Powered By Blogger

Minggu, 29 September 2024

AGAMA DAN AKAL


AGAMA DAN AKAL

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Akal dan agama apakah bisa berdampingan? Redaksi lain adalah sains dan agama apakah bisa berdampingan? Apakah beragama perlu menggunakan akal atau tidak? Agama berasal dari wahyu atau firman Tuhan. Oleh karena itu, agama masuk domain keyakinan (keimanan). Apakah dalam agama masih ada ruang untuk eksistensi akal?

Islam adalah agama wahyu yang sangat mengakomodir penggunaan akal. Dalam banyak ayat, Allah Swt. menyuruh umat Islam untuk menggunakan akalnya untuk berpikir. Bahkan dalam Al-Qur'an kata "akal" disebutkan sebanyak 49 kali, sedangkan kata "berpikir" yang sangat berkaitan dengan penggunakal disebutkan sebanyak 18 kali.

Fakta-fakta dalam Al-Qur'an tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat konsen terhadap penggunaan akal dan aktivitas berpikir. Akal tidak bisa dipisahkan dari Islam. Akal adalah keistimewaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Akal adalah pembeda antara manusia dengan makhluk lain. Penggunaan akal untuk berpikir merupakan ciri khas manusia.

Manusia diberikan keistimewaan oleh Allah SWT berupa akal untuk berpikir. Manusia ditugaskan sebagai pengelola atau khalifah di bumi tentu membutuhkan alat pendukung. Nah, agar manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah fii al-ardh dengan baik, maka Allah SWT mengaruniakan nikmat akal kepada manusia sebagai bekal untuk menjalani kehidupan.

Dengan akal tersebut, manusia diharapkan mampu berpikir, berkreasi, dan berinovasi terkait bagaimana mengelola alam agar kehidupannya menjadi lebih baik. Akal juga berguna untuk menimbang dan memutuskan apakah suatu tindakan atau perilaku itu benar atau salah. Kemampuan untuk menimbang dan memutuskan suatu permasalahan merupakan kelebihan dari akal manusia.

Akal tidak boleh bekerja sendiri. Jika akal bekerja sendiri, maka bisa jadi akan mengambil keputusan yang gegabah hanya karena ketidakmampuannya dalam memikirkan permasalahan yang di luar domainnya. Misalnya adalah masalah kebaikan. Kebaikan bukan ranah akal karena ranah akal adalah terkait kebenaran (benar-salah). Adapun kebaikan termasuk domain hati (spiritual). Baik atau buruk bukanlah domain kebenaran yang menjadi wilayah kerja akal, melainkan masuk wilayah kerja hati (qolbu).

Agama berkaitan dengan keyakinan hati yang membahas seputar kebaikan (baik-buruk). Agama bukan untuk memutuskan kebenaran, melainkan memutuskan masalah-masalah yang terkait amal kebaikan. Agama diturunkan untuk memperbaiki akhlak, yaitu sikap dan perilaku umat manusia. Maka dapat dipahami bahwa tujuan beragama adalah untuk memperbaiki akhlak. Jadi idealnya orang yang beragama adalah orang yang berakhlak baik. Kalau ada seseorang yang mengaku beragama tetapi akhlaknya tidak baik, maka beragamanya belum sempurna.

Akhlak mulia menjadi kunci penting dalam pembahasan agama. Agama identik dengan akhlak baik atau akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Agama tidak diidentikkan dengan masalah benar-salah, tetapi identik dengan masalah baik-buruk. Atas dasar ini, maka idealnya orang yang beragama adalah orang yang baik akhlaknya. Dan kebaikan itu adalah bersifat universal. Kebaikan bukan hanya milik agama, suku, bangsa tertentu.

Perbuatan baik seperti menolong orang lain yang kesusahan akan dipandang sebagai perbuatan baik oleh siapapun dan agama apapun. Perbuatan buruk (jahat) seperti mencuri akan dipandang sebagai perbuatan jahat oleh siapapun dan agama apapun. Maka kalau ada kasus suatu ajaran agama atau kepercayaan tertentu yang menyuruh atau membenarkan tindakan kejahatan seperti mencuri, maka perlu dicurigai kebenaran ajarannya.

Beragama juga perlu menggunakan akal. Di sini akal berguna dalam memberikan pertimbangan tentang kebenaran ajaran agama atau kepercayaan. Jangan sampai kita terjebak dalam situasi mempercayai suatu ajaran agama atau kepercayaan tertentu yang bertentangan dengan pikiran akal sehat kita. Akal bermanfaat dalam menilai kebenaran suatu ajaran agama atau keyakinan.

Karena agama sangat berkaitan dengan pengamalan ajaran agama oleh penganutnya, maka di sinilah terkadang bisa menjadikan kebingungan bagi pemeluk agama tersebut untuk menilai dan memutuskan apakah perilaku yang diperlihatkan oleh para tokoh agama (oknum) tersebut mencerminkan asli ajaran agamanya atau hanya penafsiran dan pemahaman dari para tokoh agama.

Sebagai contoh, misalnya penetapan hukum suatu perbuatan. Logika akal harusnya hukum atas suatu perbuatan adalah berasal dari ajaran agama, bukan pendapat satu orang tokoh agama. Mengapa penetapan hukum agama menurut logika akal harusnya tidak berasal dari pendapat satu orang saja dikarenakan pendapat tersebut bisa sangat subjektif.

Setiap orang memiliki pandangan, pendapat, minat, hobi, klangenan, maupun kesukaan yang berbeda-beda. Dalam penetapan suatu hukum, jangan sampai karena unsur "tidak suka" atau "kurang berminat", seseorang menghukumi suatu perbuatan sebagai perbuatan yang haram (dilarang dan berdosa). Makanya ketika menetapkan sebuah hukum, harus dilepaskan dari unsur egoisme pribadi maupun subjektivitas pribadi seseorang. Dan hal ini tidaklah mudah.

Kebenaran ajaran agama diyakini bersifat mutlak karena berasal dari Tuhan. Sementara pemikiran dan pendapat seseorang bersifat relatif. Oleh karena itu, suatu produk hukum tidak boleh dihasilkan dari satu orang saja, melainkan harus berasal dari pemikiran banyak orang agar produk hukum yang dihasilkan dapat meminimalkan unsur subjektivitasnya.

Pemikiran seseorang dalam menetapkan produk hukum hanyalah sebatas pendekatan saja, sehingga kebenarannya masih sangat relatif. Maka, ketika suatu produk hukum dihasilkan dari pemikiran banyak orang, sifat relativitasnya menjadi semakin minimal sehingga kebenaran produk hukumnya dimungkinkan "mendekati" kebenaran mutlak, walaupun tidak sama dengan benar mutlak. Wallahu alam. []


Gumpang Baru, 22 September 2024

Tidak ada komentar:

Postingan Populer