Powered By Blogger

Selasa, 01 Oktober 2024

AGAMA DAN KESALEHAN SOSIAL


Foto: Bersama teman-teman waktu MTs mengunjungi guru yang sedang sakit. 

AGAMA DAN KESALEHAN SOSIAL

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro




Pendahuluan

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237 juta jiwa, dan 87,34%-nya adalah beragama Islam (http://sp2010.bps.go.id). Jadi umat Islam merupakan umat mayoritas terbesar dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Artinya dari perbandingan jumlah pemeluk agama di Indonesia, maka mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam.

Sementara itu, data dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menyatakan bahwa potensi penerimaan zakat di Indonesia tahun 2015 mencapai 286 triliun rupiah. Suatu angka nominal yang sangat besar. Tetapi sayangnya, realisasi penerimaan zakat di Indonesia baru 3,7 triliun rupiah atau hanya sekitar 1,3 % dari potensinya ( http://nasional.kompas.com). Data ini cukup mencengangkan karena data ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat muslim di Indonesia untuk membayar zakat masih rendah.

Berdasarkan data jumlah umat Islam dan persentase penerimaan zakat yang masih sangat kecil sekali tersebut, timbul pertanyaan di dalam pikiran penulis. Mengapa zakat yang dibayarkan oleh umat Islam masih sangat sedikit dibandingkan seharusnya? Apakah kesadaran umat Islam di Indonesia untuk berzakat memang masih sangat rendah? Faktor apa yang menjadi penyebab terjadi fenomena tersebut? Bagaimana Islam memandang tentang zakat ini? Apakah rendahnya kesadaran umat Islam di Indonesia berkaitan dengan pemahaman ajaran agamanya?

Beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini akan mencoba menganalisis hubungan antara ibadah sholat dengan kepedulian sosial atau dengan meminjam istilah dari Dr.Hj. Helmiati, M.Ag dengan istilah “kesalehan sosial”. Selamat membaca...

Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial

Di masyarakat masih sering kita jumpai sebagian umat Islam yang saleh secara individu (kesalehan individu) tetapi belum saleh secara sosial (kesalehan sosial). Mereka sangat rajin melaksanakan ibadah-ibadah ritual seperti sholat, puasa, haji, berzikir, dll, tetapi mereka kurang peduli dengan masyarakat sekitarnya.

Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas.

Adapun “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya (Helmiati, 2015).

Islam dan Kesalehan Sosial

Kata “Islam” sendiri dari sisi bahasa berasal dari kata yang sama dengan “salam” (kedamaian), yaitu siin, lam, mim. Selain kedamaian, salam juga berarti keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan (Marzuq, 2015). Berdasarkan arti asal kata ini, maka Islam dapat berarti agama yang damai, agama yang membawa keselamatan, agama yang memperhatikan kesehatan, dan agama yang sangat peduli dengan kesejahteraan. Atas dasar ini, seharusnya umat Islam kehidupan seharusnya penuh dengan kedamaian, keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan. Seharusnya umat Islam tidak ada yang ketakutan, sakit, maupun hidup kekurangan (miskin). Tetapi faktanya bagaimana?

Dalam ajaran Islam, ada hadits Rasulullah Saw yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’’ (HR. Ath-Thabarani). Hadist ini menunjukan bahwa Rasullullah Saw menganjurkan umat islam selalau berbuat baik terhadap orang lain dan makhluk yang lain. Hal ini menjadi indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya. Setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang yang berbuat. Seperti kita memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya. Allah Swt berfirman: “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7).

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa yang disebut orang [paling] baik itu adalah orang yang memberi manfaat kepada orang lain. Jadi sudah ketemu benang merahnya bahwa indikator seseorang dikategorikan sebagai “orang baik” adalah seberapa banyak ia memberi manfaat kepada orang lain. Tidak peduli seberapa rajin ia beribadah, seberapa tinggi pendidikannya, seberapa banyak hartanya, seberapa tinggi jabatannya, tetapi kalau tidak bermanfaat bagi orang lain, maka orang tersebut di mata Allah Swt dinilai bukan orang baik. Apakah kita ingin terlihat “baik” di mata Allah Swt? Jika ya, maka berlomba-lombalah memberi manfaat bagi orang lain.

Sudahkah Ibadah [sholat] Kita Bermanfaat bagi Orang Lain?

Tahukah kita, ternyata ibadah sholat juga itu berorientasi ke manfaat ke orang lain. Apa buktinya kalau ibadah sholat kita harus memberi manfaat ke orang lain? Sebagaimana penjelasan di atas, Islam berasal dari kata salam yang salah satu artinya artinya adalah keselamatan. Artinya umat Islam seharusnya menebarkan keselamatan dan kedamaian untuk orang lain di lingkungan masyarakat sebagai bukti bahwa Islam bersifat rahmatan lil’alamin.
Perhatikan firman Allah Swt berikut : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al- ‘Ankabut: 45).

Firman Allah Swt di atas menyatakan bahwa sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang rajin sholat seharusnya terhindar dari melakukan perbuatan keji dan mungkar yang merugikan orang lain. Di akhir sholat kita mengucapkan salam (salam berarti keselamatan dan kedamaian) sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Aktivitas ini bisa kita artikan sebagai simbol perintah bahwa setelah sholat kita harus menebar salam (keselamatan dan kedamaian) ke lingkungan sekitar.

Menebar “salam” dapat dilakukan secara aktif maupun pasif. Pertama menebar “salam” secara pasif. Umat Islam setelah sholat tidak perlu melakukan perbuatan apapun yang bersifat keji dan munkar, cukup diam saja mencegah diri dari godaan melakukan perbuatan keji dan munkar. Artinya kalau setiap umat Islam selesai sholat merasa diingatkan untuk tidak melakukan perbuatan keji dan munkar, maka lingkungan sekitarnya akan terasa aman dan damai. Nah di sini-lah implementasi pasif dari simbol mengucapkan salam sambil menengok ke kanan dan ke kiri yang bermakna menyebarkan keselamatan dan kedamaian ke lingkungan sekitar kita.

Dengan mengimplementasikan pesan moral dari simbol mengucapkan salam dalam gerakan sholat inilah, maka firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ankabut : 45 terbukti kebenarannya. Tetapi perlu dipahami bahwa firman Allah Swt dalam QS. Al-‘Ankabut : 45 tersebut merupakan perintah aktivitas minimal (paling rendah) karena dalam ayat tersebut tidak disebutkan umat Islam harus melakukan perbuatan apapun, hanya diperintah untuk mencegah atau menghindarkan diri dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Jadi hanya pasif dan diam saja tanpa melakukan apapun.

Coba perhatikan dengan pikiran jernih dan hati yang tenang, di ayat tersebut Allah Swt hanya menyuruh kita (umat Islam) untuk diam, dalam arti mencegah diri dari melakukan tindakan keji dan munkar, tidak disuruh berkorban apapun. Maka ayat tersebut merupakan kewajiban paling ringan yang diperintahkan Allah Swt. Tetapi faktanya bagaimana?

Cara kedua menebarkan “salam” secara aktif. Cara kedua ini tingkatannya lebih tinggi dari yang pertama (QS. Al-‘Ankabut :45) karena harus ada tindakan. Kita semua mengetahui bahwa di antara umat Islam dan umat agama lain masih ada orang-orang yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan. Kehidupan mereka masih jauh dari kata “layak”. Kalau kita bisa makan sehari tiga kali dengan menu sesuai selera kita, maka mereka jangankan sehari makan tiga kali, mungkin saja untuk makan sehari satu kali saja ada yang tidak mampu karena memang tidak ada makanan yang dimakan.

Dengan kondisi yang demikian tersebut, apakah kehidupan mereka dipenuhi kedamaian? Apakah kehidupan mereka diliputi keselamatan? TIDAK !!! Mereka setiap hari hidup dengan kondisi serba kurang, perut lapar, tempat tinggal yang tidak pantas disebut “rumah”, kondisi tubuh yang rentan dari serangan penyakit karena makananya tidak bergizi dan lingkungan yang tidak sehat, dll. Coba kita bayangkan, bagaimana seandainya kita mengalami atau menjalani kehidupan seperti mereka, apakah kita mampu? Apakah kita akan bahagai? Apakah kita merasa hidup penuh kedamaian?

Nah, untuk memberikan jaminan keselamatan dan kedamaian kepada orang-orang jauh dari sejahera tersebut, kita tidak cukup hanya dengan menggunakan dasar firman Allah Swt dalam QS. Al-‘Ankabut : 45 karena pasti tidak ada manfaatnya. Kita tdak bisa memberikan keselamatan dan kedamaian kepada mereka hanya dengan kita tidak melakukan perbuatan keji dan munkar. Sekali lagi “KITA TIDAK BOLEH DIAM” saja! Kita harus melakukan sesuatu, kita harus action, melakukan tindakan nyata untuk mengamalkan ajaran “salam” dalam sholat kita. Pada kondisi yang seperti inilah, kita menggunakan Hadist Rasulullah Saw yang berbunyi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain’ (HR. Ath-Thabarani).

Kita tidak cukup hanya dengan mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar, tetapi kita harus bertransformasi menjad orang baik, yaitu menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Di sinilah perintah kita untuk mengeluarkan zakat, infak dan shadaqah menjadi relevan.

Simpulan

Jadi menurut pendapat penulis, perintah mendirikan sholat dan menunaikan zakat itu adalah sangat berkaitan. Makanya ada firman Allah Swt yang berbunyi, “Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS: Al Baqarah: 43).

Dalam ayat ini Allah Swt memerintahkan umat Islam mendirikan sholat kemudian diikuti perintah menunaikan zakat. Apa maksud Allah Swt dengan perintah sholat diikuti perintah zakat? Menurut hemat penulis, di sinilah rahasia perintah sholat yang belum banyak diketahui. Ternyata sholat tidak hanya “kesalehan ritual/individu” tetapi berkaitan sangat erat dengan “kesalehan sosial”. Dan inilah tujuan hakiki perintah sholat dengan adanya gerakan mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri.

Jadi tujuan gerakan mengucapkan “salam” ke kanan dan ke kiri dalam sholat akan terwujud jika kita benar-benar mengetahui tujuan hakiki dari sholat tersebut. Jadi sholat adalah ibadah yang berorientasi ke manfaat ke orang lain, atau kalau disesuaikan dengan judul artikel ini maka dapat dikatakan bahwa sholat merupakan ibadah yang berorientasi kepada kesalehan sosial. Bagaiamana dengan sholat kita,apakah sudah sesuai kehendak Allah Swt? Apakah sholat kita sudah berdampak positif ke kepedulian sosial? Wallahu a’lam.
Demikian, semoga bermanfaat. []


REFERENSI:
Helmiati, 2015, Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial, Tersedia online di https://uin-suska.ac.id/.../meyakini-shalat-sebagai-obat.../
Marzuq,J.R., 2015, Inilah Islam, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Badan Pusat Statistik, 2010, Data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010, tersedia online di http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321
Badan Amil Zakat Nasional, 2016, Baznas: Pembayaran Zakat di Indonesia Hanya 1,3 Persen dari Potensi,tersedia online di http://nasional.kompas.com/.../baznas.pembayaran.zakat.di...

Tidak ada komentar:

Postingan Populer