Powered By Blogger

Minggu, 29 September 2024

KAPAN SEBAIKNYA MULAI MENGAJARI ANAK SHALAT?

 


KAPAN SEBAIKNYA MULAI MENGAJARI ANAK SHALAT?

Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro



Shalat fardhu merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim dan muslimat, baik orang dewasa maupun anak-anak yang telah akil baligh. Shalat menduduki posisi istimewa dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Shalat merupakan satu-satunya ibadah yang diperintahkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw secara langsung tanpa melalui perantara malaikat Jibril. Shalat merupakan amalan pertama yang nanti dihisab pada yaumil akhir. Shalat merupakan pembeda (furqan) antara orang Islam dan orang kafir. Shalat mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan keistimewaan-keistimewaan shalat yang lain. Semuanya ini menunjukkan bahwa shalat menduduki posisi penting dalam ajaran agama Islam.

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman :
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa,” (Q.S. ThaHa [20]:132).

Firman Allah Swt ini menjadi dasar hukum yang berlaku dan mengikat bagi semua orang tua untuk mengajarkan anak-anak mereka agar melaksanakan (mendirikan) shalat. Mengenalkan ibadah shalat ke anak merupakan kewajiban bagi setiap orang tua karena diperintahkan Allah Swt. Perintah ini bersifat mutlak dan pasti, tidak diragukan lagi keabsahannya (validitas) serta tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dan kami pun sebagai orang tua yang baru memiliki anak balita juga sangat memahami kewajiban tersebut.

Dulu ketika awal-awal mempunyai anak, saat anak lanang (anak pertama kami) masih balita, kami sempat bingung dan bimbang terkait perintah mengajarkan anak untuk shalat. Kami bingung dengan pertanyaan, kapan sebaiknya mulai mengajarkan anak tentang kewajiban ibadah kepada Tuhannya (Shalat)? Apakah menunggu sampai anak lanang berusia 7 tahun baru mengajarinya sholat? Sebagaimana hadis Rasulullah Saw berikut ini.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat). Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan)!”
(Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 495; Ahmad, II/180, 187; Al-Hakim, I/197

Setelah cukup lama kami berpikir, dengan mempertimbangankan banyak hal, akhirnya kami menempuh cara dengan terlebih dahulu mengenalkan anak dengan gerakan-gerakan shalat melalui aktivitas mendekatkan anak saat kami shalat. Dengan rutin melihat orang tuanya shalat, kami berharap anak kami akan belajar sendiri meniru-nirukan gerakan sholat. Sebagai sama-sama lulusan sarjana pendidikan, kami berdua memahami teori pendidikan bahwa setiap anak memiliki kemampuan untuk mengimitasi atau meniru apapun yang dilihat dan didengarnya. Hal ini karena semua orang memiliki kecenderungan untuk meniru perbuatan orang lain, semata mata karena hal itu merupakan bagian dari sifat biologis mereka untuk melakukan hal tersebut. Imitasi memainkan peranan yang sentral dalam transmisi kebudayaan dan pengetahuan dari satu generasi ke generasi yang berikutnya (Tarde, 1903). Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963) telah melakukan eksperimen pada anak - anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus.

Maka, seiring berjalannya waktu, sambil membesarkan si kecil anak lanang, akhirnya kami-orang tua baru- menyadari bahwa Allah Swt memang Tuhan yang Maha Adil dan Maha Penyayang. DIA menciptakan manusia disertai dengan bekal potensi dan kemampuan untuk belajar sendiri (self-learning) yang melekat pada diri anak. Anak lanang kami yang masih balita ternyata memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengimitasi (meniru) gerakan-gerakan shalat tanpa kami ajari. Si kecil anak lanang kami telah mampu melaksanakan fitrah kehidupannya, ia berhasil melaksanakan tugas perkembangannya melalui aktivitas melihat, meniru, dan kami pun menambahkannya dengan aktivitas membiasakannya. Kami meyakini bahwa suatu aktivitas jika diulang-ulang terus-menerus suatu saat akan dapat menjadi kebiasaan (habit).

Maka kami pun mulai mengenalkan anak lanang dengan aktivitas shalat sejak dia usia balita dengan cara membiasakannya melihat gerakan shalat orang tuanya. Lama-kelamaan anak lanang mulai belajar menirukan gerakan-gerakan shalat. Oleh karena itu, akhirnya sejak sebelum masuk sekolah TK, anak lanang sudah rutin dan terbiasa mengerjakan shalat wajib (shalat fardhu) lima waktu hingga sekarang ketika dia mulai memasuki usia remaja. Alhamdulillah, sejak pertama kali kami mengajaknya mengerjakan shalat ketika dia masih balita hingga sekarang, belum pernah sekalipun dia menolaknya atau berkata malas atau capek. Setiap kami mengajak atau mengingatkan dia untuk shalat, dia segera bergegas mengambil air wudlu.

Demikianlah yang kami lakukan -- yang notabene orang tua baru yang sedang mencari pola pengasuhan dan pendidikan keluarga yang tepat untuk anak -- untuk mengenalkan dan mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam kepada anak kami. Kami masih terus belajar dan mencari pola yang paling tepat untuk mendidik dan membentuk anak kami menjadi pribadi yang memiliki akhlak, adab, dan karakter yang baik. Kami pun sebagai orang tua juga masih terus berupaya belajar bagaimana menjadi sosok orang tua yang baik dan mampu menginspirasi anak kami agar kelak mereka mampu menjalani kehidupannya secara baik dan benar sesuai ajaran agama yang diridhai Allah Swt.

Pola pendidikan agama untuk anak di rumah, kami memilih cara moderat dalam mengajarkan nilai-nilai spiritual ke anak-anak kami. Menurut kami, ajaran agama itu harus dibiasakan dan dihayati, bukan didoktrinasikan. Anak harus dibiasakan menjalankan kewajiban ibadahnya sejak kecil sehingga menjadi habit. Anak harus dilatih terbiasa menikmati proses mengenal agamanya. Kami memilih tidak banyak menceramahi anak tentang ajaran Islam, tetapi kami lebih memilih dengan cara memberikan contoh bagaimana akhlak dan perilaku seorang muslim. Kami lebih memilih mendampingi anak mengenal shalat dan membiasakannya sejak anak masih kecil.

Pun demikian, metode dan pendekatan yang sama juga sedang kami terapkan pada anak kedua kami, Icha si bidadari kecil kami. Kami mulai mengenalkan gerakan-gerakan shalat kepadanya. Kami mulai mengenalkan si kecil dengan sajadah untuk alas shalat. Kami mulai mengenalkan si kecil aktivitas berdoa setelah sholat. Sejauh ini pendekatan yang kami terapkan untuk bidadari kecil kami menunjukkan progres yang baik. Kami melihat bidadari kecil kami mulai mengimitasi dan mempraktikan secara autodidak gerakan-gerakan shalat. Kami hanya memberikan contoh dan membiasakan si kecil melihat sendiri bagaimana orang tuanya shalat. Hal ini sebagaimana metode yang dipergunakan Rasulullah Saw ketika mengajarkan shalat kepada para sahabatnya dengan sabdanya, "Shalatlah sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat" (HR. Bukhori). WaAllahu a'lam. []

Tidak ada komentar:

Postingan Populer