SKILL ATAU GELAR?
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Mana yang lebih penting, skill atau gelar? Ada sebagian orang yang membandingkan mana yang lebih penting antara skill atau gelar. Hal ini seperti tulisan yang saya lihat di belakang sebuah mobil truk tangki ketika saya dalam perjalanan berangkat ke kampus. Saya tertarik dengan tulisan di mobil truk tangki tersebut sehingga saya sempatkan untuk memotretnya.
Mengapa sebagian orang membandingkan mana yang lebih penting antara skill atau gelar? Kemungkinan munculnya pertanyaan tersebut berangkat dari fenomena di masyarakat tentang adanya ketidaksesuaian antara orang yang punya skill tinggi dengan orang yang bergelar tinggi.
Umumnya orang berasumsi bahwa orang yang bergelar tinggi pastilah memiliki skill yang tinggi pula. Tetapi asumsi tersebut ternyata tidak seratus persen benar. Justru yang terlihat adalah adanya fenomena (walaupun mungkin sedikit) orang bergelar tinggi tetapi kurang terampil. Dari sinilah mungkin kemudian muncul pertanyaan mana yang lebih penting antara skill atau gelar.
Menurut pendapat pribadi penulis, seharusnya skill dan gelar tidak perlu dibandingkan. Hal itu karena keduanya bisa berdampingan dan harusnya berdampingan, tidak harus diperbandingkan. Orang yang punya skill tinggi bisa juga memiliki gelar tinggi, ataupun bisa juga tidak mempunyai gelar tinggi. Orang mempunyai skill tinggi bisa karena belajar secara formal ataupun non formal. Tetapi yang pasti ia melalui proses belajar yang benar.
Adapun orang yang punya gelar tinggi idealnya seharusnya juga punya skill yang tinggi. Gelar tinggi dan skill tinggi seharusnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Jika ada kasus dijumpai ada orang yang bergelar tinggi tetapi tidak dibarengi dengan skill yang tinggi, maka proses perolehan gelarnya yang patut dipertanyakan, apakah gelar tinggi yang diperolehnya telah melalui proses belajar yang benar? Di sinilah sebenarnya masalah yang perlu dikritisi. Dan masalah ini menjadi PR besar bagi institusi pendidikan tinggi dan kementerian pendidikan untuk menghasilkan produk lulusan perguruan tinggi yang memiliki kualitas (kompetensi) yang tinggi melalui penjaminan mutu proses pendidikan.
Sedangkan orang yang punya skill tinggi, entah dia punya gelar tinggi ataupun tidak punya gelar tinggi bukanlah menjadi masalah. Hal itu karena orang yang punya skill tinggi pastilah melalui proses belajar yang benar. Karena tidak mungkin skill yang tinggi bisa diperoleh dari cara belajar yang tidak benar. Sebaliknya, gelar yang tinggi masih mungkin bisa diperoleh dengan cara yang tidak benar. Jadi masalah utamanya adalah bagaimana seseorang itu memperoleh gelar tingginya.
Kita tidak boleh negative thinking memukul rata dengan berpikiran bahwa semua orang yang bergelar tinggi belum tentu punya skill tinggi. Dugaan tanpa bukti yang cukup ini bisa menimbulkan masalah yang lebih serius, yaitu hilangnya marwah pendidikan tinggi. Jika pemikiran negatif tersebut dibiarkan berkembang bebas, lambat laun orang bisa tidak lagi mempercayai institusi pendidikan tinggi. Dan hal itu bisa berdampak serius bagi kemajuan bangsa. Bangsa-bangsa yang maju dan sejahtera dikarenakan rakyatnya berpendidikan tinggi atau suka belajar. Tidak mungkin ada negara maju tetapi rakyatnya malas belajar karena kemajuan negara merupakan hasil dari proses belajar rakyatnya.
Dari pembahasan di atas, pokok permasalahan yang urgent didiskusikan adalah tentang makna gelar tinggi. Seharusnya gelar tinggi diperoleh melalui proses belajar yang benar dan sesuai kaidah-kaidah keilmuan sehingga seseorang dipandang layak menyandang gelar tinggi tersebut. Seseorang yang menyandang gelar tinggi seharusnya berusaha sekuat tenaga untuk memantaskan diri dengan gelar tinggi yang disandangnya. Bukti skill dan kompetensi seseorang yang bergelar tinggi adalah melalui karya-karya nyata yang dihasilkan. Skill dan kompetensi tidak cukup hanya dengan melalui klaim sepihak saja tetapi harus dibuktikan dengan karya nyata dan produktivitas dalam berkarya sesuai bidang keilmuan dan keahliannya.
Di era kemajuan teknologi digital sekarang ini, tidak sulit untuk mengetahui atau memverifikasi apakah seseorang bergelar tinggi tersebut benar-benar kompeten (ahli) atau tidak kompeten. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa kompetensi atau keahlian seseorang harus dibuktikan dengan karya nyata, maka seseorang yang mengaku ahli (bergelar tinggi) idealnya pastilah memiliki rekam jejak hasil karya-karya yang dihasilkannya. Sekarang sudah banyak lembaga pengindeks baik tingkat nasional maupun internasional yang mendokumentasikan rekam jejak karya-karya para ahli.
Pengalaman pribadi penulis, setiap kali mendengar nama seorang ahli, maka penulis langsung men-searching di Google. Penulis ingin mengetahui lebih mendalam profil ahli tersebut. Dari hasil searching di Google, maka akan terlihat rekam jejak karya-karya sang ahli tersebut. Dari situlah, penulis bisa menilai (pandangan pribadi) orang tersebut layak dipandang sebagai seorang ahli atau bukan.
Rekam jejak karya seseorang yang berkecimpung di dunia akademik (pendidikan tinggi) sangat penting dan menjadi indikator tingkat keahliannya. Penilaian berbasis rekam jejak karya atau pencapaian diri menjadi sangat relevan untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Maka, di era teknologi digital sekarang ini, aktivitas mendokumentasikan karya dan/atau prestasi pencapaian diri sangat penting dilakukan oleh siapa saja untuk kepentingan pencatatan rekam jejak diri. []
Gumpang Baru, 31 Agustus 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar