Powered By Blogger

Selasa, 07 Desember 2021

NAFS AL-MUTHMAINNAH SEBAGAI TUJUAN AKHIR PENCAPAIAN HIDUP

 


NAFS AL-MUTHMAINNAH SEBAGAI TUJUAN AKHIR PENCAPAIAN HIDUP
Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro

Setiap orang pasti mengharapkan memiliki kehidupan yang bahagia, tenang, damai, dan tenteram. Harapan tersebut tidak hanya waktu hidup di dunia tetapi juga di kehidupan setelah dunia yaitu kehidupan di akhirat. Di akhirat nanti hanya ada dua tempat, yaitu surga dan neraka. Surga merupakan tempat yang disediakan Allah Swt untuk hamba-hamba-Nya yang taat dan berlaku baik, sedangkan neraka disiapkan untuk orang-orang yang ingkar dan berlaku tidak baik. Pada dasarnya semua orang mengharapkan bisa masuk ke surga, tetapi hak memasukkan ke surga adalah milik Allah semata. Oleh karena itu, jika kita ingin nanti dimasukkan ke surga-Nya Allah Swt, maka kita harus mampu menjadikan diri kita memiliki syarat untuk memasuki surga. Apakah syarat yang harus kita miliki agar layak dimasukkan ke surga-Nya Allah Swt?

Jika merujuk kepada firman Allah Swt dalam surat Al-Fajr  ayat 27-30, dapat diketahui bahwa yang dipersilakan masuk ke surga adalah orang-orang yang memiliki jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah).
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya! Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (Q.S. Al-Fajr [89] : 27-30).

Di dalam ayat di atas, Allah Swt tidak menyebutkan orang yang dipersilakan memasuki surga dengan sebutan orang yang beriman (mukmin) atau orang yang beragama Islam (muslim), tetapi dengan sebutan Jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah). Mengapa Allah Swt mempersilakan orang-orang yang jiwanya tenang untuk memasuki surga-Nya, bukan mempersilakan orang yang beriman atau berIslam? Apakah beriman dan berIslam tidak cukup untuk bisa memasukkan kita ke dalam surga-Nya Allah Swt? Apakah ibadah dan amal kebaikan kita selama hidup di dunia tidak cukup untuk menjadikan kita layak memasuki surga-Nya Allah Swt? Apakah orang beriman dan berislam belum tentu memiliki jiwa yang tenang? Lantas, bagaimana agar kita dapat memiliki jiwa yang tenang sehingga kita layak untuk memasuki surga-Nya Allah Swt kelak di yaum al-akhir?

Menurut Shadily (1980), Nafs al-Mutmainnah adalah jiwa yang telah mendapat ketenangan; telah sanggup untuk menerima cahaya kebenaran sang Ilahi . Juga jiwa yang telah mampu menolak menikmati kemewahan dunia  dan tidak bisa dipengaruhi oleh hal tersebut. Nafsu ini membuat pemiliknya merasa berpuas diri dalam pengabdiannya kepada Tuhan. Dia juga akan selalu berbuat amal saleh (kebaikan kepada sesame makhluk)  (Wikipedia, 2018). Merujuk pada definisi ini, maka dapat dipahami bahwa jiwa yang tenang atau nafs al-muthmainnah merupakan jiwa yang telah mencapai kebahagiaan sejati. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang tidak membutuhkan faktor eksternal untuk membuat dirinya bahagia karena ia sendiri telah merasakan puncak kebahagiaan. Puncak kebahagiaan (the ultimate of happiness) inilah yang sebenarnya banyak dicari-cari oleh setiap orang di dunia ini. Puncak kebahagiaan yang hakiki yang tidak membutuhkan lagi alasan mengapa ia butuh bahagia karena ia telah merasakan sendiri nikmatnya kebahagiaan tersebut.

Beragama itu tujuannya untuk memperoleh kebahagiaan. Pengamalan ajaran agama bertujuan untuk mengabdikan diri selaku hamba Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya (taqqarrub ilallah). Jadi menjalankan ibadah dan amalan-amalan kebaikan lain yang sesuai tuntutan ajaran agama adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya melalui pengamalan ibadah dan amalan-amalan kebaikan yang disukai-Nya, maka diharapkan Allah Swt akan meridhai. Mendapatkan keridhaan Allah Swt merupakan puncak kebahagiaan setiap orang karena tidak ada kebahagiaan lain yang lebih besar daripada kebahagiaan mendapatkan ridha-Nya. Jika kita sudah mendapatkan keridhaan-Nya, maka hasilnya adalah jiwa kita tenang, tenteram, dan damai. Tidak ada kedamaian dan ketenangan jiwa selain saat mendapatkan ridha dari Allah Swt. Maka jika Allah Swt telah ridha kepada kita, maka dengan sendirinya kita akan dimasukkan ke surga-Nya.

Tetapi apakah setiap orang yang beragama itu memiliki jiwa yang tenang? Ternyata tidak selalu begitu. Mengapa? Karena setiap orang memiliki niat dan motif yang berbeda-beda dalam memeluk suatu agama. Termasuk juga dalam menjalankan ibadah juga berbeda-beda niat setiap orang. Tidak semua orang ikhlas dalam menjalankan ibadah dan amal kebaikan, padahal syarat diterimanya ibadah dan amal kebaikan adalah jika dilakukan dengan ikhlas. Maka, di sinilah kemungkinan faktor yang menjadi penyebab mengapa Allah memanggil orang-orang yang berjiwa tenang untuk memasuki surga-Nya, bukan memanggil orang-orang yang [mengkalim diri sebagai] beriman dan berIslam.

Untuk menjadikan kita ikhlas dalam menjalankan ibadah, maka hati kita harus bahagia dulu. Tanpa merasakan kebahagiaan, maka mustahil kita akan bisa ikhlas dalam menjalankan ibadah. Mengapa bahagia menjadi prasyarat untuk bisa berlaku ikhlas ketika beribadah? Karena ketika hati kita sudah bahagia, maka kita tidak akan berharap apa-apa lagi dari aktivitas ibadah kita. Kita tidak akan berharap lagi setelah menjalankan ibadah hati kita akan tenang. Kita tidak akan lagi berharap mendapatkan keberuntungan dan rezeki melimpah setelah kita menjalankan ibadah. Intinya kita tidak akan mengharapkan mendapatkan sesuatu pun dari amalan ibadah kita. Pada titik inilah sebenarnya kita berlaku ikhlas karena kita tidak mengharapkan balasan apapun dari amalan ibadah kita. Dan memang demikianlah seharusnya ibadah kita. Kita beribadah dan menyembah Allah dengan hati yang bahagia karena mampu menyembah kepada-Nya sendiri merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Tidak semua orang walau memiliki waktu dan kesempatan mau melakukan ibadah. Maka hati kita memiliki kemauan menjalankan ibadah kepada Allah Swt adalah sebuah nikmat kebahagiaan yang tiada tara. Oleh karena itu, penting sekali untuk kita bisa mewujudkan kehidupan yang bahagia.

Semua orang pasti mengharapkan kehidupan yang bahagia. Tapi sayangnya tidak setiap orang mengetahui bagaimana cara menjalani hidup yang bahagia dan ternyata juga tidak setiap orang mampu menemukan kebahagiaan dalam hidupnya. Karena tidak mudahnya mendapatkan kebahagiaan, Hendrik Ibsen, seorang filosof bangsa Norwegia (1828-1906) sampai berkeyakinan bahwa mencari bahagia itu hanya menghabiskan umur saja, karena jalan untuk menempuhnya sangat tertutup, dan setiap ikhtiar untuk melangkah ke sana senantiasa terbentur (Hamka, 2020; Saputro, 2020).

Sebenarnya, apakah yang dimaksud kebahagiaan itu? Mengapa tidak semua orang mampu menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya? Bagaimakah cara kita menjalani kehidupan di dunia ini agar bahagia? Mark Nepo dalam buku The Book Awakening : Having the Life You Want by Being Present to the Life You Have yang dalam terbitan versi bahasa Indonesia berjudul Kitab Kebahagiaan : Rahasia Hidup Tenteram dan Bahagia Setiap Hari mengawali pembahasan bukunya dengan judul pertama “Kelahiran Manusia yang Berharga”. Melalui tulisannya tersebut, Mark mengajak kita untuk menghargai setiap waktu yang kita miliki. Mark ingin mengajak kita menyadari betapa berharganya hari-hari yang kita jalani. Dia ingin menyadarkan kita tentang berharganya “menjadi manusia”. Dengan menyadari betapa berharga dan bernilanya kita dan waktu yang kita miliki, maka akan muncul rasa syukur. Jiwa yang senantiasa bersyukur akan merasakan kebahagiaan. Maka, untuk merasakan kebahagian hidup, bersyukurlah setiap waktu atas nikmat hari-hari yang telah kita jalani. Menjaga kesehatan jasmani dan rohani menjadi faktor penting yang harus mendapatkan perhatian bagi semua orang (Nepo, 2015).

Dr. Didi Junaedi, MA dalam bukunya Tafsir Kebahagiaan, menjelaskan langkah-langkah meraih kebahagiaan menurut al-Qur’an adalah dengan memahami sumber-sumber kebahagiaan, penghalang kebahagiaan, serta langkah-langkah meraih kebahagiaan. Adapun sumber-sumber kebahagiaan berupa relasi intrapersonal, yang meliputi: sabar dan syukur, relasi interpersonal, yang meliputi: mencintai, memberi, dan memaafkan, dan relasi spiritual, yaitu : tawakal. Sedangkan penghalang kebahagiaan meliputi: disharmoni relasi intrapersonal, disharmoni relasi interpersonal, dan disharmoni relasi spiritual. Langkah-langkah meraih kebahagiaan meliputi : berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan sesama, dan mendekatkan diri kepada Tuhan (Junaedi, 2019).

Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan merupakan dasar terwujudnya jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah). Jiwa yang tenang akan ikhlas dalam menjalankan ibadah dan amalan kebaikan lainnya. Jiwa yang tenang memiliki keikhlasan dalam setiap ibadahnya sehingga menjadikan Allah ridha dan mempersilakan memasuki surga-Nya. WaAllahu a’lam bishshowab. []


Gumpang Baru. 26 November 2021


Referensi :
Hamka. (2020). Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita, Ada di dalam Diri Kita. Jakarta: Republika.

Junaedi, D. (2019). Tafsir Kebahagiaan. Brebes: Rahmadina Publishing.

Nepo, M. (2015). Kitab Kebahagiaan. Jakarta: Gramedia.

Saputro, A. N. C. (2020). Harmoni Kehidupan: Inspirasi Menjalani Kehidupan yang Seimbang. Sukabumi: Farha Pustaka.

Shadily, H. (1980). Ensiklopedia Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Wikipedia. (2018). Nafsul Mutmainnah. In Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Retrieved from https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nafsul_Mutmainnah&oldid=13694931

___________________________
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Postingan Populer