Powered By Blogger

Minggu, 29 Mei 2022

RELIGIUS DALAM BALUTAN BUDAYA NUSANTARA

Sumber Gambar : https://blamakassar.kemenag.go.id/berita/menyoal-relasi-agama-dan-budaya

RELIGIUS DALAM BALUTAN BUDAYA NUSANTARA

Oleh :

Agung Nugroho Catur Saputro

 


Agama dan budaya adalah dua hal yang sulit dilepaskan dari kehidupan manusia. Agama diperlukan untuk menjadi panduan bagi manusia untuk berakhlak mulia. Sedangkan budaya merupakan hasil kreasi manusia dalam memahami kehidupan, termasuk memahami ajaran agama dalam wujud perilaku hidup sehari-hari. Sebagai misal, anjuran menghormati orang tua merupakan ajaran agama, tetapi bagaimana cara menghormati orang tua dalam bentuk sikap dan perilaku merupakan ranah budaya. Tentang penghormatan kepada orang tua, di jawa dikenal tadisi sungkem orang tua, sedangkan di India dikenal tradisi mencium kaki orang tua. Inilah budaya di mana setiap daerah atau negara bisa berbeda-beda bentuknya, walaupun tujuannya sama, yaitu memberikan penghormatan kepada orang tua.  

Hubungan antara agama dan budaya sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang tak kunjung selesai. Ada yang berpendapat bahwa agama dan budaya tidak mungkin bisa bersatu dan ada juga pendapat yang mepercayai bahwa agama dan budaya bisa menyatu. Sebenarnya bagaimanakah kedudukan agama dan budaya itu? Apakah agama dan budaya bisa menyatu dalam sikap dan perilaku seseorang? Bagaimana cara menempatkan budaya dalam kehidupan beragama? Artikel singkat ini akan mencoba membahasnya.

Apakah Budaya Itu?

            Kata budaya merujuk kepada sebuah istilah yang berkaitan dengan hasil olah pikir, cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan dalam bentuk aturan berperilaku berupa adat istiadat, tradisi, budaya maupun karya-karya fisik. Budaya adalah hasil dari kreativitas manusia dalam mengembangkan pemikirannya untuk memudahkan dan membuat lebih nyaman kehidupannya. Jadi segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia hasil dari pemikiran dan penghayatan terhadap kehidupan dapat dikategorikan sebagai budaya. Pengertian budaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju), atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah (KBBI Online, 2022).

Sedangkan beberapa ahli memberikan definisi budaya (Kristina, 2021) sebagai berikut:

1.        Edward Burnett Tylor (1832-19721). Menurut Tylor, kebudayaan adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2.        Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski mendefinisikan kebudayaan sebagai penyelesaian manusia terhadap lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan tradisi yang terbaik. Dalam hal ini, Malinowski menekankan bahwa hubungan manusia dengan alam semesta dapat digeneralisasikan secara lintas budaya.

3.        Clifford Geertz (1926-2006). Antropolog ternama dunia Clifford Geertz mengatakan kebudayaan merupakan sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol. Simbol tersebut kemudian diterjemahkan dan diinterpretasikan agar dapat mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, pengembangkan pengetahuan, hingga cara bersikap.

4.        Roger M. Keesing (1935-1993). Roger mendefinisikan makna kebudayaan melalui dua pendekatan, adaptif dan ideasional. Kebudayaan menurut pendekatan adaptif merupakan kontes pikiran dan perilaku. Sedangkan, menurut pendekatan ideasional kebudayaan adalah semata-mata sebagai konteks pikiran.

5.        Koentjaraningrat (1923-1999). Antropolog asal Indonesia ini mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar.

Berdasarkan beberapa defines budaya menurut para ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya adalah segala sesuatu yang dihasilkan manusia sebagai hasil kreasi dari cipta, rasa, dan karsa terhadap kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk aturan berperilaku (tradisi, adat istiadat) maupun karya-karya fisik (bangunan).

Apakah yang dimaksud dengan Agama?

Agama mudah dipahami tetapi sulit didefinisikan. Agama mudah dirasakan oleh para penganutnya tetapi sulit didefiniskan secara memuaskan. Makanya, hingga saat ini belum ada definisi agama yang baku dan menjadi standar dunia. Walaupun sudah banyak para ahli yang membuat definisi tentang agama, tetapi secara umum masing-masing definisi tersebut belum mampu memberikan deskripsi yang jelas tentang agama.

Pakar tafsir Al-Quran kebanggan bangsa Indonesia Prof. Dr. M. Quraish Shihab (2001), menyatakan bahwa agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat--lebih-lebih bagi para pakar. Hal ini disebabkan, antara lain, dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Kemudahan yang dialami oleh orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.

Menurut Wright (1912), definisi agama yang memadai harus memenuhi dua prasyarat. Prasyarat pertama adalah bahwa untuk memenuhi persyaratan logika, definisi tersebut harus persis sama dengan istilah yang didefinisikan. Definis agama ini harus mencakup semua varietas dari semua agama di masa lalu maupun masa kini, dan semua bentuk yang mungkin secara logis yang agama mungkin mengasumsikan di masa depan, tidak peduli apakah kita percaya bentuk-bentuk ini diinginkan atau tidak diinginkan, mengangkat atau merendahkan, benar atau salah. Itu harus benar-benar impersonal dan deskriptif, tidak normatif. Dan itu harus menghindari agama yang membingungkan dengan moral, sihir, etika, estetika, dan mata pelajaran lain yang pernah ada di masa lalu, atau sekarang mengandung, hubungan dekat dengannya.

Prasyarat kedua dalam definisi awal agama untuk tujuan psikologi fungsional adalah bahwa definisi tersebut harus menjadi deskripsi yang akurat tentang sikap subyektif dari para praktisi agama, dan bukan pernyataan tentang fungsi sebenarnya agama dalam masyarakat manusia, sebagaimana ditentukan oleh pengamat obyektif. Ada dua alasan untuk ini. Pertama-tama, kehati-hatian menuntut bahwa seorang psikolog fungsional membuat definisinya terus terang subyektif untuk menghindari kecurigaan terlibat dalam kekeliruan psikolog, suatu kecurigaan yang sering, dan mungkin bukan tanpa alasan, dirasakan terhadap para penyelidik sejenisnya. Kedua, akan jauh lebih mudah untuk mendapatkan persetujuan atas fakta. Pengaruh yang tepat dari agama mana pun dalam evolusi sosial dan moral, yang rumit seperti interaksinya dengan kekuatan lain, sangat sulit ditentukan.

Dalam Encyclopaedia Britannica (www.Britannica.com/topic/religion), dinyatakan bahwa agama adalah hubungan manusia dengan apa yang mereka anggap suci, sakral, absolut, spiritual, ilahi, atau layak dihormati. Ini juga secara umum dianggap terdiri dari cara orang berurusan dengan keprihatinan utama tentang kehidupan mereka dan nasib mereka setelah kematian. Dalam banyak tradisi, hubungan ini dan masalah ini diekspresikan dalam hubungan seseorang dengan atau sikap terhadap dewa atau roh; dalam bentuk agama yang lebih humanistik atau naturalistik, mereka diekspresikan dalam hubungan seseorang dengan atau sikap terhadap komunitas manusia yang lebih luas atau dunia alami. Dalam banyak agama, teks dianggap memiliki status kitab suci, dan orang-orang dihargai untuk diinvestasikan dengan otoritas spiritual atau moral. Orang percaya dan penyembah berpartisipasi dan sering diperintahkan untuk melakukan praktik-praktik renungan atau kontemplatif seperti doa, meditasi, atau ritual tertentu. Ibadah, perilaku moral, kepercayaan benar, dan partisipasi dalam lembaga-lembaga keagamaan adalah di antara unsur-unsur penyusun kehidupan keagamaan.

Beberapa ahli lain juga memberikan definisi yang berbeda-beda tentang agama. John Locke (1632-1704) menyimpulkan bahwa “Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku tidak memberitahu kepadaku.” Mahmud Syaltut menyatakan bahwa,”Agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.” Syaikh Muhammad Abdullah Badran (Guru Besar Al-Azar) menggambarkan “hubungan antara dua pihak di mana yang pertama memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.” Sedangkan Prof. M. Quraish Shihab sendiri mendefinisikan agama sebagai “Hubungan antara makhluk dan khaliknya.” Hubungan ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin pula dalam sikap kesehariannya.” (Shihab, 2001).

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, terlihat bahwa memang tidak ada kesepakatan dari para ahli dalam mendefinisikan agama, masing-masing ahli memiliki pandangan sendiri yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa agama memang sesuatu yang tidak mudah untuk didefinisikan, walaupun mudah dirasakan dan dimengerti oleh pemeluknya.

Mungkinkah Agama dan Budaya Menyatu?

Menurut pendapat penulis pribadi, agama dan budaya dapat menyatu atau melebur menjadi satu dalam kehidupan manusia. Agama memberikan panduan ajaran tentang sikap dan perilaku yang baik, sedangkan budaya merupakan hasil pengejawantahan dari ajaran kebaikan tersebut. Agama tidak perlu dipertentangkan dengan agama karena keduanya memang tidak bertentang.

Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia (RI), Moh Hatta mengatakan, kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dikutip dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M) oleh Faisal Ismail, Moh Hatta yang dikenal sebagai lulusan sarjana Muslim tersebut memasukkan agama sebagai unsur kebudayaan. Pendapat tersebut disampaikan Hatta dalam Kongres Kebudayaan Pertama tahun 1948 di Magelang. Berikut cuplikan pidato Hatta:

"Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau bukan. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakan agama adalah bagian daripada kebudayaan..." (Kristina, 2021).

Menurut pendapat penulis, pandangan Moh Hatta yang menyatakan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan adalah dalam konteks kesamaan tujuan, yaitu agama dan budaya sama-sama bertujuan untuk menuntut umat manusia berakhlak baik dan bahagia hidupnya. Sedangkan dalam konteks asalnya tentu pendapat tersebut kurang tepat karena aturan agama ada yang berasal dari Tuhan (agama-agama samawi) dan ada pula yang dibuat manusia.

Menjadi Orang Indonesia yang Religius

Sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam, penulis berusaha menampakkan diri baik sikap maupun perilaku sebagai orang Indonesia yang islami. Bagaimana cara penulis memerankan peran tersebut? Caranya adalah dengan bersikap dan berperilaku sesuai budaya masyarakat setempat dengan dilandasi pada ajaran mulia agama Islam. Bagi penulis, agama dan budaya tidaklah bertentangan, bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Budaya  tidak bisa dilepaskan dari agama karena wujud manifestasi pelaksanaan dari ajaran agama diwujudkan dalam bentuk budaya. Dapat diibaratkan bahwa agama adalah ruh sedangkan budaya adalah jasad fisik atau tubuh jasmaniah. Agama adalah panduan sedangkan budaya adalah wujud nyata tindakan berdasarkan petunjuk pada panduan. Agama adalah spirit sedangkan budaya adalah perilaku nyata.

Seseorang tidak mungkin dapat menjalankan ajaran agamanya tanpa melibatkan kebudayaan. Hal ini karena agama tidak mengenal budaya tertentu. Agama tidak hanya cocok untuk budaya tertentu tetapi cocok dengan budaya manapun karena budaya bagaikan baju sedangkan agama adalah tubuh. Maka tubuh tidak akan mungkin dapat menjalankan aktivitas beradab jika tanpa memakai baju. Baju atau pakaian adalah simbol dari peradaban. Maka beragama secara beradab harus menggunakan budaya. Budaya yang paling dekat untuk menjalankan panduan kebaikan dalam ajaran agama adalah budaya masyarakat setempat. Sedangkan budaya masyarakat lain atau negara lain bisa saja diadopsi tetapi belum tentu pasti cocok. Oleh karena itu, pilihan yang paling mudah dan sederhana adalah menggunakan budaya lokal setempat sebagai wadah atau sarana menjalankan ajaran kebaikan agama, dengan syarat ketat bahwa budaya tersebut tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama.

Contoh nyata di masyarakat tentang meleburnya ajaran agama dan budaya adalah penggunaan peci dan sarung untuk ibadah shalat. Peci dan sarung bukan berasal dari Arab tempat asal agama Islam, tetapi merupakan pakaian budaya masyarakat Indonesia dan Melayu. Bahkan sekarang peci dan sarung telah menjelma menjadi simbol santri dan pondok pesantren. Seorang siswa di pondok pesantren. Apakah dengan memakai peci dan sarung akan mengurangi nilai ibadah seseorang dibandingkan orang lain yang memakai surban dan baju gamis? Tentu saja tidak. Pakaian hanyalah sarana pendukung ibadah shalat, bukan termasuk rukun sahnya shalat. Jadi memakai pakaian apapun selama suci, menutup aurat dan memenuhi aspek kesopanan, maka boleh dipergunakan untuk menjalankan ibadah shalat. Inilah contoh nyata implementasi konsep menyatunya agama dan budaya. WaAllahu a’alam [].

 

Gumpang Baru, 28 April 2022

 

Sumber Referensi

Encyclopaedia Britannica (www.Britannica.com/topic/religion)

KBBI Online. (2022). Arti kata budaya—Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Retrieved April 24, 2022, from https://kbbi.web.id/budaya

Kristina. (2021, September 16). 5 Pengertian Kebudayaan Menurut Para Ahli. Retrieved April 24, 2022, from Detikedu website: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5725690/5-pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli

Shihab, M. Q. (2001). Membumikan Al-Quran: Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat. Bandung: Penerbit MIZAN.

Wright, W. K. (1912). A Psychological Definition of Religion. The American Journal of Theology, 16(3), 385–409. doi: 10.1086/479094

 

 

BIODATA PENULIS

Agung Nugroho Catur Saputro, S.Pd., M.Sc. adalah dosen di Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menempuh Pendidikan S1 (S.Pd) di Universitas Sebelas Maret dan Pendidikan S2 (M.Sc.) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mulai tahun 2018 penulis tercatat sebagai mahasiswa doktoral di Program Studi S3 Pendidikan Kimia FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Selain sebagai dosen, beliau juga seorang pegiat literasi dan penulis yang telah menerbitkan lebih dari 75 judul buku (baik buku solo maupun buku kolaborasi), Peraih Juara 1 Nasional lomba penulisan buku pelajaran kimia MA/SMA (2007), Peraih SPK AWARD Peringkat 1 (2021), Peraih INOVASI DAN P2M AWARD LPPM UNS Peringkat 2 (2022), Peraih INDONESIA TOP 5000 SCIENTISTS (2022), Penulis buku non fiksi tersertifikasi BNSP (2020), Konsultan penerbitan buku pelajaran Kimia dan IPA, Reviewer jurnal ilmiah terakreditasi SINTA 2 dan 3, dan Trainer tersertifikasi Indomindmap Certified Trainer-ICT &  Indomindmap Certified Growth Mindset Coach (Indonesia), ThinkBuzan Certified Applied Innovation Facilitator (UK), ThinkBuzan Certified Speed Reading Practitioner (UK), ThinkBuzan Certified Memory Practitioner (UK), dan ThinkBuzan Certified Mind Map Facilitator (UK). Penulis dapat dihubungi melalui nomor WhatsApp +6281329023054 dan email : anc_saputro@yahoo.co.id. Tulisan-tulisan penulis dapat dibaca di akun Facebook : Agung Nugroho Catur Saputro, website : https://sahabatpenakita.id dan blog : https://sharing-literasi.blogspot.com.

 

Postingan Populer