DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT:
Perjalanan Panjang Menapaki Tangga -Tangga Keilmuan
Oleh:
Agung Nugroho Catur Saputro
Dahulu setelah berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana (sarjana pendidikan kimia), saya merasa telah memiliki pemahaman yang cukup tentang ilmu kimia dan pendidikan kimia. Minimal bekal ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan tingkat S1 sudah lebih dari cukup untuk mengajar kimia di SMA.
Seiring berjalannya waktu dengan semakin bertambahnya pengalaman mengajar, mulai muncul perasaan merasa ilmu yang dimiliki masih kurang banyak, masih terlalu banyak hal-hal yang belum diketahui. Apalagi setelah diterima menjadi pengajar di Perguruan Tinggi, saya merasa bekal ilmu kimia yang saya miliki terasa sangat kurang. Pemahaman dan pengalaman yang saya peroleh selama pendidikan S1 terasa belum cukup untuk mengajar di Perguruan Tinggi. Ternyata benar sekali aturan yang dibuat pemerintah bahwa syarat mengajar S1 adalah minimal S2. Kalau seorang dosen berpendidikan S1 mengajar mahasiswa S1 maka bisa dianalogikan seperti jeruk makan jeruk.
Berangkat dari kondisi tersebut di atas, saya merasa harus segera melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu tingkat magister/master (S2).
Ketika awal-awal mengikuti pendidikan pascasarjana tingkat magister/master, saya merasa pemahaman ilmu kimia saya masih sangat rendah.
Karena perasaan merasa baru memiliki ilmu yang sedikit, terkadang muncul rasa minder (tidak percaya diri) ketika berinteraksi dengan mahasiswa lain, baik mahasiswa S1 maupun S2. Selama menempuh pendidikan S2, saya lumayan harus belajar giat dan bekerja keras untuk mengimbangi mahasiswa lain.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan S2 dengan susah payah, saya merasakan bahwa pengetahuan ilmu kimia saya jauh meningkat dibandingkan waktu S1. Saya benar-benar telah meng-update dan meng-upgrade penguasaan ilmu kimia. Setelah menyelesaikan pendidikan master di bidang ilmu kimia, saya merasa sudah cukup penguasaan saya di bidang kimia. Bekal ilmu yang saya peroleh selama digembleng di kawah candradimuka berupa proses pendidikan S2, saya rasa sudah lebih dari cukup untuk bekal saya mengajar dan mengembangkan diri (penelitian).
Pasca menyelesaikan pendidikan S2 di bidang kimia, saya memang merasa penguasaan ilmu kimia sudah jauh meningkat dibandingkan waktu baru S1. Saya sangat bersyukur karena selama menempuh pendidikan S2 bisa berjumpa dengan dosen-dosen yang hebat dan meneguk tetesan ilmu pengetahuan dari beliau-beliau. Walau harus bekerja (belajar) dengan susah payah untuk menyelesaikan studi, akhirnya juga bisa menyelesaikannya.
Setelah lulus pendidikan S2, barulah saya merasa bersyukur dulu bisa bertemu dengan dosen-dosen yang "sulit" dalam hal tuntutan kualitas. Justru melalui perjumpaan dengan dosen-dosen yang mempunyai standar kualitas yang tinggi (sehingga dianggap "sulit" oleh sebagian mahasiswa) telah menggembleng diri saya untuk meng-upgrade kemampuan dan penguasaan ilmu kimia. Di sinilah rasa syukur itu terasa begitu istimewa.
Bekal ilmu kimia dari pendidikan S2 memang telah membuat penguasaan ilmu kimia saya meningkat dan pemahaman pengetahuan kimia saya menjadi lebih terstruktur dan sistematis, tetapi tidak demikian yang terjadi dengan ilmu pedagogi (pendidikan) saya. Saya merasa ilmu pedagogi yang saya miliki masih sangat kurang sekali. Walaupun sudah pernah mengikuti diklat Pekerti dan pelatihan-pelatihan lain terkait pembelajaran dan juga didukung hasil membaca literatur-literatur pendidikan, saya tetap merasa ilmu pedagogi saya masih rendah dan pemahaman ilmu pedagogi saya belum terstruktur dan sistematis. Saya merasa pemahaman pengetahuan pedagogi saya masih parsial-parsial, belum saling terkait membentuk kerangka pengetahuan yang utuh. Saya merasa pengetahuan pedagogi saya belum bermakna (meminjam istilah teori belajar bermakna Ausuble).
Atas dasar alur pemikiran tersebut di atas, maka saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S3 di bidang pendidikan kimia. Setelah mengenyam pendidikan tingkat doktoral selama kurang lebih satu bulan ini, saya sudah merasa bersyukur karena bisa berjumpa dan berinteraksi dengan dosen-dosen yang hebat-hebat. Dari mereka (dosen) saya merasakan mendapatkan siraman ilmu baru, pengetahuan baru, pemahaman baru, cara pandang baru, pengalaman baru di bidang kimia dan pedagogi kimia. Saya mencoba menikmati proses belajar ini, bertemu dengan orang-orang baru dan belajar pengalaman baru.
Semakin tinggi saya menapaki tangga-tangga ilmu, maka semakin membuka cakrawala dan cara pandang saya terhadap dunia ini dengan segala kekompleksannya. Setiap dosen memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing yang berbeda dengan dosen lain. Benar apa yang dikatakan peribahasa "di atas langit masih ada langit". Semakin tinggi kita menapaki tangga-tangga ilmu, maka kita akan selalu menjumpai tangga ilmu lain yang lebih tinggi lagi.
Islam sangat menganjurkan pemeluknya agar mencari ilmu sebanyak-banyaknya dan sepanjang masih bisa bernafas. Orang barat menyatakan dengan slogannya "Long life education" (pendidikan sepanjang hayat). Sedangkan baginda Rasulullah Saw menyatakan dengan redaksional yang berbeda sebagaimana sabdanya "Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat" (HR. Muslim).
Semakin tinggi ilmu dan pengetahuan kita, maka semakin tampak "kebodohan" dan "ketidaktahuan" kita. Semakin berbobot ilmu kita, maka terasa semakin kosong diri kita. Hanya orang-orang yang berbekal "ngelmu" yang cukup yang mampu menghadapi godaan sifat sombong dan angkuh yang muncul mengiringi proses pemilikan ilmu. Hanya orang-orang yang arif dan bijaksana lah yang tetap memiliki "kerendahan hati" dan tidak merasa paling pandai walau memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berpendidikan tinggi.
Demikian catatan saya hari ini, semoga bermanfaat. Salam literasi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar