Powered By Blogger

Jumat, 21 Juni 2024

MENAHAN DIRI

 


MENAHAN DIRI
Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro 



Ketika anak lanang didiagnosis sakit Demam Berdarah oleh dokter dan harus menjalani rawat inap di RS UNS, maka berdasarkan diskusi dengan istri diputuskan saya yang menemani anak lanang selama menjalani pengobatan rawat inap di rumah sakit. Sementara istri di rumah menemani dan mengurus kebutuhan sekolah si kecil. 


Selama menjaga dan menemani anak lanang di rumah sakit, saya tidak sempat mengaji (membaca Al-Qur'an) sehabis sholat Maghrib sebagaimana saya lakukan secara rutin setiap hari bersama keluarga. Anak lanang dirawat di RS UNS selama 5 hari sehingga selama 5 hari pula saya tidak membaca Al-Qur'an. 


Setelah anak lanang boleh pulang karena kondisi kesehatannya sudah cukup membaik, maka sehabis sholat Maghrib saya membaca Al-Qur'an cukup banyak halaman hingga akhir juz 15. Nah, ketika si kecil juga selesai membaca Al-Qur'an, dia bertanya ke saya, "Papi baca berapa halaman?" Maka saya pun menjawab, "Papi sudah selesai juz 15, besok melanjutkan juz 16". 


Mendengar jawaban papinya tersebut, tiba-tiba si kecil langsung menangis tersedu-sedu. Sambil terisak-isak menangis, dia berkata, "Kok papi ninggalin adek?" Saya lihat si kecil menangisnya serius, maka segera saya peluk si kecil dan berusaha menenangkannya. Sambil terus memeluk, saya berkata kepada dia, "Papi minta maaf ya, papi kira adek sudah selesai juz 15. Karena selama menunggui kakak di rumah sakit papi gak baca Al-Qur'an". 


Perlu waktu cukup lama untuk menenangkan si kecil dari tangisannya. Sepertinya dia sangat shock mengetahui papinya telah membaca sampai akhir juz 15 karena dia masih kurang banyak halaman. Dia merasa tertinggal banyak halaman. Memang terakhir membaca Al-Qur'an sebelum kakaknya masuk rumah sakit, dia dan saya beberapa kali bersamaan jumlah halaman yang dibaca. Waktu itu dia begitu bahagianya bisa sama dengan papinya dalam jumlah halaman yang dibaca. 


Setelah terus memeluk dan berkali-kali meminta maaf, akhirnya si kecil berhenti menangis. Saya berjanji kepada si kecil besok akan membaca sedikit halaman agar adek bisa menyamai saya. Dan besoknya apa yang terjadi? 


Ternyata besoknya sehabis sholat Maghrib, si kecil seakan ingin membalas dendam mengejar ketertinggalannya dengan membaca  Al-Qur'an banyak halaman. Ketika papi, mami, dan kakaknya telah selesai membaca Al-Qur'an, dia tetap terus membaca dengan suara keras sampai-sampai suaranya serak. Mungkin ada waktu setengah jam lebih dia membaca Al-Qur'an hingga akhirnya dapat menyelesaikan juz 15 dan menambah satu halaman juz 16. 


Berangkat dari kesalahan saya tersebut, maka selanjutnya saya menahan diri untuk membaca Al-Qur'an tidak sampai melebihi jumlah halaman yang dibaca si kecil. Demi kebahagiaan dan memotivasi si kecil agar terus senang membaca Al-Qur'an, saya menyengaja hanya membaca sedikit halaman sehingga halaman bacaan si kecil  berada di depan saya. 


Saya berusaha menahan diri untuk tidak membaca banyak halaman Al-Qur'an agar tidak sampai melampaui jumlah halaman bacaan si kecil. Bagi saya, kebahagiaan si kecil ketika  melantunkan keindahan ayat-ayat firman Allah SWT jauh lebih penting  dibandingkan kenikmatan yang saya rasakan ketika membaca ayat-ayat-Nya. []


Gumpang Baru, 08 Juni 2024

MEMBACA VERSI ICHA

 


"MEMBACA" VERSI ICHA

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro 



Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang masuk kategori rendah aktivitas warga negaranya dalam membaca. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuman 1 orang yang rajin membaca (www.kominfo go.id., 2017). Hal ini bertolak belakang dengan data pembangunan sarana prasarana terkait aktivitas membaca (perpustakaan) yang termasuk kategori tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Sebuah fakta keprihatinan yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, baik dari pemerintah, pendidik, dan orang tua. 


Tradisi membaca harus dilatih dan dibiasakan pada anak-anak sejak mereka masih kecil. Aktivitas membaca tidak dimulai dari lingkungan sekolah, melainkan justru harus dimulai dari lingkungan keluarga. Setiap orang tua (baca: keluarga) harus menyediakan sarana prasarana membaca yang memadai dan memiliki program literasi membaca secara rutin di lingkup keluarga. 


Terkait program literasi membaca dalam konteks implementasi ajaran agama, di keluarga kami sudah lama kami desain program membaca Al-Qur'an rutin setiap hari. Setiap hari bakda sholat Maghrib, kami sekeluarga bersama-sama membaca Al-Qur'an. Setiap anggota keluarga menarget sendiri mau membaca berapa ayat, surat, halaman, atau juz dalam setiap kali membaca. Kecepatan membaca masing-masing anggota keluarga juga berbeda-beda sehingga khatam Al-Qur'an juga tidak bersamaan. 


Program membaca Al-Qur'an secara rutin setiap hari ini telah berdampak positif terhadap tradisi membaca Al-Qur'an bagi anak-anak. Anak-anak jadi terbiasa membaca Al-Qur'an tanpa harus disuruh. Aktivitas membaca Al-Qur'an seolah-olah telah menjadi tradisi rutin (kebiasaan, habit) di lingkungan keluarga kami. 


Terkait aktivitas membaca ini, putri kecil kami setiap hari memiliki dua aktivitas rutin yang berhubungan dengan belajar, yaitu "membaca". Si kecil menggunakan dua istilah membaca Al-Qur'an secara berbeda, yaitu mengaji dan membaca. Istilah "mengaji" merujuk pada aktivitas si kecil membaca Al-Qur'an setiap bakda Maghrib bersama keluarganya. Untuk aktivitas mengaji ini, saat ini si kecil sudah sampai juz 15. 


Sementara itu, istilah "membaca" dia pergunakan untuk aktivitas membaca Al-Qur'an yang dibaca di sekolah. Di rumah, si kecil rajin membaca ayat-ayat yang besok akan dibaca di hadapan ustadzahnya berdasarkan catatan ustadzahnya di Buku Prestasi Iqra'. Setiap hari dia membaca. Biasanya sebelum tidur, si kecil minta disemak bacaannya ketika membaca. Jika malam hari lupa membaca, maka pagi harinya pasti minta membaca. 


Terkait aktivitas membaca tersebut, terkadang terjadi kejadian yang lucu sekaligus bikin gemes. Pernah kejadian ketika sudah siap berangkat ke sekolah dan waktunya sudah mepet, tiba-tiba si kecil teringat kalau tadi malam dia belum membaca. Maka seketika dia merengek-rengek ke maminya untuk membaca. Jika kemauannya untuk membaca tidak dituruti, bisa-bisa dia mogok pergi ke sekolah. Oleh karena itu, maka terpaksa maminya harus mengalah untuk menyimak putri kecilnya membaca Al-Qur'an dulu. 


Begitulah tingkah lucu tapi membahagiakan dari putri kecil kami. Dia sangat rajin dan disiplin mengaji dan membaca Al-Qur'an. Dia tidak pernah melupakan aktivitas membaca. Dan dia tidak pernah ada niat untuk meninggalkan aktivitas membaca, walaupun di hari libur sekolah. Jadi walaupun saat libur sekolah, dia tetap rutin membaca dan terutama mengaji. []


Surakarta, 06 Juni 2024

Senin, 03 Juni 2024

EKSISTENSI DIRI

 


EKSISTENSI DIRI

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro


Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Manusia saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda agar saling berinteraksi dan saling melengkapi satu sama lain. 


Di dunia ini, tidak ada satupun manusia yang sempurna yang mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya tanpa ada bantuan pihak lain (lingkungan). Setiap orang membutuhkan lingkungan untuk eksistensi dirinya. Lingkungan yang dimaksud bisa berupa lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Melalui interaksi dengan lingkungan sekitarnya, eksistensi seseorang dapat diakui. 


Seseorang dipandang eksis atau ada manakala ia mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Dengan bahasa lain, seseorang itu dianggap ada ketika ia berkontribusi kepada lingkungan tempat ia berada. Pengakuan pihak eksternal terhadap eksistensi diri seseorang akan datang sendiri ketika orang itu memberikan sumbangsih positif kepada lingkungannya sekitarnya. 


Seseorang tidak perlu bersusah payah membuktikan eksistensi dirinya kepada lingkungannya. Walaupun sudah berusaha sekuat tenaga, belum tentu lingkungan eksternalnya mengakui eksistensi dirinya. Tetapi walau tidak berupaya membuktikan eksistensi dirinya, tetapi ketika ia mampu berperan dan berkontribusi positif kepada lingkungan sekitarnya, maka pasti secara alami lingkungan mengakui eksistensi dirinya. 


Rumus praktis untuk membuktikan eksistensi diri dalam lingkungan pergaulan dapat menggunakan rumusan dari sang suri tauladan Rasulullah Saw melalui sabdanya, "Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni). 


Dalam Al-Qur'an surat Al Isra ayat 7, Allah SWT juga telah menjanjikan bahwa perbuatan baik yang diperbuat kepada orang lain, sama halnya dengan berbuat baik kepada diri sendiri. begitu juga sebaliknya. Melalui implementasi rumus langit ini, maka eksistensi diri kita pasti diakui oleh lingkungan tempat kita berada. Wallahu A'lam. []


Ruang Tunggu Lantai 2 RS UNS, 03 Juni 2024

Minggu, 02 Juni 2024

UKURAN KEMAMPUAN DIRI

 


UKURAN KEMAMPUAN DIRI

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro



Setiap orang dilahirkan dengan keistimewaan masing-masing. Setiap orang adalah unik dengan bakat minatnya. Setiap orang adalah juara dengan kehebatan dirinya. Dan setiap orang adalah unggul dengan segala kompetensinya. 


Tidak ada manusia yang tidak memiliki kemampuan. Setiap manusia sejak lahir sudah dibekali oleh Tuhan sang Maha Pencipta dengan kemampuan yang disebut potensi diri. Potensi diri setiap orang bersifat laten,yang artinya tersembunyi atau masih tertidur. 


Selama menjalani hidup, setiap orang harus mampu menemukan atau membangunkan potensi dirinya. Cara untuk menemukan atau mengenali potensi diri adalah melalui aktifitas belajar. Belajar merupakan aktivitas jasmani, kognitif maupun rohani yang disengaja untuk menghasilkan perubahan hasil belajar yang bersifat permanen. Belajar adalah perubahan yang bertahan lama (konstan).


Belajar merupakan aktivitas mencoba hal-hal baru, seperti kemampuan baru, keterampilan baru, pemikiran baru, sikap hidup baru, dan lain sebagainya. Melalui aktivitas belajar inilah, seseorang dapat menilai dirinya sendiri apakah mampu mengalami perubahan ke arah lebih baik atau tidak. 


Ketika seseorang sedang belajar, pada dasarnya ia sedang mengeksplorasi potensi dirinya yang tersembunyi. Melalui aktivitas-aktivitas dalam kegiatan belajar, seseorang sedang mencoba-coba pengalaman baru dan mengevaluasi apakah dirinya mampu atau tidak. 


Ketika seseorang lulus atau tuntas menguasai kompetensi yang dipelajari, maka ia telah mengetahui bahwa dirinya mampu menguasai kompetensi tersebut. Dan sebaliknya, jika ia gagal menuntaskan tahapan belajarnya menunjukkan bahwa dia tidak berbakat atau tidak menguasai kompetensi tersebut. 


Kegiatan belajar dalam rangka mengeksplorasi, mengenali dan mengembangkan potensi diri menjadi kompetensi dan skill pada dasarnya dapat dipandang sebagai manifestasi dari perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT. Allah SWT membekali setiap manusia yang merupakan makhluk ciptaan-Nya dengan benih potensi diri untuk ditumbuhkan dan dikembangkan di lahan lingkungan belajar (pendidikan) hingga dapat menjadi bekal menjalani kehidupan di dunia. 


Potensi diri yang tertanam dalam diri setiap orang tiada terbatas karena kuasa Allah SWT tiada terbatas. Manusia sendirilah yang membuat batasan atas dirinya sendiri. Batasan kemampuan diri yang ditetapkan masing-masing orang atas dirinya inilah yang menjadi ukuran kemampuan diri. Wallahu A'lam. []


Ruang Tunggu Lantai 2 RS UNS, 03 Juni 2024

Postingan Populer