Powered By Blogger

Kamis, 29 Agustus 2024

FREE WRITING: MENULIS YANG MENYENANGKAN

 


FREE WRITING: MENULIS YANG MENYENANGKAN

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Menulis merupakan aktivitas yang masih dianggap banyak orang sebagai aktivitas yang berat dan membosankan. Hal itu dikarenakan menulis harus diawali dulu dengan menyiapkan bahan tulisan. Bahan tulisan tersebut bisa dikumpulkan setelah membaca banyak bacaan atau referensi. Jadi menulis bukan hanya menulis saja melainkan menulis dan membaca. Padahal aktivitas membaca juga masih dianggap aktivitas yang berat dan membosankan. Di sinilah terjadi titik temu mengapa menulis dianggap berat karena menulis menjadi akumulasi dari dua aktivitas yang berat, yaitu membaca kemudian menulis. Membaca saja sudah berat, apalagi ditambah harus menuliskannya, makin tambah berat. Demikianlah kurang lebih anggapan masyarakat umum. Oleh karena itu, profesi penulis tidak begitu banyak ditekuni orang. Hanya orang-orang tertentu yang memang memiliki minat yang tinggi pada aktivitas membaca dan menulis saja yang mau menekuni aktivitas menulis.   

            Sebenarnya aktivitas menulis tidaklah sepenuhnya berat. Hal itu tergantung pada apa yang akan ditulis, yang selanjutnya disebut jenis tulisan. Jika tulisan yang mau ditulis adalah jenis tulisan ilmiah, maka jelas pasti membutuhkan referensi-referensi pendukung. Menulis tulisan ilmiah harus diawali dari membaca referensi-referensi ilmiah. Tulisan ilmiah tidak bisa dihasilkan hanya dari berpikir bebas. Jenis tulisan ilmiah sudah memiliki gaya atau pakem tersendiri yang membedakannya dengan gaya atau jenis tulisan lainnya. Maka untuk dapat menghasilkan sebuah tulisan ilmiah memang dituntut sebelumnya harus banyak membaca referensi ilmiah. Tulisan ilmiah memang bukan jenis tulisan yang mudah dan ringan. Menulis ilmiah memerlukan persiapan yang matang dan tentunya juga usaha yang serius. Menulis ilmiah tidak bisa dilakukan sebagai aktivitas sambilan atau sekadar pengisi waktu kosong, tetapi harus direncanakan secara matang dan dipersiapkan bahan-bahan rujukannya.

             Berbeda halnya jika yang akan ditulis adalah jenis tulisan bebas atau menulis bebas (free writing). Menulis bebas memang sangat berbeda dibandingkan dengan menulis ilmiah. Menulis bebas lebih santai dibandingkan dengan menulis ilmiah. Dari segi persiapan juga menulis bebas relatif lebih sederhana dan tidak serumit dibandingkan ketika mau menulis ilmiah. Tetapi walaupun begitu, tidak serta merta setiap orang mampu menulis bebas. Bahkan terkadang orang yang sudah terbiasa menulis ilmiah akan mengalami kesulitan ketika diminta menulis bebas. Hal itu dikarenakan gaya tulisan menulis bebas yang relatif fleksibel sangat berbeda sekali dengan gaya tulisan ilmiah yang terkesan kaku dan kurang bebas dalam mengekspresikan ide gagasan pemikiran.

            Menulis bebas merupakan aktivitas menulis yang mengalir. Menulis bebas terkadang tidak membutuhkan sumber referensi karena bahan tulisan sudah ada di pikiran penulisnya. Menulis bebas juga tidak memerlukan persiapan yang banyak, rumit, dan procedural. Tulisan bebas tidak mengenal urutan subbab sebagaimana tulisan ilmiah. Tulisan bebas juga tidak mengenal aturan komponen apa saja yang harus ada dalam badan tulisan dan urutan penyajiannya seperti apa. Intinya, tulisan bebas adalah tulisan mengalir yang merepresentasikan pemikiran penulisnya. Modal utama untuk menulis bebas hanyalah ada yang dipkirkan oleh sang penulis. Selama sang penulis pikiran ada ide-ide tulisan, maka menulis bebas bisa segera dilakukan dan memperoleh hasil tulisan.

            Jika tulisan ilmiah adalah jenis tulisan yang berat (berat membacanya dan juga berat menulisnya), kebalikannya tulisan bebas adalah jenis tulisan yang ringan dan mudah dilakukan. Modal dasar untuk menulis bebas adalah ada yang dipikirkan. Apapun yang dipikirkan seseorang dapat diubah menjadi sebuah tulisan bebas. Kunci utama keberhasilan menulis bebas adalah pikiran rileks, menuangkan ide pikiran ke dalam bentuk tulisan secara mengalir, dan menulis bisa dimana saja dan kapan saja dilakukan. Menulis bebas tidak terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Menulis bebas adalah aktivitas yang menyehatkan mental manakala dilakukan dengan hati riang gembira dan tanpa tertekan.

             Menulis bebas mampu membebaskan seseorang dari beban pikiran yang mememuhi otak di kepalanya. Ketika seseorang menulis bebas, tak ubahnya ia sedang mengeluarkan semua uneg-uneg dalam kepalanya. Ketika seseorang isi kepalanya dipenuhi dengan berbagai hal yang terus dipikirkannya, maka jika pikiran-pikiran tersebut tidak dikeluarkan dari isi kepalanya maka dapat membuatnya stress. Dan ketika seseorang telah mengalami stress, maka ia tidak akan mampu lagi berpiikir jernih, apalagi memikirkan hal-hal yang besar karena ia telah sibuk dengan segala permasalahan hidupnya yang ada dalam pikirannya yang tak kunjung selesai. Oleh karena itu, seseorang perlu mengurangi beban pikiran yang mengganggu mentalnya tersebut dengan melakukan aktivitas yang dapat mengurangi sebagian isi pikirannya, salah satunya adalah melalui aktivitas menulis, dan aktivitas menulis yang mampu membantunya adalah menulis bebas. Menulis bebas dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan essay popular, puisi, novel, cerita pendek, dan lain sebagainya. Tetapi yang jelas pastinya bukan berupa tulisan ilmiah karena menulis ilmiah bukan tipe menulis yang santai tetapi justru membutuhkan keseriusan.

            Bahan untuk menulis bebas banyak sekali, mulai dari bahan bacaan yang pernah dibaca hingga pengalaman sehari-hari. Pengalaman membaca buku atau bahan bacaan lainnya dapat kita tulis ulang melalui teknik menulis bebas. Apa-apa yang kita ingat setelah membaca suatu bahan bacaan dapat kita tulis ulang dengan teknik menulis bebas menjadi sebuah tulisan dengan gaya kita sendiri. Aktivitas membaca sedikit banyak dapat menjadi modal besar untuk melalukan menulis bebas. Menulis bebas memang aktivitas menulis yang tidak ada batasan topik, tetapi ketika kita terbiasa membaca, maka bahan untuk ditulis akan semakin banyak. Membaca dalam arti harfiah maupun membaca dalam arti lebih luas menjadi modal utama untuk menulis dengan teknik menulis bebas.

            Membaca dalam arti sempit yaitu membaca bahan bacaan seperti buku, koran, novel, cerpen, maupun artikel jurnal ilmiah. Hasil pembacaan terhadap sumber-sumber bacaan tersebut selanjutnya dapat kita ubah kembali menjadi tulisan yang berbeda style. Apapun yang kita ingat dari hasil membaca sumber-sumber bacaan tersebut agar tidak cepat lupa dapat kita abadikan dengan cara ditulis. Sedangkan membaca dalam arti yang lebih luas maksudnya membaca tidak harus dengan indera penglihatan, tetapi bisa juga melalui pikiran ataupun hati. Terkadang kita memikirkan atau merenungkan sesuatu, maka itu dapat kita ubah menjadi sebuah tulisan. Kita dapat membaca situasi di sekeliling kehidupan kita melalui perenungann. Nah, hasil perenungan tersebut juga menjadi bahan untuk membuat sebuah tulisan.

            Membaca baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas keduanya dapat menjadi modal utama untuk menulis. Membaca dan menulis merupakan dua aktivitas yang tidak dapat dipisahkan. Seorang penulis pastilah juga seorang pembaca, walaupun tidak mesti kebalikannya. Walaupun begitu, menulis tetap membutuhkan bahan yang berasal dari aktivitas membaca. Menulis merupakan wujud lanjutan dari membaca karena ketika seseorang sedang menulis, pada hakikatnya ia sedang membaca ulang isi pikirannya dan mengkonversinya menjadi kumpulan teks-teks yang disebut tulisan. Mengubah isi pikiran menjadi tulisan pada hakikatnya adalah proses membaca ulang isi pikiran. Hanya saat seseorang sedang menulis saja akan melakukan aktivitas membaca ulang isi pikiran. Tidak hanya sekadar membaca ulang isi pikiran, bahkan juga mereview kebenaran isi, sistematika, struktur, dan koherensi antar pikiran. Aktivitas seperti ini hanya mungkin terjadi ketika seseorang sedang menulis. Sulit rasanya, walaupun tidak juga dikatakan mustahil, seseorang akan melakukan proses review terhadap isi pikirannya tanpa aktivitas menulis.

            Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka dapat ditarik benang merah adanya hubungan yang sangat erat dan kuat antara aktivitas membaca dan menulis. Menulis bukanlah hanya sekadar kerja fisik, tetapi jauh melebih kerja fisik. Menulis merupakan kerja kompleks antara kerja fisik dan kerja psikis, dan bahkan kerja ruhani. Menulis tidak hanya sekadar menggerakkan jari-jemari memegang pena untuk menulis ataupun mengetuk keyboard komputer untuk menghasilkan tulisan, tetapi juga melibatkan proses berpikir, merenung, menganalisis, mengkritisi, dan mengkreasi. Selain itu juga melibatkan hati nurani (ruhani) untuk menilai apakah sesuatu yang akan ditulisnya tersebut sesuai nilai-nilai kebenaran atau tidak, baik kebenaran menurut Tuhan maupun kebenaran menurut pandangan manusia. Ketiga aspek yaitu fisik, psikis, dan ruhani semuanya berkumpul menjadi satu dan secara simultan bekerja untuk menghasilkan sebuah tulisan yang berkualitas.

            Free writing atau menulis bebas merupakan salah satu alternatif untuk menuliskan secara menyenangkan dan tidak membosankan. Hal itu dikarenakan pada menulis bebas, penulis tidak dibatasi oleh aturan-aturan yang mengurangi kemerdekaannya untuk menulis tema apapun. Dalam free writing penulis memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk menulis tema apa saja yang diinginkan dan disenangi. Teknik free writing dapat dianggap sebagai batu loncatan bagi para penulis pemula yang sedang dalam proses membangun dan menguatkan spirit menulisnya. Nanti ketika kemampuan menulisnya sudah bagus dan spirit menulisnya telah tumbuh dan berkembang dengan kuat, barulah ia dapat beralih ke teknik menulis yang lebih serius dengan tema-tema tertentu yang ditentukan di awal akan menulis ataupun tema dari pihak eksternal seperti penerbit atau surat kabar dan majalah. WaAllahu A’lam bish-shawab. []

 

Gumpang Baru, 22 Agustus 2024

Kamis, 22 Agustus 2024

BELAJAR DENGAN MENGIMITASI

 

BELAJAR DENGAN MENGIMITASI

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini telah dibekali oleh Allah SWT sebuah kemampuan untuk meniru (imitasi). Selama tumbuh berkembang, anak juga melakukan proses belajar mengenal kehidupannya. Si anak akan belajar mengeksplorasi potensi diri dan kemampuan yang dititipkan sang Pencipta pada dirinya.

Berangkat dari pemahaman tersebut di atas, maka memperlihatkan dan/atau memperdengarkan perbuatan-perbuatan baik kepada anak kecil adalah cara yang baik untuk membelajarkan pengetahuan tentang perbuatan baik kepada anak. Karena setiap anak sudah membawa bekal kemampuan meniru apa-apa yang dilihatnya, maka dengan sendirinya anak akan belajar menirukan perbuatan yang diperlihatkan orang tuanya.

Demikian pula dalam mengenalkan ajaran agama kepada anak. Misalnya, bagaimana cara mengajarkan gerakan sholat kepada anak? Bagaimana cara mengajak anak agar mau membaca Al-Quran? Bagaimana cara mengajarkan anak tentang ucapan-ucapan yang baik? Jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah dengan memperlihatkan kemampuan/pengetahuan yang dimaksud kepada anak agar anak melihat sendiri dan secara alami akan menirunya. Ingatlah bagaimana metode Rasulullah Saw dalam mengajarkan sholat kepada para sahabatnya "Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat".

Demikianlah yang sedang kami coba implementasikan pada proses pendidikan bidadari kecil kami. Kami mencoba menggunakan metode pembelajaran Rasulullah Saw ketika mendidik para sahabatnya. Kami mencoba menyediakan lingkungan yang kondusif untuk proses belajar mengimitasi bagi gadis kecil kami. Kami berusaha mengajak gadis kecil kami untuk ikut terlibat di aktivitas yang kami lakukan untuk mengenalkan dan membelajarkan kepadanya.

Seperti ketika kami ingin mengenalkan ibadah sholat kepada gadis kecil kami, maka kami pun membelikan dia mukena dan sajadah lengkap sesuai dengan warna kesukaannya yaitu warna pink. Setiap mau sholat berjamaah, kami mengajak putri kecil kami untuk ikut sholat dan memakaikannya mukena. Demikian pula dengan aktivitas rutin membaca Al-Quran di keluarga kami, si kecil juga ikut-ikutan menirukan gaya kami membaca Al-Quran dengan menggunakan Al-Quran kecil yang dulu sering dibaca papinya ketika muda.

Demikianlah usaha kami dalam membelajarkan ajaran agama kepada putri kecil kami melalui memberdayakan kemampuan mengimitasi yang dimilikinya. Kami sebagai orang tua hanya berusaha menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi proses belajar anak.

Orang tua adalah pendidik pertama bagi anaknya. Oleh karena itu fungsi orang tua sebagai fasilitator, mediator, motivator, maupun inspirator dalam proses pendidikan keluarga harus dimaksimalkan sehingga anak menjalani fungsi perkembangannya secara alami dan maksimal. []

Gumpang Baru, 30 Juli 2020

MENGAJARKAN SHOLAT KE ANAK

MENGAJARKAN SHOLAT KE ANAK

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Dulu ketika awal-awal mempunyai anak, saat anak lanang masih balita, kami sempat bingung dengan pertanyaan, kapan akan mulai mengajarkan anak tentang kewajiban ibadah kepada Tuhannya (Sholat)?. Apakah menunggu sampai anak lanang berusia 7 tahun baru mengajarinya sholat sebagaimana sabda rasulullah Saw? Setelah melalui pertimbangan, akhirnya kami menempuh cara dengan mengenalkan dulu anak dengan gerakan-gerakan sholat melalui aktivitas mendekatkan anak saat kami sholat. Dengan rutin melihat orang tuanya sholat, kami berharap anak lanang akan belajar sendiri meniru-nirukan gerakan sholat.

Seiring berjalannya waktu, sambil membesarkan si kecil anak lanang, akhirnya kami-orang tua baru- menyadari bahwa Allah memangTuhan yang Maha Adil dan Maha Penyayang. DIA menciptakan manusia disertai dengan bekal potensi dan kemampuan untuk belajar sendiri (self-learning) yang melekat pada diri anak. Anak lanang kami yang masih balita ternyata memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengimitasi (meniru) gerakan-gerakan sholat tanpa kami ajari. Si kecil anak lanang kami telah mampu melaksanakan fitrah kehidupannya, ia berhasil melaksanakan tugas perkembangannya melalui aktivitas melihat, meniru, dan kami pun menambahkannya dengan aktivitas membiasakannya.

Maka kami mulai mengenalkan anak lanang dengan aktivitas sholat sejak dia usia balita dengan cara membiasakannya melihat gerakan sholat orang tuanya. Lama-kelamaan anak lanang mulai belajar menirukan gerakan-gerakan sholat. Oleh karena itu, akhirnya sejak sebelum masuk sekolah TK, anak lanang sudah rutin dan terbiasa mengerjakan sholat wajib lima waktu hingga sekarang ketika dia mulai memasuki usia remaja. Alhamdulillah, sejak pertama kali kami mengajaknya mengerjakan sholat ketika dia masih balita hingga sekarang, belum pernah sekalipun dia menolaknya atau berkata malas atau capek. Setiap kami mengajak atau mengingatkan dia untuk sholat, dia segera bergegas mengambil air wudlu.

Demikianlah yang kami lakukan-yang notabene orang tua baru yang sedang mencari pola pengasuhan dan pendidikan keluarga yang tepat untuk anak- untuk mengenalkan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam kepada anak-anak kami. Kami masih terus belajar dan mencari pola yang paling tepat untuk mendidik dan membentuk anak-anak kami memiliki akhlak, adab, dan karakter yang baik. Kami pun sebagai orang tua juga masih terus berupaya belajar bagaimana menjadi sosok orang tua yang baik dan mampu menginspirasi anak-anak kami agar kelak mereka mampu menjalani kehidupannya secara baik dan benar.

Pola pendidikan agama untuk anak di rumah, kami memilih cara moderat dalam mengajarkan nilai-nilai spiritual ke anak-anak kami. Menurut kami, ajaran agama itu harus dibiasakan dan dihayati, bukan didoktrinasikan. Anak harus dibiasakan menjalankan kewajiban ibadahnya sejak kecil sehingga menjadi habit. Anak harus dilatih terbiasa menikmati proses mengenal agamanya. Kami memilih tidak banyak menceramahi anak tentang ajaran Islam, tetapi kami lebih memilih dengan cara memberikan contoh bagaimana akhlak dan perilaku seorang muslim. Kami lebih memilih mendampingi anak mengenal sholat dan membiasakannya sejak anak masih kecil.

Pun demikian, metode dan pendekatan yang sama juga sedang kami terapkan pada anak kedua kami yang saat ini memasuki usia ke 21 bulan, si bidadari kecil kami. Kami mulai mengenalkan gerakan-gerakan sholat kepadanya. Kami mulai mengenalkan si kecil dengan sajadah untuk alas sholat. Kami mulai mengenalkan si kecil aktivitas berdoa setelah sholat.

Kami belum tahu apakah metode yang dulu kami pakai untuk kakaknya juga tepat untuk si bidadari kecil, karena karakter dan sifat setiap anak berbeda-beda dan unik. Setiap anak adalah istimewa dan membawa kekhasannya masing-masing. Tapi yang jelas yang kami amati, sejauh ini pendekatan yang kami terapkan untuk bidadari kecil kami menunjukkan progres yang baik. Seperti pada gambar di atas, bidadari kecil kami sedang mengimitasi dan mempraktikan secara autodidak gerakan-gerakan sholat. Kami hanya memberikan contoh dan membiasakan si kecil melihat sendiri bagaimana orang tuanya sholat. Hal ini sebagaimana metode yang dipergunakan Rasulullah Saw ketika mengajarkan sholat kepada para sahabatnya dengan sabdanya, "Sholatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan sholat" (HR. Bukhori). WaAllahu a'lam.

*) Hanya pengalaman pribadi.

JUARA MEMASAK TINGKAT RT

JUARA MEMASAK TINGKAT RT

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Rekam jejak pencapaian diri perlu dicatatkan. Tidak peduli prestasi yang dicapai tersebut tingkat apa, apakah tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Apapun tingkatnya, prestasi diri harus disyukuri dan diapresiasi. Termasuk juga prestasi yang mungkin tidak bergengsi, seperti prestasi juara memasak tingkat RT misalnya.

Di RT saya, setiap memperingati HUT kemerdekaan RI selalu diadakan lomba bergengsi khusus untuk bapak-bapak, yaitu lomba memasak. Mengapa dikatakan lomba bergengsi? Karena memasak itu umumnya tidak banyak dikuasai bapak-bapak. Di masyarakat kita masih ada anggapan bahwa memasak itu keahlian ibu-ibu. Nah, untuk menepis anggapan keliru tersebut bahwa bapak-bapak juga harus bisa memasak dan tahu seluk beluk urusan dapur, maka RT mengadakan lomba memasak khusus untuk bapak-bapak dan wajib diikuti oleh setiap bapak-bapak warga RT.

Sejak menjadi warga perumahan Gumpang Baru RT 10 RW 02 yang memiliki tagline "Guyup rukun, sehat, bahagia selamanya", saya sudah empat kali mengikuti lomba memasak untuk bapak-bapak dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI. Dan selama mengikuti empat kali lomba memasak khusus bapak-bapak tersebut, Alhamdulillah saya selalu mendapat juara.

Saya memang dalam kehidupan sehari-hari tidak memasak, tetapi istri yang memasak. Tetapi untuk urusan memasak menu-menu tertentu saya bisa. Saya juga sedikit tahu tentang jenis-jenis bumbu dapur, dan juga mampu mengolahnya menjadi racikan bumbu. Menggunakan beberapa alat dapur saya juga bisa. Darimana saya memiliki kemampuan urusan dapur tersebut? Semuanya saya peroleh saat muda dulu. Dulu waktu remaja saya biasa membantu memasak di dapur. Bahkan beberapa kali memasak sendiri.

Berbekal kemampuan dan keterampilan memasak waktu masa muda dulu tersebut, saya berani ikut lomba memasak tingkat RT. Dan ternyata hasilnya tidak mengecewakan. Selama empat kali (empat tahun) mengikuti lomba memasak khusus bapak-bapak di RT dan selalu berganti-ganti pasangan tim, saya pernah meraih juara 1 sebanyak 2 kali dan meraih juara 2 juga sebanyak 2 kali. Jadi boleh dikatakan selama empat tahun saya menjadi juara bertahan, walaupun peringkatnya turun dari juara 1 ke juara 2. Tetapi selama empat tahun berturut saya selalu menjadi juara memasak tingkat RT.

#Laki-laki juga harus bisa masak

MEMELIHARA SPIRIT MENULIS

 


MEMELIHARA SPIRIT MENULIS

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

Menulis bukanlah aktivitas yang mudah dilakukan. Menulis memang berat bagi kebanyakan orang. Tetapi aktivitas menulis bisa menjadi mudah dan ringan dilakukan manakala dilakukan secara rutin. Segala aktivitas jika dilakukan secara rutin dan terus-menerus akan menjadi terasa ringan. Demikian pula dengan aktivitas menulis, perlu ke-ajeg-an dan komitmen tinggi untuk mampu menjadi seorang penulis. Menulis membutuhkan kemauan dan kemampuan. Antara kemauan dan kemampua, maka factor kemauan yang lebih utama. Seseorang yang mampu menulis tapi tidak ada kemauan untuk menulis, maka tidak akan menghasilkan tulisan. Sementara orang yang tidak mampu tetapi memiliki kemauan untuk menulis, maka ia akan semangat belajar menulis dan akhirnya akan mampu menghasilkan tulisan.

Untuk mampu menulis secara rutin dan terus-menerus memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Kuncinya hanya pada kemauan untuk secara kontinyu menulis setiap waktu. Komitmen mau menulis setiap waktu (hari, minggu, bulan) menjadi kunci kesuksesan seseorang dalam menekuni dunia kepenulisan. Menulis tidak membutuhkan banyak sarana prasarana, hanya kemauan dan kemampuan untuk action menulis saja yang dibutuhkan. Media menulis bisa bermacam-macam, misalnya seperti buku tulis, handphone, laptop, tablet, dan lain sebagainya.

 Upaya memelihara spirit menulis dapat dilakukan melalui berinteraksi dengan para penulis lain. Dengan berinteraksi dengan para penulis lain yang produktif menulis, maka aura spirit menulisnya akan mempengaruhi diri kita. Dengan bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang rutin menulis, maka kita juga akan tertulari kebiasaan menulisnnya. Cara berinteraksi dengan para penulis lain yang produktif menulis adalah melalui bergabung ke dalam komunitas menulis yang aktif menulis. Di dalam komunitas menulis yang hidup, maka suasana dan semangat menulis para anggota komunitas akan mendorong setiap anggotanya juga ingin mampu produktif menulis.

Sahabat Pena Kita (SPK) yang sebelumnya bernama Sahabat Pena Nusantara (SPN) merupakan salah satu komunitas menulis yang masih eksis hingga sekarang. Komunitas menulis Sahabat Pena Kita (SPK) telah berusia lima tahun lebih dan telah berbadan hukum sesuai surat keputusan dari Kemenkumham RI. Di usinya yang dibilang masih muda tersebut, grup SPK telah menunjukkan hasil kerja nyata. Sudah cukup banyak buku yang telah ditulis oleh para anggota grup SPK dan menerbitkannya sehingga bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Selain buku-buku karya anggota SPK yang diterbitkan dalam bentuk buku antologi, para anggota grup SPK juga banyak yang menerbitkan buku tunggal.

Grup SPK terus berusaha mendorong dan memfasilitasi para anggotanya untuk terus belajar menulis dan meningkatkan keterampilan menulisnya melalui program menulis Setoran Wajib dan Setoran Sunnah. Program menulis rutin setiap bulan berupa Setoran Wajib dan Setoran Sunnah merupakan wujud nyata usaha pengurus grup SPK untuk mendorong, melatih, dan memfasilitasi seluruh anggota grup SPK untuk disiplin dan konsiten menulis setiap bulannya. Dengan membiasakan dan melatih diri menulis secara rutin dan disiplin menulis minimal satu artikel tulisan setiap bulannya, diharapkan setiap anggota grup SPK akan mampu memelihara spirit menulisnya.

Demikianlah yang diharapkan para sesepuh grup SPK agar setiap anggota grup SPK bisa menjaga spirit menulisnya dengan disiplin dan komitmen mengirimkan tulisan setoran wajibnya. Hal itu dikarenakan spirit menulis itu bisa mengalami fluktuasi setiap saat. Terkadang semangat menulis seseorang bisa begitu tinggi sehingga bisa menghasilkan banyak tulisan dalam waktu yang singkat, tetapi terkadang juga spirit menulis mengalami kemunduran sehingga bahkan dalam sebulan pun tidak mampu menghasilkan satu tulisanpun. Inilah yang sangat ditekankan oleh para pembina (sesepuh) grup SPK agar semua anggota grup SPK berusaha menjaga spirit menulisnya dengan melalui komitmen mengirimkan tulisan setoran wajib setiap bulannya.

            Sejak bergabung menjadi anggota grup SPK di tahun 2019, saya berusaha mematuhi aturan komunitas yaitu komitmen mengirimkan tulisan setoran wajib setiap bulan. Selama menjadi anggota grup SPK, alhamdulilah saya belum pernah mendapat status “pentol merah” yang artinya saya tidak pernah bolos mengirimkan tulisan setoran wajib. Memang sejak awal memutuskan bergabung di grup SPK, saya telah memantapkan diri untuk memanfaatkan komunitas menulis sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan menulis dan mendisiplinkan diri agar bisa rutin menulis. Bergabung di grup SPK saya pergunakan sebagai sarana memelihara spirit menulis yang sering turun. Dengan berada di lingkungan yang kondusif di antara para penulis, saya akan termotivasi untuk terus belajar menulis sehingga saya bisa lebih disiplin dalam menulis setiap waktu.

            Salah satu permasalahan yang dihadapi semua komunitas menulis adalah bagaimana mendorong anggota komunitas mau disiplin menulis. Hal itu dikarenakan dalam sebuah komunitas menulis, ada beragam karakter anggotanya. Ada anggota yang sudah bisa rutin menulis, ada anggota yang menulis hanya ketika mood saja, ada anggota yang menulis jika dimotivasi, dan ada anggota yang jarang menulis alias hanya sebaga silent reader. Berbagai karakter anggota yang berbeda-beda tersebut harus mendapat perhatian khusus dari pengurus komunitas. Pengurus komunitas harus berupaya mendesain program komunitas yang dapat mendorong dan memfasilitasi anggota komunitas bisa belajar menulis dan akhirnya terbangun spirit menulisnya. Target akhir yang diharapkan adalah setiap anggota mampu disiplin menulis setiap waktu dalam kondisi apapun, baik ketika ada mood atau tidak, dan ketika kondisi sibuk maupun longgar.

            Dalam lingkup komunitas menulis grup SPK, pengurus grup SPK terus berusaha memotivasi dan memfasilitasi anggota untuk produktif menulis. Pengurus grup SPK menyadari bahwa membangkitkan dan memelihata spirit menulis memanglah tidak mudah. Memotivasi diri sendiri untuk menulis tidaklah ringan. Oleh karena itu, perlu ada stimulus eksternal untuk membantu membangkitkan spirit menulis para anggota grup. Karena masing-masing anggota memiliki bakat dan minat tersendiri terhadap genre tulisan, maka mendesain program menulis yang mengakomodir berbagai genre tulisan adalah sebuah langkah yang sangat  baik.

Dengan mendesain program menulis setoran wajib yang mengakomodir karakteristik berbagai genre tulisan anggota, maka diharapkan grup SPK akan semakin bergeliat dalam membumikan budaya literasi menulis dan membaca. Dalam program setoran wajib yang didesain oleh pengurus SPK sekarang di bawah kepimpinan ibu Dr. Hitta Alfi Muhimmah, M.Pd. yang mengakomodir karakteristik genre tulisan anggota grup dengan menyediakan fasilitas tulisan mandiri sebagai tulisan setoran wajib, maka diharapkan semua anggota grup SPK kembali bangkit semangat menulisnya. Jika sebelumnya ada anggota yang tidak mengirim tulisan setoran wajib dikarenakan alasan tema setoran wajib sulit atau kurang dikuasai, maka sekarang anggota diperbolehkan mengirimkan tulisan sesuai genre yang dikuasai sebagai tulisan setoran wajib.

Setelah bergabung di grup SPK selama lima tahun ini, saya melihat fenomena bahwa tidak semua anggota grup serius menekuni aktivitas menulis. Hal ini terlihat dari rekapan data setoran wajib setiap bulan yang mana masih ada anggota grup yang tidak mengirimkan tulisan setoran wajib. Menurut pendapat saya, ketika seseorang memutuskan diri untuk bergabung ke dalam sebuah komunitas menulis, maka seharusnya ia tidak hanya pasif dengan menjadi silent reader saja, melainkan harus aktif meningkatkan kemampuan menulisnya dengan rutin belajar menulis. Hanya dengan latihan menulis terus-menerus dan menjaga komitmen sebagai anggota grup SPK untuk disiplin mengirimkan tulisan setoran wajib, maka kemampuan menulis akan semakit meningkat. Dengan desain program menulis wajib yang semakin mengakomodir karakteristik anggota grup SPK, semoga komunitas menulis Sahabat Pena Kita (SPK) tetap eksis dan semakin menunjukkan kiprahnya dalam membudayakan literasi menulis dan membaca di bumi nusantara. Amin. []

 

Surakarta, 30 Juli 2024

Minggu, 04 Agustus 2024

TEKNOLOGI AI (ARTIFICIAL INTELLIGENCE) UNTUK MENULIS: PELUANG ATAU ANCAMAN TERHADAP TRADISI LITERASI DI INDONESIA?

 


TEKNOLOGI AI (ARTIFICIAL INTELLIGENCE) UNTUK MENULIS:
PELUANG ATAU ANCAMAN TERHADAP TRADISI LITERASI DI INDONESIA?

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Beberapa waktu yang lalu, dunia akademik di Indonesia dihebohkan oleh berita tentang  oknum seorang profesor di sebuah kampus di Indonesia yang memiliki karya ilmiah sebanyak 160 lebih judul artikel jurnal selama kurun waktu sekitar 3 bulan di tahun 2024. Data tersebut diketahui berdasarkan profil Google Scholar professor tersebut (Ernis, 2024). Banyak orang kaget dan terbelalak dengan pencapaian sang professor tersebut. Orang-orang heran dan sulit menerima fakta tersebut, yakni bagaimana mungkin ada orang yang mampu menulis satu artikel ilmiah dalam waktu kurang dari sehari.


Di lain pihak, muncul fenomena baru di dunia akademik yang sangat kontras dengan kejadian pada professor tersebut. Fenomena yang sekarang sedang tren adalah bermunculannya pelatihan, training, workshop penulisan artikel jurnal ilmiah maupun buku dalam waktu yang sangat singkat melalui penggunaan aplikasi AI (Artificial Intelligence). Dalam iklannya, dijanjikan peserta akan mampu menulis artikel jurnal ilmiah dalam waktu beberapa jam, atau mampu menulis buku hanya dalam waktu beberapa hari saja (Ross, 2023). Dan yang menjadi narasumber workshop atau pelatihan menulis tersebut juga para akademisi (orang yang memiliki pendidikan tinggi) yang bergelar doktor dan bahkan professor (Bersama, 2023).


Munculnya dua fenomena di dunia akademik yang kontradiktif tersebut sepertinya kurang mendapatkan perhatian serius dari kalangan akademisi. Terbukti semakin banyak kampus-kampus yang menyelenggarakan workshop atau pelatihan penulisan artikel ilmiah berbasis AI. Salah satu keunggulan aplikasi AI yang diinginkan oleh penyelenggara adalah dosen mampu menghasilkan karya ilmiah dalam waktu yang singkat sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas karya ilmiah dosen dan kampus. Di sinilah faktor kecepatan menghasilkan karya ilmiah yang ingin dituju oleh dunia perguruan tinggi dan faktor tersebut ada di aplikasi AI.


Menurut pandangan penulis yang masih tahap belajar ini, ada keanehan dari munculnya dua fenomena tersebut. Di satu sisi para akademisi menghujat atau minimal menyangsikan kecepatan produktivitas oknum professor yang mampu menghasilkan sedikitnya 160 judul makalah ilmiah dalam waktu sekitar tiga bulan. Tetapi di sisi lain, banyak akademisi dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pelatihan penggunaan teknologi AI untuk mempercepat penulisan artikel ilmiah dalam waktu singkat dan endingnya untuk meningkatkan jumlah produktivitas karya ilmiah dosen-dosen di kampusnya.


Dua kejadian atau fenomena tersebut sangat kontradiktif dalam pandangan penulis karena pada kejadian oknum professor, para akademisi seolah-olah melupakan kemungkinan penggunaan teknologi AI oleh sang professor (dan alternatif kemungkinan lainnya) dan menuduhnya tidak masuk akal dengan produktivitas karya ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi pada fenomena kedua, perguruan tinggi dan para akademisi mendewa-dewakan teknologi AI sebagai dewa penolong untuk mendongkrak jumlah produktivitas karya ilmiah yang dihasilkan dosen-dosennya. Apakah ini bukan sebuah keanehan cara berpikir?


Dari dua kejadian atau fenomena di dunia akademi di atas, penulis menyoroti terkait dengan masih rendahnya tradisi dan budaya menulis di kalangan akademisi di Indonesia. Ketika produktivitas hasil karya tulis dosen-dosen di perguruan tinggi masih rendah, ternyata para pemangku kebijakan di beberapa kampus memilih untuk menggunakan teknologi AI untuk membantu mendongkrak jumlah publikasi ilmiah. Bukan sebalinya mendorong dan memotivasi para akademisi untuk meningkatkan motivasi dan semangat menulisnya. Tetapi justru jalan yang dipilih adalah melalui cara instan dengan mengandalkan teknologi AI.


Menurut pandangan penulis, cara yang ditempuh oleh beberapa pimpinan perguruan tinggi dalam mencari solusi bagaimana cara meningkatkan jumlah publikasi dan tingkat produktivitas menulis dosen dengan menggunakan teknologi AI adalah sebuah kemunduran dalam cara berpikir. Mengandalkan kecepatan teknologi AI untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah tanpa disertai dengan peningkatan semangat dosen menulis secara alami hanya akan menciptakan masalah baru. Masalah lama yaitu masih rendahnya tradisi membaca dan menulis di kalangan akademisi, sekarang akan ditambah dengan masalah menggunakan cara instan untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah. Penggunaan teknologi AI untuk menulis artikel ilmiah maupun buku riskan terhadap terjadinya tindak plagiarism dan menurunkan kualitas kemampuan menulis. Memang jumlah publikasi ilmiah bisa mengalami kenaikan yang luar biasa dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi AI, tetapi potensi kejadian yang menimpa oknum professor di atas dapat mungkin terulang kembali dan bahkan terjadi secara masif dan terstruktur. Bayangkan jika dosen-dosen dapat menghasilkan satu judul artikel ilmiah yang siap dipublish ke jurnal dalam hitungan beberapa jam saja berkat bantuan teknologi AI, betapa mungkinnya jumlah artikel publikas ilmiah akan meningkat tajam. Tetapi potensi terjadinya kemiripan artikel-artikel ilmiah yang dihasilkan teknologi AI belum mendapat perhatian serius.


Masalah masih rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia bukanlah rahasia lagi. Sudah banyak hasil penelitian maupun berita surat kabar yang menyoroti rendahnya tingkat literasi warga Indonesia. UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa (Devega, 2017).


Berdasarkan uraian alur berpikir tersebut di atas, maka penggunaan teknologi AI untuk membantu kecepatan menulis dengan tujuan akhir untuk mendongkrak jumlah publikasi ilmiah dan meningkatkan tingkat produktivitas para akademisi adalah cara yang kurang tepat dan berpotensi membahayakan upaya menghidupkan tradisi literasi di Indonesia. Usaha yang meningkatkan produktivitas sivitas akademika dalam menghasilkan publikasi karya ilmiah harusnya dengan meningkatkan kualitas SDMnya dulu, bukan mengandalkan kecaggihan teknologi AI. Langkah terpenting yang harusnya dilakukan oleh para pemangku kebijakan (pimpinan institusi pendidikan tinggi) adalah mendorong, memotivasi, memfasilitasi para akademisi untuk terus berkarya dan berkreasi dalam menghasilkan karya-karya publikasi dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hasil karya para akademisi. Dengan cara demikian, diharapkan iklim dan kualitas menulis akademisi semakin baik sehingga produktivitasnya meningkat dan pada akhirnya jumlah publikasi yang dihasilkan para akademisi di Indonesia juga dapat meningkat tajam. []
 
Gumpang Baru, 28 Mei 2024
 
 
Daftar Referensi
Bersama, I. (2023, May 10). Workshop Memanfaatkan Artificial Intelligence (AI) untuk Menulis Artikel Ilmiah Bebas Plagiasi | LEKANTARA -. Retrieved May 27, 2024, from https://ilmubersama.com/2023/05/10/workshop-memanfaatkan-artificial-intelligence-ai-untuk-menulis-artikel-ilmiah-bebas-plagiasi-lekantara/

Devega, E. (2017, October 10). TEKNOLOGI Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos. Retrieved May 27, 2024, from Website Resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI website: http:///content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media

Ernis, D. (2024, April 15). Hasil Turnitin Karya Ilmiah Dekan Unas Kumba: 96-97 Persen Mirip dengan Artikel Lain. Retrieved May 27, 2024, from Tempo website: https://nasional.tempo.co/read/1856866/hasil-turnitin-karya-ilmiah-dekan-unas-kumba-96-97-persen-mirip-dengan-artikel-lain

Ross, C. (2023, March 2). How to Write an Entire Book in 3 Days using A.I. Retrieved May 27, 2024, from Medium website: https://medium.com/@charles-ross/how-to-write-a-book-in-3-days-using-a-i-6621aa2b0120

Postingan Populer