Powered By Blogger

Senin, 28 Oktober 2024

MANAJEMEN WAKTU MENULIS

 


MANAJEMEN WAKTU MENULIS

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 


 Manusia memiliki derajat yang istimewa dibandingkan makhluk lain. Keistimewaan manusia yang diberikan Allah SWT adalah berupa akal. Akal adalah nikmat Allah SWT yang hanya diberikan kepada manusia. Akal inilah yang mampu membuat derajat manusia tinggi di atas derajat malaikat atau justru di bawah derajat binatang. Semuanya tergantung bagaimana manusi mempergunakan akalnya.

Akal merupakan organ tubuh manusia yang berguna untuk berpikir. Melalui proses berpikir, manusia mampu berkreasi dan berinovasi mengembangkan ilmu pengetahuan dan menciptakan berbagai teknologi maju. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan manusia berdampak positif pada kesejahteraan umat manusia.

Kemampuan berkreasi dan berinovasi akhirnya menjadi parameter kemajuan peradaban manusia di dunia. Bangsa yang kreatif dan terus berinovasi akan tumbuh berkembang menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Sebaliknya, bangsa yang malas berkreasi dan miskin inovasi akan menjadi bangsa yang terbelakang, miskin, dan akhirnya akan hilang.

Sejarah telah mencatat bagaimana suatu bangsa yang dahulunya hebat dan memiliki peradaban maju tetapi sekarang tidak menampakkan bekas-bekas kehebatannya. Sebaliknya, sejarah juga mencatat suatu bangsa yang dahulunya tidak dikenal tetapi sekarang menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Semuanya terjadi karena berkaitan dengan daya kreasi dan kemampuan berinovasi dari bangsa-bangsa tersebut.

Peradaban dibangun dari pemikiran-pemikiran kreatif dan semangat berinovasi yang tidak mengenal lelah. Pemikiran-pemikiran brilian yang visioner dan berorientasi kemajuan harus diabadikan. Media untuk mengabadikan pemikiran-pemikiran yang jenius dan brilian adalah melalui tulisan.

Para pemikir kemajuan peradaban manusia harus mau dan mampu menuliskan ide-ide dan gagasannya agar dapat dibaca orang lain. Para pemikir kemajuan peradaban tersebut dapat berkolaborasi dengan para ahli dari berbagai bidang keilmuan untuk menerjemahkan ide gagasannya menjadi karya nyata. Setelah menjadi karya nyata, barulah ide gagasan tersebut dapat dinikmati oleh banyak orang dan menjadi bukti kemajuan peradaban. Tulisan adalah bukti sejarah. Menulis adalah kerja peradaban.

Menulis adalah sebuah kemampuan yang belum tentu setiap orang memilikinya. Menulis bukanlah kemampuan atau bakat bawaan sejak lahir, melainkan dapat dilatih dan dipelajari. Walaupun banyak teori tentang cara menulis, tetapi faktor terpenting untuk bisa menulis adalah kemauan untuk menulis. Tidak sekadar mau menulis saja, tetapi segera menulis.

Pada umumnya, orang kesulitan menulis karena bingung mau menulis apa. Ia tidak mempunyai ide tulisan. Ketika seseorang tidak punya ide yang akan ditulis, maka pasti mengalami kesulitan. Memiliki ide tulisan merupakan komponen utama dalam dunia menulis. Oleh karena itu, sebelum memulai menulis harus mengumpulkan sebanyak mungkin ide-ide yang akan ditulis.

Banyak orang kesulitan menemukan ide tulisan. Banyak orang yang bingung bagaimana cara mencari ide tulisan. Banyak orang yang belum tahu bagaimana menemukan ide tulisan. Dan banyak juga orang yang kebingungan dari mana mulai menulis. Bahkan juga ada orang yang kesulitan menentukan kapan waktu terbaik untuk menulis.

Sebenarnya ide tulisan itu mudah didapatkan karena bisa ditemukan di manapun dan kapanpun. Ide tulisan itu bertebaran di mana-mana. Syarat utama untuk mudah menemukan ide tulisan adalah melatih kepekaan pikiran untuk membaca permasalahan di lingkungan sekitar. Dari hal-hal sederhana yang kita lihat bisa kita jadikan sebagai bahan tulisan. Atau bisa juga kita membiasakan diri untuk merenungkan segala hal yang kita lihat, alami, atau pikirkan.

Ide tulisan dapat kita temukan di mana saja. Untuk tema-tema ringan, kita bisa mengangkat kejadian-kejadian sehari-hari yang terjadi di sekitar kita atau yang kita lihat menjadi ide tulisan. Untuk tema-tema berat, kita bisa membaca sumber-sumber referensi kredibel untuk menemukan ide tulisan. Ketika baru mau memulai menulis (penulis pemula), kita bisa mengawali dengan menulis peristiwa sehari-hari. Ternyata selain faktor tidak punya ide, kesulitan orang menulis adalah tidak mampu mengelola waktu untuk menulis.

Waktu menulis itu juga sebenarnya bebas kapanpun kita mau menulis. Setiap orang bisa menyisihkan sebagian waktunya di antara kesibukan aktivitas rutin dan waktu bekerja untuk menulis. Menulis bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun, serta menggunakan alat apapun seperti buku tulis, lembaran kertas, computer, dan smartphone. Terserah masing-masing orang memilih mana yang paling nyaman untuk menulis.

Terkait kesulitan menemukan ide tulisan, bisa dimulai dari tema kehidupan sehari-hari. Menulis tema kehidupan sehari-hari memang yang paling mudah dan ringan dilakukan. Tetapi kita harus hati-hati jangan sampai kita terjebak pada hanya sekadar menceritakan ulang suatu peristiwa. Alangkah baiknya jika kita juga menambahkan analisis pemikiran kita dan manfaat dari tulisan kita bagi pembaca. Walaupun hanya sekadar menceritakan peristiwa yang kita lihat, sebaiknya dalam tulisan kita juga menambahkan pesan-pesan tersirat dari peristiwa yang kita ceritakan.

Setiap tulisan di samping mengandung pesan-pesan tersurat yang langsung ditemukan pembaca ketika membaca tulisan kita, alangkah baiknya jika kita juga mampu memasukkan pesan-pesan tersirat sehingga pembaca mendapatkan manfaat lebih dari membaca tulisan kita.

Tulisan yang baik adalah tulisan yang memaparkan ide gagasan dan pemikiran orisinil penulisnya. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan jumlah proporsi antara tulisan sendiri dengan kutipan tulisan orang lain. Jangan sampai tulisan yang kita buat justru dominan berisi kumpulan kutipan-kutipan tulisan orang lain sedangkan tulisan yang merupakan ide gagasan pemikiran orisinil kita sendiri justru minimalis.

Mengutip tulisan atau ide, gagasan dan pendapat orang lain boleh-boleh saja dilakukan seorang penulis dalam tulisannya, dan bahkan terkadang mengharuskan penulis untuk mengutip pendapat atau teori orang lain untuk mendukung ide gagasan pemikirannya. Tetapi penting untuk harus tetap menjaga jumlah proporsinya dimana proporsi tulisan ide gagasan pemikiran sendiri yang harus dominan karena tulisan tersebut akan diklaim sebagai karyanya. []

 

Gumpang Baru, 20 Oktober 2024

Sabtu, 05 Oktober 2024

KESALEHAN SPIRITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA


KESALEHAN SPIRITUAL DAN KESALEHAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Jika kita perhatikan kondisi keberagamaan umat Islam saat ini (khususnya di Indonesia), maka kita pasti sepakat menyimpulkan bahwa semangat beragama masyarakat saat ini semakin baik. Masyarakat saat ini telah mengalami peningkatan dalam pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa indikator seperti semakin banyaknya jumlah muslimah yang mengenakan pakaian hijab, meningkatnya semangat kaum muslim memanjangkan jenggot, meningkatnya kesadaran umat Islam untuk menghafalkan Al-Quran, meningkatnya jumlah tempat-tempat ibadah (masjid dan mushalla) yang dibangun, munculnya sejumlah ustadz-ustaz muda yang berdakwah menyebarkan ajaran Islam, dan lain sebagainya. Semua fenomena ini menunjukkan bahwa ghirah (semangat) beragama masyarakat Indonesia semakin meningkat. Dan hal ini sangat patut untuk kita syukuri. Alhamdulillah.

Fenomena lain yang layak untuk kita syukuri adalah bahwa setiap tahun ratusan ribu umat Islam di Indonesia berangkat menunaikan ibadah haji. Daftar tunggu untuk keberangkatan ibadah haji juga semakin lama (sudah mencapai 20 tahun) karena membludaknya umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji. Fenomena membludaknya jumlah calon jamaah haji menunjukkan adanya korelasi bahwa tingkat perekonomian umat Islam di Indonesia telah baik dan terus meningkat baik. Kondisi seperti ini layak untuk disyukuri karena menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia hidupnya semakin sejahtera dan berkecukupan. Meningkatnya jumlah calon jamaah haji juga menunjukkan semakin tingginya kesadaran spiritual umat Islam di Indonesia. Apakah hipotesis seperti ini benar? Apakah meningkatnya kesadaran beragama umat Islam di Indonesia telah berdampak positif terhadap kualitas kehidupan umat Islam secara luas? Apakah ada data-data yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan ini?

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa, dan 87,34%-nya adalah beragama Islam [1]. Jadi umat Islam merupakan umat mayorits terbesar dibandingkan dengan umat pemeluk agama lain. Artinya dari perbandingan jumlah pemeluk agama di Indonesia, maka mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam. Sementara itu, data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyatakan bahwa potensi penerimaan zakat di Indonesia tahun 2015 mencapai 286 triliun rupiah. Suatu angka nominal yang sangat-sangat besar sekali. Tetapi sayangnya, realisasi penerimaan zakat di Indonesia baru 3,7 triliun rupiah atau hanya sekitar 1,3 % dari potensinya [2]. Data ini cukup mencengangkan karena data ini seolah-olah menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat muslim di Indonesia untuk membayar zakat masih rendah. Sementara data jumlah jamaah haji Indonesia menunjukkan fenomena yang bertolak belakang atau berseberangan dengan fenomena data Baznas yaitu bahwa setiap tahun jumlah jamaah haji Indonesia mencapai 221 orang dan lebih dari 1,2 juta muslim Indonesia melaksanakan ibadah umrah setiap tahunnya [3]. Kedua data tersebut menunjukkan bahwa ada sesuatu permasalahan yang cukup penting untuk ditelaah dan segera dicari solusi pemecahan permasalahan tersebut.

Data kesenjangan jumlah potensi penerimaan zakat dan realisasi penerimaannya dan data jumlah jamaah haji dan umrah setiap tahun hanyalah sebagian kecil dari permasalahan umat Islam di Indonesia. Masih banyak permasalahan-permasalahan umat Islam yang perlu dicari solusinya dalam rangka memperbaiki pola kehidupan beragama di masyarakat. Munculnya fenomena kesenjangan antara meningkatnya kesadaran spiritual (fenomena penggunaan simbol-simbol Islam seperti pakaian hijab, memelihara jenggot, olah raga naik kuda, kegiata memanah, dan lain sebagainya) dengan masih rendahnya kesadaran kepedulian sosial (masih banyaknya jumlah umat Islam yang miskin, sedikitnya jumlah penerimaan zakat, masih menjamurnya para pengemis di jalan-jalan raya, dan lain sebagainya) menunjukkan bahwa ada fenomena pemahaman yang “salah” terhadap ajaran Islam. Islam yang sebenarnya bersifat rahmatan lil’alamin, yakni bermanfaat bagi seluruh alam melalui perilaku dan akhlak para pemeluknya ternyata belum tampak secara signifikan di dalam perikehidupan sehari-hari. Masih banyak dijumpai di masyarakat adanya kesenjangan yang sangat jauh di tingkat perekonomian antar umat Islam dan masih terdapat jurang pemisah yang nyata antara umat Islam golongan aghniya dengan umat Islam golongan dhuafa.

Zakat sebagai sebagai salah salah rukun Islam yang dapat dipandang sebagai solusi atas permasalahan perekonomian umat Islam dalam praktiknya ternyata belum mampu menjadi solusi yang jitu. Hal ini kalau dikaitkan dengan data dari Baznas tentang masih sangat kecilnya penerimaan zakat dari umat Islam yang terkena hukum wajib berzakat. Maka dapat dipahami bahwa permasalahan perekonomian umat Islam tidak segera dapat teratasi karena masih rendahnya kesadaran sebagian besar umat Islam (golongan wajib zakat) yang masih enggan menunaikan kewajibannya membayar zakat (zakat mal).

Selain hipotesis tentang masih rendahnya kesadaran umat Islam yang membayar zakat, data Baznas tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh fakta bahwa belum semua lembaga-lembaga pengelola zakat (lazis) yang terdata secara resmi di Baznas. Hal ini dapat kita lihat bahwa di mana-mana dapat ditemui berbagai macam lembaga atau yayasan yang mengelola/menerima zakat dari umat. Jadi data Baznas tentang masih sangat kecilnya jumlah penerimaan zakat dari potensi yang seharusnya diterima kemungkinan ada dua factor penyebabnya, yaitu memang karena umat Islam masih rendah tingkat kesadarannya untuk membayar zakat atau karena data-data penerimaan zakat di lembaga-lembaga atau yayasan Islam yang belum terdata oleh Baznas. Walaupun begitu, yang pasti permasalahan jumlah penduduk Indonesia yang miskin (yang mayoritas beragama Islam) masih sangat banyak dan perlu segera mendapat solusi pemecahannya.

Permasalahan tingkat perekonomian umat Islam di Indonesia yang mayoritas masih rendah mengindikasikan adanya kesenjangan antara tingkat kesalehan spiritual dengan tingkat kesalehan sosial. Semakin tinggi tingkat kesalehan spiritual seseorang (dapat dilihat dari indiktor simbol-simbol agama yang dipakai dan ritual-ritual ibadah yang dilakukan) seharusnya diiringi dengan semakin tinggi tingkat kesalehan sosial. Semakin agamis (religius) seseorang seharusnya semakin humanis sikapnya dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat. Semakin alim seseorang seharusnya juga semakin santun dan lemah lembut ketika berinteraksi dengan orang lain.

Seorang muslim memiliki dua jenis hubungan yakni hubungan pertama adalah hubungan dengan Allah Swt (hablum minallah) dan hubungan kedua adalah hubungan antara sesamamanusia (hablum minnas). Hubungan pertama akan membentuk kesalehan spiritual sedangkan hubungan kedua akan membentuk kesalehan sosial. Kedua hubungan tersebut seharusnya berjalan secara seimbang, tidak dominan salah satu saja. Setiap umat Islam seharusnya kuat jiwa spiritualnya dan juga kuat jiwa sosialnya. Pentingnya menjaga keseimbangan urusan dunia dan urusan akhirat secara tegas dinyatakan Allah Swt dalam firman-Ny: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia…”(QS. Al-Qashash [28]: 77).

Firman Allah Swt tersebut di atas menganjurkan bahwa setiap umat Islam seharusnya rajin dan khusuk dalam menjalankan ibadah (urusan akhirat), tetapi juga harus rajin dalam berbuat kebaikan dan memberi manfaat bagi sesama manusia (urusan dunia). Dunia adalah jalan menuju akhirat. Dunia adalah sarana untuk mempersiapkan bekal hidup di akhirat. Oleh karena itu, sebenarnya kebaikan yang kita lakukan sewaktu hidup di dunia ini adalah bekal untuk hidup di akhirat kelak. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa khairunnas anfa’uhum linnas yang artinya sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Hadis ini dapat dipahami bahwa seseorang itu dikategorikan baik bukan karena rajinnya ia beribadah tetapi dilihat dari seberapa banyak ia memberi manfaat bagi orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya permasalahan perekonomian umat Islam karena masih adanya semacam “kesalahpahaman” sebagian umat Islam dalam memahami ajaran Islam. Ada sebagian umat Islam yang menganggap bahwa Islam hanya berkaitan dengan hidup di akhirat. Ada sebagian umat Islam yang hanya mengejar kesalehan spiritual (beribadan untuk menyiapkan bekal hidup di akhirat) dan mengesampingkan kesalehan sosial (berbuat baik dan memberi manfaat bagi sesame manusia). Solusi atas permasalah perekonomian umat Islam adalah gerakan menyadarkan umat Islam bahwa Islam memerintahkan menjaga keseimbangan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Perlu terus digalakkan kesadaran umat Islam untuk membentuk dirinya menjadi pribadi-pribadi yang saleh spiritual dan saleh sosial. Wallahu a’lam. []


Referensi:

[1] Badan Pusat Statistik, 2010, Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, tersedia online di http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
[2] Badan Amil Zakat Nasional, 2016, Baznas: Pembayaran Zakat di Indonesia Hanya 1,3 Persen dari Potensi, tersedia online di http://nasional.kompas.com/.../baznas.pembayaran.zakat.di...
[3] Republika, 2019, Setiap Tahun 1,4 Juta Jamah Indonesia Pergi Haji dan Umrah, tersedia online di https://www.republika.co.id/.../pnkdqc366-setiap-tahun-14...

Kamis, 03 Oktober 2024

MENULIS UNTUK MEMERDEKAKAN DIRI DAN MENGABDI UNTUK NEGERI

 

MENULIS UNTUK MEMERDEKAKAN DIRI DAN MENGABDI UNTUK NEGERI

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Menekuni dunia kepenulisan bukanlah pilihan yang mudah. Perlu komitmen yang kuat dan konsistensi dalam menjaga spirit menulis. Dunia menulis adalah dunia yang unik dan penuh tantangan. Tidak semua orang yang bisa menulis mampu menekuni aktivitas menulis secara konsisten. Bisa menulis tidaklah cukup menjadi bekal untuk menjadi seorang penulis. Selain bisa menulis, perlu juga kemampuan menjaga komitmen dan konsistensi dalam menjalani aktivitas menulis. Spirit menulis harus terus dijaga dan dipelihara serta dihidupkan setiap waktu melalui konsisten menulis sepanjang waktu. 


Menulis ketika dijalani dengan hati senang dan gembira, maka tidak akan terasa berat dan menyiksa. Banyak orang yang mencoba menulis tetapi jiwanya tidak menyatu dengan aktivitas menulisnya. Mereka menulis bukan karena dorongan dari dalam dirinya, melainkan karena dorongan faktor dari luar dirinya. Ada faktor eksternal yang menjadi alasan mengapa mereka menulis. Walaupun terasa berat dan kurang menikmati aktivitas menulisnya, mereka tetap bertahan menjalaninya karena mereka punya kepentingan dengan faktor eksternal tersebut. Faktor eksternal tersebut wujudnya beragam, misalnya karena tuntutan pekerjaan ataupun untuk  mendapatkan penghasilan. Faktor eksternal seperti itu akan memaksa seseorang untuk tetap menulis walaupun dirinya tidak merasakan kenikmatan saat menulis. Walaupun terpaksa, mereka  tetap mau menulis karena iming-iming kenaikan pangkat atau tambahan penghasilan yang akan diperolehnya setelah menyelesaikan naskah tulisannya. 


Apakah semua orang yang menekuni aktivitas menulis merasakan hal yang sama dengan para penulis tersebut di atas? Tentu saja tidak. Masih banyak orang yang menekuni aktivitas menulis bukan karena faktor dorongan finansial, tetapi karena mereka suka dan menikmati proses kreatif menulis yang mereka jalani. Ketika menulis, mereka merasa bisa menjadi diri sendiri. Ketika sedang menulis, mereka merasa menemukan jati dirinya. Ketika sedang menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan, mereka merasakan perasaan tenang dan damai. Ketika sedang mengeksplorasi ide-ide tulisannya, mereka merasakan kebebasan yang seluas-luasnya. Mereka begitu tenggelam dalam kebahagiaan ketika sedang menulis. Orang-orang seperti inilah yang menekuni dunia menulis bukan karena faktor eksternal melainkan karena faktor internal. Efek dorongan faktor internal dampaknya lebih kuat dan lebih lama bertahan dibandingkan faktor eksternal. 


Menulis itu perlu motivasi internal. Menulis itu perlu menikmati prosesnya. Menulis itu perlu merasakan kemerdekaan diri. Dengan menulis, seseorang dapat memerdekaan diri dari segala tekanan dan kekangan di sekitarnya. Menulis itu bukan hanya masalah menuangkan ide dan gagasan melainkan cara untuk memerdekakan diri. Saat kita menuangkan ide gagasan pemikiran, pada hakikatnya kita sedang menikmati kemerdekaan kita. Saat ide-ide dan gagasan mengalir dengan bebasnya di otak kita dan kita alirkan menjadi deretan kata-kata yang menjelma menjadi sebuah tulisan, pada hakikatnya kita sedang merayakan kemerdekaan diri. Menulis adalah cara untuk menikmati kemerdekaan diri. Menulis adalah jalan meraih kebebasan diri. Menulis adalah representasi dari kemerdekaan diri. Jadi, mengapa kita tidak merayakan kemerdekaan diri melalui menulis?


Selain untuk mengaktualisasikan kemerdekaan diri, menulis juga dapat dimanfaatkan untuk sarana mengadikan diri pada negeri tercinta. Melalui tulisan-tulisan yang bermuatan positif dan mendorong ke arah perbuatan baik, kita dapat mempersembahkan ilmu dan pengetahuan kita untuk pembangunan negeri. Tulisan-tulisan kita dapat menjadi wujud sumbangsih kita untuk memajukan negeri tercinta. Melalui gagasan-gagasan pemikiran kita tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik, berguna dan berdaya guna, kita dapat membantu kemajuan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia membutuhkan peran aktif kita selaku warga negara untuk ikut memajukan sumber daya manusianya. Nah, melalui aktivitas menulis kita dapat memotivasi dan menginspirasi orang untuk menjalani kehidupan dengan sikap positif dan semangat berkarya. Kita tak ubahnya seperti telah berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Menulis dapat menjadi sarana kita mengabdi dan memberikan kontribusi positif bagi bangsa Indonesia. 


Bangsa yang memiliki tingkat literasi tinggi akan berpeluang menjadi bangsa yang maju dan besar. Tingkat literasi suatu negara dapat dilihat dari indikator seberapa tinggi warga negara mengalokasikan waktu untuk membaca dan menulis. Ternyata di negara-negara yang maju, membaca sudah menjadi kebutuhan warga negaranya. Sebagai misal di Jepang yang merupakan salah satu negara maju di dunia. Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat literasi masyarakatnya yang sangat tinggi. Membaca bagi masyarakat Jepang bahkan dianggap sudah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari yang tidak bisa ditinggalkan. Uniknya, Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat literasi masyarakatnya yang tetap tinggi di saat teknologi sudah berkembang pesat. Hal ini disebabkan karena berbagai program pendukung dari pemerintah Jepang yang ingin meningkatkan potensi literasi anak bangsanya (Nasution, 2022).


Sebaliknya, di negara-negara yang belum maju ataupun sedang berkembang sering dijumpai bahwa tingkat literasinya masih relatif rendah. Kita ambil contoh kondisi di negara kita sendiri.  UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa (KOMINFO, 2017). Hal ini memperkuat hipotesis bahwa ada korelasi positif antara tingkat literasi warga negara dengan kemajuan negara. Untuk memajukan bangsa, tidak cukup hanya dengan pembangunan fisik (infrastruktur) melainkan juga perlu digalakkan pembangunan sumber daya manusianya melalui program-program peningkatan literasi. 


Bangsa yang memliki tingkat literasi tinggi cenderung memiliki pandangan positif tentang masa depan. Bangsa yang tingkat literasinya tinggi relatif memandang masa depan dengan optimisme karena mereka yakin bahwa masa depan adalah hasil dari kinerja sekarang. Jika sekarang mereka bekerja dengan keras dan serius serta terukur dengan indikator pencapaian yang jelas, maka mereka yakin bahwa masa depan mereka akan cerah. Pandangan dan keyakinan yang positif terhadap masa depan akan berdampak pada peningkatan kualitas kinerja sekarang sehingga secara berkesinambungan kemajuan bangsa dapat diraih. 


Berdasarkan alur pemikiran di atas, maka diperlukan sumbangsih ide, gagasan, dan pemikiran yang kreatif dan inovatif tentang bagaimana meningkatkan tingkat literasi bangsa Indonesia. Kontribusi positif dari setiap warga negara Indonesia tersebut dapat diwujudkan dalam aksi nyata dan produktivitas karya-karya nyata yang kreatif dan inovatif sehingga akan berdampak positif terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Setiap warga negara harus memiliki tekad tinggi untuk menghasilkan karya-karya yang kreatif, inovatif, dan berdampak positif bagi kemajuan bangsa. Apapun profesi dan jenis pekerjaanya, setiap warga negara Indonesia melalui aktivitas pekerjaan dan tupoksi keprofesiannya harus berusaha memberikan sumbangsih pemikiran dan karya nyata untuk bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dihormati bangsa lain hanya akan terwujud jika semua warga negaranya mau dan sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai warga negara untuk memajukan bangsa Indonesia melalui aksi-aksi dan karya nyata. Semoga kita semua dimampukan dan diberikan kemudahan dalam memberikan kontribusi positif bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia tercinta. Amin. []


Referensi:

KOMINFO, P. (2017, October 10). TEKNOLOGI Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos. Retrieved October 12, 2020, from Website Resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI website: http:///content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media

Nasution, I. S. (2022, December 14). Jepang dan Tingginya Minat Baca. Retrieved August 19, 2023, from https://library.unida.gontor.ac.id/jepang-dan-tingginya-minat-baca/

Rabu, 02 Oktober 2024

DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT: Perjalanan Panjang Menapaki Tangga -Tangga Keilmuan

 


DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT:
Perjalanan Panjang Menapaki Tangga -Tangga Keilmuan

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Dahulu setelah berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana (sarjana pendidikan kimia), saya merasa telah memiliki pemahaman yang cukup tentang ilmu kimia dan pendidikan kimia. Minimal bekal ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan tingkat S1 sudah lebih dari cukup untuk mengajar kimia di SMA.

Seiring berjalannya waktu dengan semakin bertambahnya pengalaman mengajar, mulai muncul perasaan merasa ilmu yang dimiliki masih kurang banyak, masih terlalu banyak hal-hal yang belum diketahui. Apalagi setelah diterima menjadi pengajar di Perguruan Tinggi, saya merasa bekal ilmu kimia yang saya miliki terasa sangat kurang. Pemahaman dan pengalaman yang saya peroleh selama pendidikan S1 terasa belum cukup untuk mengajar di Perguruan Tinggi. Ternyata benar sekali aturan yang dibuat pemerintah bahwa syarat mengajar S1 adalah minimal S2. Kalau seorang dosen berpendidikan S1 mengajar mahasiswa S1 maka bisa dianalogikan seperti jeruk makan jeruk.

Berangkat dari kondisi tersebut di atas, saya merasa harus segera melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat magister/master (S2).
Ketika awal-awal mengikuti pendidikan pascasarjana tingkat magister/master, saya merasa pemahaman ilmu kimia saya masih sangat rendah.

Karena perasaan merasa baru memiliki ilmu yang sedikit, terkadang muncul rasa minder (tidak percaya diri) ketika berinteraksi dengan mahasiswa lain, baik mahasiswa S1 maupun S2. Selama menempuh pendidikan S2, saya lumayan harus belajar giat dan bekerja keras untuk mengimbangi mahasiswa lain.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S2 dengan susah payah, saya merasakan bahwa pengetahuan ilmu kimia saya jauh meningkat dibandingkan waktu S1. Saya benar-benar telah meng-update dan meng-upgrade penguasaan ilmu kimia. Setelah menyelesaikan pendidikan master di bidang ilmu kimia, saya merasa sudah cukup penguasaan saya di bidang kimia. Bekal ilmu yang saya peroleh selama digembleng di kawah candradimuka berupa proses pendidikan S2, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk bekal saya mengajar dan mengembangkan diri (penelitian).

Pasca menyelesaikan pendidikan S2 di bidang kimia, saya memang merasa penguasaan ilmu kimia sudah jauh meningkat dibandingkan waktu baru S1. Saya sangat bersyukur karena selama menempuh pendidikan S2 bisa berjumpa dengan dosen-dosen yang hebat dan meneguk tetesan ilmu pengetahuan dari beliau-beliau. Walau harus bekerja (belajar) dengan susah payah untuk menyelesaikan studi, akhirnya juga bisa menyelesaikannya.

Setelah lulus pendidikan S2, barulah saya merasa bersyukur dulu bisa bertemu dengan dosen-dosen yang "sulit" dalam hal tuntutan kualitas. Justru melalui perjumpaan dengan dosen-dosen yang mempunyai standar kualitas yang tinggi (sehingga dianggap "sulit" oleh sebagian mahasiswa) telah menggembleng diri saya untuk meng-upgrade kemampuan dan penguasaan ilmu kimia. Di sinilah rasa syukur itu terasa begitu istimewa.

Bekal ilmu kimia dari pendidikan S2 memang telah membuat penguasaan ilmu kimia saya meningkat dan pemahaman pengetahuan kimia saya menjadi lebih terstruktur dan sistematis, tetapi tidak demikian yang terjadi dengan ilmu pedagogi (pendidikan) saya. Saya merasa ilmu pedagogi yang saya miliki masih sangat kurang sekali. Walaupun sudah pernah mengikuti diklat Pekerti dan pelatihan-pelatihan lain terkait pembelajaran dan juga didukung hasil membaca literatur-literatur pendidikan, saya tetap merasa ilmu pedagogi saya masih rendah dan pemahaman ilmu pedagogi saya belum terstruktur dan sistematis. Saya merasa pemahaman pengetahuan pedagogi saya masih parsial-parsial, belum saling terkait membentuk kerangka pengetahuan yang utuh. Saya merasa pengetahuan pedagogi saya belum bermakna (meminjam istilah teori belajar bermakna Ausuble).

Atas dasar alur pemikiran tersebut di atas, maka saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S3 di bidang pendidikan kimia. Setelah mengenyam pendidikan tingkat doktoral selama kurang lebih satu bulan ini, saya sudah merasa bersyukur karena bisa berjumpa dan berinteraksi dengan dosen-dosen yang hebat-hebat. Dari mereka (dosen) saya merasakan mendapatkan siraman ilmu baru, pengetahuan baru, pemahaman baru, cara pandang baru, pengalaman baru di bidang kimia dan pedagogi kimia. Saya mencoba menikmati proses belajar ini, bertemu dengan orang-orang baru dan belajar pengalaman baru.

Semakin tinggi saya menapaki tangga-tangga ilmu, maka semakin membuka cakrawala dan cara pandang saya terhadap dunia ini dengan segala kekompleksannya. Setiap dosen memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing yang berbeda dengan dosen lain. Benar apa yang dikatakan peribahasa "di atas langit masih ada langit". Semakin tinggi kita menapaki tangga-tangga ilmu, maka kita akan selalu menjumpai tangga ilmu lain yang lebih tinggi lagi.

Islam sangat menganjurkan pemeluknya agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan sepanjang masih bisa bernafas. Orang barat menyatakan dengan slogannya "Long life education" (pendidikan sepanjang hayat). Sedangkan baginda Rasulullah Saw menyatakan dengan redaksional yang berbeda sebagaimana sabdanya "Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat" (HR. Muslim).

Semakin tinggi ilmu dan pengetahuan kita, maka semakin tampak "kebodohan" dan "ketidaktahuan" kita. Semakin berbobot ilmu kita, maka terasa semakin kosong diri kita. Hanya orang-orang yang berbekal "ngelmu" yang cukup yang mampu menghadapi godaan sifat sombong dan angkuh yang muncul mengiringi proses pemilikan ilmu. Hanya orang-orang yang arif dan bijaksana lah yang tetap memiliki "kerendahan hati" dan tidak merasa paling pandai walau memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berpendidikan tinggi.

Demikian catatan saya hari ini, semoga bermanfaat. Salam literasi. []

MISTERI DI BALIK PEMBENTUKAN IKATAN KIMIA: Sebuah Perpaduan yang Serasi antara “Love” dan “Hate”

 Seri Filsafat Kimia (1)


MISTERI DI BALIK PEMBENTUKAN IKATAN KIMIA:
Sebuah Perpaduan yang Serasi antara “Love” dan “Hate”

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Dari manakah asal mula air? Air terbentuk dari ikatan antara atom oksigen dengan atom hidrogen dengan perbandingan tertentu. Pernahkah kita berpikir bagaimana seandainya atom oksigen dan atom hidrogen tidak diberi “kehendak” oleh Allah Swt untuk saling berikatan? Pasti seluruh makhluk hidup di muka bumi ini akan mati semua karena tidak ada air padahal air adalah kebutuhan pokok penopang kehidupan. Oleh karena itu bukankah sudah semestinya kita sebagai makhluk yang berakal mensyukuri nikmat Allah Swt ini dan mengabdikan hidup kita untuk keagungan nama-Nya?

Atom oksigen dan atom hidrogen dapat saling berikatan karena Allah Swt telah mengaruniakan kepada kedua atom tersebut sebuah “kehendak” yang berupa suatu gaya untuk saling berikatan. Gaya yang menyebabkan sekumpulan atom yang sama atau berbeda menjadi satu kesatuan dengan perilaku yang sama disebut IKATAN KIMIA (Effendy, 2006). Ikatan kimia pada dasarnya adalah gaya elektrostatik antara inti atom suatu atom dengan elektron terluar atom lain yang saling bergabung membentuk satu kesatuan.

Ikatan kimia terjadi karena adanya perbedaan muatan antara muatan positif dari inti atom suatu atom dengan muatan negatif dari elektron atom lain. Perbedaan muatan inilah yang menyebabkan timbul gaya elektrostatik berupa gaya tarik-menarik sehingga atom-atom tersebut saling mendekat dan membentuk senyawa melalui ikatan kimia.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa ikatan kimia sebenarnya merupakan sebuah karunia Allah Swt yang patut kita syukuri. Melalui karunia-Nya yang berupa ikatan kimia inilah, atom-atom di alam dapat saling berikatan. Mekanisme maha cerdas Allah Swt dalam menciptakan ikatan kimia adalah dengan cara mengarunikan suatu “kehendak” pada inti atom yang bermuatan positif dan elektron yang bermuatan negatif untuk saling tarik-menarik. Jadi, pada pembentukan ikatan kimia, gaya elektrostatik yang timbul antara inti atom dengan elektron terluar atom lain sebenarnya adalah “kehendak” yang diberikan Allah Swt kepada atom-atom di alam ini. Kalau Allah Swt tidak mengaruniakan “kehendak” tersebut, bagaimana mungkin atom yang berupa benda mati dapat bergerak saling tarik-menarik?

Mengapa atom-atom di alam saling berikatan? Ternyata umumnya atom-atom ditemukan di alam dalam kondisi saling berikatan membentuk senyawa melalui ikatan kimia. Atom - atom berikatan karena pada kondisi individual mereka memiliki energi potensial yang tinggi yang menyebabkan bersifat tidak stabil. Atom-atom tersebut memiliki kecenderungan untuk menurunkan energi potensialnya agar mencapai kondisi stabil. Nah, pembentukan ikatan kimia merupakan mekanisme maha cerdas dari Allah Swt untuk menstabilkan atom-atom tersebut, karena ketika atom-atom saling berikatan membentuk satu kesatuan, maka energi potensialnya menjadi lebih rendah. Jadi pembentukan ikatan kimia merupakan cara Allah Swt menyatukan atom-atom di alam semesta ini agar mencapai kondisi lebih stabil.

Seorang ahli filsafat Yunani yang bernama Agrigentum (492 - 432 S.M.), menyatakan bahwa atom-atom di alam ini saling berikatan membentuk senyawa karena adanya perpaduan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak seperti halnya perpaduan perasaan “love” (cinta) dan “hate” (benci). Apa maksud pernyataan dari Agrigentum tersebut? Mengapa ia mengatakan bahwa proses terjadinya ikatan kimia itu seperti perpaduan antara perasaan “love” dan perasaan “hate”?

Terdapat dua “filosofi dasar” yang melandasi terbentuknya ikatan kimia. Filosofi pertama adalah keseimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak antar atom-atom yang berikatan. Filosofi kedua adalah kecenderungan untuk mencapai kondisi lebih stabil melalui penataan elektron pada atom-atom yang berikatan. Ketika terdapat dua atom yang sejenis ataupun berbeda jenis saling mendekat, maka akan muncul dua jenis gaya, yaitu gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak. Karena perbedaan muatan antara inti atom dengan muatan elektron terluar atom lain, maka muncul gaya elektrostatik tarik-menarik antar dua atom tersebut sehingga atom-atom tersebut saling mendekat. Ketika mencapai jarak tertentu (jarak optimum), dimana gaya tarik-menarik masih mendominasi dibandingkan gaya tolak-menolak, maka terbentuklah ikatan kimia. Tetapi jika dua atom tersebut berusaha untuk lebih mendekat lagi melampaui jarak optimum, justru kedua atom tersebut akan saling tertolak menjauhi satu sama lain karena munculnya gaya tolak-menolak dari elektron-elektron terluar atom-atom tersebut.

Ikatan kimia terbentuk ketika terjadi kondisi keseimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak antar atom-atom yang akan berikatan (filosofi pertama). Ikatan kimia hanya terbentuk ketika jarak antar atom berada pada jarak tertentu (optimum), yaitu tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Jika terlalu dekat maka atom-atom akan saling tolak-menolak, artinya tidak terbentuk ikatan kimia. Sebaliknya, jika jarak antar atom terlalu jauh juga mengakibatkan tidak terbentuk ikatan kimia. Jadi, baik terlalu dekat ataupun terlalu jauh sama-sama tidak menghasilkan ikatan kimia. Justru ikatan kimia terbentuk ketika jarak antar atom berada pada kondisi “tengah-tengahan”.

Jika akhirnya suatu ikatan kimia jadi terbentuk, bukan berarti gaya tolak-menolak telah hilang. Walaupun atom-atom telah membentuk suatu senyawa, gaya tolak-menolak antar elektron tetap ada. Gaya tolak-menolak ini berada kondisi “laten” yang sewaktu-waktu dapat muncul dan merusak ikatan kimia yang terbentuk. Hanya pada kondisi lingkungan yang “sesuai” yang memungkinkan gaya tolak-menolak menjadi lebih kuat (misalnya dipanaskan), maka ikatan kimia yang terbentuk bisa terputus dan senyawanya terdekomposisi (terurai).

Hikmah apa yang dapat kita ambil dari fenomena pembentukan ikatan kimia ini? Ikatan kimia terbentuk karena adanya “kehendak” yang dikaruniakan Allah Swt kepada atom-atom di alam ini. Dengan adanya “kehendak” dari Allah Swt tersebut, atom-atom dapat saling mendekat karena perbedaan muatan dan pada jarak tertentu terjadi keseimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak. Gaya tarik-menarik ini laksana perasaan “cinta” dan gaya tolak-menolak laksana perasaan “benci” (mengikuti filosofi Agrigentum). Perasaan “cinta” dan “benci” ini merupakan karunia Allah Swt yang diberikan kepada setiap atom. Ikatan kimia pada atom-atom hanya terbentuk ketika ada keseimbangan antara perasaan “cinta” dan “benci” dimana perasaan “cinta” lebih dominan daripada perasaan “benci”. Jadi inti penggerak dari pembentukan ikatan kimia adalah CINTA.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka proses pembentukan ikatan kimia antar atom-atom dapat kita jadikan sebagai analogi dari sebuah hubungan interaksi antar insan Tuhan di dunia ini. Dalam kehidupan ini marilah kita jadikan “cinta” sebagai inti dalam sebuah hubungan. Sebuah hubungan akan terjalin dengan kuat hanya ketika “cinta” lebih dominan daripada “benci”. “Cinta” dan “benci” adalah karunia Allah Swt yang selalu ada di setiap diri manusia, maka manajemen diri dalam mengelola perasaan “cinta” dan “benci” inilah yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu hubungan, kuat atau lemahnya suatu ikatan. Perasaan “cinta” akan semakin menguat ketika lingkungan sekitar mendukung untuk semakin tumbuhnya perasaan tersebut, dan sebaliknya perasaan “benci” juga bisa tumbuh pelan-pelan tapi pasti jika lingkungan mendukungnya pula. Maka, pilihlah dan ciptakan sendiri lingkungan kehidupanmu yang mendukung tumbuhnya “cinta” tetapi melemahkan “benci”. Kebahagiaan hidup kita sangat bergantung pada bagaimana kita mengelola perasaan “cinta” dan “benci” yang ada di dalam diri setiap kita. Jadi, hidup bahagia atau menderita adalah sebuah pilihan, bukan keterpaksaan.

Sebagai penutup akhir tulisan ini, penulis kutipkan pandangan para sufi tentang hubungan “cinta” dan penciptaan alam semesta. Menurut pandangan para Sufi (Kartanegara, 2007), ternyata motif Allah Swt dalam menciptakan alam semesta adalah “cinta”. Alam diciptakan oleh Allah Swt atas dorongan “cinta”, dan karena itu, cinta Allah meresap ke dalam seluruh bagian alam, bahkan seluruh partikel-partikelnya. Karena itu, menurut Jalaluddin Rumi (seorang filosofis dan penyair dari Persia), “cinta” telah menjadi “daya fundamental” alam yang kreatif, dan yang telah “menghidupkan” dan “mengaktifkan” alam sehingga memiliki sifat-sifat kehidupan dan kecerdasan.

Dalam salah satu syairnya, Jalaluddin Rumi mengatakan :
Bagi orang bijak langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Bumi memupuk apa yang telah dijatuhkan dari langit. Ketika bumi kedinginan, langit mengirimkan kehangatan. Ketika bumi kekeringan, langit mengirim embun atau hujan. Langit berputar seperti suami mencari nafkah demi sang istri. Sedangkan sang istri menerima pemberian dari sang suami. Langit dan bumi pastilah dikaruniai kecerdasan, karena mereka melakukan pekerjaan makhluk yang cerdas. Andai pasangan ini tidak mengenyam kebahagiaan, bagaimana mereka melangkah seperti sepasang kekasih?

Demikian, semoga bermanfaat. []

Referensi :
Effendy. 2006. Seri Buku Ikatan Kimia dan Kimia Anorganik : Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya antar Molekul Edisi 2. Malang: Bayumedia Publishing.
Kartanegara,M., 2007, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga.

Selasa, 01 Oktober 2024

AGAMA DAN KESALEHAN SOSIAL


Foto: Bersama teman-teman waktu MTs mengunjungi guru yang sedang sakit. 

AGAMA DAN KESALEHAN SOSIAL

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Pendahuluan

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa, dan 87,34%-nya adalah beragama Islam (http://sp2010.bps.go.id). Jadi umat Islam merupakan umat mayoritas terbesar dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Artinya dari perbandingan jumlah pemeluk agama di Indonesia, maka mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam.

Sementara itu, data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyatakan bahwa potensi penerimaan zakat di Indonesia tahun 2015 mencapai 286 triliun rupiah. Suatu angka nominal yang sangat besar. Tetapi sayangnya, realisasi penerimaan zakat di Indonesia baru 3,7 triliun rupiah atau hanya sekitar 1,3 % dari potensinya ( http://nasional.kompas.com). Data ini cukup mencengangkan karena data ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat muslim di Indonesia untuk membayar zakat masih rendah.

Berdasarkan data jumlah umat Islam dan persentase penerimaan zakat yang masih sangat kecil sekali tersebut, timbul pertanyaan di dalam pikiran penulis. Mengapa zakat yang dibayarkan oleh umat Islam masih sangat sedikit dibandingkan seharusnya? Apakah kesadaran umat Islam di Indonesia untuk berzakat memang masih sangat rendah? Faktor apa yang menjadi penyebab terjadi fenomena tersebut? Bagaimana Islam memandang tentang zakat ini? Apakah rendahnya kesadaran umat Islam di Indonesia berkaitan dengan pemahaman ajaran agamanya?

Beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan mencoba menganalisis hubungan antara ibadah sholat dengan kepedulian sosial atau dengan meminjam istilah dari Dr.Hj. Helmiati, M.Ag dengan istilah “kesalehan sosial”. Selamat membaca...

Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial

Di masyarakat masih sering kita jumpai sebagian umat Islam yang saleh secara individu (kesalehan individu) tetapi belum saleh secara sosial (kesalehan sosial). Mereka sangat rajin melaksanakan ibadah-ibadah ritual seperti sholat, puasa, haji, berzikir, dll, tetapi mereka kurang peduli dengan masyarakat sekitarnya.

Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas.

Adapun “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya (Helmiati, 2015).

Islam dan Kesalehan Sosial

Kata “Islam” sendiri dari sisi bahasa berasal dari kata yang sama dengan “salam” (kedamaian), yaitu siin, lam, mim. Selain kedamaian, salam juga berarti keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan (Marzuq, 2015). Berdasarkan arti asal kata ini, maka Islam dapat berarti agama yang damai, agama yang membawa keselamatan, agama yang memperhatikan kesehatan, dan agama yang sangat peduli dengan kesejahteraan. Atas dasar ini, seharusnya umat Islam kehidupan seharusnya penuh dengan kedamaian, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan. Seharusnya umat Islam tidak ada yang ketakutan, sakit, maupun hidup kekurangan (miskin). Tetapi faktanya bagaimana?

Dalam ajaran Islam, ada hadits Rasulullah Saw yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’’ (HR. Ath-Thabarani). Hadist ini menunjukan bahwa Rasullullah Saw menganjurkan umat islam selalau berbuat baik terhadap orang lain dan makhluk yang lain. Hal ini menjadi indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya. Setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang yang berbuat. Seperti kita memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya. Allah Swt berfirman: “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7).

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa yang disebut orang [paling] baik itu adalah orang yang memberi manfaat kepada orang lain. Jadi sudah ketemu benang merahnya bahwa indikator seseorang dikategorikan sebagai “orang baik” adalah seberapa banyak ia memberi manfaat kepada orang lain. Tidak peduli seberapa rajin ia beribadah, seberapa tinggi pendidikannya, seberapa banyak hartanya, seberapa tinggi jabatannya, tetapi kalau tidak bermanfaat bagi orang lain, maka orang tersebut di mata Allah Swt dinilai bukan orang baik. Apakah kita ingin terlihat “baik” di mata Allah Swt? Jika ya, maka berlomba-lombalah memberi manfaat bagi orang lain.

Sudahkah Ibadah [sholat] Kita Bermanfaat bagi Orang Lain?

Tahukah kita, ternyata ibadah sholat juga itu berorientasi ke manfaat ke orang lain. Apa buktinya kalau ibadah sholat kita harus memberi manfaat ke orang lain? Sebagaimana penjelasan di atas, Islam berasal dari kata salam yang salah satu artinya artinya adalah keselamatan. Artinya umat Islam seharusnya menebarkan keselamatan dan kedamaian untuk orang lain di lingkungan masyarakat sebagai bukti bahwa Islam bersifat rahmatan lil’alamin.
Perhatikan firman Allah Swt berikut : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al- ‘Ankabut: 45).

Firman Allah Swt di atas menyatakan bahwa sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang rajin sholat seharusnya terhindar dari melakukan perbuatan keji dan mungkar yang merugikan orang lain. Di akhir sholat kita mengucapkan salam (salam berarti keselamatan dan kedamaian) sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Aktivitas ini bisa kita artikan sebagai simbol perintah bahwa setelah sholat kita harus menebar salam (keselamatan dan kedamaian) ke lingkungan sekitar.

Menebar “salam” dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Pertama menebar “salam” secara pasif. Umat Islam setelah sholat tidak perlu melakukan perbuatan apapun yang bersifat keji dan munkar, cukup diam saja mencegah diri dari godaan melakukan perbuatan keji dan munkar. Artinya kalau setiap umat Islam selesai sholat merasa diingatkan untuk tidak melakukan perbuatan keji dan munkar, maka lingkungan sekitarnya akan terasa aman dan damai. Nah di sini-lah implementasi pasif dari simbol mengucapkan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri yang bermakna menyebarkan keselamatan dan kedamaian ke lingkungan sekitar kita.

Dengan mengimplementasikan pesan moral dari simbol mengucapkan salam dalam gerakan sholat inilah, maka firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ankabut : 45 terbukti kebenarannya. Tetapi perlu dipahami bahwa firman Allah Swt dalam QS. Al-‘Ankabut : 45 tersebut merupakan perintah aktivitas minimal (paling rendah) karena dalam ayat tersebut tidak disebutkan umat Islam harus melakukan perbuatan apapun, hanya diperintah untuk mencegah atau menghindarkan diri dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Jadi hanya pasif dan diam saja tanpa melakukan apapun.

Coba perhatikan dengan pikiran jernih dan hati yang tenang, di ayat tersebut Allah Swt hanya menyuruh kita (umat Islam) untuk diam, dalam arti mencegah diri dari melakukan tindakan keji dan munkar, tidak disuruh berkorban apapun. Maka ayat tersebut merupakan kewajiban paling ringan yang diperintahkan Allah Swt. Tetapi faktanya bagaimana?

Cara kedua menebarkan “salam” secara aktif. Cara kedua ini tingkatannya lebih tinggi dari yang pertama (QS. Al-‘Ankabut :45) karena harus ada tindakan. Kita semua mengetahui bahwa di antara umat Islam dan umat agama lain masih ada orang-orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan. Kehidupan mereka masih jauh dari kata “layak”. Kalau kita bisa makan sehari tiga kali dengan menu sesuai selera kita, maka mereka jangankan sehari makan tiga kali, mungkin saja untuk makan sehari satu kali saja ada yang tidak mampu karena memang tidak ada makanan yang dimakan.

Dengan kondisi yang demikian tersebut, apakah kehidupan mereka dipenuhi kedamaian? Apakah kehidupan mereka diliputi keselamatan? TIDAK !!! Mereka setiap hari hidup dengan kondisi serba kurang, perut lapar, tempat tinggal yang tidak pantas disebut “rumah”, kondisi tubuh yang rentan dari serangan penyakit karena makananya tidak bergizi dan lingkungan yang tidak sehat, dll. Coba kita bayangkan, bagaimana seandainya kita mengalami atau menjalani kehidupan seperti mereka, apakah kita mampu? Apakah kita akan bahagai? Apakah kita merasa hidup penuh kedamaian?

Nah, untuk memberikan jaminan keselamatan dan kedamaian kepada orang-orang jauh dari sejahera tersebut, kita tidak cukup hanya dengan menggunakan dasar firman Allah Swt dalam QS. Al-‘Ankabut : 45 karena pasti tidak ada manfaatnya. Kita tdak bisa memberikan keselamatan dan kedamaian kepada mereka hanya dengan kita tidak melakukan perbuatan keji dan munkar. Sekali lagi “KITA TIDAK BOLEH DIAM” saja! Kita harus melakukan sesuatu, kita harus action, melakukan tindakan nyata untuk mengamalkan ajaran “salam” dalam sholat kita. Pada kondisi yang seperti inilah, kita menggunakan Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’ (HR. Ath-Thabarani).

Kita tidak cukup hanya dengan mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, tetapi kita harus bertransformasi menjad orang baik, yaitu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Di sinilah perintah kita untuk mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah menjadi relevan.

Simpulan

Jadi menurut pendapat penulis, perintah mendirikan sholat dan menunaikan zakat itu adalah sangat berkaitan. Makanya ada firman Allah Swt yang berbunyi, “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS: Al Baqarah: 43).

Dalam ayat ini Allah Swt memerintahkan umat Islam mendirikan sholat kemudian diikuti perintah menunaikan zakat. Apa maksud Allah Swt dengan perintah sholat diikuti perintah zakat? Menurut hemat penulis, di sinilah rahasia perintah sholat yang belum banyak diketahui. Ternyata sholat tidak hanya “kesalehan ritual/individu” tetapi berkaitan sangat erat dengan “kesalehan sosial”. Dan inilah tujuan hakiki perintah sholat dengan adanya gerakan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.

Jadi tujuan gerakan mengucapkan “salam” ke kanan dan ke kiri dalam sholat akan terwujud jika kita benar-benar mengetahui tujuan hakiki dari sholat tersebut. Jadi sholat adalah ibadah yang berorientasi ke manfaat ke orang lain, atau kalau disesuaikan dengan judul artikel ini maka dapat dikatakan bahwa sholat merupakan ibadah yang berorientasi kepada kesalehan sosial. Bagaiamana dengan sholat kita,apakah sudah sesuai kehendak Allah Swt? Apakah sholat kita sudah berdampak positif ke kepedulian sosial? Wallahu a’lam.
Demikian, semoga bermanfaat. []


REFERENSI:
Helmiati, 2015, Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial, Tersedia online di https://uin-suska.ac.id/.../meyakini-shalat-sebagai-obat.../
Marzuq,J.R., 2015, Inilah Islam, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Badan Pusat Statistik, 2010, Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, tersedia online di http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
Badan Amil Zakat Nasional, 2016, Baznas: Pembayaran Zakat di Indonesia Hanya 1,3 Persen dari Potensi,tersedia online di http://nasional.kompas.com/.../baznas.pembayaran.zakat.di...

Postingan Populer