MEMAKNAI
TRADISI BULAN RAMADAN:
Refleksi
Pengalaman Masa Kecil
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
A. Pendahuluan
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. (QS. An-Nisa [04]: 9).
Penggalan firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 di atas menjadi sumber inspirasi bagi para orang tua untuk tidak mengabaikan kondisi anak keturunannya. Para orang tua harus mampu menyiapkan anak keturunannya untuk memiliki kompetensi dan keterampilan yang mendukung kehidupan agar kelak anak keturunan mereka mampu hidup dengan normal dan menjalani roda kehidupan dengan baik dan tanpa kendala apapun. Tafsir Al-Muyassar dari Kementerian Agama Saudi Arabia (Anonim, n.d.) menafsirkan ayat tersebut dengan redaksional sebagai berikut. “Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggal dan meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang masih kecil-kecil atau lemah, yang mereka takutkan mengalami kezhaliman atau tak terurus, maka hendaknya mereka selalu merasa diawasi oleh Allah dalam memperlakukan orang yang berada di bawah tanggungannya dari anak-anak yatim dan anak-anak lainnya, yaitu dengan cara menjaga harta benda mereka, mendidik mereka dengan baik, dan menyingkirkan segala gangguan dari mereka dan hendaklah berkata kepada mereka dengan ucapan yang sejalan dengan semangat keadilan dan yang baik-baik”.
Salah satu cara menyiapkan
keturunan yang tangguh dan berkualitas tinggi adalah memberikan anak
pengalaman-pengalaman menjalankan amalan agama yang terejawantahkan dalam wujud
tradisi dan budaya kearifan lokal. Pengalaman melakukan amalan-amalan kebaikan
di waktu kecil akan menjadi bekal menjadi orang baik ketika mereka dewasa
kelak. Mengajarkan anak mengamalkan amalan-amalan kebaikan di masa kecil
merupakan bagian dari pendidikan akhlak atau pendidikan karakter yang memang
seyogyanya dimulai ketika anak masih kecil.
B. Urgensi
Pendidikan Akhlak (Karakter) untuk Anak Kecil
Pendidikan
akhlak sebaiknya diberikan kepada anak sejak kecil, karena usia yang masih
dini, anak akan mudah dibimbing dan diajarkan perbuatan-perbuatan yang baik,
sehingga ketika sudah dewasa, perbuatan baik tersebut akan melekat dan menjadi
kebiasaan anak tersebut. Memberikan pendidikan kepada anak sejak dini, sudah
dicontohkan oleh Luqman al-Hakim yang kisahnya diabadikan dalam surah Luqman,
memberikan nasihat-nasihat kepada anaknya, seperti: melarang mempersekutukan
Allah, harus berbakti kepada kedua orang tua, perintah mendirikan sholat,
berbuat kebaikan, menjauhi kemungkaran, tidak boleh berbuat sombong dan sabar
dalam menghadapi persoalan (Pradana,
2023).
Masa kecil memang
masa-masa yang menyenangkan. Dunia anak kecil merupakan dunia yang isinya
hanyalah bersenang-senang, bergembira, dan bermain. Anak kecil belum memahami
berbagai permasalahan kehidupan. Anak kecil tahunya dunianya adalah dunia yang
penuh kesenangan dan kegembiraan. Mereka tidak memiliki pikiran negatif
terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Apapun yang mereka lakukan
adalah untuk bersenang-senang dan bergembira.
Dalam
hal proses belajar, anak-anak juga tidak memahami apa itu belajar. Yang mereka
tahu adalah mereka mengeksplorasi potensi diri dan kemampuan yang ada dalam
dirinya. Anak-anak hanyalah makhluk Tuhan yang menjalankan fitrah kehidupannya
melalui tahap-tahap perkembangannya. Mereka menjalani proses kehidupan dan
berproses menjadi lebih kompeten hanya berdasarkan garis hidup (blueprint) yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT. Proses belajar anak-anak adalah mengikuti karakteristik dunia
mereka, yaitu dunia yang penuh permainan dan kegembiraan. Oleh karena itu, belajarnya
anak-anak adalah melalui bermain. Permainan dan apapun yang dilakukan anak-anak
pada hakikatnya adalah proses mereka belajar mengenali potensi diri dan menempa
dirinya untuk menjadi pribadi yang tangguh dan kompeten dalam menjalani
kehidupan nantinya.
Apa yang dilakukan di
masa kecil akan menjadi kenangan indah ketika dewasa. Semua yang dilihat,
dilakukan, dan dipelajari di masa kecil akan menjadi investasi berharga ketika
dewasa. Masa kecil bagaikan sebuah memory
hardisk yang menyimpan semua data masa kecil yang dapat diputar ulang
ketika dewasa. Masa kecil adalah masa-masa yang tepat untuk menyimpan
sebanyak-banyaknya memori indah dan memori proses belajar yang nantinya ketika
dewasa dapat di panggil kembali untuk dimanfaatkan.
Mengajarkan akhlak atau
karakter-karakter yang baik kepada anak kecil dengan mengenalkan, melatihkan,
dan membiasakan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang mengandung nilai pendidikan
karakter baik merupakan investasi sangat berharga bagi kehidupan mereka nanti
ketika dewasa. Semua sikap dan perilaku kebaikan yang sudah terbiasa mereka
lakukan hingga mendarah daging dan menyatu dalam diri menjadi jati diri mereka
akan menuntut dan mengarahkan jiwa mereka menjadi orang-orang yang berjiwa dan
berakhlak baik.
C. Memaknai
Tradisi-Tradisi di Bulan Ramadan
Bulan Ramadan menyimpan
banyak kenangan di waktu kecil. Banyak tradisi bulan Ramadan yang penulis alami
sewaktu kecil. Tradisi-tradisi di bulan Ramadan merupakan wujud akulturasi dari
pemaknaan kemuliaan bulan Ramadan yang dikemas dalam bingkai kearifan budaya lokal.
Tradisi-tradisi di bulan Ramadan- bulan yang penuh kemuliaan- diciptakan oleh
orang-orang tua arif bijaksana di zaman dahulu untuk menghormati dan memuliakan
datangnya bulan Ramadan maupun mengisi keagungan bulan Ramadan yang penuh
maghfirah dengan amalan-amalan yang baik.
Tradisi-tradisi
menjelang dan selama bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil memberikan
bekas ingatan yang mendalam. Setiap kali mengingat kembali pengalaman menjalani
tradisi bulan Ramadan di waktu kecil, penulis merasakan kebahagiaan dan muncul
rasa syukur karena pernah menjalani pengalaman-pengalaman indah dan
menyenangkan tersebut. Dulu sewaktu kecil penulis tidak memikirkan mengapa
masyarakat melakukan tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut dan apa manfaatnya.
Tetapi setelah penulis dewasa dan pemahaman ilmu agama penulis semakin
mendalam, penulis dapat menangkap pesan-pesan kebaikan yang tersirat dalam kegiatan
tradisi-tradisi bulan Ramadan tersebut.
Memang setelah dewasa,
penulis tidak lagi melaksanakan semua tradisi bulan Ramadan yang dulu pernah
penulis lakukan di masa kecil. Tetapi sebagian dari tradisi-tradisi bulan
Ramadan tersebut tetap penulis lakukan hingga sekarang. Beberapa tradisi bulan
Ramadan yang penulis tidak lakukan lagi tersebut bukan karena tradisi tersebut
salah atau bertentangan dengan ajaran agama Islam yang penulis pahami. Tetapi penulis
lebih memilih mengambil hikmah yang terkandung dari tradisi bulan Ramadan
tersebut dan mengerjakannnya dalam wujud amalan yang berbeda tetapi bertujuan
sama. Penulis tidak ingin terjebak dalam aktivitas kulitnya tetapi penulis
ingin mengambil inti sari dari tujuan dan manfaat dari tradisi bulan Ramadan
tersebut.
Orang-orang zaman
sekarang akan memunculkan tradisi dan budaya baru yang lebih relevan dengan
pola dan kondisi kehidupan zaman sekarang. Tradisi dan budaya baru yang
tercipta di masyarakat zaman sekarang merupakan perwujudan dari upaya
orang-orang zaman sekarang dalam mengaktualisikan pemahaman mereka terhadap
ajaran agama. Jadi penulis bersikap moderat terhadap keberadaan tradisi dan
budaya warisan orang-orang zaman dahulu, yakni tidak menolak dan tidak menerima
seratus persen, tetapi lebih bersikap selektif dan mengutamakan tujuan hakikat
dari diadakannya tradisi dan budaya tersebut. Tradisi dan budaya yang masih
relevan dengan perikehidupan zaman sekarang perlu tetap dilestarikan, tetapi
tradisi dan budaya yang sudah tidak relevan dengan kehidupan sekarang dan
bahkan mungkin bisa menimbulkan kemadharatan, maka perlu ditingalkan dengan
diganti dengan tradisi dan budaya baru yang lebih baik dan bermanfaat.
D. Tradisi-Tradisi
Bulan Ramadan di Masa Kecil
Pengalaman-pengalaman
di masa kecil sangat bermanfaat ketika dewasa. Pengalaman berpuasa Ramadan di
masa kecil ternyata menyimpan banyak hikmah yang patut direnungkan. Hikmah-hikmah
pengalaman menjalankan puasa Ramadan di masa kecil dapat dimanfaatkan untuk
bahan refleksi diri kita ketika menjalani proses kehidupan ini. Beberapa pengalaman
menarik di masa kecil penulis yang penulis ingat ketika datang bulan Ramadan
adalah sebagai berikut.
1. Padusan
Mengutip dari buku Manunggaling Islam Jawa karya Rojikin,
dijelaskan bahwa Padusan adalah bersuci dari hadas kecil maupun besar. Secara
umum, makna dari Padusan adalah sebuah tradisi sebagai titik awal untuk memulai
amalan-amalan di bulan suci Ramadhan. Lebih lanjut disampaikan melalui
laman resmi Visit Jawa Tengah, bahwa Padusan merupakan tradisi yang biasa
dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan (Milagsita, 2024).
Penulis waktu kecil
melakukan tradisi Padusan ini dengan mandi bersama teman-teman di sungai dekat Waduk
Cengklik. Waktu itu mandi bersama teman-teman masa kecil begitu menyenangkan. Terlebih
airnya jernih karena berasal langsung dari Waduk Cengklik sehingga terasa
sangat segar dan suasana penuh kegembiraan. Ada juga sebagian masyarakat yang melakukan
padusan ke beberapa tempat pemandian umum seperti umbul Tlatar dan umbul Pengging.
Saat ini, penulis sudah
tidak melakukan tradisi Padusan tersebut. Menurut pemikiran penulis, tradisi Padusan
merupakan simbol penyucian diri (jasmani dan rohani) orang-orang zaman dulu untuk
menyambut datangnya bulan yang mulia yaitu bulan Ramadan. Mereka mewujudkan
aktivitas penyucian diri dengan mandi bersama yang disebut Padusan. Jadi hakikat
dari tradisi Padusan adalah penyiapan jiwa yang suci (menyucikan jiwa) untuk
menyambut bulan Ramadan. Penulis berpendapat bahwa kegiatan penyucian jiwa
dalam tradisi Padusan tersebut dapat diganti dan diwujudkan dengan membersihkan
niat di hati dan pikiran untuk menyambut datangnya bulan Ramadan.
Puasa Ramadan adalah
ibadah yang sangat berkaitan dengan sisi rohani, maka menyiapkan rohani yang
bersih dan suci dengan membersihkan niat melaksanakan puasa Ramadan adalah
lebih urgen dan relevan untuk zaman sekarang. Tradisi mandi bersama di tempat
pemandian umum walaupun bertujuan baik untuk menyambut datangnya bulan Ramadan,
tetapi juga bisa menimbulkan kemadharatan karena terbuka aurat yang bisa
dilihat orang banyak dan hal ini bisa menimbulkan efek negatif. Mungkin kegiatan
mandi bersama di tempat umum pada zaman dulu tidak menimbulkan masalah, tetapi
di zaman sekarang dimana terjadi degradasi moral dan pergeseran tentang pandangan
batasan nilai kesopanan dalam berpakaian, maka tradisi mandi bersama (Padusan)
menurut pendapat penulis sudah tidak relevan lagi.
2. Sadranan atau Nyadran.
Salah
satu tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah tradisi
nyadran. Masyarakat Jawa khususnya yang tinggal di wilayah Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menjalankan tradisi nyadran untuk
menyambut bulan Ramadan. Istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu dari kata “sraddha” yang artinya keyakinan. Tradisi ini
merupakan suatu bentuk kepercayaan masyarakat terhadap nenek moyang atau yang
dikenal dengan animisme. Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa melalui
wali songo, tradisi yang ada tidak dihilangkan namun justru menjadi alat untuk
menyebarkan Islam. Seiring masuknya Islam, tradisi sraddha mengalami
perubahan. Sebelum Islam, sraddha dilakukan untuk memperoleh berkah. Pada
perkembangannya, tradisi ini menjadi wujud rasa syukur atas anugerah
Allah SWT kepada warga. Setelah pengaruh Islam digunakan kata
nyadran. Jadi nyadran adalah hasil dari akulturasi budaya Jawa dan
Islam (Anggraini, 2023).
Di
kampung penulis dulu, sadranan atau nyadran dilakukan dengan cara membersihakan
makam orang tua dan leluhur dan dilanjutkan acara pengajian (pemberian tausiah)
dan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh masyarakat atau kyai. Setelah rangkain
acara sadranan selesai, kemudian diakhiri
dengan pembagian makanan atau makan bersama. Makanan yang biasa disajikan
adalah nasi penak (nasi dan lauk pauk yang dibungkus daun pisang). Nasi penak
tersebut dikumpulkan dari sedekah warga kampong sendiri. Makan nasi penak
bersama-sama warga kampong merupakan pengalaman yang indah dan menyenangkan
karena disitu terlihat rasa kebersamaan dan kerukunan masyarakat. Juga bagi
penulis pribadi, bisa makan nasi penak merupakan kemewahan tersendiri karena nasi
penak biasanya berisi lauk pauk yang enak-enak.
Sekarang
penulis sudah tidak pernah ikut acara sadranan di kampung karena penulis sudah
pindah rumah. Juga karena kedua orang tua penulis juga sudah pindah rumah ke kampung
lain sehingga penulis sudah terputus hubungan silaturahmi dengan warga kampung masa
kecil penulis yang sudah puluhan tahun penulis tinggalkan. Sedangkan di daerah
tempat tinggal penulis sendiri yang berada di kawasan perumahan tidak ada
tradisi sadranan setiap menjelang datang bulan Ramadan. Kegiatan sadranan
biasanya penulis gantikan dengan acara nyekar atau ziarah ke makam kedua orang
tua penulis untuk mendoakan beliau berdua. Hal itu dikarenakan penulis berpendapat
bahwa inti dari kegiatan sadranan sebenarnya adalah mendoakan orang tua dan
leluhur yang telah meninggal. Jadi walaupun tidak ada kegiatan sadranan di
wilayah perumahan, penulis tetap bisa melakukan kegiatan sadranan dalam bentuk
lain yaitu melakukan kegiatan nyekar
atau ziarah kubur bersama keluarga ke makam kedua orang tua.
3. Membersihkan masjid/mushalla dan mencuci
karpet/tikar masjid/mushalla
Menjelang datangnya
bulan Ramadan, dulu waktu di kampung biasanya pengurus remaja masjid mengadakan
kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla dengan menyapu dan mengepel lantai
masjid/mushalla. Di samping itu juga mencuci karpet atau tikar masjid/mushalla
ke sungai dekat Waduk Cengklik. Kegiatan bersih-bersih masjid/mushalla
merupakan pengalaman masa kecil yang sangat menyenangkan. Anak-anak menyambut
kedatangan bulan Ramadan dengan penuh gembira.
Tradisi memberishkan
masjid/mushalla sampai sekarang masih dilakukan di banyak masjid/mushalla. Karena
mendatangkan manfaat bagi kebersamaan, kerukunan dan kepedulian umat, maka
penulis berpendapat tradisi bersih-bersih masjid ini masih perlu dilestarikan.
4. Tadarus Al-Qur’an
Kegiatan Tadarus Al-Qur’an
merupakan kegiatan rutin yang dulu penulis lakukan setiap bulan Ramadan. Dulu
sering dipercaya bapak Kyai untuk mendampingi anak-anak kecil membaca Al-Qur’an
(Tadarus Al-Qur’an) setiap bakda shalat Tarawih di mushalla. Hadiah dari
melaksanakan dawuh kyai tersebut adalah mendapat hadiah sarung dari Kyai. Waktu
itu penulis merasa senang dan bahagia sekali mendapat hadiah sarung baru dari
Kyai. Penulis merasa mendapatkan keberkahan tersendiri ketika mendapat hadiah
sarung baru tersebut. Mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi anak-anak kecil
mengaji (Tadarus Al-Qur’an) saja sudah merasa sangat beruntung, apalagi
ditambah mendapatkan hadiah sarung baru dari Kyai. Pengalaman tersebut sangat
membekas dalam memori ingatan penulis saat ini. Sepertinya ingin mengulang
kembali pengalaman-pengalaman masa kecil yang sangat indah tersebut.
Tardisi Tadarus Al-Qur’an
ini penulis lanjutkan sampai sekarang. Tetapi penulis tidak mengkhususkan Tadarus
Al-Qur’an (membaca Al-Qur’an) hanya saat bulan Ramadan saja, melainkan membaca
Al-Qur’an setiap hari. Penulis membiasakan seluruh anggota keluarga untuk
membaca Al-Qur’an secara rutin setiap bakda Shalat Maghrib. Menurut penulis,
mengkhususkan membaca Al-Qur’an dan bahkan mengkhatamkan membaca Al-Qur’an 30
Juz hanya di bulan Ramadana adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah rutin
membaca Al-Qur’an setiap hari. Hal ini sesuai hadis Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa Allah SWT suka amalan yang sedikit yang istikamah
(terus-menerus dilakukan) dibandingkan amalan besar tapi kemudian berhenti. Dari
’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ”Amalan yang paling
dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”
’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk
merutinkannya. (HR. Muslim).
Penting
bagi seorang muslim untuk untuk melakukan sebuah amalan kebaikan secara
istiqomah atau kontiyu. Kualitas amalan seseorang tidak hanya dilihat dari
sebuah kecil atau besarnya amalan, akan tetapi dilihat dari kesinambungannya.
Karena amal baik akan melahirkan amal baik berikutnya. Amalan yang besar namun
berhenti di tengah jalan tak lebih baik dari amalan kecil namun berlangsung
terus-menerus. Amalan yang sedikit tetapi istiqamah akan mencegah
seseorang beramal pada titik jenuh. Jika seseorang beramal sesekali namun
banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang
beramal sedikit namun rutin, maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat
untuk beramal akan selalu ada (Yudi,
2022).
5. Pengajian anak-anak
Dulu di kampung penulis,
di setiap bulan Ramadan ada tradisi kegiatan pengajian anak-anak yang
dikoordinasi oleh pengurus remaja masjid yang dilaksanakan setiap bakda shalat
Ashar hingga masuk waktu buka puasa. Waktu penulis penulis masih kecil, penulis
rutin mengikuti acara pengajian anak-anak tersebut dan hal yang menyenangkan
yang ditunggu-tunggu adalah mendapat makana takjil buka puasa bersama. Walaupun
menu takjil buka puasa hanya minum the manis dan makanan snack ringan, tetapi
saat itu pengalaman yang begitu menyenangkan.
Ketika
penulis sudah remaja dan menjadi pengurus remaja masjid, gantian penulis
terlibat dalam memberikan materi pengajian ke anak-anak. Materi pengajian
anak-anak meliputi materi pesholatan (bacaan sholat), doa-doa, dan surat-surat
pendek. Waktu itu penulis merasa senang sekali dan bersemangat bisa mengajari
anak-anak kecil belajar materi pesholatan, doa-doa, dan hafalan surat-surat
pendek. Sebuah pengalaman masa kecil yang begitu indah dan membahagiakan.
6. Shalat Tarawih
Sholat Tarawih merupakan
ibadah yang rutin dilakukan saat bulan Ramadan. Saat penulis masih kecil, penulis
melaksanakan ibadah sholat Tarawih di musholla dekat rumah yang diimami
langsung oleh bapak Kyai. Ketika masih kecil, penulis didampingi ayah dalam
melaksanakan sholat Tarawih. Di mushlla kampong penulis, sholat Tarawih
dilaksanakan sebanyak 23 rekaat, yaitu 20 rekaat sholat Tarawih dan 3 rekaat
sholat Witir. Setelah penulis menginjak remaja, penulis ikut sholat Tarawih
sendiri. Sejak kecil penulis berusaha bisa mengikuti shalat Tarawih sebanyak 23
rekaat tanpa bolong-bolong.
7. Khataman Al-Qur’an
Setiap bakda shalat
Tarawih dilanjutkan kegiatan Tadarus Al-Qur’an. Ketika kegiatan membaca Al-Qur’an
(Tadarus Al-Qur’an) sudah khatam sampai juz 30, maka diadakan acara Khataman
Al-Qur’an. Pada keegiatan Khataman Al-Qur’an tersebut diisi cara semakan bacaan
hafalan Al-Qur’an Juz 30 yang dibacakan oleh salah satu santri binaan Kyai dan
disemak oleh beberapa orang dewasa. Kemudian dilanjutkan acara pemberian
tausiyah atau pemberian nasihat agama. Dulu penulis pernah ditunjuk Kyai untuk
memberikan tausiyah agama kepada jamaah sholat Tarawih. Itu adalah pengalaman
yang sangat berharga bagi penulis pribadi karena diberikan kepercayaan dan
kehormatan oleh bapak Kyai untuk menyampaikan materi pengajian kepada para
jamaah di musholla. Kegiatan Khataman Al-Qur’an di akhiri dengan pembacaan doa
bersama yang langsung dipimpin oleh Kyai dan ditutup dengan makan nasi penak
bersama-sama.
Demikianlah beberapa
tradisi bulan Ramadan yang penulis lakukan semasa kecil hidup di kampong. Di antara
beberapa tradisi Ramadan tersebut, masih ada yang penulis lakukan hingga
sekarang dan ada juga yang sudah tidak penulis lakukan lagi. Beberapa tradisi
yang sudah tidak penulis lakukan lagi bukan karena menganggap salah atau
menolak tradisi warisan leluhur tetapi penulis lebih mempertimbangkan pada
aspek relevansinya dengan kondisi kehidupan zaman sekarang.
Terkait beberapa amalan
tradisi Ramadan yang penulis tinggalkan atau tidak penulis lakukan lagi
disebabkan beberapa faktor antara lain perubahan pemahaman penulis terhadap
tujuan dari tradisi Ramadan tersebut maupun tingkat relevansinya saat ini. Penulis
bukan tipe orang yang anti budaya atau tradisi lokal, tetapi penulis memiliki
pemikiran bahwa budaya dan tradisi masyarakat merupakan wujud upaya orang zaman
dahulu dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran kebaikan agama. Seiring terjadinya
pergeseran dan peningkatan pemahaman ilmu agama orang-orang zaman sekarang,
maka wajar jika terjadi re-evaluasi terhadap relevansi tradisi dan budaya di
masyarakat.
E. Penutup:
Re-evaluasi dan Re-formating Tradisi Ramadan
Demikian cuplikan kecil
sebagian pengalaman masa kecil penulis dalam menjalani beberapa tradisi bulan
Ramadan dan bagaimana pandangan penulis saat ini terhadap tradisi peninggalan
orang zaman dulu. Penulis berpandangan bahwa tidak semua tradisi dan budaya
peninggalan orang zaman dulu itu salah atau tidak relevan dengan kehidupan
sekarang. Tetap ada beberapa tradisi dan budaya masyarakat yang masih relevan
dan perlu dilestarikan dengan disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Sikap yang
bijaksana terhadap tradisi dan budaya masa lalu adalah bukan menolak melainkan
melakukan re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya masyarakat
tersebut disesuaikan dengan konteks dan kondisi zaman sekarang.
Langkah utama dalam
proses re-evaluasi dan re-formating terhadap tradisi dan budaya zaman dulu
adalah menemukan inti sari dari pesan-pesam tersirat dalam tradisi dan budaya
tersebut dan membuatkan format bari atau tradisi dan budaya baru yang
mengandung intisari pesan tersirat terbut. Dapat dianalogikan dengan ungkapan “memindakan
ruh tradisi dan budaya zaman dulu ke dalam tubuh tradisi dan budaya zaman
sekarang. Wallahu a’lam bish-shawab.
[]
Gumpang
Baru, 17 Maret 2024
Referensi
Anggraini,
F. (2023, March 30). Mengenal Nyadran, Tradisi Menyambut Bulan Ramadan.
Retrieved March 17, 2024, from Kementerian Keuangan Republik Indonesia website:
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-purwokerto/baca-artikel/16021/Mengenal-Nyadran-Tradisi-Menyambut-Bulan-Ramadan.html
Anonim.
(n.d.). Surat An-Nisa Ayat 9 Arab, Latin, Terjemah dan Tafsir. Retrieved March
17, 2024, from TafsirWeb website:
https://tafsirweb.com/1541-surat-an-nisa-ayat-9.html
Milagsita,
A. (2024, March 9). Apa Itu Padusan? Tradisi Masyarakat Jawa Menyucikan Diri
Jelang Ramadhan. Retrieved March 17, 2024, from Detikjateng website:
https://www.detik.com/jateng/budaya/d-7233413/apa-itu-padusan-tradisi-masyarakat-jawa-menyucikan-diri-jelang-ramadhan
Pradana,
E. F. (2023, Agustus). Pentingnya Pendidikan Akhlak pada Anak Sejak Dini.
Retrieved March 17, 2024, from
https://fsyariah.uinkhas.ac.id/berita/detail/pentingnya-pendidikan-akhlak-pada-anak-sejak-dini
Yudi.
(2022, May 30). Pentingnya Amalan Secara Istiqomah. Retrieved March 17, 2024,
from Pondok Pesantren Daarut Tauhiid website:
https://www.daaruttauhiid.org/pentingnya-amalan-secara-istiqomah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar