Powered By Blogger

Minggu, 26 April 2020

RAHASIA HIKMAH DI BALIK FENOMENA BAYI BERHIJAB


Oleh : 
Agung Nugroho Catur Saputro


Pada kesempatan ini, penulis akan menceritakan pengalaman penulis bersama bidadari kecil alias putri cantik penulis yang belum genap satu tahun usianya. Cerita tentang putri kecil penulis hanya sebagai background saja karena yang utama adalah pemikiran penulis terhadap hikmah dan pesan rahasia yang tersirat dari kejadian yang dialami putri kecil penulis. Cerita ini tentang fenomena bayi berhijab kaitannya dengan kerinduan jiwa murni manusia [dewasa] terhadap ketaatan dan ketundukkan pada Allah Swt dan berakhlakul karimah. Bagaimana kisahnya, silakan membaca.

Sebagaimana telah penulis ceritakan di artikel sebelumnya tentang bagaimana proses panjang yang telah penulis dan istri penulis jalani untuk memperoleh momongan kedua yang sekarang menjadi bintangnya dalam tulisan artikel ini, maka penulis bersama istri bertekat akan merawat bidadari kecil dengan sebaik-baiknya dan membekalinya dengan dasar-dasar agama sejak dini. Apa yang kami lakukan untuk membekali si kecil dengan dasar-dasar agama yang hanif? Ya, kami melatih bidadari kecil kami untuk memakai hijab setiap keluar rumah atau ada acara ke luar. Kemana pun kami bepergian bersama bidadari kecil kami, kami selalu memakaikan hijab kecil di kepala putri cantik kami.

Penulis sebagai orang tua menyadari sekali bahwa menanamkan nilai-nilai ajaran agama kepada anak itu perlu dimulai sejak kecil dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses penanaman nilai-nilai ajaran agama ke anak, pertimbangan aspek psikologis anak jelas menjadi perhatian kami. Maka kami mengenalkan putri kecil kami tentang adab berpakaian sesuai ajaran Islam sejak kecil agar kelak ketika ia sudah besar sudah terbiasa dan tidak canggung lagi dalam mengenakan pakaian yang sesuai syariat. 

Harapan penulis dan istri adalah kami tidak ingin putri kecil kami kelak merasa terpaksa memakai pakaian hijab hanya karena takut dimarahi orang tuanya. Kami ingin putri kecil kami kelak dengan suka rela memakai pakaian hijab karena menyadari bahwa ia berpakaian seperti itu bukan hanya karena keinginan kedua orang tuanya tetapi semata-semata karena menjalankan dan menepati perintah Allah Swt. Melalui pembiasaan sejak dini, kami berharap putri kecil kami kelak memiliki kebiasaan untuk selalu berpakaian sesuai syariat dan menjadi habit (kebiasaan). 

Mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai ajaran agama kepada anak perlu dilakukan sejak anak masih kecil dan didukung  ketauladanan (contoh nyata) dari lingkungan di sekitarnya yakni orang tua dan anggota keluarga lainnya. Penanaman nilai-nilai ajaran agama kepada anak tidak bisa dilakukan hingga menunggu anak dewasa dulu, karena hal itu justru akan sulit karena anak telah mampu berpikir dan memiliki pendapatnya sendiri. 

Ketika anak sudah dewasa baru dikenalkan ajaran-ajaran agama oleh kedua orang tuanya, maka pasti anak akan selalu mempertanyakan alasan dari setiap perintah dalam agama, dan dampaknya adalah kedua orang tuanya pasti kewalahan dan kerepotan. Jika kedua orang tuanya memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup tinggi, mungkin hal itu tidak ada masalah karena orang tua akan mampu memberikan penjelasan  dasar atau dalil dari setiap perintah dalam agama. Tetapi sebaliknya jika kedua orang tuanya hanya memiliki pemahaman agama seperti halnya pemahaman orang awam, maka pasti orang tuanya akan kesulitan menjelaskan dasar suatu perintah dalam agama, bahkan mungkin orang tuanya akan dibantah oleh anaknya yang memiliki daya pikir rasional yang lebih baik karena faktor pendidikan yang diperolehnya. 

Pengalaman yang sering penulis lihat langsung ketika  bidadari kecil kami yang memakai hijab bertemu dengan orang lain, sering orang-orang yang memandangnya berkomentar, “adiknya lucu banget”, “iih adiknya gemesin, masih kecil sudah pakai hijab”, “masyaAllah, masih kecil sudah berhijab”, “adiknya imut dan lucu sekali, pingin nyubit pipinya”, dan komentar-komentar lainnya. Kami hanya tersenyum saja ketika tiba-tiba ada orang yang mengomentari penampilan putri kecil kami, dan kadang langsung mendekati putri kecil kami dan mengusap pipi bakpaonya. 

Pernah ada suatu kejadian cukup berkesan di sebuah  supermarket. Ketika itu penulis sedang mendorong troli belanjaan sedangkan sang bidadari kecil yang berhijab penulis dudukkan di atas troli. Penulis kurang menyadari kalau hijab putri kecil kami agak sedikit kurang rapi karena ketarik-tarik tangan putri kecil kami. Tiba-tiba ada salah seorang pegawai wanita di supermarket tersebut yang mendekati putri kecil kami dan merapikan hijab putri kecil kami sambil memandang wajah cantik nan polos putri kecil kami dan berkata, “ Nah, sekarang sudah rapi”. Selesai merapikan hijab putri kecil kami, dia pun pergi dengan tersenyum dan diiringi raut wajah kagum dengan penampilan putri kecil kami.

Kejadian-kejadian pada putri kecil kami tersebut di atas menunjukkan suatu fenomena yang cukup menarik. Pertanyaan yang muncul di benak penulis setiap melihat orang mengomentari hijab putri kecil kami adalah mengapa seakan-akan orang melihat suatu hal yang “aneh” dan “mengherankan” ketika ada bayi mungil memakai hijab? Apakah sebenarnya yang membuat orang-orang tersebut merasa lucu dan gemas ketika melihat seorang bayi mungil memakai hijab? Apakah yang sebenarnya yang dilihat orang-orang yang berkomentar terhadap putri kecil kami, mereka melihat sosok bayi mungil yang lucu sebagaimana bayi-bayi pada umumnya, ataukah mereka sedang melihat sosok anak manusia yang wajahnya polos, lugu, murni, bersih belum terkotori sifat-sifat duniawi, memancarkan aura kejernihan dan kebersihan hati, yang sedang menjalankan perintah Tuhannya, yakni memakai hijab? Apakah ada keanehan dengan penampilan putri kecil kami yang memakai hijab?

Menurut pendapat penulis terhadap penampilan putri kecil  kami itu sesuatu yang wajar dan tidak istimewa. Tetapi penulis kurang mengerti, mengapa respon orang-orang yang melihat penampilan putri kecil kami yang berhijab seperti menunjukkan ketakjuban dan kayak melihat sesuatu kejadian yang langka? Dari fenomena inilah, akhir penulis merasakan adanya “sesuatu pesan rahasia” yang tersirat yang harus penulis pikirkan. Penulis merasakan adanya dorongan dari hati yang paling dalam (hati nurani) untuk mencoba memikirkan pesan rahasia apa yang hendak ditunjukkan Allah Swt melalui fenomena putri kecil kami. 

Pemikiran penulis adalah sebagai berikut. Bayi adalah gambaran dari jiwa manusia yang masih suci dan murni, belum terkotori oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka ketika kita memandang  seorang, maka jiwa kita merasakan sesuatu yang dekat, kepedulian, kasih sayang, menyejukkan, menenangkan, menenteramkan, menyenangkan, dan selalu ingin tertawa dengan segala kelucuan dan kepolosan tingkah polah si bayi. Ketika kita sedang melihat seorang bayi, kemudian timbul perasaan-perasaan seperti tersebut di atas, maka kemungkinan yang sedang melihat bayi adalah jiwa murni kita, jiwa kita yang masih pada kondisi fitrah (jiwa yang masih suci).  Mungkin maksud istilah “jiwa murni” atau “jiwa suci” ini mirip dengan istilah yang sering dikenal yaitu “mata batin”. Jadi bisa diungkapkan dengan redaksional lain pandangan pada seorang bayi yang menimbulkan perasaan-perasaan tersebut di atas adalah pandangan dari mata batin kita (yang kurang kita sadari, refleks muncul dari alam bawah sadar kita), bukan mata jasmani kita. 

Sementara itu, hijab adalah gambaran suatu ketaatan, ketundukkan dan keikhlasan seorang hamba dalam menjalankan kehendak Tuhannya. Maka ketika kita melihat seorang bayi memakai hijab kemudian muncul perasaan yang aneh-aneh seperti melihat suatu pemandangan yang langka tapi membahagiakan dan membuat spontan ingin meneteskan air mata sebagai ungkapan kebahagiaan yang tiada tara, maka hal itu menunjukkan bahwa ada kerinduan yang sangat dalam dalam jiwa kita tentang hakikat tujuan kita hidup. Ada kerinduan dalam diri kita tentang tujuan kita diciptakan Allah Swt ke dunia ini. Jadi ketika melihat seorang bayi mungil yang memakai hijab dan kemudian muncul perasaan-perasaan yang membahagiakan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, maka hal itu menunjukkan bahwa jiwa murni kita masih ada di jasad (tubuh) kita yang kotor ini, jiwa murni kita sedang merindukan saat-saat membahagiakan ketika dulu hidup di alam ruh, jiwa murni kita sedang membayangkan kehidupan yang indah yang diwarnai ketaatan, ketundukkan, dan keikhlasan menjalankan segala perintah Allah Swt, dan jiwa murni kita sedangkan merindukan diri kita (jiwa + jasad) melaksanakan perintah-perintah Allah Swt dengan segala keikhlasan, yakni berakhlakul karimah. Wallahu a’lam bi showab.[]


Sumber Artikel :

Agung Nugroho Catur Saputro. (2018). Muhasabah : Menemukan [Kembali] Nilai-nilai Kemuliaan Diri yang Hilang. Jombang : Penerbit Kun Fayakun.

*) Penulis adalah dosen, penulis buku, dan pegiat literasi di Universitas Sebelas Maret (UNS) yang telah menerbitkan lebih dari 20an buku dan saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi doktornya.


1 komentar:

ifasaputro mengatakan...

Tulisan yang menarik

Postingan Populer