HAKIKAT DOA: Wujud Kasih Sayang Allah SWT kepada hamba-Nya
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Mungkin kita masih ingat beberapa waktu yang lalu ketika di awal-awal terjadinya euforia keberadaan media sosial seperti facebook, twitter, whatsApp, dll. Muncul fenomena yang cukup menarik dan banyak diperbincangkan orang melalui media sosial. Fenomena apakah itu?
Fenomena tersebut adalah adanya trend orang-orang berlomba memposting doa dan aktivitas ibadahnya sebagai manifestasi bukti kesalehan dan kereligiusan dirinya. Bahkan sampai sekarang fenomena tersebut masih ada walaupun mulai berkurang frekuensinya.
Tetapi muncul fenomena lain postingan doa dalam bentuk komentar dari suatu berita. Jika berita yang dibaca adalah berita kebaikan maka rama-ramai orang memberikan komentar berupa doa-doa baik. Tetapi sebaliknya ketika beritanya berupa berita tindakan kejahatan atau tindakan mendzalimi orang lain, maka komentar-komentar negatif dalam bentuk doa-doa kutukan banyak diucapkan kepada pelaku kejahatan.
Sebenarnya bagaimanakah kedudukan doa dalam pandangan Allah? Bagaimana sebaiknya doa itu diucapkan? Tulisan artikel berikut ini akan sedikit mengulas tentang doa ditinjau dari dalil perintahnya dan analisis contoh sebuah doa. Selamat membaca.
Doa itu sekedar Hak ataukah Kewajiban?
Pernahkah terpikirkan oleh kita, mengapa kita harus berdoa? Apakah salah jika kita tidak berdoa? Sebenarnya berdoa itu sebuah kewajiban ataukah hanya sekedar hak? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sekilas seperti tidak ada manfaatnya, hanya buang-buang waktu dan pikiran saja (mungkin saja kata orang-orang yang tidak suka berpikir he..he..). tetapi menurut hemat penulis, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang serius dan perlu kejelasan jawaban karena ada dampak yang mengikutinya. Keliru dalam memahami maksud pertanyaan itu bisa berakibat lain yang tidak kita inginkan.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, alangkah lebih baiknya kita tengok dulu bagaimana kedudukan doa dalam pandangan Allah Swt. Mari kita perhatikan firman Allah Swt berikut ini.
Allah Swt. Berfirman:
“Berdoalah kepada Rabb-mu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-A’raf : 55).
Juga firman Allah yang lain:
“Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[berdoa] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina" (QS. Al Mukmin : 60).
Juga patut kita perhatikan bagaimana tanggapan Rasulullah Saw tentang doa. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda : “Sungguh, barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Dia akan murka kepadanya”. (HR. Ahmad: II/442).
Kutipan firman Allah Swt dan hadits Rasulullah Saw tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah Swt sangat menyukai orang-orang yang berdoa. Melalui doa inilah kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya dapat terjalin. Doa merupakan sarana bagi seorang hamba untuk mendekat dan menyampaikan harapan-harapannya. Dengan kata lain, setiap orang harus selalu berdoa kepada Allah Swt. Jadi doa bukanlah “hak” tetapi bahkan merupakan “kewajiban”.
Mengapa doa merupakan kewajiban, bukan hak? Kutipan ayat dan hadits tersebut di atas telah memberikan rambu-rambu kepada kita tentang kedudukan doa dalam pandangan Allah. Doa menurut pandangan Allah Swt adalah ibadah. Doa adalah bentuk ketundukkan, kepasrahan, penyerahan diri secara totalitas seorang hamba kepada-Nya.
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits tersebut, ada dua hal yang dapat kita garis bawahi. Pertama adalah Allah Swt sangat suka dan mendorong kepada kita untuk senantiasa berdoa kepada-Nya. Allah senang jika kita selalu berdoa kepadanya, karena doa kita merupakan manifestasi dari bukti penyembahan dan ketundukan serta kepasrahan kita kepada-Nya.
Tetapi perlu kita ingat dan harus selalu kita sadari dengan betul-betul bahwa walaupun Alah itu sangat menyukai kalau kita berdoa, bukan berarti Allah membutuhkan doa-doa kita. Allah sama sekali tidak butuh dengan lantunan doa-doa kita, tetapi justru kita-lah yang membutuhkan Allah melalui sarana doa.
Doa merupakan media resmi yang diberikan Allah Swt untuk kita agar kita dapat berkomunikasi dengan-Nya dan menyampaikan keinginan kita. Doa bisa kita ibaratkan saluran akses khusus yang diberikan Allah swt kepada kita. Doa adalah bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepada kita dengan menyediakan sarana khusus (bisa diibaratkan sambungan line telpon khusus) yang terkoneksi langsung kepada-Nya. Doa bisa kita maknai sebagai bentuk bukti bahwa Allah Swt sangat mengistimewakan kita. Kalau kita tidak istimewa di mata Allah, bagaimana mungkin Allah memberikan kita cara khusus untuk berkomunikasi dengan-Nya? Karena pada dasarnya Allah sama sekali tidak butuh dan sama sekali tidak bergantung pada kita.
Setiap orang diberikan saluran khusus ini tetapi dengan kecepatan akses yang berbeda-beda. Ada orang yang punya saluran akses komunikasi yang sangat cepat sehingga doa-doanya cepat dikabulkan, dan ada pula orang yang dikarunia saluran akses yang kecepatannya rendah sehingga doanya perlu waktu yang lama untuk terkabul atau bahkan tidak terkabul. Cepat atau lambatnya kecepatan akses yang kita miliki tergantung dari kadar keimanan dan amal kebaikan kita. Kalau iman kita kuat dan kita selalu berbuat baik, maka insyaAllah kita akan dikaruniai line akses dengan kecepatan dan layanan ekstra khusus.
Kedua adalah Allah Swt justru tidak suka, bahkan malah murka kepada orang-orang yang tidak mau berdoa. Dalam ayat tersebut, Allah Swt menyebut orang-orang yang tidak mau berdoa dengan sebutan orang yang “melampaui batas”. Apa maksud firman Allah ini? Mengapa orang yang tidak mau berdoa dikatakan sebagai orang yang melampaui batas? Nah, di sinilah benang merahnya. Kita harus mengetahui batasan kita, mana domain kita sebagai makhluk (yang diciptakan) dan mana domain Allah sebagai sang kholiq (pencipta).
Di satu sisi Allah sangat suka dan mendorong kita berdoa kepada-Nya, tetapi di sisi lain ketika kita tidak berdoa, Allah bukan hanya tidak suka tetapi justru murka dan menyebut kita sebagai orang melampaui batas. Jadi jelaslah di sini bahwa berdoa itu bukan hanya hak atau sesukanya kita, tetapi justru berdoa itu adalah kewajiban kita yang harus kita laksanakan sebagai bentuk ketundukkan kita kepada-Nya. Lebih parah lagi, kalau kita tidak berdoa, Allah sangat murka dan menyebut kita sebagai melampaui batas. Setelah mengetahui penjelasan ini, masihkah kita malas untuk berdoa? Pikirkanlah !!!
Selanjutnya di antara kita pasti ada yang masih penasaran dengan ayat tersebut, mengapa Allah menganggap orang yang tidak berdoa sebagai orang yang “melampaui batas” atau dengan kata lain orang yang “tidak tahu diri”? Menurut Anda kira-kira mengapa?
Kita adalah makhluk yang diberi kemampuan oleh Allah Swt tetapi serba terbatas. Manusia tidak akan mampu melakukan sesuatu melebihi batas yang ditetapkan oleh Allah Swt. Artinya dengan bahasa lebih halus, sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang sangat lemah dan mempunyai rasa ketergantungan yang amat sangat tinggi kepada Tuhannya.
Oleh karena itu wajar-lah kalau manusia harus selalu berdoa (memohon, berharap) untuk mengimbangi kelemahannya tersebut, dan menjadi sangat tidak wajar kalau manusia tidak mau berdoa. Sebutan apa yang lebih pantas diberikan untuk orang yang tidak tahu diri selain sebutan “melampaui batas”?
Pengertian Doa
Menurut bahasa doa berasal dari Bahasa Arab الدعاء yang merupakan bentuk masdar dari mufrad داعى yang memiliki bermacam-macam arti. Dalam kamus Bahasa Arab di bawah judul huruf د, ع, و disebutkan sebagai berikut:
1. داعى, يدعو, دعوة artinya menyeru, memanggil.
2. داعي, يدعو, دعاء artinya memanggil, mendoa, memohon, meminta.
3. Dalam bentuk jama’nya ادعية artinya doa, permohonan, permintaan.
4. دعاء له artinya mendoakan kebaikan kepadanya.
5. دعاء عليه artinya mendoakan keburukan atau kejahatan kepadanya.
6. داع artinya orang yang memanggil, orang yang menyeru, orang yang memohon.
7. Dan الدعاء adalah bentuk masdarnya, yang pada umumnya diartikan sebagai suatu keinginan yang besar kepada Allah SWT dan pujian kepadaNya.
Dalam al-Qur’an terdapat 203 ayat dengan arti yang beragam.
Adapun menurut istilah doa berarti memohon kepada Allah SWT secara langsung untuk memperoleh karunia dan segala yang diridhoi-Nya dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan atau bencana yang tidak dikehendakinya (https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/doa/). Doa adalah wujud memperlihatkan kebutuhan dan hajat dari hamba yang butuh dan lemah, yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat pada dirinya sendiri (Farid, 2014).
Mengevaluasi [kembali] Doa Kita
Perhatikan cerita kasus berikut ini:
"Ada seorang pengusaha sukses yang kaya raya telah ditipu dan dikhianati oleh teman bisnisnya (yang selama ini sangat dipercaya) sehingga usahanya bangkrut dan ia jatuh miskin. Ia sangat terpukul dan sangat marah pada temannya yang telah tega menipunya. Ia sama sekali tidak percaya kalau teman yang selama ini tampak sangat baik telah tega menipunya. Sebagai orang beriman yang taat, maka ia menyerahkan segalanya kepada Allah Swt. Semua musibah yang dideritanya ia adukan kepada Allah Swt. Di setiap selesai sholat, ia berdoa: "Ya Allah...temanku yang sangat ku percaya telah berkhianat kepadaku, dia telah mengkhianati persahabatan kami. Dia telah tega menipu hamba sehingga perusahaan hamba bangkrut dan hamba jatuh miskin. Ya Allah...hamba sangat terpukul dan marah kepada teman hamba tersebut. Hamba tahu Engkau Maha Adil ya Allah....maka tegakkan lah keadilan-Mu ya Allah...berikanlah teman hamba balasan yang setimpal dengan perbuatannya, timpakan penyakit yang parah kepadanya sehingga ia tidak bisa mengurus perusahannya agar nanti perusahaan juga jatuh bangkrut seperti hamba. Ya Allah...kabulkan lah doa hamba. Aamiin."
Cerita fiksi di atas sepintas seperti menceritakan sosok pengusaha yang beriman dan taat kepada Allah. Setiap kejadian yang menimpanya selalu ia pasrahkan kepada Allah. Ya...betul sekali. Tetapi penulis ingin memfokuskan pada isi doa yang dipanjatkan pengusaha tersebut, bukan cara pengusaha tersebut menyikapi musibah yang menimpanya.
Perhatikan isi doanya. Dalam doa tersebut, yang pertama sang pengusaha mengawali doanya dengan mengadukan musibah yang menimpanya. Kedua adalah mengutarakan apa yang dirasakan dirinya. Ketiga, sang pengusaha memuji Allah dengan gelar yang maha adil dan menuntut keadilan. Keempat, ia meminta Allah memberikan balasan yang setimpal untuk temannya yang berkhianat. Kelima, sang pengusaha meminta Allah menimpakan penyakit parah ke temannya sebagai bentuk hukuman untuk temannya. Keenam, ia berharap doanya dikabulkan.
Perhatikan keenam poin doa tersebut, sekilas keenam poin dalam doa tersebut semuanya baik dan wajar. Tetapi coba perhatikan lebih teliti lagi, mari kita gunakan hati nurani dan pikiran yang jernih. Perhatikan poin nomor lima, bagaimana menurut Anda? Wajarkah doa seperti itu? Layakkah doa seperti itu dilantunkan kepada Allah? Pantaskah kalau kita berdoa seperti itu? Apakah doa seperti itu memang termasuk domain kita, ataukah malah telah melanggar batas domain Allah? Apakah doa seperti itu tidak melampaui batasan kita sebagai makhluk? Bandingkan dengan poin nomor empat. Adakah perbedaan yang signifikan?
Menurut pendapat penulis, doa seperti poin kelima itu tidak pantas diucapkan kepada Allah. Mengapa tidak pantas? Ya...tidak pantas karena doa seperti itu menunjukkan seolah-olah Allah tidak bisa berlaku adil. Doa seperti itu menunjukkan seolah-olah orang yang berdoa mengatur dan mengarahkan Allah untuk memberikan keadilan-Nya dengan menghukum temannya dengan menimpakan penyakit parah dan membuat usaha temannya bangkrut sehingga jatuh miskin. Doa tersebut mengunakan kata perintah “timpakanlah”. Pantaskah seorang hamba memerintah Allah? Wajarkah seseorang yang kedudukannya lebih rendah memerintah kepada Allah yang kedudukan-Nya jauh sangat tinggi?
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa doa itu adalah sebuah permohonan, harapan, ataupun permintaan. Permohonan, keinginan, hajat atau harapan umumnya dilakukan oleh seseorang yang posisinya berada lebih rendah, sedangkan perintah umumnya dilakukan oleh seseorang yang posisinya berada lebih tinggi.
Permohonan sewajarnya dilakukan oleh seorang pegawai, sedangkan perintah dilakukan oleh pimpinan kepada pegawainya. Sangat tidak biasa kalau sampai terjadi sebaliknya, yaitu atasan (pimpinan) memohon kepada bawahannya atau pegawainya dan bawahan memerintah atasannya. Kejadian yang tidak biasa ini mungkin saja juga bisa terjadi, tetapi umumnya tidak lazim. Jika-pun terjadi, peristiwa permohonan dan perintah ini memiliki dampak yang berbeda jauh.
Jika ada seorang direktor perusahaan (atasan atau pimpinan) mengajukan permohonan kepada pegawainya (bawahan) untuk melakukan suatu pekerjaan. Kejadian seperti ini harus dilihat dari kacamata adab kesopanan dan dirasakan dengan hati, bukan dengan penalaran. Karena jika dilihat dari sudut pandang penalaran, maka seolah-olah sang direktur merupakan sosok pemimpinan yang lemah.
Tetapi jika dilihat dari kacamata adab kesopanan dan menggunakan hati, maka akan kita temukan sosok pemimpin yang sangat menghormati dan menghargai pegawainya sebagai manusia yang memiliki kehormatan. Sang direktur bisa saja dan sangat wajar jika ia memerintah pegawainya untuk melakukan suatu pekerjaan, tetapi karena ia ingin membentuk suasana kerja yang kondusif dan penuh dengan rasa kemanusiaan dan kehormatan, maka ia rela menurunkan ego-nya dengan mengajukan permohonan (bahasa halus dan tingkat tinggi) dalam bentuk kalimat minta tolong dibandingkan perintah.
Nah, setelah memperhatikan ilustrasi dan analogi tersebut, lantas bagaimana dengan doa? Doa kalau kita maknai sebagai harapan ataupun permohonan kita kepada Allah, maka itu sangatlah pantas karena derajat kita lebih rendah. Tetapi bagaimana kalau sebaliknya? Coba kita pikirkan dengan hati yang bersih, pantaskah kita sebagai makhluk yang sangat rendah derajatnya (dibandingkan Allah Swt) memerintah Allah?
Pantaskah kita memerintah Allah Swt melakukan sesuatu sesuai cara kita? Apakah kita tidak yakin bahwa Allah itu mampu berbuat adil? Apakah kita lupa bahwa Allah itu Yang Maha Adil dan Dia-lah seadil-adilnya pemberi keadilan. Doa yang berisi harapan adalah pantas kita lakukan, tetapi kalau doa berisi perintah adalah sangat tidak pantas dan tidak layak dilakukan karena menunjukkan kita tidak paham di mana posisi kita. Wallahu a’lam. []
Referensi:
Farid, A., 2014, Tazkiyyatun Nafs: Penyucian Jiwa dalam Islam, Alih Bahasa oleh Muhammad Suhadi, Jakarta: Ummul Qura.
Anonim, 2016, Doa, tersedia online di https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/doa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar