkan niat melaksanakan puasa Ramadan adalah lebih urgen dan relevan untuk zaman sekarang. Tradisi mandi bersama di tempat pemandian umum walaupun bertujuan baik untuk menyambut datangnya bulan Ramadan, tetapi juga bisa menimbulkan kemadharatan karena terbuka aurat yang bisa dilihat orang banyak dan hal ini bisa menimbulkan efek negatif. Mungkin kegiatan mandi bersama di tempat umum pada zaman dulu tidak menimbulkan masalah, tetapi di zaman sekarang dimana terjadi degradasi moral dan pergeseran tentang pandangan batasan nilai kesopanan dalam berpakaian, maka tradisi mandi bersama (Padusan) menurut pendapat penulis sudah tidak relevan lagi.

2. Sadranan atau Nyadran.

Salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah tradisi nyadran.  Masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di wilayah Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menjalankan tradisi nyadran untuk menyambut bulan Ramadan. Istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata “sraddha” yang artinya  keyakinan.  Tradisi ini merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang atau yang dikenal dengan animisme.  Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa melalui wali songo, tradisi yang ada tidak dihilangkan namun justru menjadi alat untuk menyebarkan Islam.  Seiring masuknya Islam, tradisi sraddha mengalami perubahan.  Sebelum Islam, sraddha dilakukan untuk memperoleh berkah. Pada perkembangannya, tradisi ini menjadi  wujud rasa syukur atas anugerah Allah SWT kepada  warga.  Setelah pengaruh Islam digunakan kata nyadran.  Jadi nyadran adalah hasil dari akulturasi budaya Jawa dan Islam (Anggraini, 2023).

Di kampung penulis dulu, sadranan atau nyadran dilakukan dengan cara membersihakan makam orang tua dan leluhur dan dilanjutkan acara pengajian (pemberian tausiah) dan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat atau kyai. Setelah rangkain acara sadranan selesai, kemudian  diakhiri dengan pembagian makanan atau makan bersama. Makanan yang biasa disajikan adalah nasi penak (nasi dan lauk pauk yang dibungkus daun pisang). Nasi penak tersebut dikumpulkan dari sedekah warga kampong sendiri. Makan nasi penak bersama-sama warga kampong merupakan pengalaman yang indah dan menyenangkan karena disitu terlihat rasa kebersamaan dan kerukunan masyarakat. Juga bagi penulis pribadi, bisa makan nasi penak merupakan kemewahan tersendiri karena nasi penak biasanya berisi lauk pauk yang enak-enak.

Sekarang penulis sudah tidak pernah ikut acara sadranan di kampung karena penulis sudah pindah rumah. Juga karena kedua orang tua penulis juga sudah pindah rumah ke kampung lain sehingga penulis sudah terputus hubungan silaturahmi dengan warga kampung masa kecil penulis yang sudah puluhan tahun penulis tinggalkan. Sedangkan di daerah tempat tinggal penulis sendiri yang berada di kawasan perumahan tidak ada tradisi sadranan setiap menjelang datang bulan Ramadan. Kegiatan sadranan biasanya penulis gantikan dengan acara nyekar atau ziarah ke makam kedua orang tua penulis untuk mendoakan beliau berdua. Hal itu dikarenakan penulis berpendapat bahwa inti dari kegiatan sadranan sebenarnya adalah mendoakan orang tua dan leluhur yang telah meninggal. Jadi walaupun tidak ada kegiatan sadranan di wilayah perumahan, penulis tetap bisa melakukan kegiatan sadranan dalam bentuk lain yaitu melakukan  kegiatan nyekar atau ziarah kubur bersama keluarga ke makam kedua orang tua.

3.  Membersihkan masjid/mushalla dan mencuci karpet/tikar masjid/mushalla

Menjelang datangnya bulan Ramadan, dulu waktu di kampung biasanya pengurus remaja masjid mengadakan kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla dengan menyapu dan mengepel lantai masjid/mushalla. Di samping itu juga mencuci karpet atau tikar masjid/mushalla ke sungai dekat Waduk Cengklik. Kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla merupakan pengalaman masa kecil yang sangat menyenangkan. Anak-anak menyambut kedatangan bulan Ramadan dengan penuh gembira.

Tradisi memberishkan masjid/mushalla sampai sekarang masih dilakukan di banyak masjid/mushalla. Karena mendatangkan manfaat bagi kebersamaan, kerukunan dan kepedulian umat, maka penulis berpendapat tradisi bersih-bersih masjid ini masih perlu dilestarikan.

4.  Tadarus Al-Qur’an

Kegiatan Tadarus Al-Qur’an merupakan kegiatan rutin yang dulu penulis lakukan setiap bulan Ramadan. Dulu sering dipercaya bapak Kyai untuk mendampingi anak-anak kecil membaca Al-Qur’an (Tadarus Al-Qur’an) setiap bakda shalat Tarawih di mushalla. Hadiah dari melaksanakan dawuh kyai tersebut adalah mendapat hadiah sarung dari Kyai. Waktu itu penulis merasa senang dan bahagia sekali mendapat hadiah sarung baru dari Kyai. Penulis merasa mendapatkan keberkahan tersendiri ketika mendapat hadiah sarung baru tersebut. Mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi anak-anak kecil mengaji (Tadarus Al-Qur’an) saja sudah merasa sangat beruntung, apalagi ditambah mendapatkan hadiah sarung baru dari Kyai. Pengalaman tersebut sangat membekas dalam memori ingatan penulis saat ini. Sepertinya ingin mengulang kembali pengalaman-pengalaman masa kecil yang sangat indah tersebut.

Tardisi Tadarus Al-Qur’an ini penulis lanjutkan sampai sekarang. Tetapi penulis tidak mengkhususkan Tadarus Al-Qur’an (membaca Al-Qur’an) hanya saat bulan Ramadan saja, melainkan membaca Al-Qur’an setiap hari. Penulis membiasakan seluruh anggota keluarga untuk membaca Al-Qur’an secara rutin setiap bakda Shalat Maghrib. Menurut penulis, mengkhususkan membaca Al-Qur’an dan bahkan mengkhatamkan membaca Al-Qur’an 30 Juz hanya di bulan Ramadana adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah rutin membaca Al-Qur’an setiap hari. Hal ini sesuai hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Allah SWT suka amalan yang sedikit yang istikamah (terus-menerus dilakukan) dibandingkan amalan besar tapi kemudian berhenti. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. (HR. Muslim).

Penting bagi seorang muslim untuk untuk melakukan sebuah amalan kebaikan secara istiqomah atau kontiyu. Kualitas amalan seseorang tidak hanya dilihat dari sebuah kecil atau besarnya amalan, akan tetapi dilihat dari kesinambungannya. Karena amal baik akan melahirkan amal baik berikutnya. Amalan yang besar namun berhenti di tengah jalan tak lebih baik dari amalan kecil namun berlangsung terus-menerus. Amalan yang sedikit tetapi istiqamah akan mencegah seseorang beramal pada titik jenuh. Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun rutin, maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada (Yudi, 2022).

5.  Pengajian anak-anak

Dulu di kampung penulis, di setiap bulan Ramadan ada tradisi kegiatan pengajian anak-anak yang dikoordinasi oleh pengurus remaja masjid yang dilaksanakan setiap bakda shalat Ashar hingga masuk waktu buka puasa. Waktu penulis penulis masih kecil, penulis rutin mengikuti acara pengajian anak-anak tersebut dan hal yang menyenangkan yang ditunggu-tunggu adalah mendapat makana takjil buka puasa bersama. Walaupun menu takjil buka puasa hanya minum the manis dan makanan snack ringan, tetapi saat itu pengalaman yang begitu menyenangkan.

            Ketika penulis sudah remaja dan menjadi pengurus remaja masjid, gantian penulis terlibat dalam memberikan materi pengajian ke anak-anak. Materi pengajian anak-anak meliputi materi pesholatan (bacaan sholat), doa-doa, dan surat-surat pendek. Waktu itu penulis merasa senang sekali dan bersemangat bisa mengajari anak-anak kecil belajar materi pesholatan, doa-doa, dan hafalan surat-surat pendek. Sebuah pengalaman masa kecil yang begitu indah dan membahagiakan.

6.   Shalat Tarawih

Sholat Tarawih merupakan ibadah yang rutin dilakukan saat bulan Ramadan. Saat penulis masih kecil, penulis melaksanakan ibadah sholat Tarawih di musholla dekat rumah yang diimami langsung oleh bapak Kyai. Ketika masih kecil, penulis didampingi ayah dalam melaksanakan sholat Tarawih. Di mushlla kampong penulis, sholat Tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rekaat, yaitu 20 rekaat sholat Tarawih dan 3 rekaat sholat Witir. Setelah penulis menginjak remaja, penulis ikut sholat Tarawih sendiri. Sejak kecil penulis berusaha bisa mengikuti shalat Tarawih sebanyak 23 rekaat tanpa bolong-bolong.

7.  Khataman Al-Qur’an

Setiap bakda shalat Tarawih dilanjutkan kegiatan Tadarus Al-Qur’an. Ketika kegiatan membaca Al-Qur’an (Tadarus Al-Qur’an) sudah khatam sampai juz 30, maka diadakan acara Khataman Al-Qur’an. Pada keegiatan Khataman Al-Qur’an tersebut diisi cara semakan bacaan hafalan Al-Qur’an Juz 30 yang dibacakan oleh salah satu santri binaan Kyai dan disemak oleh beberapa orang dewasa. Kemudian dilanjutkan acara pemberian tausiyah atau pemberian nasihat agama. Dulu penulis pernah ditunjuk Kyai untuk memberikan tausiyah agama kepada jamaah sholat Tarawih. Itu adalah pengalaman yang sangat berharga bagi penulis pribadi karena diberikan kepercayaan dan kehormatan oleh bapak Kyai untuk menyampaikan materi pengajian kepada para jamaah di musholla. Kegiatan Khataman Al-Qur’an di akhiri dengan pembacaan doa bersama yang langsung dipimpin oleh Kyai dan ditutup dengan makan nasi penak bersama-sama.

Demikianlah beberapa tradisi bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil hidup di kampong. Di antara beberapa tradisi Ramadan tersebut, masih ada yang penulis lakukan hingga sekarang dan ada juga yang sudah tidak penulis lakukan lagi. Beberapa tradisi yang sudah tidak penulis lakukan lagi bukan karena menganggap salah atau menolak tradisi warisan leluhur tetapi penulis lebih mempertimbangkan pada aspek relevansinya dengan kondisi kehidupan zaman sekarang.

Terkait beberapa amalan tradisi Ramadan yang penulis tinggalkan atau tidak penulis lakukan lagi disebabkan beberapa faktor antara lain perubahan pemahaman penulis terhadap tujuan dari tradisi Ramadan tersebut maupun tingkat relevansinya saat ini. Penulis bukan tipe orang yang anti budaya atau tradisi lokal, tetapi penulis memiliki pemikiran bahwa budaya dan tradisi masyarakat merupakan wujud upaya orang zaman dahulu dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran kebaikan agama. Seiring terjadinya pergeseran dan peningkatan pemahaman ilmu agama orang-orang zaman sekarang, maka wajar jika terjadi re-evaluasi terhadap relevansi tradisi dan budaya di masyarakat.


E. Penutup: Re-evaluasi dan Re-formating Tradisi Ramadan

Demikian cuplikan kecil sebagian pengalaman masa kecil penulis dalam menjalani beberapa tradisi bulan Ramadan dan bagaimana pandangan penulis saat ini terhadap tradisi peninggalan orang zaman dulu. Penulis berpandangan bahwa tidak semua tradisi dan budaya peninggalan orang zaman dulu itu salah atau tidak relevan dengan kehidupan sekarang. Tetap ada beberapa tradisi dan budaya masyarakat yang masih relevan dan perlu dilestarikan dengan disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Sikap yang bijaksana terhadap tradisi dan budaya masa lalu adalah bukan menolak melainkan melakukan re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya masyarakat tersebut disesuaikan dengan konteks dan kondisi zaman sekarang.

Langkah utama dalam proses re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya zaman dulu adalah menemukan inti sari dari pesan-pesam tersirat dalam tradisi dan budaya tersebut dan membuatkan format bari atau tradisi dan budaya baru yang mengandung intisari pesan tersirat terbut. Dapat dianalogikan dengan ungkapan “memindakan ruh tradisi dan budaya zaman dulu ke dalam tubuh tradisi dan budaya zaman sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

 

Gumpang Baru, 17 Maret 2024

 


Referensi

Anggraini, F. (2023, March 30). Mengenal Nyadran, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan. Retrieved March 17, 2024, from Kementerian Keuangan Republik Indonesia website: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/16021/Mengenal-Nyadran-Tradisi-Menyambut-Bulan-Ramadan.html

Anonim. (n.d.). Surat An-Nisa Ayat 9 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir. Retrieved March 17, 2024, from TafsirWeb website: https://tafsirweb.com/1541-surat-an-nisa-ayat-9.html

Milagsita, A. (2024, March 9). Apa Itu Padusan? Tradisi Masyarakat Jawa Menyucikan Diri Jelang Ramadhan. Retrieved March 17, 2024, from Detikjateng website: https://www.detik.com/jateng/budaya/d-7233413/apa-itu-padusan-tradisi-masyarakat-jawa-menyucikan-diri-jelang-ramadhan

Pradana, E. F. (2023, Agustus). Pentingnya Pendidikan Akhlak pada Anak Sejak Dini. Retrieved March 17, 2024, from https://fsyariah.uinkhas.ac.id/berita/detail/pentingnya-pendidikan-akhlak-pada-anak-sejak-dini

Yudi. (2022, May 30). Pentingnya Amalan Secara Istiqomah. Retrieved March 17, 2024, from Pondok Pesantren Daarut Tauhiid website: https://www.daaruttauhiid.org/pentingnya-amalan-secara-istiqomah/

 

Tidak ada komentar:

Postingan Populer