JANGAN SUKA DIKASIHANI ORANG LAIN
Oleh:
Dr. Agung Nugroho Catur Saputro, M.Sc.
Salah satu orang yang sangat berperan penting dalam membentuk sikap dan kepribadian saya adalah kakak kandung pertama saya sendiri, yaitu mas Dr. Agus Fatuh Widoyo, S.Ag., M.S.I. Beliau lah yang waktu remaja ikut membentuk kepribadian saya saat masih kecil. Waktu masih remaja, kakak saya tersebut sudah memiliki sikap dan kepribadian seperti halnya orang dewasa.
Kami dilahirkan di keluarga yang berkehidupan kurang. Ayah seorang PNS golongan rendah karena hanya lulusan sekolah PGA. Adapun ibu tidak lulus sekolah rakyat (setara SD) dan menjadi ibu rumah tangga. Karena sumber keuangan keluarga hanya berasal dari ayah yang gajinya kecil, maka praktis perekonomian keluarga sangat kurang. Asupan makanan yang kami makan sangat jauh dari kata bergizi. Kami sering makan dari sego aking ataupun nasi tiwul. Lauknya pun hanya dari adonan tepung beras diberi irisan kelapa yang digoreng. Waktu kecil badan saya kurus karena memang kurang makan makanan yang bergizi.
Dengan kondisi kehidupan keluarga yang seperti itu, kami dituntut untuk tetap mampu hidup dengan tegar. Mas Agus sebagai anak pertama dipaksa harus lebih cepat berpikiran dewasa sebelum waktunya. Oleh karena itu, walaupun masih remaja, mas Agus sudah bisa berpikir dan bersikap sebagaimana layaknya orang dewasa. Kondisi kehidupan yang memaksanya harus begitu karena tidak ada pilihan lain.
Dulu karena sesuatu hal terkait permasalahan keluarga, ayah dan ibu sempat berpisah tempat tinggal walaupun masih tetap dalam satu ikatan pernikahan. Ayah tinggal di rumah orang tuanya di Boyolali sedangkan ibu tinggal di rumah orang tuanya di Karanganyar. Anak-anaknya yang berjumlah lima orang pun dibagi menjadi dua. Saya dan mas Agus ikut tinggal bersama ayah di Boyolali sedangkan dua kakak perempuan dan adik saya tinggal bersama ibu di Karanganyar.
Karena saya dan mas Agus tinggal bersama ayah, maka ayah berperan ganda sebagai ayah sekaligus ibu rumah tangga. Semua urusan kehidupan rumah tangga dilakukan ayah, seperti memasak, mencuci baju, menyeterika seragam sekolah, dan lain-lain. Saya yang masih TK dan mas Agus yang masih sekolah MTs harus menjalani kehidupan tanpa kehadiran sosok ibu. Kami dipaksa harus menjalani kehidupan dengan sikap orang dewasa.
Saya yang masih TK pulang sekolah sebelum dhuhur, sehingga di rumah tidak ada orang. Mas Agus pulang sekolah jam 1 siang. Kami pulang sekolah sering tidak ada makanan di rumah. Kami makan siang menunggu ayah pulang untuk memasaknya. Ayah bekerja di kabupaten Karanganyar dan pulang sampai rumah jam 3 sore. Jadi kami biasa makan siang setelah waktu Ashar karena jam 3 sore ayah baru pulang dan masak dulu.
Kondisi seperti itu hampir kami alami setiap hari. Makanya setiap kali pulang sekolah, setelah ganti baju saya langsung main dengan teman sampai sore. Ketika tiba waktu dhuhur, teman pulang untuk makan siang. Saya ikut main ke rumah teman karena di rumah tidak ada orang. Orang tua teman sering bertanya ke saya, "Apakah sudah makan siang?" Saya pun menjawab, "Belum karena ayah belum pulang". Mendengar jawaban saya, maka orang tua teman saya menawari saya ikut makan siang. Karena lapar, saya pun mengiyakan. Peristiwa seperti itu beberapa kali terjadi hingga suatu saat mas Agus yang sedang perjalanan pulang dari sekolah melihat saya sedang makan siang di rumah teman.
Setelah kejadian tersebut, saat di rumah, mas Agus mengajak saya bicara dan menasihati saya. Mas Agus berkata, "Kita memang orang tidak punya. Keluarga kita memang miskin. Tetapi kita tidak boleh senang dikasihani orang lain. Kemiskinan kita tidak boleh kita jadikan alasan untuk menjadi lemah. Jadi jangan suka makan di rumah orang lain atau mau diberi makan orang lain". Perkataan mas Agus tersebut sangat menusuk dan membekas di hati dan pikiran saya. Saya yang waktu itu masih anak TK sudah bisa menangkap maksud perkataan kakak saya yang masih duduk di sekolah MTs tersebut.
Oleh karena itu, sejak dinasehati oleh mas Agus tersebut, saya selalu menolak jika ditawari makan orang tua teman saya. Saya tidak mau menjadi orang yang lemah. Saya tidak mau menjadi orang yang mudah dikasihani orang lain. Saya ingin menjadi orang yang kuat, mandiri, dan sukses. Dan Alhamdulillah akhirnya Allah SWT meridhoi doa-doa, harapan, dan cita-cita kami berdua. Saya dan mas Agus sekarang sama-sama menjalani profesi sebagai dosen. Kami berdua juga alhamdulillah sama-sama bisa menempuh pendidikan tinggi hingga jenjang doktor. Atas ridho dan iradah-Nya, kehidupan kami berdua sekarang telah jauh lebih baik dan lebih sejahtera di bandingkan kehidupan kami di masa kecil dulu. Alhamdulillah... []
Gumpang Baru, 11 September 2025