Oleh :
Agung Nugroho Catur Saputro
Pada kesempatan
ini, penulis akan menceritakan pengalaman penulis bersama bidadari kecil alias putri
cantik penulis yang belum genap satu tahun usianya. Cerita tentang putri kecil
penulis hanya sebagai background saja karena yang utama adalah pemikiran
penulis terhadap hikmah dan pesan rahasia yang tersirat dari kejadian yang
dialami putri kecil penulis. Cerita ini tentang fenomena bayi berhijab
kaitannya dengan kerinduan jiwa murni manusia [dewasa] terhadap ketaatan dan
ketundukkan pada Allah Swt dan berakhlakul karimah. Bagaimana kisahnya, silakan
membaca.
Sebagaimana telah penulis ceritakan di artikel sebelumnya
tentang bagaimana proses
panjang yang telah penulis dan istri penulis jalani untuk memperoleh momongan kedua yang sekarang menjadi
bintangnya dalam tulisan artikel ini, maka penulis bersama istri bertekat akan
merawat bidadari kecil dengan sebaik-baiknya dan membekalinya dengan
dasar-dasar agama sejak dini. Apa yang kami lakukan untuk membekali si kecil
dengan dasar-dasar agama yang hanif?
Ya, kami melatih bidadari kecil kami untuk memakai hijab setiap keluar rumah
atau ada acara ke luar. Kemana pun kami bepergian bersama bidadari kecil kami,
kami selalu memakaikan hijab kecil di kepala putri cantik kami.
Penulis sebagai orang tua menyadari
sekali bahwa menanamkan nilai-nilai ajaran agama kepada anak itu perlu dimulai
sejak kecil dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses penanaman
nilai-nilai ajaran agama ke anak, pertimbangan aspek psikologis anak jelas
menjadi perhatian kami. Maka kami mengenalkan putri kecil kami tentang adab
berpakaian sesuai ajaran Islam sejak kecil agar kelak ketika ia sudah besar sudah
terbiasa dan tidak canggung lagi dalam mengenakan pakaian yang sesuai syariat.
Harapan penulis dan istri adalah kami tidak
ingin putri kecil kami kelak merasa terpaksa memakai pakaian hijab hanya karena
takut dimarahi orang tuanya. Kami ingin putri kecil kami kelak dengan suka rela
memakai pakaian hijab karena menyadari bahwa ia berpakaian seperti itu bukan hanya
karena keinginan kedua orang tuanya tetapi semata-semata karena menjalankan dan
menepati perintah Allah Swt. Melalui pembiasaan sejak dini, kami berharap putri
kecil kami kelak memiliki kebiasaan untuk selalu berpakaian sesuai syariat dan
menjadi habit (kebiasaan).
Mengenalkan dan menanamkan
nilai-nilai ajaran agama kepada anak perlu dilakukan sejak anak masih kecil dan
didukung ketauladanan (contoh nyata) dari
lingkungan di sekitarnya yakni orang tua dan anggota keluarga lainnya. Penanaman
nilai-nilai ajaran agama kepada anak tidak bisa dilakukan hingga menunggu anak
dewasa dulu, karena hal itu justru akan sulit karena anak telah mampu berpikir dan
memiliki pendapatnya sendiri.
Ketika anak sudah dewasa baru dikenalkan ajaran-ajaran
agama oleh kedua orang tuanya, maka pasti anak akan selalu mempertanyakan
alasan dari setiap perintah dalam agama, dan dampaknya adalah kedua orang
tuanya pasti kewalahan dan kerepotan. Jika kedua orang tuanya memiliki
pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup tinggi, mungkin hal itu tidak ada
masalah karena orang tua akan mampu memberikan penjelasan dasar atau dalil dari setiap perintah dalam
agama. Tetapi sebaliknya jika kedua orang tuanya hanya memiliki pemahaman agama
seperti halnya pemahaman orang awam, maka pasti orang tuanya akan kesulitan
menjelaskan dasar suatu perintah dalam agama, bahkan mungkin orang tuanya akan
dibantah oleh anaknya yang memiliki daya pikir rasional yang lebih baik karena
faktor pendidikan yang diperolehnya.
Pengalaman yang sering penulis lihat
langsung ketika bidadari kecil kami yang
memakai hijab bertemu dengan orang lain, sering orang-orang yang memandangnya berkomentar,
“adiknya lucu banget”, “iih adiknya gemesin, masih kecil sudah pakai hijab”, “masyaAllah,
masih kecil sudah berhijab”, “adiknya imut dan lucu sekali, pingin nyubit
pipinya”, dan komentar-komentar lainnya. Kami hanya tersenyum saja ketika
tiba-tiba ada orang yang mengomentari penampilan putri kecil kami, dan kadang langsung
mendekati putri kecil kami dan mengusap pipi bakpaonya.
Pernah ada suatu kejadian cukup berkesan di
sebuah supermarket. Ketika itu penulis
sedang mendorong troli belanjaan sedangkan sang bidadari kecil yang berhijab penulis
dudukkan di atas troli. Penulis kurang menyadari kalau hijab putri kecil kami
agak sedikit kurang rapi karena ketarik-tarik tangan putri kecil kami.
Tiba-tiba ada salah seorang pegawai wanita di supermarket tersebut yang
mendekati putri kecil kami dan merapikan hijab putri kecil kami sambil
memandang wajah cantik nan polos putri kecil kami dan berkata, “ Nah, sekarang
sudah rapi”. Selesai merapikan hijab putri kecil kami, dia pun pergi dengan
tersenyum dan diiringi raut wajah kagum dengan penampilan putri kecil kami.
Kejadian-kejadian pada putri kecil
kami tersebut di atas menunjukkan suatu fenomena yang cukup menarik. Pertanyaan
yang muncul di benak penulis setiap melihat orang mengomentari hijab putri
kecil kami adalah mengapa seakan-akan orang melihat suatu hal yang “aneh” dan
“mengherankan” ketika ada bayi mungil memakai hijab? Apakah sebenarnya yang
membuat orang-orang tersebut merasa lucu dan gemas ketika melihat seorang bayi
mungil memakai hijab? Apakah yang sebenarnya yang dilihat orang-orang yang
berkomentar terhadap putri kecil kami, mereka melihat sosok bayi mungil yang
lucu sebagaimana bayi-bayi pada umumnya, ataukah mereka sedang melihat sosok anak
manusia yang wajahnya polos, lugu, murni, bersih belum terkotori sifat-sifat duniawi,
memancarkan aura kejernihan dan kebersihan hati, yang sedang menjalankan
perintah Tuhannya, yakni memakai hijab? Apakah ada keanehan dengan penampilan
putri kecil kami yang memakai hijab?
Menurut pendapat penulis terhadap penampilan
putri kecil kami itu sesuatu yang wajar
dan tidak istimewa. Tetapi penulis kurang mengerti, mengapa respon orang-orang
yang melihat penampilan putri kecil kami yang berhijab seperti menunjukkan
ketakjuban dan kayak melihat sesuatu kejadian yang langka? Dari fenomena
inilah, akhir penulis merasakan adanya “sesuatu pesan rahasia” yang tersirat
yang harus penulis pikirkan. Penulis merasakan adanya dorongan dari hati yang
paling dalam (hati nurani) untuk mencoba memikirkan pesan rahasia apa yang
hendak ditunjukkan Allah Swt melalui fenomena putri kecil kami.
Pemikiran penulis adalah sebagai berikut. Bayi
adalah gambaran dari jiwa manusia yang masih suci dan murni, belum terkotori
oleh nafsu-nafsu duniawi. Maka ketika kita memandang seorang, maka jiwa kita merasakan sesuatu
yang dekat, kepedulian, kasih sayang, menyejukkan, menenangkan, menenteramkan,
menyenangkan, dan selalu ingin tertawa dengan segala kelucuan dan kepolosan tingkah
polah si bayi. Ketika kita sedang melihat seorang bayi, kemudian timbul
perasaan-perasaan seperti tersebut di atas, maka kemungkinan yang sedang
melihat bayi adalah jiwa murni kita, jiwa kita yang masih pada kondisi fitrah
(jiwa yang masih suci). Mungkin maksud
istilah “jiwa murni” atau “jiwa suci” ini mirip dengan istilah yang sering
dikenal yaitu “mata batin”. Jadi bisa diungkapkan dengan redaksional lain pandangan
pada seorang bayi yang menimbulkan perasaan-perasaan tersebut di atas adalah
pandangan dari mata batin kita (yang kurang kita sadari, refleks muncul dari
alam bawah sadar kita), bukan mata jasmani kita.
Sementara itu, hijab adalah gambaran suatu ketaatan,
ketundukkan dan keikhlasan seorang hamba dalam menjalankan kehendak Tuhannya.
Maka ketika kita melihat seorang bayi memakai hijab kemudian muncul perasaan
yang aneh-aneh seperti melihat suatu pemandangan yang langka tapi membahagiakan
dan membuat spontan ingin meneteskan air mata sebagai ungkapan kebahagiaan yang
tiada tara, maka hal itu menunjukkan bahwa ada kerinduan yang sangat dalam
dalam jiwa kita tentang hakikat tujuan kita hidup. Ada kerinduan dalam diri
kita tentang tujuan kita diciptakan Allah Swt ke dunia ini. Jadi ketika melihat
seorang bayi mungil yang memakai hijab dan kemudian muncul perasaan-perasaan
yang membahagiakan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, maka hal itu
menunjukkan bahwa jiwa murni kita masih ada di jasad (tubuh) kita yang kotor
ini, jiwa murni kita sedang merindukan saat-saat membahagiakan ketika dulu
hidup di alam ruh, jiwa murni kita sedang membayangkan kehidupan yang indah
yang diwarnai ketaatan, ketundukkan, dan keikhlasan menjalankan segala perintah
Allah Swt, dan jiwa murni kita sedangkan merindukan diri kita (jiwa + jasad)
melaksanakan perintah-perintah Allah Swt dengan segala keikhlasan, yakni
berakhlakul karimah. Wallahu a’lam bi
showab.[]
Sumber Artikel :
Agung Nugroho Catur Saputro. (2018). Muhasabah : Menemukan [Kembali] Nilai-nilai
Kemuliaan Diri yang Hilang. Jombang : Penerbit Kun Fayakun.
*) Penulis adalah dosen, penulis buku, dan pegiat
literasi di Universitas Sebelas Maret (UNS) yang telah menerbitkan lebih dari
20an buku dan saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi doktornya.
1 komentar:
Tulisan yang menarik
Posting Komentar