Powered By Blogger

Kamis, 06 Februari 2025

GAGAL MENJADI LAKI-LAKI

 


GAGAL MENJADI LAKI-LAKI 

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro 



Beberapa waktu lalu penulis membaca sebuah postingan di sebuah grup. Isi postingan secara umum tentang keluhan  menderitanya dilahirkan sebagai laki-laki yang selalu dimarahi. Ketika kecil dimarahi orang tua, ketika sekolah dimarahi guru, ketika ngaji dimarahi kyai, ketika dewasa dan bekerja dimarahi bos, ketika menikah dimarahi istri, dan ketika meninggal dimarahi malaikat. 


Membaca isi postingan tersebut, penulis kurang tahu apa motifnya, apakah postingan tersebut hanya sebatas candaan atau malah mungkin wujud keluhan sang pemosting. Apakah postingan tersebut sebagai bentuk keluh kesah dan protes dia ke Tuhan yang telah menciptakan dia terlahir sebagai laki-laki yang seumur hidup harus menderita? 


Tuhan menciptakan setiap manusia baik sebagai laki-laki maupun sebagai perempuan pastilah memiliki tujuan. Derajat  laki-laki maupun perempuan sama di hadapan Tuhan. Penciptaan laki-laki maupun perempuan juga dibekali dengan sifat dan kemampuan yang mendukung ketercapaian tujuan penciptaan tersebut. 


Laki-laki dilahirkan dengan fitrah memiliki sifat bertanggung jawab, melindungi dan mengayomi karena ia diciptakan untuk menjadi pemimpin bagi keluarganya. Laki-laki ketika sudah dewasa dan berkeluarga akan menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. 


Keberhasilan peran laki-laki sebagai seorang pemimpin dapat dilihat dari indikator bagaimana kondisi keluarganya. Jika istri dan anak-anaknya hidup dengan damai, tenteram, bahagia, dan sejahtera atau berkecukupan, maka itu menunjukkan bahwa ia telah sukses menjadi pemimpin bagi keluarganya. 


Dan sebaliknya jika istri dan anak-anaknya hidupnya tidak bahagia, kekurangan dan menderita, maka berarti ia gagal menjalankan fungsi kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin keluarga, maka ia harus berusaha semaksimal mungkin untuk menjamin keluarganya hidup berkecukupan, sejahtera dan bahagia. 


Harus ditanamkan di pikiran setiap laki-laki bahwa ketika ia berniat akan meminang atau menikahi seorang perempuan, maka itu bermakna ia akan mengambil alih tanggung jawab orang tuanya. Maka ia harus menjamin bahwa perempuan yang akan dinikahinya nanti hidupnya akan menjadi lebih baik (lebih sejahtera, lebih bahagia), minimal sama seperti ketika dalam tanggung jawab orang tuanya.


Ironis sekali jika ada seorang laki-laki yang mau menikahi perempuan tapi niatnya mau diajak hidup susah bersama. Kalau ada laki-laki seperti itu, berarti sejak awal dia telah gagal menjadi laki-laki. Ia telah gagal menjadi sosok pemimpin bagi keluarganya. Harusnya dia malu menjadi seorang laki-laki jika niatnya menikahi perempuan adalah mencari teman hidup susah. Laki-laki sejati adalah ketika menikahi perempuan karena ingin membahagiakannya dan mencukupi kebutuhan hidupnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika sebelum dinikahi. 


Bagaimana kalau  kehidupan laki-laki tersebut ternyata belum sebaik kehidupan keluarga calon istrinya, sedangkan ia sangat mencintai calon istrinya tersebut? Maka ia harus berusaha dulu untuk memantaskan dirinya agar setara atau memiliki keyakinan kuat bahwa ia pasti mampu memberikan kehidupan yang setara atau lebih baik untuk calon istrinya. Keyakinan tersebut tidak sekadar rencana di pikiran, tetapi dibuktikan dengan perencanaan yang matang dan langkah kongkret untuk mewujudkannya. 


Oleh karena itu, sebelum seorang laki-laki berani atau berniat menikahi seorang perempuan, ia  harus mengukur diri sendiri terlebih dahulu apakah ia sudah mampu dan pantas mengambil alih tanggung jawab orang tua calon istrinya tersebut atau belum. Harus dipastikan bahwa dirinya akan mampu mensejahterakan dan membahagiakan perempuan yang akan dinikahinya. 


Demikianlah yang dulu penulis lakukan. Penulis baru berani melamar dan menikahi perempuan muslimah yang sekarang menjadi istri penulis setelah penulis memiliki pekerjaan tetap sebagai dosen PNS. Walaupun gaji dosen baru waktu itu masih tergolong kecil, terapi penulis berpikir yang penting sudah memiliki penghasilan tetap dan seiring waktu pasti akan meningkat penghasilan penulis. Dengan keyakinan tersebut, akhirnya penulis memutuskan untuk berani menikah. 


Seorang perempuan sebelum menikah, hidupnya menjadi tanggung jawab orang tuanya, khususnya ayahnya. Tetapi ketika ia sudah menikah, maka tanggung jawab orang tuanya (ayahnya) diambil alih oleh suaminya. Jadi laki-laki yang menikahi perempuan memiliki tanggung jawab untuk memberikan ke istrinya kehidupan yang layak, berkecukupan, sejahtera, dan membahagiakan. []


Gumpang Baru, 07 Februari 2025


Tidak ada komentar:

Postingan Populer