PROTES ANAK
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Beberapa bulan ini, saya sering mengunjungi rumah sakit untuk menjalani proses pengobatan penyakit batu ginjal. Dalam rentang satu tahun ini, saya sudah menjalani empat kali tindakan operasi dan empat kali tindakan ESWL.Terkadang dalam waktu satu Minggu, saya bisa dua sampai tiga kali kontrol ke dokter di poli yang berbeda-beda. Hal itu dikarenakan ada keluhan sakit lain yang menyertai penyakit batu ginjal yang saya derita sehingga dokter spesialis urologi merujuk saya untuk berobat ke dokter spesialis lain.
Karena harus sering berobat ke RS UNS, maka situasi tersebut berdampak pada terganggunya proses perkuliahan, yaitu perkuliahan menjadi sering kosong. Untuk menjaga jaminan mutu proses pembelajaran, maka saya harus tetap melaksanakan proses pembelajaran di waktu lain. Berkaitan dengan hal tersebut, maka saya sering menyelenggarakan kuliah pengganti di waktu lain secara daring (online).
Waktu penyelenggaraan kuliah pengganti biasanya saya laksanakan di waktu malam hari bakda sholat isya' atau hari libur di hari Sabtu dan/atau Minggu. Penentuan waktu Perkuliahan pengganti merupakan hasil kesepakatan dengan mahasiswa. Saya tidak memaksakan waktu tertentu kepada mahasiswa untuk mengganti kuliah, tetapi saya memberikan beberapa alternatif waktu dan mahasiswa yang menentukan pilihan waktu.
Perkuliahan pengganti diselenggarakan di malam hari atau di hari Sabtu dan/atau Minggu didasarkan atas pertimbangan bahwa di waktu-waktu tersebutlah mahasiswa longgar. Saya memahami bahwa jadwal perkuliahan mahasiswa sangat padat, oleh karena itu saya tidak ingin mengganggu waktu efektif mereka dengan menyelenggarakan perkuliahan pengganti di jam efektif. Di samping itu juga karena keterbatasan jumlah ruang kuliah yang tersedia, maka cukup sulit mencari ruang yang kosong untuk melaksanakan kuliah pengganti.
Pilihan menyelenggarakan perkuliahan pengganti di waktu malam atau hari Sabtu dan/atau Minggu secara daring merupakan alternatif pilihan yang paling memungkinkan dilakukan karena waktu mahasiswa longgar dan tidak memerlukan ruang kelas . Tetapi ternyata pilihan waktu tersebut bukan tanpa risiko. Ada risiko yang harus saya tanggung demi melindungi hak mahasiswa mendapatkan jumlah pertemuan sesuai standar mutu pembelajaran.
Risiko efek penyelenggaraan kuliah pengganti yang harus saya tanggung adalah berkaitan dengan pemenuhan hak keluarga. Memang menjadi sebuah dilematis, di satu sisi tidak ingin mengganggu waktu efektif belajar mahasiswa, tetapi di sisi lain harus mengorbankan waktu quality time bersama keluarga.
Waktu malam dan hari libur adalah waktu haknya keluarga tetapi terpaksa saya renggut demi memperjuangkan hak mahasiswa dan memenuhi kewajiban sebagai dosen yang harus menjaga standar mutu pelayanan berupa penyelenggaraan proses pembelajaran sesuai panduan mutu.
Beberapa kali saya menyelenggarakan perkuliahan pengganti di hari Sabtu dan Minggu. Akibatnya saya diprotes oleh putri kecil kami. Si kecil memprotes papinya karena hari Sabtu dan Minggu seharusnya untuk pergi bersenang-senang bersamanya. Si kecil mengistilahkan hari libur adalah untuk happy day, bukan untuk kerja. Mungkin karena terlalu seringnya waktu happy day dia yang hilang atau berkurang waktunya, maka dia protes kepada papinya.
Setiap hari Sabtu dan Minggu atau libur tanggal merah, si kecil pasti sudah merancang untuk happy day. Maka beberapa hari sebelum hari libur, dia sering bertanya ke papinya, "Besok hari libur papi kerja tidak?" Ketika papinya menjawab bahwa besok ada jadwal mengajar online, maka si kecil langsung membalas, "Harusnya kalau hari libur itu untuk happy day, bukan kerja terus" dengan raut wajah agak kecewa.
Berangkat dari kejadian diprotes oleh anak tersebut, maka saya berusaha untuk tidak menyelenggarakan kuliah pengganti di hari Sabtu dan Minggu, terkecuali sangat terpaksa dan tidak ada alternatif waktu lagi. Tetapi jika tidak sangat terpaksa, demi menghindari kuliah pengganti di hari Sabtu atau minggu, maka saya berusaha memanfaatkan waktu malam untuk kuliah pengganti walaupun badan terasa capek dan mata mengantuk.
Saya berusaha menjaga keseimbangan antara waktu bekerja dan waktu untuk keluarga. Sebagai dosen saya punya kewajiban profesi untuk mengajar sesuai standar mutu pembelajaran. Tetapi sebagai suami dan ayah, saya juga punya kewajiban untuk memenuhi hak-hak istri dan anak-anak. Maka upaya untuk menjaga keseimbangan pemenuhan hak keluarga dan tuntutan pekerjaan harus dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya agar semuanya berjalan lancar. []
Ruang Tunggu RS UNS, 12 Juni 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar