Agung Nugroho Catur Saputro
Setiap memasuki bulan Muharram, selalu dikaitkan
dengan kata hijrah dan hijriyah. Mengapa?
Ya, karena bulan Muharram adalah bulan pertama di sistem kalender Hijriyah.
Tanggal 1 Muharram diperingati oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai tahun
baru Islam atau tahun baru Hijriyah. Peringatan tahun baru Hijriyah sangat
berkaitan dengan peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw. Pada masa khalifah Umar
bin Khaththab r.a ditetapkan sistem kalender Islam yang didasarkan pada
peristiwa hijrahnya Rasulullah Saw meninggalkan kota Mekkah menuju ke kota
Yatsrib (Madinah). Sistem kalender Islam tersebut dikenal dengan sistem
kalender Hijriyah yang didasarkan pada perputaran bulan. Hal ini berbeda dengan
sistem kalender Masehi yang didasarkan pada perputaran matahari.
Kata hijrah sendiri bukanlah kata yang asing bagi umat
muslim karena berkaitan dengan sejarah dakwah Rasulullah Saw. Bahkan di dalam
Al Quran juga ditemukan kata hijrah tersebut. Dalam Al-Quran ada ayat yang
menyinggung tentang hijrah. Misalnya dalam surat Al Baqarah [2] : 218.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al Baqarah [2] : 218).
Hijrah juga disinggung di surat dan ayat lain :
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan
memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang
yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang
mulia (QS. Al Anfaal [8] : 74).
Kedua ayat ini sama-sama mengkaitkan kata hijrah dengan jihad. Jika kata
jihad kita maknai berjuang di jalan Allah, maka kata hijrah sangat berkaitan
dengan pengorbanan karena sebuah perjuangan pasti membutuhkan pengorbanan. Oleh
karena itu, pada artikel ini akan dibahas tentang makna hijrah dan pengorbanan.
Fenomena Tren Hijrah di
Masyarakat
Beberapa tahun terakhir ini, media sosial diramaikan
dengan berita-berita tentang hijrahnya para artis dan selebritis. Fenomena
hijrah yang dimaksud ini adalah berusaha untuk mempelajari Islam lebih dalam,
sekaligus mengubah gaya hidup menjadi lebih kental dengan nuansa Islam. Kalau
selebritis wanita tadinya tidak memakai hijab setelah menyatakan “hijrah” berubah menjadi mengenakan pakaian hijab.
Sedangkan selebritis pria yang tadinya penampilannya seperti umumnya selebritis
dan orang biasa, yaitu berpakaian pada umumnya berubah penampilan memakai baju
gamis dan memelihara (memanjangkan) jenggot. Tetapi muncul juga fenomena lain
di kalangan selebritis yaitu selebiritis yang tadinya berhijrah kemudian
kembali ke gaya kehidupannya yang semula. Ada selebritis wanita yang tadinya
tidak berhijab, kemudian berhijab, dan akhirnya kembali tidak berhijab. Di
kalangan selebritis pria juga muncul fenomena serupa. Mengapa ada selebritis
yang terkesan hanya main-main dalam berhijrah?
Jawaban dari pertanyaan di atas adalah karena kemungkinan
para selebritis tersebut kurang memahami
bahwa berhijrah itu memerlukan perjuangan. Berubah menjadi baik itu perlu
perjuangan. Menjalani kehidupan sesuai aturan syariat agama demi meninggalkan
kehidupan yang tidak sesuai syariat itu perlu perjuangan. Mungkin inilah yang
kurang disadari oleh mereka sehingga ketika mereka telah memproklamirkan diri
berhijrah ternyata mereka tidak siap dengan konsekuensinya. Mungkin mereka
beranggapan bahwa setelah hijrah kehidupan mereka pasti dijamin Allah Swt akan
lebih baik karena mereka telah menjadi orang baik. Mungkin mereka tidak
memahami bahwa hijrah hanyalah langkah awal untuk menjadi baik, dimana Allah
Swt kemudian akan menguji konsistensi mereka dalam berhijrah. Hal ini
sebagaimana firman Allah Swt.
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji
lagi? 3). Dan Sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 2-3).
Makna Hijrah
Hijrah berasal dari bahasa Arab
yang berarti “meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat”. Dalam
konteks sejarah perkembangan Islam, hijrah diketahui sebagai kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw. bersama para sahabat beliau dari kota Makkah menuju ke kota Madinah,
dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan
syariat Islam. Jadi tujuan utama Rasulullah Saw dan para sahabatnya berhijrah
adalah untuk mempertahankan akidah Islam dan melangsungkan dakwah syariat
Islam. Hijrah yang dilakukan Rasulullah Saw. bukan sekedar pindah tempat
tinggal, tetapi hijrah beliau memiliki tujuan yang mulia dan untuk tujuan
jangka panjang demi keberlangsungan tercapainya tujuan dakwah Islamiyah yang
diperjuangkan. Hijrah juga bukan karena keinginan pribadi Rasulullah Saw tetapi
murni karena perintah Allah Swt.
Beragkat dari pemaknaan atas hijrah Rasulullah Saw di
atas, maka hijrah dapat bermakna sebagai perjuangan dan pengorbanan. Hijrah
berarti meninggalkan kehidupan yang tidak baik menuju kehidupan yang lebih baik
sesuai tunturan syariat agama Islam. Hijrah berarti meninggalkan gaya hidup
yang jauh dari tuntunan agama menuju gaya hidup yang sesuai tuntunan agama
Islam. Hijrah berarti meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik menuju
perbuatan-perbuatan yang baik dan diridhai Allah Swt. Perubahan menuju kondisi
yang lebih baik itu semuanya memerlukan perjuangan dan yang pasti pengorbanan.
Tidak ada perubahan menjadi lebih baik tanpa diiringi dengan sebuah
pengorbanan. Mari kita simak kutipan kisah hijrahnya Rasulullah Saw sebagaimana
diceritakan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Quran”
(2001: 347).
Macam-macam Hijrah
Hijrah dapat dimaknai
secara berbeda-beda oleh setiap orang, dimana tergantung konteks yang
dipergunakan. Namun begitu, secara garis besar, hijrah dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu hijrah makaniyah
(berpindah dari satu tempat ke tempat lain) dan hijrah maknawiyah (mengubah diri dari yang buruk menjadi
lebih baik demi mengharap keridhaan Allah Swt.). Contoh hijrah makaniyah
adalah peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah serta hijrahnya
Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.
Maka Luth membenarkan
(kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke
(tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
Al ‘Ankabuut [29] : 26)
Hijrah
maknawiyah dibedakan menjadi empat, yaitu hijrah i'tiqadiyah (hijrah
keyakinan), terjadi pada seorang Muslim ketika mencob a meningkatkan keimanannya
agar terhindar dari kemusyrikan. Kedua, hijrah
fikriyah (hijrah pemikiran), yaitu ketika seseorang memutuskan kembali
mengkaji pemikiran Islam yang berdasar pada sabda Rasulullah Saw. dan firman
Allah Swt. demi menghindari pemikiran yang sesat. Ketiga, hijrah syu'uriyyah adalah berubahnya seseorang yang dapat
dilihat dari penampilannya, seperti gaya berbusana dan kebiasaannya dalam
kehidupan sehari-hari. Hijrah ini biasa dilakukan untuk menghindari budaya yang
jauh dari nilai Islam, seperti cara berpakaian, hiasan wajah, rumah, dan
lainnya. Terakhir adalah hijrah
sulukiyyah (hijrah tingkah laku atau kepribadian). Hijrah ini
digambarkan dengan tekad untuk mengubah kebiasaan dan tingkah laku buruk
menjadi lebih baik [2].
Belajar Makna Hijrah : Contoh Pengorbanan dari Rasulullah Saw.
Ketika Rasulullah Saw
menyampaikan kepada Abu Bakar r.a. bahwa Allah Swt. memerintahkannya untuk
berhijrah, dan mengajak sahabatnya itu untuk berhijrah bersama, Abu Bakar
menangis kegirangan. Dan, seketika itu juga ia membeli dua ekor unta dan
menyerahkannya kepada Rasulullah Saw. untuk memilih yang dikehendakinya.
Terjadilah dialog berikut :
Rasulullah Saw. : “Aku
tidak akan mengendarai unta yang bukan milikku.”
Abu Bakar r.a. : “Unta
ini kuserahkan untukmu.”
Rasulullah Saw. : “Baiklah,
tapi aku membayar harganya.”
Setelah Abu Bakar bersikeras agar unta itu diterima sebagai hadiah,
namun Rasulullah Saw tetap menolak, Abu Bakar pada akhirnya setuju untuk
menjualnya. Mengapa Nabi Saw. bersikeras untuk membelinya? Bukankah Abu Bakar
sahabat beliau? Dan, bukankah sebelum ini-bahkan sesudahnya- Nabi Saw selalu
menerima hadiah dan pemberian Abu Bakar? Di sini terdapat suatu pelajaran yang
sangat berharga.
Prof. Dr. M. Quraish
Shihab dalam bukunya tersebut menuliskan tentang hikmah dari kisah hijrahnya
Rasulullah Saw. Beliau menuliskankan bahwa dalam dialog antara Rasulullah Saw.
dengan Abu Bakar r.a. tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. ingin
mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu usaha besar, dibutuhkan pengorbanan
maksimal dari setiap orang. Beliau bermaksud berhijrah dengan segala daya yang
dimilikinya, tenaga, pikiran dan materi, bahkan dengan jiwa dan raga beliau.
Dengan membayar harga unta itu, Nabi Saw. mengajarkan kepada Abu Bakar r.a. dan
kepada kita bahwa dalam mengabdi kepada Allah Swt, janganlah mengabaikan
sedikit kemampuan pun, selama kita masih memiliki kemampuan itu. Allah Swt.
Berfirman, “Sesungguhnya kepada Tuhanlah tempat kembali” (Q.S.[96] : 8).[1]
Berdasarkan kisah
hijrah Rasulullah Saw sebagaimana diceritakan oleh Prof. Dr. M.Quraish Shihab
di atas, dapat disimpulkan bahwa hijrah itu memerlukan pengorbanan. Orang yang
menyatakan diri telah berhijrah harus siap berkorban agar tetap konsisten dalam
kondisi kebaikan. Hijrah harus dilakukan secara totalitas dan niatnya murni
karena mengharap ridha Allah Swt. Hijrah tidak boleh dilakukan hanya karena sekedar
ikut-ikutan tren, karena biar dikatakan gaul, karena biar tampak syar’i, atau
karena terpaksa. Semoga kita semua mampu berhijrah sesuai yang dicontohkan oleh
sang suri tauladan Rasulullah Saw. Amin.
Referensi :
[1] M. Quraish Shihab. (2001). Membumikan Al-Quran. Bandung : Penerbit MIZAN
[2] Agung
Sasongko. 2018. Pahami Makna Hijrah dan Jenisnya. Harian Republika Online
tanggal 26 Apr 2018. Tersedia di https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/04/26/p7rdj3313-pahami-makna-hijrah-dan-jenisnya.
Gumpang Baru, 23 September 2019 (23 Muharram 1441 H)
*) Penulis adalah dosen, penulis dan pegiat literasi di Universitas Sebelas Maret (UNS) yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku yang mencakup buku solo maupun buku antologi. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program Studi S3-Pendidikan Kimia PPs Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar