PERJUANGAN DAN PENGORBANAN
Oleh:
Agung Nugroho Catur
Saputro
Setiap keinginan harus
ada perjuangan. Setiap pilihan dalam kehidupan ini selalu ada konsekuensinya.
Setiap keputusan yang diambil harus siap dengan akibatnya. Dalam kehidupan ini
terkadang memerlukan pengorbanan. Demikian pula dengan apa yang terjadi pada
diri saya beberapa waktu ini.
Sebulan yang lalu
penyakit Fistula Ani saya kembali kambuh dengan cukup parah. Setiap hari kambuh
dan saya merasakan rasa nyeri yang menyayat-nyayat. Rasa sakit tersebut sangat
mengganggu aktivitas saya. Saya sebenarnya sudah bertahun-tahun terbiasa dengan
rasa sakit akibat kambuhnya penyakit saya tersebut. Tetapi yang terjadi selama
sebulan yang lalu benar-benar membuat saya tidak bisa melakukan apa-apa selain
hanya berbaring di tempat tidur menahan rasa sakit menyayat yang berlangsung
selama beberapa jam hingga seharian.
Karena sudah tidak
tahan lagi dengan rasa sakitnya, akhirnya saya mengiyakan saran istri untuk
memeriksakan diri ke dokter. Sebenarnya saya sedikit ragu-ragu pergi ke dokter
lagi karena dulu sudah pernah dioperasi dokter bedah. Tetapi istri meyakinkan
saya dengan pertimbangan siapa tahu ada cara baru untuk mengobatinya, maka saya
bersedia periksa ke dokter bedah.
Setelah bertemu dengan
dokter bedah dan beliau memeriksa sakit saya, beliau langsung mengatakan bahwa
untuk bisa sembuh maka harus dioperasi. Beliau menjelaskan proses operasinya
dan menyatakan bahwa sakitnya itu setelah operasi karena nanti luka bekas
operasinya tidak dijahit. Daerah tempat tumbuhnya Fistula dikerok dagingnya,
kemudian diisi dengan kain kasa (tampon) dan diperban. Setiap hari isian kain
kasa diganti dan luka dibersihkan. Ketika proses pembersihan luka dan
penggantian kain kasa itulah yang terasa sangat menyakitkan. Saya harus sabar
menahan rasa sakit tersebut. Dokter menanyakan kembali, apakah saya mau
dioperasi atau tidak? Mau pilih sakit terus atau sakit sebentar (beberapa
Minggu) tapi kemudian sembuh?
Awalnya saya agak
ngeri juga mendengarkan penjelasan dokter tentang proses operasinya. Saya
membayangkan betapa sakitnya nanti pasca operasi. Tetapi karena sudah tidak
tahan lagi dengan penderitaan rasa sakit yang setiap hari menghampiri selama
beberapa tahun ini, maka saya memantapkan diri untuk mau dioperasi. Saya harus
berani menghadapi rasa sakit pasca operasi tersebut demi mengharapkan
kesembuhan dan tidak akan merasakan kesakitan lagi seperti sekarang. Saya harus
berani berkorban mengambil risiko demi kesembuhan saya.
Setelah memutuskan untuk
dioperasi, dokter kemudian meminta saya menjalani tes fistulografi atau Rontgen
Fistula untuk mengetahui kedalaman dan bentuk saluran Fistula yang terjadi.
Saya awalnya mengira fistulografi itu hanya diambil foto Rontgen saja, tetapi
ternyata perkiraan saya keliru. Saat mau dirontgen, ternyata Fistula saya
disuntik untuk memasukan cairan kontras yang dapat terbaca oleh kamera Rontgen.
Beberapa kali Fistula saya disuntik dan terasa sakit saat disuntik. Padahal
saya sedikit trauma dengan jarum suntik karena dulu saat operasi Fistula dengan
bius lokal, rasanya sakit sekali berkali-kali disuntik. Saya masih
terbayang-bayang rasa sakit saat disuntik, dan sekarang kembali saya harus
merasakan nyerinya saat jarum suntik menembus kulit.
H-1 hari operasi,
dokter anestesi datang menemui saya untuk menanyakan besok mau dibius separo
atau bius total. Tapi beliau menyarankan untuk bius separo saja karena lebih
simple dan aman. Setelah beliau menjelaskan kelebihan dari bius separo,
akhirnya saya mau dibius separo walaupun saya masih trauma dengan bius separo
setahun lalu saat operasi batu ginjal. Saat itu, saya merasakan sakit sekali
saat disuntik di tulang belakang. Sampai sekarang rasa sakit disuntik di tulang
belakang masih terbayang-bayang dan menakutkan.
Malamnya saya tidak
bisa tidur nyenyak karena membayangkan besok pagi akan merasakan kembali rasa
sakit saat disuntik di tulang belakang. Saya sedikit stress tapi saya
menguatkan diri harus berani menghadapi rasa sakit tersebut. Perjuangan saya
untuk menghadapi rasa sakit masih panjang karena pasca operasi nanti rasa
sakitnya akan lebih lama sebagaimana penjelasan dokter bedah sebelumnya.
Setelah operasi,
setiap hari perawat RS membersihkan luka bekas operasi dan mengganti kain kasa
yang dimasukan ke dalam rongga luka. Saya merasakan betul betapa sakitnya saat
kain kasa diambil dan dimasukkan kembali kain kasa yang baru ke dalam rongga
luka. Setiap datang waktunya ganti kain kasa, hati saya ketakutan dan trauma
membayangkan rasa sakitnya. Sungguh, saya merasa ini perjuangan yang sangat
berat, setiap hari harus siap menghadapi rasa sakit dan dalam jangka waktu yang
lama. Setiap luka akan dibersihkan perawat, saya meminta istri mendampingi
saya. Istri memeluk kepala saya dan saya memegang erat tangannya saat rasa sakit
yang sangat menyayat menyerang. Muncul sedikit keberanian dan perasaan tenang
saat bisa memegang tangan istri di tengah perasaan takut menghadapi rasa sakit.
Setiap selesai penggantian kasa di luka bekas operasi, badan saya berkeringat,
otot tubuh terasa tegang semua, dan nafas terengah-engah karena beratnya
menahan rasa sakit.
Saat ini sudah hampir
dua Minggu saya menjalani masa perawatan pasca operasi. Alhamdulillah sekarang
rasa sakit ketika penggantian kasa sudah jauh berkurang. Walaupun tetap masih terasa
sakit, tapi rasa sakitnya masih bisa saya toleransi. Memang masih ada cairan
darah yang keluar terus merembes menembus kain perban dan terkadang terasa
nyeri di bagian luka, tetapi saya merasa kondisi kesehatan saya semakin
membaik.
Untuk sementara ini
saya masih bed rest karena belum bisa melakukan aktivitas yang berat. Setiap
hari istri menyiapkan menu makanan bergizi yang mendukung proses penyembuhan
luka. Saya sangat beruntung dan berterima kasih kepada istri tercinta yang
setia mendampingi saya saat di RS dan sangat sabar merawat saya pasca operasi.
Saya berharap dan berdoa semoga waktu pemulihan luka bekas operasi bisa
berjalan cepat dan penyakit yang saya derita bisa benar-benar sembuh. Amin. []
Gumpang Baru, 16 November 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar