Agung Nugroho Catur Saputro
Sepuluh tahun yang lalu,
ketika hari perkiraan kelahiran anak yang pertama telah mendekati, penulis yang
waktu itu sedang tugas belajar sampai mengajukan ijin ke dosen untuk tidak ikut
perkuliahan karena mau menunggui istri melahirkan. Setelah menunggu di rumah
selama satu minggu ternyata anak belum juga lahir sampai akhirnya penulis harus
ke luar kota lagi untuk mengikuti ujian akhir semester.
Ketika
ujian akhir semester tinggal hari terakhir, ternyata Allah Swt justru mentakdirkan
anak penulis lahir di malam hari terakhir ujian akhir semester dimana saat itu
posisi penulis sedang di luar kota, sehingga akhirnya penulis tidak dapat
menemani proses persalinan istri.
Dari
kejadian tersebut, penulis melakukan perenungan mendalam dan menyimpulkan bahwa
walau manusia berusaha sekuat tenaga, kalau Allah Swt belum menghendaki maka
tidak akan terjadi. Oleh karena itu, segala usaha yang telah kita lakukan pada
akhirnya harus kita "pasrahkan" kepada Allah Swt karena hanya DIA-lah
zat yang Maha Menentukan.
Sekitar dua
tahun sejak kelahiran anak pertama, penulis dan istri meniatkan menambah
"momongan" lagi, tetapi ternyata sampai tahun ke-10 kami belum juga
mendapat momongan lagi. Kami bingung mengapa kami sulit memperoleh anak kedua,
padahal proses memperoleh anak pertama lancar-lancar saja.
Untuk
menguatkan niat kami dalam memperoleh momongan lagi, berbagai cara sudah kami tempuh.
Mulai dari konsultasi dokter spesialis kandungan yang belum menemukan faktor
penyebab istri belum bisa hamil, padahal riwayat kehamilan anak pertama tidak
ada masalah. Kemudian kami ke pengobatan alternatif berbasis herbal juga belum
membuahkan hasil. Alternatif lain berikutnya adalah pijat yang juga belum
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Karena
berbagai cara dan upaya sudah ditempuh tapi semuanya tidak berhasil, akhirnya
pada diri istri muncul sedikit perasaan pesimis atau putus asa untuk bisa hamil
lagi, apalagi ditambah usia yang mau mendekati kepala empat.
Di
sela-sela perasaan putus asa, tetap terbersit perasaan yakin (walau sedikit)
bahwa Allah Swt akan mengabulkan doa dan harapan kami. Akhirnya kami memutuskan untuk "pasrah" saja terhadap
apapun keputusan Allah Swt. Kami berupaya tidak terlalu memikirkan lagi tentang
keinginan menambah momongan lagi.
Keputusan
untuk "pasrah" pada ketetapan Allah Swt tersebut berlangsung beberapa
bulan sampai akhirnya kami mendapat kejutan "keajaiban" berupa
karunia Allah Swt yang selama ini kami harap-harapkan. Ya, sebuah tanda kemahakuasaan
Allah Swt telah menyertai kehidupan keluarga kami.
Ternyata
hasil dari "kepasrahan" memberikan hasil yang di luar perkiraan kami,
tetapi sangat kami harapkan selama 10 tahun ini. Subhanallah, Allah Swt
memperlihatkan kemahakuasaan-Nya dengan tanda "kehamilan" istri penulis.
Penulis sangat bersyukur dengan peristiwa ini.
Akhirnya,
pada hari Jumat tanggal 3 November 2017 pukul 08.05 WIB, Allah Swt kembali
menampakkan kemahakuasaan-Nya dengan mentakdirkan anak kami lahir secara
normal. Seorang bidadari
kecil nan cantik telah dipilihkan
Allah Swt untuk menemani kami sekeluarga. Terima kasih ya Allah, Engkau telah
mengabulkan doa-doa dan harapan kami.
Pada
kelahiran anak kami yang kedua ini, Allah Swt memberikan kesempatan penulis
untuk mendampingi istri dalam proses persalinan. Saat mendampingi istri
mempersiapkan persalinannya tersebut, penulis melihat secara langsung proses
persalinan dan "seakan-akan" ikut merasakan bagaimana beratnya
perjuangan istri untuk melahirkan putri kecil kami. Penulis
seakan-seakan ikut merasakan dan ambil bagian dari rasa sakit yang dialami
istri.
Dari
kejadian tersebut, penulis merenungkan betapa berat perjuangan seorang ibu
dalam melahirkan anak-anaknya. Rasa sakit, optimis, putus asa, harapan,
kebahagiaan, dan rasa-rasa yang lain bercampur jadi satu demi melahirkan
seorang anak ke dunia ini. Dan ternyata perjuangan seorang ibu bukan berakhir
setelah melahirkan, tetapi justru baru dimulai. Maka tak heran jika "Surga
itu di bawah telapak kaki ibu". Wallahu A'lam.[]
Sumber Artikel :
Agung
Nugroho Catur Saputro. (2018). Renungan
Kehidupan : Kumpulan Refleksi Kehidupan Sehari-hari untuk Mengasah Ketajaman
Mata Hati. Kebumen : CV. Intishar Publishing.
*)
Penulis adalah dosen, penulis, dan pegiat literasi di Universitas Sebelas Maret
(UNS) yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku baik karya solo maupun karya
antologi. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Program
Studi S3 Pendidikan Kimia PPs Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
6 komentar:
Catatan penting yang sudah diabadikan dalam bentuk blog.keren Pak.
Jadi inget perjuangan kita untuk kehadiran si kecil. Love You pi..
Tulisan yang menyentuh hati. Teringat masa2 ketika anak2 kami lahir. Begitulah. Tmksh Pak
Terima kasih komentarnya bu Astuti.
Perjuangan yang telah menyadarkan kita arti sebuah keikhlasan. Makasih sayang. Love you to..
Terima kasih master Emcho telah mampir di blog saya. Sukses dan berkah selalu.
Posting Komentar