MEMBACA IQRA' DAN AL-QUR'AN
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Waktu akhirussanah sekolah TK, Icha merupakan salah satu siswa dari tiga siswa yang mendapat syahadah lulus baca buku IQRA' jilid 6 atau telah mampu membaca Al-Qur'an. Sedangkan teman-temannya yang lain belum selesai buku IQRA' jilid 6. Sejak lulus IQRA' jilid 6 atau sudah bisa membaca Al-Qur'an, Icha setiap hari rutin membaca Al-Qur'an setiap bakda sholat Maghrib. Saat ini dia telah membaca Al-Qur'an sampai Juz 22.
Ketika melanjutkan sekolah ke jenjang SD, ada kebijakan sekolah semua siswa kemampuan membaca tulisan arab di nol-kan. Artinya, baik siswa yang belum lulus IQRA' maupun yang sudah mampu membaca Al-Qur'an akan mengikuti pembelajaran membaca Al-Qur'an dimulai dari buku IQRA' jilid 1.
Akhirnya kenyataan selama proses pembelajaran di SD selama satu bulan lebih ini, Icha mengikuti pembelajaran membaca buku IQRA' jilid 1. Setiap hari kami mendampingi dia kembali membaca buku IQRA' jilid 1. Besok Senin dia dan satu teman sekelasnya dijadwalkan akan menjalani ujian membaca buku IQRA' jilid 1. Semoga besok Senin ujian Icha lancar dan lulus IQRA' jilid 1.
Karena sekolah menyediakan buku monitoring membaca buku IQRA' setiap hari yang harus diisi orang tua, maka kami pun rutin mendampingi dan menyimak Icha membaca buku IQRA' jilid 1. Ketika saya tanya sulit tidak membaca buku IQRA' jilid 1? Dia menjawab, "Gampang". Mendengar jawaban spontan dia, saya tersenyum. Ya jelas dia tidak kesulitan membaca buku IQRA' jilid 1 karena dia sebenarnya sudah melewati jilid 1 dua tahun yang lalu saat masih TK A.
Saya kurang tahu persis apa dasar pertimbangan sekolah meng-nol-kan tingkat kemampuan membaca Al-Qur'an siswa. Katanya mengapa diawali dari IQRA' jilid 1 untuk menstandarkan tingkat kemampuan bacaan siswa, yaitu untuk membetulkan bacaan makhraj huruf siswa yang masih salah. Saya masih bingung dengan argumen tersebut, khususnya berkaitan dengan pembelajaran diferensiasi yang menjadi ruh kurikulum merdeka.
Saya masih bingung antara tujuan "membetulkan bacaan makhraj huruf siswa" dengan program "menyamaratakan siswa membaca buku IQRA' jilid 1". Tujuan membetulkan bacaan siswa seharusnya bisa dilakukan dengan tes membaca, nanti akan dapat diketahui huruf-huruf mana yang pengucapan siswa belum tepat, bukan dipukul rata semua siswa dianggap belum bisa membaca tulisan arab.
Kebijakan menyamaratakan kemampuan anak dalam membaca huruf Arab dengan memulai mempelajari buku IQRA' jilid 1 menunjukkan sekolah melanggar prinsip pembelajaran diferensiasi, dimana sekolah seharusnya dapat memfasilitasi siswa belajar menyesuaikan kemampuan anak, bukan sebaliknya justru menurunkan kemampuan anak sampai dianggap nol. Program standarisasi kemampuan baca huruf Arab ini seolah-olah menunjukkan sekolah tidak mengakui hasil belajar siswa waktu sekolah TK. Apakah ini bentuk kesombongan institusi pendidikan?
Di rumah setiap hari Icha rutin (belajar) membaca buku IQRA' Jilid 1-nya, tetapi setiap bakda sholat Maghrib dia tetap rutin melanjutkan membaca Al-Qur'an hingga saat ini sudah memasuki Juz 22. Jadi setiap hari Icha harus memerankan peran ganda, yaitu berpura-pura menjadi siswa yang baru bisa membaca buku IQRA' jilid 1 dan sekaligus memerankan diri sebagai siswa yang sudah hampir mengkhatamkan bacaan Al-Qur'an. Sebuah kejadian yang aneh dan lucu tapi nyata terjadi di keluarga kami.
Gumpang Baru, 1 September 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar